Panggilan masuk ke dalam ponsel Gama tak membuat pria itu terganggu. Gama yang begitu sibuk, sama sekali tidak sadar jika ponselnya yang ada di dalam tas kerja berdering berulang kali. Yang Gama pikirkan saat ini hanya satu, perkerjaan selesai karena sudah diburu waktu. Sadar jika dirinya tengah ditunggu istri tercinta di kantor. Sementara di tempat kejadian perkara, Zoya mendapatkan pertolongan dari pihak mini market yang kini sudah memanggil tenaga medis untuk menolong Zoya. Banyak yang menghampiri tapi tak banyak yang berani menolongnya. Yang ada hanya menonton kejadian naas itu dengan wajah menahan ngeri. Apalagi kejadian ini diduga peluru nyasar tapi pihak berwajib yang datang tetap akan melanjutkan penyelidikan. Untuk mencari tau siapa yang membawa pistol tanpa ijin terlebih dahulu. Sayangnya Gama yang merupakan keluarga korban, setelah melihat panggilan keluar terakhir dari ponsel Zoya, justru tidak ada tanggapan. Hasilnya malah nihil, Gama tidak bisa dihubungi. Ya
"Rumah sakit?" Gama berlari kembali masuk mobil diikuti dengan Dito yang langsung duduk di kursi kemudi. Dengan cepat Asisten Dito melajukan mobilnya menuju rumah sakit terdekat tempat Zoya dirawat. Gama mengacak rambutnya dengan wajah kacau. Mendengar Zoya masuk rumah sakit, seketika tulangnya melemah hingga tak mampu untuk berdiri dengan tegak. "Cepat sedikit Dit! Aku sudah tidak sabar untuk tau kondisi istriku. Zoya pasti kesakitan saat ini." Sebetulnya Gama tidak tau apa yang Zoya derita saat ini, tapi masuknya sang istri ke rumah sakit tentu saja karena ada yang dikeluhkan. Itu semua karena Gama tidak lebih dulu mendengarkan apa yang security tadi ingin sampaikan padanya. Pikiran Gama sudah tak karuan setelah mendengar Zoya masuk rumah sakit sehingga langsung memutuskan masuk mobil. "Saya harap Tuan bisa lebih tenang." "Bagaimana aku bisa tenang, Dito? Tidak mungkin aku santai saat tau istriku sedang tidak baik-baik saja. Tadi Zoya sempat menghubungiku tapi sayang
Gama belum diperbolehkan masuk oleh Dokter karena alasan medis. Masih butuh waktu untuk ke tahap dimana Zoya bisa dijenguk. Sampai dimana Gama hanya bisa melihat dari celah jendela. Terdiam Gama memperhatikan dengan kedua mata yang basah. "Sayang... " Gama mengepalkan kedua tangannya kemudian memukul tembok tanpa mengalihkan pandangannya pada Zoya. Di sana, wanitanya tengah berjuang dalam kesakitan. "Ya Tuhan, kembali aku meminta padamu untuk keselamatan istriku." Gama menunduk dan menitikkan air mata. Dadanya bergemuruh setelah tau apa yang terjadi pada Zoya. Emosi Gama kembali menyala kala teringat penyebab Zoya mengalami musibah ini. "Dito, kamu pasti tau apa yang harus kamu lakukan. Cepat pergi sekarang dan jangan lepaskan pelakunya. Kalau perlu habiskan nyawanya sekalian!" perintah Gama. Kedua mata pria itu tajam menatap ke arah Dito yang mengangguk menyanggupi. "Baik, Tuan. Akan segera saya kerjakan." Dito pun bergegas pergi dari sana. Gama diam memperhatikan
Untuk kedua kalinya, Gama merasakan ketakutan yang sama karena Zoya mengalami musibah tak terduga. Apa yang terjadi saat ini seperti sesuatu yang terulang kembali. Hal pait yang mengancam nyawa sang istri dan lagi-lagi karena kelalaiannya. Gama merasa bersalah karena semua terjadi saat Zoya tidak bersamanya. "Andai aku tidak meninggalkan dia sendirian. Ya Allah berikan aku kesempatan untuk menjaga titipanmu sekali lagi." Gama terduduk di depan pintu ruangan Zoya. Dia menekuk kaki dengan tatapan nanar ke depan. Sudah habis rasa penyesalan yang begitu banyak hingga seorang Gama kembali menangis. Diam Gama menunduk dengan menyembunyikan wajahnya. Namun kedatangan nenek dan juga Sinta membuatnya mendongak menatap keduanya. "Gama... Nak?" Nenek langsung berjongkok dan memeluk Gama. Rapuh Gama tak ada penolakan hingga nenek memberikan sentuhan untuk menguatkan. "Sabar, Nak! Sabar! Ini ujian untuk kalian. Kamu harus kuat, Nak! Zoya butuh doa dari kamu. Zoya butuh dukungan. Insy
Gama tidak sama sekali mengatakan apapun. Gama memilih diam dan tak menimpali ucapan Sena. Tatapan iba wanita itu pun tidak Gama pedulikan. Gama kembali menundukkan kepalanya tak lagi menghiraukan ucapan Sena. Namun wanita itu mendekatinya dan duduk di samping Gama dengan tangan yang mengusap lengannya. "Kak, aku benar-benar prihatin akan musibah ini tapi aku harap kamu pun bijak. Jangan terus menangis dan merasa dirimu sedang sangat hancur! Aku tau musibah ini memang sangat menyakitimu tapi kamu harus bijak." "Apa maksudmu, Sen?" tanya Gama. Kali ini Gama terpancing untuk menanggapi ocehan Sena yang membuatnya sedikit bingung. "Maksudku, sedih boleh, tapi kamu pun harus tetap memikirkan acara besok, Kak. Bukankah undangan sudah tersebar? Bagaimana jika mereka hadir dan pengantinnya tidak ada? Bukankah kamu butuh pengganti untuk tetap melaksanakannya? Acara itu tidak mungkin batal Kak." Benar kata Sena, memang acara itu tidak mungkin batal, apalagi undangan sudah terseba
"Aku tidak mengharapkan itu. Aku sadar posisiku tapi kalau Kakak mau menarikku sebagai pengantin pengganti, aku tidak keberatan. Aku mau dan akan menjalankan peran dengan baik," jawab Sena dengan lugas. "Kalau begitu bersiaplah!" sahut Gama membuat ketiga orang tua yang ada di sana menoleh menatapnya. Mereka terlihat sangat terkejut setelah mendengar penuturan dari Gama. "Gama apa kamu yakin, Nak? Lantas bagaimana dengan Zoya?" tanya Nenek pada Gama yang diam tak menjawab. Gama hanya menatap datar ke arah lain tanpa mengeluarkan suara. "Gama ini terlalu beresiko," ujar Nenek lagi. "Bukankah akan sangat merugi jika aku mundur? Banyak orang juga yang akan aku rugikan sekalipun aku mengadakan konferensi pers yang mana itu mendadak sekali. Tentu akan ada saja yang tidak tau dan akan tetap datang ke acara besok." "Mereka akan kecewa karena kabar itu belum mereka ketahui sebelumnya. Sementara sudah banyak waktu dan tenaga bahkan uang yang mereka keluarkan. Jika seperti itu, a
"Sudah aku katakan. Bersiaplah! Kamu yang akan menjadi pengantin pengganti." Kedua sudut bibir Sena tertarik ke atas. Wanita itu terlihat sangat bahagia. Bahagia di balik musibah yang terjadi. Tentu saja akan sangat menyakitkan karena seharusnya Zoya yang ada di sana. "Berarti aku yang akan bersama Kakak? Sebenarnya tidak harus begitu, Kak. Aku tadi hanya mengingatkan saja. Bukan berarti aku yang akan menggantikan posisi pengantin di sana, tapi jika Kakak meminta dan memaksa maka aku akan lakukan." "Ini sementara atau selamanya? Karena aku juga harus mempertimbangkan akan itu. Aku akan menjadi pengantin dan aku ingin menikah sekali seumur hidup. Bisa atau memang hanya menggantikan di saat sakit saja?" Sena melangkah mendekati Gama kemudian mengalungkan tangannya di lengan Gama tapi dengan perlahan Gama melepaskan. "Yang seharusnya kamu tanyakan itu kedua orang tuamu. Boleh tidak kamu menikah besok tanpa ada persiapan sebelumnya. Mereka mengijinkan atau tidak. Bukan berta
"Besok hari pernikahan kita, tidak inginkan kamu memberikan kejutan untukku, Sayang? Atau memang aku benar-benar harus merelakan hari itu untuk wanita lain dan membiarkan dia menari di atas kesakitanmu?" Gama mengusap pipi Zoya yang terasa dingin. Tak ada pergerakan sama sekali dari Zoya. Terhitung sejak diambilnya peluru dari dalam tubuh Zoya, wanita itu dinyatakan koma. Pertanyaannya sampai kapan? Gama rasanya ingin membakar rumah sakit ini setelah mendengar penjelasan yang baginya sangat menghancurkan harapan dan impian yang sudah ia bangun sejak lama. Gama mendongak menahan air mata yang kembali ingin terjun bebas. Dia tak ingin air mata itu jatuh membasahi Zoyanya. Tak ingin juga Zoya tau jika si pria mesum ini bisa berubah menjadi pria cengeng yang tak bertahan hanya karena keadaan. Nyatanya, Zoya tetap menjadi pengaruh utama dalam hidupnya. Tak ada yang lain selain Zoya. Namun adanya keadaan yang seperti ini, menjadikan Gama goyah. Benar kata orang, dibalik pria k
"Aku tidak keberatan, Pah. Aku akan ikut kemana pun suamiku berada. Tidak usah memikirkan aku. Lagi pula Zoya sedang sakit, tidak mungkin aku bersenang-senang di saat dia sedang seperti ini." "Syukurlah, ya sudah kami pamit. Jaga dirimu baik-baik! Papah selalu merindukanmu, Nak." "Iya, Pah." Mereka pun pergi, Gama dan Sena masih di sana sampai ketiga keluarga mereka sudah tak lagi terlihat. Gama diam memperhatikan kemudian menoleh ke arah Asisten Dito yang terdiam si belakangnya. "Bawa pulang dan pasung dia!" DEG. "Kak!" Sena hendak meraih tangan Gama tetapi Asisten Dito lebih dulu menangkap tubuh wanita itu. "Baik, Tuan." "Lepaskan aku!" pinta Sena dengan wajah panik. "Kak aku tidak gila kenapa kamu memasungkku?" seru Sena menghentikan langkah Gama yang hendak masuk ke dalam. "Siapa bilang kamu tidak gila? Orang gila yang akan menyakiti tanpa berpikir panjang karena dia tidak punya otak!" sahut Gama kemudian masuk kembali ke ruangan Zoya sedangkan Sena kemba
"Oh tidak, aku hanya bertanya saja Kak. Hanya ingin tau. Tidak lebih," jawab Sena kemudian menoleh kembali ke arah Zoya. "Jangan terlalu lama memandang istriku!" ujar Gama memperingati. "Namanya Dito, sudah berapa kali kamu dibuat keluar olehnya? Senang?" tanya Gama membuat Sena kembali menoleh ke arahnya. "Kak aku... " "Kamu itu wanita gatal, Sena! Dengan siapapun kamu mau. Jangan lagi berharap denganku! Aku tidak akn sudi melakukan lebih untukmu! Berani kamu fitnah aku setelah akhirnya kamu hamil, maka jangan salahkan aku jika aku sendiri yang akan mematahkan lehermu!" Seolah sudah mengerti ujungnya, Gama sudah lebih dulu antisipasi. Dia tau jika Sena itu licik. Bisa jadi hamil dengan Dito lalu meminta tanggung jawab dengannya. "Kak aku tidak berpikiran sampai sana!" "Bagus! karena aku tidak akan membiarkan kamu melakukan itu! Jadi sebelum kamu berbuat curang, sudah lebih dulu aku lawan!" sahut Gama kemudian pintu terbuka dan masuklah Dito. "Maaf Tuan, aada kelua
"Ayo mandi! Pak Gama meminta kamu untuk datang ke rumah sakit." Dito mendekati Sena setelah panggilan dari atasannya dimatikan. Langkahnya membawa pada wanita itu yang bergelung selimut di lantai. Masih tanpa busana jika dilepas selimutnya. Dito pun membongkar selimut itu membuat tubuh Sena terguling sedikit menjauh. "Kamu ini!" pekik Sena tidak terima. "Tidak mungkin kamu ke rumah sakit dengan menggunakan selimut seperti ini, atau mau telanjang saja, hhm?" tanya Dito santai tapi dia bergerak membuka ikatan di kaki Sena dan membantu wanita itu untuk beranjak dari sana. "Mau apa?" tanya Sena dengan selidik. "Mau memandikan kamu," jawab Dito kemudian meraih lengan Sena agar segera masuk ke dalam kamar mandi. "Lepas! Aku bisa sendiri!" sentai Sena dengan suara bernada kesal. Sena benar-benar masih tidak terima karena semalam dia sempat dibuat tersiksa oleh Dito. "Aku nggak mau kamu siksa lagi! Aku tau di dalam sana pasti kamu akan kembali menyentuhku!" "Percaya di
Sejenak Dito membiarkan dulu Sena menggatal dengan miliknya. Tak juga melepaskan tangannya yang kini masih menempel mengerjai Sena. "Buka Kak!" "Apanya?" tanya Dito yang kini menunduk memperhatikan Sena. Wanita itu sangat liar dan tatapannya sangat menggoda. Belum lagi lidahnya yang menjulur membuat Dito semakin ingin merasakannya. "Celananya." Dito tersenyum miring mendengar itu kemudian meraih pipi Sena dan mengapitnya hingga membuat wanita itu mengerang kesakitan. "Kamu minta milikku, kamu mengemis padaku hanya ingin dipuaskan oleh Kacung sepertiku? Sayangnya Kacung ini tidak suka denganmu. Wanita jahat yang tega menyakiti wanita lain. Kacung ini lebih suka dengan wanita baik-baik yang masih lugu, sekali pun kamu sangat menggoda imanku!" "Jangan sok jual mahal! Milikmu sudah berdiri dengan kencang." "Ya, aku sudah katakan tadi. Jika aku tergoda denganmu, tapi aku tidak akan menyentuhmu lebih dalam jika kamu belum mengakui kesalahanmu di depan keluar dan orang b
"Jangan!" Sena kembali melarang tetapi Dito membuat wanita itu semakin belingsatan dan tak bisa diam. Sena kewalahan merasakan gejolak yang menggebu meminta dituntaskan. Dito benar-benar gila malam ini. Sisi kalemnya tertutup karena Sena yang kurang ajar dan licik tentunya. Namun sebagai pria normal tentu dia merasakan tubuhnya bereaksi dengan sempurna. Hanya saja Dito mampu menahan dan terus saja dia mengerjai Sena. Tangan Dito bergerak semakin menyiksa dan lidahnya ikut serta memberikan sapuan di tubuh Sena yang membuat wanita itu semakin bergairah. "Ampun, Kacung!" "Panggil namaku dengan benar! Aku bukan kacungmu!" sahut Dito dengan suara mendesis pada Sena yang kini sudah tak lagi mengenakan apapun. Dito sempat terpanah kembali melihat bagian inti Sena yang mulus terurus. Sepertinya memang Sena merawatnya dengan baik sama seperti Sena merawat tubuhnya hingga terlihat seksi begini. "Aku nggak kuat! Sudah! Jangan buat aku... " "Apa? Sange? Kamu sange parah? M
"Kamu pikir aku perempuan gampangan?" sahut Sena tak terima dengan apa yang Dito katakan. "Bukannya seperti itu? Kamu gampang terpikat hanya karena paras yang tampan hingga membuat kamu menjadi gila dan menyakiti sesama wanita." "Tapi bukan kamu yang hanya kacung!" sahut Sena menciptakan seringai tipis di wajah Dito. Begini membuat penilaian Dito pada Sena bertambah semakin buruk saja. "Aku kacung tapi aku bukan kriminal seperti kamu! Sekarang waktunya mandi, sudah selesai makannya, Njing?" tanya Dito yang semakin membuat Sena marah. "Sialand kamu! Pergi kamu dari sini! Aku bukan binatang!" sentak Sena tidak terima. Tatapan wanita itu semakin tajam pada Dito yang tertawa melihat kemarahan Sena dengan mulut wanita itu yang kotor. "Ya kamu memang bukan binatang tapi kelakuan kamu sudah seperti binatang yang bisa mencabik sesamanya. Mandi sekarang!" Dito tidak minat walaupun Gama memberikannya kebebasan. Awalnya dia terpesona melihat Sena apalagi postur tubuh wanita itu
"Akh! Ampun Kak!" teriak Sena setelah ikat pinggang Gama melingkar di kedua tangan wanita itu dan Gama menariknya hingga tangan Sena terasa sakit. Tak cukup sampai di situ, Gama pun menarik kedua kaki Sena dan mengikatnya dengan dasi yang ia kenakan hingga wanita itu tidak lagi bisa melakukan apapun. "Kamu pikir aku akan sudi menyentuhmu lebih dalam lagi, hmm? Menyentuhmu sama saja aku menyentuh seorang pembunuh. Najis!" ujar Gama dengan sinis. Tangan Gama mengalir kedua pipi Sena dan menariknya hingga wanita itu mendongak kesakitan. Kedua mata Sena pun basah dan menggeleng meminta dilepaskan. "Kak aku mohon, lepaskan aku! Ampun Kak." "Permohonanmu sudah terlambat Sena. Aku akan menyiksamu sebelum memasukkanmu ke dalam penjara. Kamu, tanganmu, dan otakmu, aku pastikan akan lumpuh!" Kedua mata Sena terbelalak mendengar itu. Gurat ketakutan semakin nyata terlihat. Sena kembali menggelengkan kepala dan mencoba memberontak. tetapi tidak bisa. Gama meraih selimut dan m
Sena tersentak saat Gama menarik gaun tepat di punggung belakang wanita . Kedua mata Sena terbelalak saat jarak mereka sangatlah dekat, bahkan hembusan nafas Gama begitu terasa menyapu tengkuknya. Hangat, membuat tubuh meremang. Seketika seringai tipis di wajah Sena terlihat saat ini. Kena! Sena yang memasang perangkap dan Gama yang terjebak. Sena hanya diam saat Gama terindikasi menikmati aroma tubuh wanita itu. Cengkraman tangan Gama begitu kuat tapi kali ini tidak membuat Sena ketakutan. Justru ingin mendapatkan sentuhan yang lebih dari ini. Mungkin, tak hanya luarnya saja melainkan lebih dalam lagi juga bisa. Tunggu saja! Gama pasti tergoda. Kucing mana ada yang mengabaikan umpannya. "Buka Kak!" pinta Sena dengan suara yang manja. Sengaja sekali memang wanita ini. Mendapati Gama yang justru mengikis jarak bahkan mendekap erat, justru membuat Sena semakin menjadi. Wanita itu seperti di atas awan saat ini. "Mau dibuka, hhm?" "Iya, Kak. Aku mau bersih-bersih dulu.
"Aku sungguh-sungguh, Pah. Kak Gama baik dan nanti akan menjadikan aku istri sah juga. Bukan hanya pengantin pengganti di pelaminan. Papah tenang saja!" tutur Sena. Jawaban yang membuat Bara lega. Setidaknya sudah mendengar dari Sena langsung dan jawaban itu juga yang menciptakan seringai tipis di wajah Gama. Memang ini yang Gama mau. Akhirnya bisa membuat Sena menurut dan sebentar lagi bisa mengendalikan Sena, menyiksa wanita itu sampai benar-benar dia puas. Gama tidak takut dengan tuntutan dari mana pun sekalipun dari keluarga. Dia akan menuntut balik atas bukti pembunuhan yang hendak Sena lakukan. Sayangnya Zoya cukup kuat bertahan meskipun masih koma. "Bagaimana, Paman? Sudah mendengar sendiri bukan jawaban dari putri anda. Kadang kecemasan itu tercipta karena adanya kesalahan yang diperbuat, karena kesalahan besar hingga membuat orang tersebut merasakan tingkat tertinggi dari kecemasan itu sendiri." " Hati-hati Paman, terlalu cemas bisa masuk rumah sakit!" ujar Gama