"Aku tidak mengharapkan itu. Aku sadar posisiku tapi kalau Kakak mau menarikku sebagai pengantin pengganti, aku tidak keberatan. Aku mau dan akan menjalankan peran dengan baik," jawab Sena dengan lugas. "Kalau begitu bersiaplah!" sahut Gama membuat ketiga orang tua yang ada di sana menoleh menatapnya. Mereka terlihat sangat terkejut setelah mendengar penuturan dari Gama. "Gama apa kamu yakin, Nak? Lantas bagaimana dengan Zoya?" tanya Nenek pada Gama yang diam tak menjawab. Gama hanya menatap datar ke arah lain tanpa mengeluarkan suara. "Gama ini terlalu beresiko," ujar Nenek lagi. "Bukankah akan sangat merugi jika aku mundur? Banyak orang juga yang akan aku rugikan sekalipun aku mengadakan konferensi pers yang mana itu mendadak sekali. Tentu akan ada saja yang tidak tau dan akan tetap datang ke acara besok." "Mereka akan kecewa karena kabar itu belum mereka ketahui sebelumnya. Sementara sudah banyak waktu dan tenaga bahkan uang yang mereka keluarkan. Jika seperti itu, a
[Apa kamu tuli, Zoya? Sudah aku katakan jangan datang ke acara itu , tapi kamu masih saja nekat. Pulang kamu sekarang juga!] Zoya menghela nafas berat saat membaca pesan yang suaminya kirimkan. Dia pun bergegas untuk segera pamit pulang pada rekan kerjanya yang lain. Pesan dari Zein menjadi teguran dan perintah yang menakutkan yang mana tak bisa Zoya abaikan. Dia bergegas keluar dari tempat itu tetapi saat hendak membuka pintu ballroom, seseorang yang merupakan rekan kerjanya juga sedikit berlari menghentikan langkahnya. "Zoya, kamu mau kemana?" tanyanya dengan wajahnya panik. "Aku mau pulang. Duluan ya, aku buru-buru soalnya. Suami aku udah nungguin. Salam sama yang lain," jawab Zoya yang sekalian pamit kemudian segera pergi dari sana tapi kembali langkahnya tertahan. "Eh tunggu dulu! Aku tadi lihat Pak Gama sakit. Kamu cepetan ke sana. Beliau ada di kamar nomor 125. Kasihan banget, Zoy." "Emangnya sakit apa?" tanya Zoya bingung. Mana dia sedang buru-buru. "Nggak ng
Siapa yang tak kecewa? Siapa yang tak takut? Siapa yang tak patah hatinya? Dia sudah menikah, tetapi berkhianat dengan pria yang sangat ia kenal. Perlahan Zoya kembali melangkah menuju pintu, langkahnya tertatih merasakan miliknya yang masih sangat nyeri. Entah berapa lama Gama menggempurnya semalam. Yang jelas, rasanya seperti saat malam pertama. Begitu sangat menyakitkan dan terasa mengganjal setelahnya. "Zoya." Zoya menghentikan lagi langkahnya dan kali ini sengaja memberikan kesempatan untuk Kakak iparnya berbicara. Namun, Zoya enggan untuk menoleh ke arah pria itu. Dia muak dengan Gama yang semalam sudah memaksanya. Entah setan apa yang sudah membuat Gama kelewat batas. Zoya yakin ada yang tidak beres dengan Kakak iparnya tapi apa? Yang Gama lakukan semalam itu sudah menghancurkan harga dirinya. "Anggap tidak terjadi apa-apa, Gama! Kamu sudah menghancurkan kepercayaanku. Kamu tidak lebih dari pecundang di mataku, Kak!" sentak Zoya. Rasanya dia sudah tidak ingin lagi b
“Semalam aku menginap di rumah temanku, Mas. Sungguh, aku tidak ber_" Belum sempat Zoya menyelesaikan ucapannya, Zein telah lebih dulu kembali menarik rambut Zoya dan mendorong tubuh istrinya itu hingga terhempas jatuh tepat di depan sepatu seseorang yang baru saja menginjakkan kakinya di rumah. “Ada apa ini?” Jantung Zoya seakan ingin lepas mendengar suara pria yang sangat ingin ia hindari. Pria yang telah menghabiskan malam panas dengannya hingga tidak pulang dan berujung pertengkaran dengan suaminya. Perlahan kepala Zoya terangkat menatap Gama hingga kedua mata mereka bertemu dengan perasaan yang tak menentu. Gama hanya terdiam menatap ke arahnya. Tatapannya tajam seperti menelisik penampilannya yang semakin berantakan kemudian mengangkat kedua alisnya menatap ke arah Zein. Pria itu seakan bertanya tetapi tak ada jawaban apa-apa dari Zein. Sampai di mana Gama kembali menunduk menatapnya dengan tatapan yang Zoya tak mengerti. Apa mungkin saat ini Gama tengah mengasiha
“Butuh bantuan untuk berpisah darinya?” Zoya terdiam saat ingin membuka pintu kamar. Dia tak menoleh ke asal suara, karena jelas suara yang familiar itu milik Gama. Sejenak mengurungkan niatnya untuk bergerak masuk. Melihat Gama yang berdiri diam menatapnya penuh tanya. Zoya pun melengos membuang muka. Namun sebelum Zoya benar-benar masuk, dia sempatkan untuk berbicara pada Gama. "Jangan sok menjadi pahlawan, Kak! Kamu tidak ada bedanya dengan Zein!" Hal yang tertutup rapat terumbar karena suatu perkara. Tak dapat ia sangkal jika kali ini melebihi dari sebelumnya dan bisa-bisanya Gama ingin membantunya untuk bercerai padahal di mata Zoya, Gama tidak ada bedanya dengan Zein. Sama-sama buruk setelah malam itu. Zein memang pria yang sedikit temperamen. Zoya sudah tau dan paham akan itu. Dia pun mengerti tanpa mengeluh. Sebab, bukannya jodoh saling melengkapi dan dan menutup kekurangan pasangannya masing-masing? Itu yang Zoya tau dan berharap sikap Zein lambat laun bisa beru
Zoya terdiam di undakan tangga saat mendengar panggilan dari Gama. Zoya menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. Dia tau siapa yang memanggilnya hingga ia tak ingin menoleh dan lebih memilih untuk menunduk. Egois sedang mendominasi diri Zoya sampai dimana dia mengabaikan sopan santun. "Jangan katakan apapun, Kak! Zoya tau apa yang akan kakak pertanyakan." "Bagaimana dengan jejak di tubuh…." "Kak aku mohon! Jangan ungkit itu lagi!" pinta Zoya lalu melangkah panjang meninggalkan Gama yang diam dengan helaan nafas berat. Namun setelahnya pria itu mengedikkan pundak dan masuk kamar tanpa beban. Zoya tak terima apapun sikap Gama padanya. Bagi Zoya itu hanya akan memperkeruh suasana. Mereka harus memiliki batasan jika perlu menjadi asing agar lebih nyaman melanjutkan hidup masing-masing. Walaupun Zoya tau perangai Gama yang sebenarnya baik tetapi setelah malam itu, pandangannya pada Gama tak lagi sama. Zoya nampak ragu untuk masuk kamar. Rasa takut membu
“Masuk ke mobil!” perintah Gama terdengar lugas. "Terima kasih. Aku lebih tertarik naik taksi," tolak Zoya dan bergegas kembali masuk ke dalam rumah untuk Bersiap-siap. Tak ingin dia dikasihani oleh Kakak iparnya yang pagi ini pun membuat geregetan. Sesampainya di kantor, Zoya bergegas untuk turun dari taksi online dan berlari masuk ke dalam kantor menuju lift agar cepat sampai ke ruangannya. Beruntung belum telat meskipun dia sudah di penghujung waktu. Namun sialnya masih harus melewati lift khusus karyawan yang terkenal penuh sesak. Pagi-pagi lift karyawan selalu ramai. Dia yang baru datang sudah pasti terjebak antrian. Tak seperti lift khusus CEO yang lancar jaya. Belum lagi saat penuh begini tercium bermacam-macam aroma yang membuatnya mual. Sungguh ujian setiap pagi di waktu yang mepet. Zoya berdiri agak belakang sembari menunggu gilirannya untuk masuk. Ekspresinya gelisah dan terus menerus melirik ke arah jam tangan, karena tinggal tersisa lima menit lagi untuk b
Zoya terdiam masih berdiri menunggu Gama yang terus sibuk tanpa memperdulikan dirinya. Sudah hampir satu jam berlalu setelah pria itu menahannya untuk tetap di sana. Terus menunggu tetapi Gama nampak santai saja tanpa menyentuh berkas yang ia berikan. Zoya frustasi sendiri, kakinya pegal sekali tetapi Gama tetap cuek seakan tak minat. Sengaja menahannya tanpa kejelasan. Rasanya Zoya ingin mengumpat pria itu tapi semua hanya di angan karena dia tak seberani yang dibayangkan. Zoya mendengus kesal, terdengar helaan nafas kasar darinya yang ternyata bisa menarik hati pria itu. Gama melirik ke arahnya dan menyandarkan tubuh di kursi kebanggaannya. "Bosan?" "Anda masih sibuk, Pak." "Tidak sabaran." celetuk Gama yang kemudian berdecak dan mengambil berkas yang Zoya berikan tadi. Meneliti beberapa saat dan kembali menatapnya dengan lekat. Zoya menegakkan tubuhnya saat sadar Gama memperhatikan. Berharap tak ada yang harus kembali direvisi agar dia bisa mengerjakan pekerjaan
"Aku tidak mengharapkan itu. Aku sadar posisiku tapi kalau Kakak mau menarikku sebagai pengantin pengganti, aku tidak keberatan. Aku mau dan akan menjalankan peran dengan baik," jawab Sena dengan lugas. "Kalau begitu bersiaplah!" sahut Gama membuat ketiga orang tua yang ada di sana menoleh menatapnya. Mereka terlihat sangat terkejut setelah mendengar penuturan dari Gama. "Gama apa kamu yakin, Nak? Lantas bagaimana dengan Zoya?" tanya Nenek pada Gama yang diam tak menjawab. Gama hanya menatap datar ke arah lain tanpa mengeluarkan suara. "Gama ini terlalu beresiko," ujar Nenek lagi. "Bukankah akan sangat merugi jika aku mundur? Banyak orang juga yang akan aku rugikan sekalipun aku mengadakan konferensi pers yang mana itu mendadak sekali. Tentu akan ada saja yang tidak tau dan akan tetap datang ke acara besok." "Mereka akan kecewa karena kabar itu belum mereka ketahui sebelumnya. Sementara sudah banyak waktu dan tenaga bahkan uang yang mereka keluarkan. Jika seperti itu, a
Gama tidak sama sekali mengatakan apapun. Gama memilih diam dan tak menimpali ucapan Sena. Tatapan iba wanita itu pun tidak Gama pedulikan. Gama kembali menundukkan kepalanya tak lagi menghiraukan ucapan Sena. Namun wanita itu mendekatinya dan duduk di samping Gama dengan tangan yang mengusap lengannya. "Kak, aku benar-benar prihatin akan musibah ini tapi aku harap kamu pun bijak. Jangan terus menangis dan merasa dirimu sedang sangat hancur! Aku tau musibah ini memang sangat menyakitimu tapi kamu harus bijak." "Apa maksudmu, Sen?" tanya Gama. Kali ini Gama terpancing untuk menanggapi ocehan Sena yang membuatnya sedikit bingung. "Maksudku, sedih boleh, tapi kamu pun harus tetap memikirkan acara besok, Kak. Bukankah undangan sudah tersebar? Bagaimana jika mereka hadir dan pengantinnya tidak ada? Bukankah kamu butuh pengganti untuk tetap melaksanakannya? Acara itu tidak mungkin batal Kak." Benar kata Sena, memang acara itu tidak mungkin batal, apalagi undangan sudah terseba
Untuk kedua kalinya, Gama merasakan ketakutan yang sama karena Zoya mengalami musibah tak terduga. Apa yang terjadi saat ini seperti sesuatu yang terulang kembali. Hal pait yang mengancam nyawa sang istri dan lagi-lagi karena kelalaiannya. Gama merasa bersalah karena semua terjadi saat Zoya tidak bersamanya. "Andai aku tidak meninggalkan dia sendirian. Ya Allah berikan aku kesempatan untuk menjaga titipanmu sekali lagi." Gama terduduk di depan pintu ruangan Zoya. Dia menekuk kaki dengan tatapan nanar ke depan. Sudah habis rasa penyesalan yang begitu banyak hingga seorang Gama kembali menangis. Diam Gama menunduk dengan menyembunyikan wajahnya. Namun kedatangan nenek dan juga Sinta membuatnya mendongak menatap keduanya. "Gama... Nak?" Nenek langsung berjongkok dan memeluk Gama. Rapuh Gama tak ada penolakan hingga nenek memberikan sentuhan untuk menguatkan. "Sabar, Nak! Sabar! Ini ujian untuk kalian. Kamu harus kuat, Nak! Zoya butuh doa dari kamu. Zoya butuh dukungan. Ins
Gama belum diperbolehkan masuk oleh Dokter karena alasan medis. Masih butuh waktu untuk ke tahap dimana Zoya bisa dijenguk. Sampai dimana Gama hanya bisa melihat dari celah jendela. Terdiam Gama memperhatikan dengan kedua mata yang basah. "Sayang... " Gama mengepalkan kedua tangannya kemudian memukul tembok tanpa mengalihkan pandangannya pada Zoya. Di sana, wanitanya tengah berjuang dalam kesakitan. "Ya Tuhan, kembali aku meminta padamu untuk keselamatan istriku." Gama menunduk dan menitikkan air mata. Dadanya bergemuruh setelah tau apa yang terjadi pada Zoya. Emosi Gama kembali menyala kala teringat penyebab Zoya mengalami musibah ini. "Dito, kamu pasti tau apa yang harus kamu lakukan. Cepat pergi sekarang dan jangan lepaskan pelakunya. Kalau perlu habiskan nyawanya sekalian!" perintah Gama. Kedua mata pria itu tajam menatap ke arah Dito yang mengangguk menyanggupi. "Baik, Tuan. Akan segera saya kerjakan." Dito pun bergegas pergi dari sana. Gama diam memperhatikan
"Rumah sakit?" Gama berlari kembali masuk mobil diikuti dengan Dito yang langsung duduk di kursi kemudi. Dengan cepat Asisten Dito melajukan mobilnya menuju rumah sakit terdekat tempat Zoya dirawat. Gama mengacak rambutnya dengan wajah kacau. Mendengar Zoya masuk rumah sakit, seketika tulangnya melemah hingga tak mampu untuk berdiri dengan tegak. "Cepat sedikit Dit! Aku sudah tidak sabar untuk tau kondisi istriku. Zoya pasti kesakitan saat ini." Sebetulnya Gama tidak tau apa yang Zoya derita saat ini, tapi masuknya sang istri ke rumah sakit tentu saja karena ada yang dikeluhkan. Itu semua karena Gama tidak lebih dulu mendengarkan apa yang security tadi ingin sampaikan padanya. Pikiran Gama sudah tak karuan setelah mendengar Zoya masuk rumah sakit sehingga langsung memutuskan masuk mobil. "Saya harap Tuan bisa lebih tenang." "Bagaimana aku bisa tenang, Dito? Tidak mungkin aku santai saat tau istriku sedang tidak baik-baik saja. Tadi Zoya sempat menghubungiku tapi sayang
Panggilan masuk ke dalam ponsel Gama tak membuat pria itu terganggu. Gama yang begitu sibuk, sama sekali tidak sadar jika ponselnya yang ada di dalam tas kerja berdering berulang kali. Yang Gama pikirkan saat ini hanya satu, perkerjaan selesai karena sudah diburu waktu. Sadar jika dirinya tengah ditunggu istri tercinta di kantor. Sementara di tempat kejadian perkara, Zoya mendapatkan pertolongan dari pihak mini market yang kini sudah memanggil tenaga medis untuk menolong Zoya. Banyak yang menghampiri tapi tak banyak yang berani menolongnya. Yang ada hanya menonton kejadian naas itu dengan wajah menahan ngeri. Apalagi kejadian ini diduga peluru nyasar tapi pihak berwajib yang datang tetap akan melanjutkan penyelidikan. Untuk mencari tau siapa yang membawa pistol tanpa ijin terlebih dahulu. Sayangnya Gama yang merupakan keluarga korban, setelah melihat panggilan keluar terakhir dari ponsel Zoya, justru tidak ada tanggapan. Hasilnya malah nihil, Gama tidak bisa dihubungi. Ya
Pekerjaan segera diselesaikan hari itu juga. Gama dan Zoya begitu giat karena memang ingin cuti. Jadi jangan sampai terlalu merepotkan Dito juga nantinya. Kasihan kalau sampai Asisten Dito dibuat repot sana sini. Sadar jika pekerjaan itu tanggung jawab mereka penuh. Khususnya Gama yang mana sebagai pemimpin di dua perusahaan. Siangnya Gama pun pergi ke perusahaan peninggalan sang Ayah. Gama meninggalkan Zoya yang masih sibuk dengan pekerjaannya. Pria itu pergi bersama dengan Asisten Dito tanpa mengajak Zoya. Namun sebelum pamit pada Zoya. Gama memastikan dulu kalau Zoya tidak masalah ditinggal. Gama terlihat sangat perhatian dan tidak ingin Zoya merasa tidak nyaman karena ditinggal sendirian. "Aku hanya sebentar, di sana juga harus aku bereskan. Kamu kalau sudah, tunggu aku saja di dalam. Jangan pulang sendiri! Nanti aku jemput." Gama mengusap kepala Zoya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Biasa bersama, meninggalkan Zoya begini terlihat sangat-sangat berat sekali.
Zoya menatap semua orang yang ada di sana. Mereka semua terlihat tak percaya dengan apa yang mereka dengar sedangkan sebelumnya orang-orang itu sudah memprediksi jika dirinya ada hubungan terlarang dengan kakak ipar. Apalagi video dulu yang tersebar, mereka tau akan itu. Hanya saja memang Zoya dan Gama yang menjaga jarak, sempat mematahkan apa yang menjadi pemikiran mereka. "Bapak serius? Mendadak sekali, Pak? Tidak terlihat tau-tau menikah." "Iya Pak, tapi kami doakan semoga langgeng. Sakinah, mawadah, warahmah." "Aamiin... " Zoya mengangguk ramah dan tersenyum mendengar itu. Zoya menoleh ke arah Gama yang semakin mengeratkan genggaman tangannya. Tatapan keduanya bertemu hingga Gama gemas dan mengacak rambutnya. Lagi-lagi keharmonisan itu membuat para karyawan yang melihat mereka nampak terkesima. "Undangan akan saya berikan via online. Saya juga meminta pada kalian untuk bekerja dengan baik. Saya akan ambil cuti. Jadi saya tidak ingin ada masalah pada kalian dan per
Entah mengapa Zoya merasa curiga dengan keceriaan Sena. Wanita itu begitu mudah mengiyakan. Bukankah Sena suka dengan Gama? Harusnya tidak senang dengan apa yang akan terlaksana nanti. Usai sarapan, Zoya dan Gama pamit untuk berangkat ke kantor. Ini hari terakhir mereka bekerja sebelum besok mempersiapkan diri untuk hari pernikahan mereka. Tak ada orang tua dan sanak saudara yang sangat dekat, membuat keduanya lebih mendiri menghadapi semua ini. Gama juga tidak terlalu memusingkan karena selagi ada uang, semua bisa beres dengan cepat. Zoya pun berusaha untuk santai walaupun sebenarnya dia agak deg-degan menghadapi banyak tamu nanti yang pastinya memiliki pemikiran beragam pada mereka. "Dito, kita adakan meeting! Siapkan semua karyawan dan minta mereka berkumpul di bawah!" perintah Gama. "Baik, Tuan." Asisten Dito pun segera melaksanakan tugas. Pria itu segera mengumpulkan semua karyawan tanpa terkecuali melalui para manager tiap-tiap divisi. Gama pun bersiap untuk it