Zoya terdiam masih berdiri menunggu Gama yang terus sibuk tanpa memperdulikan dirinya.
Sudah hampir satu jam berlalu setelah pria itu menahannya untuk tetap di sana. Terus menunggu tetapi Gama nampak santai saja tanpa menyentuh berkas yang ia berikan. Zoya frustasi sendiri, kakinya pegal sekali tetapi Gama tetap cuek seakan tak minat. Sengaja menahannya tanpa kejelasan. Rasanya Zoya ingin mengumpat pria itu tapi semua hanya di angan karena dia tak seberani yang dibayangkan. Zoya mendengus kesal, terdengar helaan nafas kasar darinya yang ternyata bisa menarik hati pria itu. Gama melirik ke arahnya dan menyandarkan tubuh di kursi kebanggaannya. "Bosan?" "Anda masih sibuk, Pak." "Tidak sabaran." celetuk Gama yang kemudian berdecak dan mengambil berkas yang Zoya berikan tadi. Meneliti beberapa saat dan kembali menatapnya dengan lekat. Zoya menegakkan tubuhnya saat sadar Gama memperhatikan. Berharap tak ada yang harus kembali direvisi agar dia bisa mengerjakan pekerjaan lainnya, meskipun dia juga sudah siap mendengarkan komplain dari Gama karena Zoya sudah cukup hafal bagaimana pria itu dalam bekerja. Zoya tersentak saat melihat Gama melempar berkas yang ia kerjakan tadi ke atas meja kerjanya. Zoya memang yakin ada yang salah dari apa yang ia kerjakan, tapi itu juga bukan salahnya, karena memang tenggat waktu berkas itu masih lama. Seakan mengetahui apa yang sedang Zoya pikirkan, tatapan mata Gama yang tadi santai kini berubah menjadi tegas dan tajam. Pria itu mendadak berubah menjadi menyeramkan. "Perbaiki." "Baik, Pak." kata Zoya. Tak ingin banyak bicara, langsung saja Zoya mengambil berkas yang tergeletak di meja Gama. Namun saat dia ingin berbalik hendak keluar dari ruangan itu, suara bariton dari Gama menghentikan langkahnya. "Kerjakan di sini saja". "Tapi Pak..." "Kerjakan di sini, Zoya!" Tatapan Gama yang lekat dan penuh ketegasan membuat Zoya mau tidak mau duduk di hadapan pria itu. Sumpah demi apapun, dia enggan berada sedekat ini apalagi hanya berdua saja dalam satu ruangan. Ruang geraknya seakan terbatas dan gerakannya pun tak bebas. Gama terus saja memperhatikan hingga dia risih dibuatnya. "Maaf, Pak. Boleh saya mengerjakan di ruangan saya saja? Bapak membuat saya tidak nyaman." "Lantas apa yang membuatmu nyaman, hhmm? Sikap lembut atau kasar yang kamu inginkan?" tanya Gama yang membuat Zoya menghela nafas berat. "Maaf Pak, saya harap tidak ada pembicaraan yang menjurus ke arah pribadi. Kita sedang berada di kantor." "Aaku tidak tahu kalau pikiranmu itu ternyata sangat kotor." sahut Gama tambah membuat Zoya geregetan. Zoya berusaha tidak lagi perduli dan pria itu pun kembali fokus dengan pekerjaannya. Dua jam mengerjakan hingga lelah merevisi sesuai inginnya Gama Prasetyo. Otak Zoya serasa panas sekali. Usai memberikan hasilnya, Zoya pun bergegas kembali ke ruangannya. Zoya butuh istirahat sejenak setalah dibuat pusing menuruti bosnya. Namun baru saja Zoya sampai di ruangannya. Pesan masuk di ponselnya dari salah satu teman yang bekerja satu kantor dengan Zein, membuat Zoya menghela nafas gusar. Zoya melirik ke kiri dan kanan. Melihat karyawan lain, semua nampak sibuk dengan pekerjaan. Zoya pun memutuskan untuk beranjak dari sana tak ingin dirinya menganggu. Ijin ke toilet untuk menghubungi temannya demi memastikan kabar yang menyesakkan tadi. "Hallo, Ren. Maaf aku ganggu. Mengenai pesan kamu tadi. Kamu serius lihat suamiku dengan wanita lain?" tanya Zoya dengan debaran jantung yang tak terkendali. Istri mana yang tak gelisah mendengar suaminya dekat dengan wanita lain. Hal itu pun semakin membuat Zoya yakin jika sikap Zein selama ini ada kaitannya dengan kabar yang temannya berikan. Pantas saja Zein tidak memperbolehkan dia untuk pindah kerja di kantor pria itu. Ternyata ada sesuatu yang selama ini Zein tutupi darinya. "Aku sich baru lihat tadi, tapi gosip ini tuh udah rame, Zoy. Hanya saja aku mau kasih tau kamu tuh maju mundur gitu. Aku takut kamu nggak percaya. Akunya juga belum lihat sendiri sebelumnya dan pagi tadi aku baru lihat dengan mata kepala aku sendiri. Pak Zein datang membawa wanita sexy yang kata anak-anak sich itu selirnya." Semakin kencang saja debaran di jantung Zoya. Salah apa dia hingga Zein tega bermain gila di belakangnya. Ingin tak percaya tetapi dia tak boleh naif hingga abai padahal sudah ada buktinya. Temannya tak hanya memberi kabar tapi juga mengirimkan foto sebagai bukti, yang sayangnya wajah wanita itu tak jelas terlihat. "Halo, Zoya. Apa kamu masih disana?" "Eh iya, maaf Ren aku malah diam. Aku nggak tau harus bicara apa." Zoya sampai berpegangan sisi wastafel karena kakinya yang tiba-tiba lemas membayangkan Zein dengan wanita lain. "Maaf ya kalau apa yang aku katakan membuat kamu syok berat, tapi ini aku lakukan karena aku nggak tega sama kamu, Zoya." "Oh iya tapi aku minta sama kamu, tolong jangan katakan pada siapapun jika kamu tau kabar ini dari aku ya. Aku masih butuh pekerjaan ini, Zoya. Aku yakin Pak Zein pasti akan marah kalau tau aku yang mengadukannya sama kamu." "I.. Iya, kamu tenang aja! Aku nggak akan menyeret kamu dalam masalah ini. Aku justru mau berterimakasih sama kamu. Lain kali jika ada info tentang Mas Zein lagi, tolong kamu kasih tau aku ya, Ren!" Zoya tak akan buru-buru menghakimi. Dia ingin mengumpulkan bukti terlebih dahulu. Namun tetap saja hatinya perih mendengar kabar buruk ini. Zoya berharap, jika memang benar Zein melakukan itu. Bukti semakin kuat agar dia bisa membongkar kebusukan suaminya. "Iya, Zoya. Aku akan kabari kamu beserta buktinya agar kamu juga percaya kalau aku nggak ada niat untuk menghancurkan rumah tangga kalian. Kamu yang sabar ya, Zoya. Ya udah kalau gitu. Aku mau lanjut kerja dulu. " Iya, makasih banyak ya, Ren." "Sama-sama." Selepas panggilan itu terputus. Zoya tertunduk menekan dadanya. Ujian apa ini? Sakit sekali ya Tuhan. Apa ini karma setelah kesalahan satu malam itu ia lakukan, tapi tadi Iren mengatakan jika gosip ini sudah lama beredar. "Mas, aku salah apa sama kamu?" Zoya terisak di sana. Sungguh ini sangat sakut sekali. Di yang mati-matian menutupi kesalahan untuk menjaga hati Zein, ternyata pria sudah berkhianat lebih dulu. Usai jam kantor berakhir, Zoya pun bergegas untuk pulang ke rumah. Sejak tau kabar itu, hatinya terasa tak tenang. Pikirannya berkecamuk hingga dia tak fokus dalam bekerja. Beruntung masih bisa menyelesaikan meskipun dia harus bersusah payah membagi hati dan pikirannya. Berusaha tetap profesional padahal air matanya sudah menumpuk di pelupuk mata. Zoya sampai lebih dulu di rumah. Masih sepi, Gama dan Zein belum ada yang menginjakkan kakinya di rumah ini. Bergegas Zoya masuk kamar kemudian terduduk di pinggir ranjang seraya membuka ponselnya yang nampak kosong dari notifikasi pesan atau panggilan yang masuk. Mustahil perhatian itu ia dapatkan dari Zein. Bukannya ini sudah biasa ia dapatkan? "Aku tidak boleh buru-buru menuduh. Aku yakin Mas Zein tidak akan mengakui. Aku harus bisa tahan. Kuat, Zoya! Aku mohon jangan menangis lagi!" Zoya berusaha menenangkan dirinya sampai dimana dia dikejutkan dengan suara pintu kamar yang terbuka dengan kasar. "Mas."Zoya menarik nafas dalam dan beranjak dari duduknya. Sekuat hati dia berusaha untuk tetap tenang. Ingat, harus banyak bukti untuk bisa memberontak dari pria seperti Zein jika tidak ingin hanya dijadikan angin lalu oleh pria itu. Zoya tersenyum menyambut langkah suaminya yang mendekati dan segera mengambil alih tas dan juga jas Zein. Sebenarnya ada rasa takut untuknya kelak memberontak. Zoya tak memiliki siapa-siapa lagi selain Zein. Jika dia dicampakkan oleh Zein lalu bagaimana dengan nasibnya kelak. Zoya melangkah mendekati Zein yang mulai membuka kancing lengan kemejanya. Dengan sigap pun Zoya mulai membantu membukakan kancing kemeja yang Zein kenakan. Aroma parfum yang sudah bercampur dengan parfum wanita membuat dada Zoya semakin sesak bahkan tangannya sedikit gemetar karena dia harus menahan rasa sakit yang semakin dalam. "Mas, tau kamu pulang lebih cepat. Aku tadi minta jemput sekalian. Aku lelah banget, Mas. Mana harus menunggu taksinya lama." "Jangan manja!" k
Zoya tersentak saat mendengar suara pintu kamar terbuka sangat kencang. Kedatangan Zein membuatnya yang baru saja terlelap seketika beranjak dari tidurnya. Zoya menatap heran saat Zein pulang sempoyongan tak seperti saat berangkat tadi. Zoya hendak turun dari ranjang untuk menyambut dan membantu tetapi dengan cepat Zein menghampiri. Zein menyibak selimut yang menutupi bagian tubuh bawahnya, hingga kedua mata Zoya terbelalak melihat itu. Terekspos lah kedua kaki jenjangnya yang putih mulus membuat kedua mata Zein berbinar melihatnya. Pria itu pun merangkak naik dan menyerang tanpa aba-aba. "Mas Zein!" "Layani aku, Zoya!" bisik Zein yang kemudian mendongak dan mencium ceruk leher Zoya yang terpampang indah, putih menggoda. Layaknya aliran sungai yang jernih begitu lancar mengalir lidah Zein menyusuri leher itu. Memberikan percikan gairah dan membangkitkan nafsu yang bercampur dengan rasa yang menggebu. Kedua tangan Zoya mencengkeram kuat sprei menahan gelora nikmat yang Z
Zoya terperangah mendengar tuduhan itu. Belum tenang hatinya karena Gama melihat kejadian semalam, Zein tiba-tiba menuduhnya berbohong hingga membuatnya ketakutan. Tatapan mata Zein begitu tajam padanya sampai Zoya sulit menelan kasar salivanya. Zein berdiri di hadapannya dan menekan tubuhnya hingga membuat Zoya sesak karena terhimpit oleh pintu dan tubuh pria itu. "A... Ada apa, Mas?" "Kamu pembohong, Zoya! Kamu mengatakan padaku jika masih belum bisa, tapi semalam apa? Satu tetes darah pun tidak terlihat. Sprei bersih sampai pagi. Sudah berani kamu membohongiku, hah?" "Mas!" pekik Zoya saat kedua pipinya ditekan kuat hingga kedua mata pun basah. Zein juga semakin menghimpit tubuhnya hingga ia sulit bergerak dan melepaskan diri dari pria itu. "Mas sakit, aku... " PLAK Kedua mata Zoya terpejam kuat merasakan panas menjalar ke seluruh pipi kanannya. Air mata itu pun tak lagi bisa dibendung. Bahkan dadanya begitu sesak hingga dia hanya bisa tertunduk terisak. Semalam
"Kopinya, Mas." Zoya meletakkan secangkir kopi di atas nakas tepat Zein sedang sibuk dengan ponselnya. Tanpa menjawab, pria itu pun terlihat sibuk sekali. Zoya duduk di hadapan Zein membuat pria itu melirik tajam ke arahnya. Tatapan penuh keraguan pun terlihat jelas dari kedua mata Zoya. Antara takut tetapi dia ingin apa yang Gama katakan tadi masih bisa diperbaiki. "Mau apa kamu?" tanya Zein seakan mengerti apa yang ingin dia lakukan setelah ini. "Hanya ingin berbicara sama kamu, Mas." Zoya meraih tangan Zein yang kosong. Menggenggam tangan itu kemudian menatap wajah Zein yang terlihat tak suka melihatnya. "Mas aku tidak bermaksud membohongimu. Aku minta maaf jika sikapku membuatmu marah tapi apa tidak bisa jika kamu sedikit saja lembut padaku, Mas? Aku ingin kita seperti dulu. Sebelum kamu kasar padaku, kamu pernah sangat lembut memperhatikanku, Mas." "Jangan banyak meminta, Zoya! Wajar di awal menikah pasti manis. Semua juga begitu. Kamunya aja yang berlebihan! Aku ng
"Dan apa jika aku mengatakannya sejak awal, kamu akan percaya? Ketika seseorang jatuh cinta dia seperti orang yang sedang mati rasa, Zoya! Kamu tidak akan perduli dan tetap fokus pada cintamu," kata Gama santai kemudian beranjak dari sana. "Keputusan ada di kamu. Tetap bertahan hingga sekarat atau berusaha lepas dari kesakitan. Aku hanya iba, karena kamu korban." Gama melangkah santai pergi dari hadapan Zoya. Semua yang pria itu katakan mengandung makna yang mendalam sedangkan Zoya saat ini begitu sakit mengetahui apa yang suaminya lakukan di luar sana. "Mas kamu sama siapa? Siapa wanita itu sebenarnya? Kenapa Kak Gama begitu mengenal? Sedang aku tidak bisa mengira-ngira." Pulang telat seperti sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Zein. Sudah beberapa hari ini Zein pulang semakin malam bahkan pagi. Tak ada lagi kehangatan yang Zoya rasakan. Zein begitu sibuk hingga membuatnya kesepian. Beralasan tak jelas dan tak mau banyak ditanya. Itulah sikap Zein setiap kali ingin
"Saya ijin pulang lebih cepat, Pak. Pekerjaan saya sudah selesai dan ini berkasnya. Maaf jika saya ijin lagi hari ini karena ada kepentingan mendesak yang tidak bisa saya tunda," ujar Zoya yang kini sedang meminta ijin pada manajer divisinya. "Mau kemana? Jika masih ada yang harus direvisi lagi bagaimana? Kamu sejak kemarin ijin terus. Jangan mentang-mentang memiliki hubungan dengan Pak Gama, Zoya! Kamu harus profesional dalam bekerja." "Baik, Pak. Maaf sebelumnya tapi kali ini benar-benar penting, Pak." Zoya harus mendapatkan ijin itu. Dia tidak bisa menunda lagi. Penasaran juga dengan siapa wanita yang bersama suaminya hingga membuat Zein berubah sikap bahkan sekarang semakin jauh saja. "Satu kali ini saja, setelah itu saya tidak akan menerima lagi apapun alasannya. Tidak ada pengecualian dalam bekerja, Zoya! Jika kamu begini terus, maka bisa menimbulkan kecemburuan sosial antar karyawan. Kami pun tidak akan membeda-bedakan kalian." "Baik, Pak. Maaf dan terimakasih atas i
Zoya menggelengkan kepala dan segera berlari dari sana setelah melihat kedua orang yang sedang memadu kasih itu terdiam karena mendengar suara yang ia ciptakan. Bergegas Zoya meninggalkan tempat itu hingga membuat sekretaris dari Zein, Sarah. Beranjak dari duduknya dan tercengang melihat dia yang menangis tergugu berlari masuk lift. Zoya tak sanggup, dia tak bisa, tadi begitu bersemangat untuk memergoki Zein dan ingin tau siapa wanita yang bersama suaminya tetapi setelah melihat apa yang pria itu lakukan justru Zoya tak mampu mengatakan apapun lagi. Lidahnya kelu hanya untuk memanggil Zein. Aliran darahnya melambat dan otaknya mendadak berhenti. Semua yang ia lihat bukan hanya membakar hati tetapi melumpuhkan kerja organ di dalam tubuhnya. Langkah Zoya sedikit sempoyongan. Dirinya yang keluar dalam keadaan menyedihkan menarik perhatian semua karyawan. Banyak yang menatap iba ke arahnya. Namun seperti yang tadi Zoya lakukan saat baru datang. Zoya berusaha tak memperdulikan a
Zoya menggeret kopernya kemudian masuk ke dalam mobil. Dia agak canggung karena yang bersamanya adalah Gama. Namun mengingat apa yang sudah Zein lakukan membuatnya tak bisa hanya diam saja. Ini sudah menjadi keputusannya dan Zoya berharap apa yang dikatakan oleh Gama itu benar. Pria itu benar-benar membantu dan melindunginya. Zoya menoleh ke arah Gama yang mulai menyalakan mobil siap membawanya ke suatu tempat yang dia sendiri tidak tau kemana. Zoya memilih diam melihat jalanan karena masih bingung harus mengatakan apa pada Gama. Hening, tapi tak berlangsung lama. Gama kemudian menyalakan musik seakan tau jika mereka begitu kaku. Pria itu juga menciptakan suasana yang membuat Zoya berangsur merasa nyaman. Sialnya, lagu kedua mengibaratkan sakit hati seorang wanita yang dikhianati orang terkasih. Air mata Zoya kembali menetes merasakan efek dari lagu itu. Zoya mengusap air matanya yang mengalir perlahan dan mengangkat kepala agar tak lagi menitikkan air mata. Tak lama Gama p
"Zoya kamu gila!" teriak Amanda saat tubuhnya terpelanting dan beruntungnya dia masih kuat berpegangan pada pintu mobil. Semua itu karena tendangan dari Zoya yang mengakibatkan Amanda terpental hampir keluar padahal mobil masih melaju kencang. "Jika kegilaanmu membuat kamu bisa mencelakaiku sesuka hati, kenapa aku tidak mengikuti? Dan akan aku celakai kamu juga hingga kamu tidak lagi bisa menggangguku!" Pintu mobil semakin terbuka dan Amanda hampir saja jatuh jika kakinya tidak wanita itu jepit kan pada jok mobil, sedangkan Zoya mengambil alih kemudi dengan membelokkan ketepian. Mobil menabrak pengendara lain hingga benturan itu membuat Amanda tak mampu bertahan dan terseret ke jalan. CKIIIIIITTTT BRAAKK Suara sirine mobil polisi pun begitu terdengar kencang disusul dengan ambulan yang mendekati. Zoya sudah tak sadarkan diri akibat benturan kencang di kepalanya sedangkan Amanda terpental keluar dari mobil hingga membuat wanita itu terluka parah. Kecelakaan ini jel
Gama dibuat kalang kabut setelah tau yang membawa Zoya pergi adalah Amanda. Bagaimana bisa? Bukankah Amanda sudah ia jebloskan ke dalam penjara? Sial! "Siapa yang mengeluarkan Amanda? Wanita itu tidak mungkin bisa bebas jika tidak ada yang menebusnya." "Maaf Pak, saya kurang tau. Mungkin karena sibuk dengan masalah yang ada membuat kita juga kecolongan masalah Amanda. Apa mungkin Zein yang sudah membebaskan, Pak? Mereka dekat. Bisa jadi mereka berdua bersekongkol untuk membalas dendam." "Berengsek! Cepat cari wanita itu sampai ketemu. Dia sudah membawa istriku, Dion! Zoya terluka saat ini," perintah Gama. Pria itu rasanya ingin mencekik Amanda hidup-hidup. Terlebih setelah tau Amanda sudah melukai istrinya. Gama sudah tau semua itu setelah tadi sempat pulang dan melihat CCTV di rumah. Tampak jelas apa yang Zoya dan Amanda perdebatkan sebelumnya hingga terjadi aksi jambak-jambakan dan berujung Zoya kalah melawan Amanda. Wanita gila itu sungguh keterlaluan. Gama geram sen
"Amanda?" Zoya tak menyangka jika Amanda ada di rumahnya. Rumah sang suami yang mana adalah mantan suami Amanda. Ya, bukannya wanita itu sedang dipenjara? Kenapa sekarang bisa bebas berada di rumahnya? Zoya berbalik melihat tak ada lagi Gama di sana. Suaminya sudah pergi menuju kantor polisi untuk kasus Pak Iwan. Sementara dia yang tadi rasanya ingin ikut justru terjebak di rumah bersama Amanda. Hati Zoya tak enak. Dia yakin jika Amanda memiliki niat tidak baik padanya. Terlebih sebelumnya Zoya pun pernah dijebak hingga Gama balas dendam dan memasukkan Amanda ke dalam penjara. "Kenapa? Takut sama aku? Bukankah kita bersahabat?" tanya Amanda dengan seringai tipis di wajahnya. "Tidak ada sahabat yang tega menyakiti! Kamu bukan sahabat aku, Amanda!" sahut Zoya dengan lantang. Dia berusaha untuk bisa membela diri dan tidak takut dengan Amanda. Zoya melihat ke sekitar dan tidak ada Bibi di sana. Apa mungkin Bibi pulang? Astaga... Berarti hanya dia saja dan juga wanita gil
Seringai tipis terlihat jelas dari wajah Pak Iwan. Mendengar apa yang Zoya katakan tentu Gama tidak bisa mengabaikan begitu saja. Pria itu segera memanggil Iwan tapi sayangnya orang itu sudah melarikan diri dan saat ini Pak Iwan sudah membawa kabur banyak uang yang tentunya membuat Gama murka. "Pak Iwan diduga sudah mengambil banyak uang perusahaan, Pak." Asisten Dion yang ikut dipanggil pun segera memberikan laporan itu pada Gama. "Brengsek!" sentak Gama hingga membuat Zoya terjingkat mendengarnya. "Sudah aku katakan padamu, Dion. Awasi Iwan! Aku sudah mulai curiga dari beberapa hari yang lalu. Kamu lalai, Dion! Saya nggak mau tau, sekarang juga kamu harus berhasil meringkus Iwan atau kamu saya pecat tanpa pesangon!" Di tengah sulitnya mendapatkan pekerjaan dan Gama yang sangat royal pada orang kepercayaannya, tentu saja Dion tidak mungkin mau dipecat hanya karena Iwan. Zoya memperhatikan gelagat Dion yang ketakutan. Banar saja, Asisten Dion segera pergi untuk mengurus Iw
"Sialan kamu Gama!" umpat Zein dan tak lama polisi pun kembali meminta Zein untuk masuk karena jam besuk sudah selesai. Gama sendiri sedang berada di lantai atas untuk diperiksa atas kasus yang ia laporkan. Semua sudah Gama persiapkan serta bukti kecurangan Zein yang akan semakin menjerat adik tirinya mendekam di sana lebih lama. Gama juga melaporkan beberapa orang dalam yang bekerja sama dengan Zein hingga mereka pun dipanggil untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut. "Terimakasih atas kerja samanya, Pak. Akan kami usut tuntas karena ini sudah sangat melanggar. Kami pun akan sangat tegas pada oknum yang terkait." Mereka pun saling berjabat tangan kemudian Gama pergi dari sana diikuti oleh Dion yang segera membukakan pintu mobil untuknya. "Langsung ke kantor!" "Baik Pak." Asisten Dion pun segera melajukan mobilnya melesat dari sana. Hari ini cukup membuat mereka lelah. Banyak urusan yang harus mereka kerjakan dengan cepat karena lengah dikit, perusahaan jatuh ke t
Sampai menjelang siang Gama tak kunjung datang. Zoya bekerja sendirian karena Asisten Dion juga tidak ada di sana. Hatinya tak tenang tapi dia tak berani untuk sekedar mengirim pesan pada Gama. Zoya takut jika dia akan menganggu. Namun otaknya berisik sekali dan memintanya untuk menanyakan kabar suaminya saat ini. "Kamu dimana, Mas? Aku khawatir sama kamu." Zoya sudah memegang ponselnya tapi ingin menelepon Gama rasanya berat sekali. Banyak yang ia pikirkan. Bagaimana jika Gama sedang sangat sibuk saat ini? Karena jika tidak, Gama tak mungkin lupa akan dirinya. Sementara yang dipikirkan kini tengah sibuk mengamankan perusahaan peninggalan sang Ayah. Gama sedang berada di kantor yang selama ini diurus Zein. Kebusukannya pun semakin terlihat. Ada beberapa aset yang memang sudah di lepas oleh Zein. Belum lagi ternyata banyak kasus yang tertutup rapat karana para karyawan yang tak berani angkat bicara. Uang lembur, kerajinan, dan bonus pun tidak dibayarkan. Bahkan gaji disunat
"Mas kamu mau kemana?" tanya Zoya saat melihat Gama yang bergegas beranjak dari duduknya kemudian segera masuk kamar mandi dengan tergesa-gesa. Jika didengar dari perintah Gama tadi pada si penelpon memang sepertinya ada hal yang urgent tengah menanti pria itu. Zoya jadi khawatir memikirkan masalah yang tengah Gama hadapi. Gama pun tidak menjawab dan langsung saja meninggalkannya mandi. "Ya Tuhan, tolong lindungi suamiku." Zoya bergegas menyiapkan pakaian ganti untuk Gama. Tak hanya itu, dia juga membuatkan kopi yang mungkin akan membuat pagi Gama sedikit santai. Biasanya dengan secangkir kopi, pria lebih bisa tenang dalam berpikir dan Zoya harap begitu. Dia pun kembali ke kamar untuk mempersiapkan diri. Kebetulan Gama sudah selesai dan terlihat buru-buru sekali. "Aku ada urusan ya Sayang. Kamu berangkat sendiri ke kantor nggak apa-apa 'kan?" tanya Gama mendadak membuat Zoya linglung. Pergerakan Gama yang sangat cepat dan belum rapi benar tapi sudah pamit membuat Zoya y
Zoya ketar ketir sendiri setelah tau ada karyawan dari Gama juga di sana. Kenapa dia tak kepikiran sampai sana. Tidak berpikir akan ada yang melihat mereka di tempat umum seperti ini. Sialnya ini di luar jam kantor yang mana sulit untuk berkelit jika sudah ketahuan begini. Orang yang melihat akan dirinya dan Gama pasti akan menaruh curiga. Terlebih di tempat seperti ini dan Gama begitu setia menemani. Zoya sedikit mengintip di balik pintu tempatnya bersembunyi. Dia menggigit bibir bawahnya saat Gama mulai mendongak menatap santai pada kedua karyawan pria itu. "Saya sedang mengantar seseorang," jawab Gama dengan sikap dingin yang membuat karyawan tersebut meringis mendengarnya. "Oh pasti spesial ya, Pak. Beruntung banget orang itu Pak." "Hhmm... Tentu." Hanya itu jawaban dari Gama dan kembali fokus pada ponsel yang pria itu pegang. Tak lama dari itu Zoya tertunduk saat mendengar notifikasi pesan masuk. Segera Zoya melihat ponsel yang kebetulan dia genggam dan ternyata G
"Kak!" Hal indah itu kembali terulang lagi. Zoya pasrah saat Gama sudah kembali merusuh. Mau memberontak pun tak akan mungkin bisa. Pria jika sudah mau mana bisa dibendung. Alhasil berujung desahan dan erangan manja kembali terdengar di dalam kamar itu. Sampai dimana Bibi yang ingin mengetuk pintu untuk memberitahu jika makanan sudah siap. Urung dilakukan saat mendengar suara-suara aneh yang membuat beliau paham jika majikannya tengah sibuk. "Sayang sungguh nikmat tubuhmu. Bagaimana aku tidak candu?" "Kak agak dipercepat sedikit!" "Apa kamu lebih suka yang seperti ini?" tanya Gama dengan mempercepat hentakan yang membuat Zoya mendongak mendesah. "Ya, aku lebih suka Kak." " Panggil namaku yang benar, Sayang!" pinta Gama dengan suara yang tak tertahan. Terdengar serak dan berat menandakan pria itu yang sudah terperangkap dengan gairah yang mendalam. "Panggilan apa yang aku harus berikan, Kak?" tanya Zoya di sela gerakannya ulah Gama yang menghentak beraturan.