"Saya ijin pulang lebih cepat, Pak. Pekerjaan saya sudah selesai dan ini berkasnya. Maaf jika saya ijin lagi hari ini karena ada kepentingan mendesak yang tidak bisa saya tunda," ujar Zoya yang kini sedang meminta ijin pada manajer divisinya. "Mau kemana? Jika masih ada yang harus direvisi lagi bagaimana? Kamu sejak kemarin ijin terus. Jangan mentang-mentang memiliki hubungan dengan Pak Gama, Zoya! Kamu harus profesional dalam bekerja." "Baik, Pak. Maaf sebelumnya tapi kali ini benar-benar penting, Pak." Zoya harus mendapatkan ijin itu. Dia tidak bisa menunda lagi. Penasaran juga dengan siapa wanita yang bersama suaminya hingga membuat Zein berubah sikap bahkan sekarang semakin jauh saja. "Satu kali ini saja, setelah itu saya tidak akan menerima lagi apapun alasannya. Tidak ada pengecualian dalam bekerja, Zoya! Jika kamu begini terus, maka bisa menimbulkan kecemburuan sosial antar karyawan. Kami pun tidak akan membeda-bedakan kalian." "Baik, Pak. Maaf dan terimakasih atas i
Zoya menggelengkan kepala dan segera berlari dari sana setelah melihat kedua orang yang sedang memadu kasih itu terdiam karena mendengar suara yang ia ciptakan. Bergegas Zoya meninggalkan tempat itu hingga membuat sekretaris dari Zein, Sarah. Beranjak dari duduknya dan tercengang melihat dia yang menangis tergugu berlari masuk lift. Zoya tak sanggup, dia tak bisa, tadi begitu bersemangat untuk memergoki Zein dan ingin tau siapa wanita yang bersama suaminya tetapi setelah melihat apa yang pria itu lakukan justru Zoya tak mampu mengatakan apapun lagi. Lidahnya kelu hanya untuk memanggil Zein. Aliran darahnya melambat dan otaknya mendadak berhenti. Semua yang ia lihat bukan hanya membakar hati tetapi melumpuhkan kerja organ di dalam tubuhnya. Langkah Zoya sedikit sempoyongan. Dirinya yang keluar dalam keadaan menyedihkan menarik perhatian semua karyawan. Banyak yang menatap iba ke arahnya. Namun seperti yang tadi Zoya lakukan saat baru datang. Zoya berusaha tak memperdulikan a
Zoya menggeret kopernya kemudian masuk ke dalam mobil. Dia agak canggung karena yang bersamanya adalah Gama. Namun mengingat apa yang sudah Zein lakukan membuatnya tak bisa hanya diam saja. Ini sudah menjadi keputusannya dan Zoya berharap apa yang dikatakan oleh Gama itu benar. Pria itu benar-benar membantu dan melindunginya. Zoya menoleh ke arah Gama yang mulai menyalakan mobil siap membawanya ke suatu tempat yang dia sendiri tidak tau kemana. Zoya memilih diam melihat jalanan karena masih bingung harus mengatakan apa pada Gama. Hening, tapi tak berlangsung lama. Gama kemudian menyalakan musik seakan tau jika mereka begitu kaku. Pria itu juga menciptakan suasana yang membuat Zoya berangsur merasa nyaman. Sialnya, lagu kedua mengibaratkan sakit hati seorang wanita yang dikhianati orang terkasih. Air mata Zoya kembali menetes merasakan efek dari lagu itu. Zoya mengusap air matanya yang mengalir perlahan dan mengangkat kepala agar tak lagi menitikkan air mata. Tak lama Gama p
"Mana aku tau? Kamu suaminya." Gama menuang air ke dalam gelas kemudian duduk dan menenggak minumannya. Dia melirik Zein yang sedang mengusap kasar wajahnya di ujung tangga. Wajah Zein terlihat memerah. Gama pun meletakkan kembali gelas di atas meja kemudian beranjak dari sana. Dia melangkah menuju tangga seraya memperhatikan Zein yang masih di sana. "Zoya pergi dari rumah," ucap Zein lirih. Gama tersenyum tipis kemudian menepuk pundak Zein tanpa mengatakan apapun. Gama melangkah santai menaiki tangga dengan kedua sudut bibir yang semakin mengembang. Dua hari setelah kepergian Zoya, membuat Zein tambah uring-uringan. Pria itu yang jarang pulang pun mendadak rajin karena berharap Zoya sudah kembali ke rumah. Namun sampai di rumah Zein tak juga mendapati Zoya yang membuat pria itu semakin ingin mengamuk saja. "Agghh! Brengsek!" PRANG Zein membanting seluruh barang yang ada di kamar hingga menimbulkan suara pecahan yang menggema hingga terdengar ke kamar sebelah. Ga
"Ahhhh!" PRANG "Di mana kamu, Zoya?" teriak Zein seperti orang gila hingga membuat Amanda yang baru datang bingung melihat itu. "Zein kamu kenapa? Ini.... Astaga Zein, semua hancur, Sayang." Zein mengacak rambutnya dan bertolak pinggang setelah itu. Dia begitu marah karena proses perceraian terus berjalan dan Zoya sulit ia temukan. "Apa ini karena Zoya?" Zein melirik Amanda yang menatapnya penuh tanya. Terlihat dari kedua mata wanita itu jika tak terima dengan apa yang ia lakukan. "Jelas karenanya, aku sulit menemukan dia, Amanda. Perceraian itu harus dihentikan. Aku tidak mau bercerai dengannya." "Hello Zein, why? Bukankah ini sudah konsekuensi dari hubungan kita? Jangan kaku, Sayang! Perceraian itu justru akan sangat membahagiakan untukmu. Lihat aku!" Amanda mendekati Zein dan merangkul pundak Zein. Mencium dan memagut dengan tangannya yang mulai nakal menggoda tubuh Zein. "Akh lepas Amanda! Aku sedang marah." Zein melepaskan diri dari Amanda dan itu sem
"Ternyata kamu ada main dengan Zoya, hhmm? Sudah berapa kali dia menjamumu hingga begitu mudah kamu membantunya bercerai dariku?" "Tutup mulutmu, Zein! Kamu hanya membuat hati dan otakmu semakin terbakar. Tanpa aku menjawab kamu tentu tau bagaimana wanita yang sudah kamu sia-siakan." Gama tersenyum miring kemudian melangkah pergi dari sana menyusul Zoya sedang Zein mengumpat kesal dengan wajah yang memerah. "Jangan kamu pikir ini sudah selesai, Gama! Ternyata kamu musuh dalam selimut. Bajingan kamu, Gama!" Zoya berlari menjauh dari sana. Ucapan Zein sungguh membuatnya kembali terluka. Tuduhan itu menjatuhkan harga dirinya dan semakin membuat Zoya membenci mantan suaminya. "Zoya!" Langkah kaki Zoya terhenti saat mendengar teriakan Gama yang memanggilnya. Kedua matanya terpejam segera menghapus air matanya sebelum berbalik menatap Gama. "Ada apa, Kak?" tanya Zoya. Kedua ujung bibirnya terangkat dengan terpaksa. "Mau kemana? Mobilku di sana." Gama menunjuk ke arah
"Aku sudah cukup bersabar selama ini, Zein. Apa yang aku miliki kamu kuasai. Kurang apa aku, hah?" "Aku menguasai apa? Hanya Amanda, bukan yang lainnya," jawab Zein dengan mendesis menahan sakit di tangannya. Gama belum melepaskan sama sekali bahkan tarikannya semakin kencang membuat Zein semakin meringis tak tertahan. Gama terlihat sangat emosi sekali. "Hanya kamu bilang? Gunakan otakmu dengan benar! Jangan hanya untuk berpikir mesum saja! Tidak heran jika kamu kehilangan Zoya. Itu semua karena kamu terlalu bodoh!" Gama melepaskan tubuh Zein dengan mendorongnya kemudian melangkah meninggalkan adiknya yang tersungkur di lantai. Dia tak perduli jika Zein akan membencinya. Gama bergegas masuk kamar tanpa memperdulikan Zein yang berteriak memanggilnya. Bahkan banyak ancaman yang keluar dari mulut Zein. Gama menghempaskan tubuhnya di sofa. Terdiam sejenak dan merebahkan tubuhnya di sana kemudian menatap ke arah langit-langit kamar. Bayangan akan masa lalu kembali datang me
"Zoya!" "Kak Gama!" Zoya berlari mendekati Gama yang baru saja hendak masuk rumah. Dia bersembunyi di belakang tubuh Gama melindungi diri dari Zein yang akan menangkapnya. Terlihat Zein menghentikan langkahnya dan menatap tak suka pada Gama. Begitu pun dengan Gama yang kini menggulung lengan kemejanya dengan tatapan tajam ke arah Zein. "Mau apa kamu ke sini? Bukankah semua sudah selesai? Masih tidak terima juga? Apa kamu buta hingga tidak melihat bagaimana sikap Zoya padamu?" cecar Gama. Zein berdecih mendengar itu. Pria itu pun melangkah maju hingga membuat Zoya semakin mengeratkan cengkeramannya di kedua sisi kemeja Gama. "Jangan takut! Ada aku, Zoya. Maaf karena aku datang terlambat," bisik Gama. Tangan pria itu menyentuh tangan Zoya yang terasa dingin. "Aku takut, Kak. Jangan biarkan Zein kembali menyakitiku!" "Hhmm... " Gama kembali menatap Zein yang tersenyum miring melihat kedekatan mantan istri dengan sang Kakak. Zoya tau, Zein sangat marah tapi Zoya tid
Zoya ketar ketir sendiri setelah tau ada karyawan dari Gama juga di sana. Kenapa dia tak kepikiran sampai sana. Tidak berpikir akan ada yang melihat mereka di tempat umum seperti ini. Sialnya ini di luar jam kantor yang mana sulit untuk berkelit jika sudah ketahuan begini. Orang yang melihat akan dirinya dan Gama pasti akan menaruh curiga. Terlebih di tempat seperti ini dan Gama begitu setia menemani. Zoya sedikit mengintip di balik pintu tempatnya bersembunyi. Dia menggigit bibir bawahnya saat Gama mulai mendongak menatap santai pada kedua karyawan pria itu. "Saya sedang mengantar seseorang," jawab Gama dengan sikap dingin yang membuat karyawan tersebut meringis mendengarnya. "Oh pasti spesial ya, Pak. Beruntung banget orang itu Pak." "Hhmm... Tentu." Hanya itu jawaban dari Gama dan kembali fokus pada ponsel yang pria itu pegang. Tak lama dari itu Zoya tertunduk saat mendengar notifikasi pesan masuk. Segera Zoya melihat ponsel yang kebetulan dia genggam dan ternyata G
"Kak!" Hal indah itu kembali terulang lagi. Zoya pasrah saat Gama sudah kembali merusuh. Mau memberontak pun tak akan mungkin bisa. Pria jika sudah mau mana bisa dibendung. Alhasil berujung desahan dan erangan manja kembali terdengar di dalam kamar itu. Sampai dimana Bibi yang ingin mengetuk pintu untuk memberitahu jika makanan sudah siap. Urung dilakukan saat mendengar suara-suara aneh yang membuat beliau paham jika majikannya tengah sibuk. "Sayang sungguh nikmat tubuhmu. Bagaimana aku tidak candu?" "Kak agak dipercepat sedikit!" "Apa kamu lebih suka yang seperti ini?" tanya Gama dengan mempercepat hentakan yang membuat Zoya mendongak mendesah. "Ya, aku lebih suka Kak." " Panggil namaku yang benar, Sayang!" pinta Gama dengan suara yang tak tertahan. Terdengar serak dan berat menandakan pria itu yang sudah terperangkap dengan gairah yang mendalam. "Panggilan apa yang aku harus berikan, Kak?" tanya Zoya di sela gerakannya ulah Gama yang menghentak beraturan.
Kembali ke kamar setelah sejenak bermanja dengan suami. Zoya merasa hatinya berbunga-bunga saat dia sangat diratukan. Tanpa berjalan, Gama senantiasa mengangkat tubuhnya. "Kak mau kemana?" tanya Zoya setelah merasakan ranjang empuk yang tadi sempat berantakan. Tak begitu rapi tapi cukup nyaman. Spreinya pun butuh diganti besok. "Ke balkon sebentar Sayang." "Mau apa, Kak? Nggak langsung tidur? Kamu nggak ngantuk?" tanya Zoya yang tak mau ditinggal. Entah mengapa hawanya ingin berduaan saja. Namun Zoya malu untuk mengatakan itu, tapi jika Gama peka akan gestur yang diperlihatkan oleh Zoya, tentu pria itu harusnya tau jika sang istri sedang manja. "Hanya merokok sebentar Sayang." "Sejak kapan? Bukannya Kakak nggak merokok?" tanya Zoya yang keberatan akan itu. Merokok? Baru tau Zoya jika Gama suka dengan nikotin itu. "Hanya satu batang, Sayang. Sebentar ya Sayang!" Gama mengecup bibir Zoya. Laki-laki jika sudah ingin merokok mana bisa ditahan-tahan. Gama bukan perokok b
Zoya tersenyum saat Gama meraih tubuhnya dan membantu untuk membersihkan. Sudah lama tak ia rasakan diratukan hingga seperti ini. Rasanya malu tapi dia suka, seperti ada kupu-kupu yang tengah menggelitik perutnya. "Kak... " Zoya terpekik saat Gama begitu isengnya meremas miliknya. Geregetan sekali dengan Gama padahal sedang melayang diperlakukan lembut oleh Gama tapi pria itu dengan isengnya asal remas saja hingga mengejutkan dirinya. "Gemas Sayang, salah siapa malah melamun? Hehehe Apa masih kurang lemas? Aku siap menambahkan jika kurang." "Kak jangan menggodaku. Kita akan terus begini jika kamu tidak melepaskanku. Aku duluan," ucap Zoya yang kemudian melangkah gontai meraih handuk dan mengenakannya kemudian segera keluar dari kamar mandi. Dia meninggalkan Gama yang masih sibuk di dalam. Salah siapa sejak tadi menggodanya saja hingga tak kunjung selesai. Zoya pun tidak ingin lagi terjebak di dalam yang berujung akan mengulang kembali kegiatan panas mereka. Bukan tak
Zoya terpekik saat tubuhnya dijatuhkan dengan lembut oleh Gama di ranjang yang akan menjadi saksi cinta mereka. Sekarang Zoya sudah tak berbalut apa-apa bahkan dengan mudah Gama pun bisa mengeksekusinya. Tangannya meremas sprei saat rasa yang ia rindukan kembali dapat ia rasakan tapi kali ini rasa itu berbeda, Gama sungguh luar biasa. Rasa itu membuat candu karena lidah Gama yang begitu lihai menyapa sesuatu di bawah sana. "Kak.." "Sebut namaku, Sayang!" pinta Gama yang mendongak menatapnya. Zoya pun kembali mendongak saat lidah itu kembali menyapa. Mulutnya terbuka dan desahan kembali tercipta. "Kak Gama.. Akh... " Sungguh luar biasa rasa yang Gama ciptakan karena lidan pria itu yang begitu lincah menciptakan rasa nikmat yang tak bisa didefinisikan hingga cengkeraman tangan Zoya semakin kencang. Sprei pun mulai berantakan akan dirinya yang tak tahan. "Kak aku sampai... " Kalimat itu keluar sebelum gelombang cinta datang. Rasanya sangat luar biasa dan Gama tersenyum
"Kak nggak mau! Belum apa-apa sudah minta dimandikan. Aku malu loh Kak!" Zoya menolak Gama yang kini sudah membawanya kembali masuk kamar. Bagaimana Zoya tak menolak jika malam pertama saja belum, tapi dia sudah diminta memandikan suaminya. Gama betul-betul sangat meresahkan. "Salah siapa membuatku pusing, Sayang?" "Ya tapi nggak gitu, Kak. Aku malu, setidaknya pengenalan dulu." "Bukannya kamu sudah mengenalku, hhm? Kita sudah sama-sama tau anatomi manusia Sayang. Bisa kenalan nanti di dalam sana." Gama kali ini tak terbantahkan. Zoya terus dibawa masuk ke dalam kamar mandi. Salah siapa membuat gemas. Sekarang tanggung sendiri akibatnya. "Kak jangan buka dulu! Aku tunggu di luar." Hawanya Zoya ingin kabur saja. Mereka sudah berada di dalam kamar mandi dan Gama sudah membuka kancing kemeja yang pria itu kenakan. Sontak Zoya membuang muka. Malu meskipun bukan lagi pengalaman pertamanya melihat dada bidang seorang pria. Dia janda, bukan gadis perawan tapi entah men
Di dalam lemari itu didominasi dengan lingerie dan pakaian dalam yang berwarna senada. Memang ada pakaian lainnya tapi tidak banyak dan jika dilihat ukurannya pas, warnanya kontras, dan modelnya kekinian. Padahal Zoya sendiri tidak pernah membeli modelan seperti ini. Dia juga tidak mengatakan ukuran dan warna kesukaannya tapi yang tersedia benar-benar sesuai ukuran dan warna yang cocok untuk dirinya. "Kak aku serius. Jangan bikin aku kesel! Beneran ini Pak Dito yang nyiapin? Tau dari mana ukuran aku? Atau kamu yang bilang? Malu loh aku Kak." "Untuk apa malu Sayang? Dito 'kan asisten aku. Ya sudah sepantasnya dia menyiapkan itu. Nggak ada yang aneh. Nggak ada juga yang mau bikin kamu malu." Entah mengapa kali ini Gama membuat Zoya kesal. Zoya mengambil pakaian tidur yang masih tertutup dan aman dipakai kemudian masuk ke dalam kamar mandi. Hawanya kok sewot menghadapi Gama. Baru kali ini semenjak dekat, Gama tak sepemikiran dengannya dan cenderung nyebelin. Hati yang tadi berbu
Zoya merengut saat jawaban dari Gama tak dia dapatkan. Pria itu hanya tersenyum miring dan meraih tangannya untuk dikecup. Bukan itu yang Zoya inginkan. Zoya ingin Gama menjawab akan hal yang membuatnya penasaran. Mana tau benar ada CCTV yang terhubung pada Asisten Dion. Kalau begitu jelas Zoya harus berhati-hati. Dia tidak boleh terlalu intens dengan Gama. Malu sekali jika ada yang melihat adegan mereka. Zoya membayangkan orang yang bersangkutan seperti sedang menonton live streaming adegan panas antara dia dan Gama. Sampai di rumah besar keluarganya Prasetyo, Zoya kembali mengalami kesulitan. Ingat betul di setiap sudut ruangan memiliki kenangan buruk yang sulit dilupakan. "Turun, Sayang! Sudah jangan kamu ingat apalagi kamu pikirkan! Kita masuk ya." Gama pun mengajak Zoya agar segera turun dan masuk. Gama lebih dulu turun kemudian membukakan pintu mobil untuk Zoya. Perlahan Zoya pun keluar dan masuk ke dalam rumah. Suasana sore di rumah itu kembali menyapa. Suasana
Zoya hampir kewalahan mengikuti pergerakan lidah Gama yang begitu nakal. Agaknya Gama tak sabaran. Begitu menggoyang dan mengabsen tanpa terlewatkan. Zoya begitu sulit mengimbangi, sepertinya nanti malam dia akan habis di tangan Gama. Masih sangat ingat betul, bagaimana rasanya setelah bermain dengan Gama kala itu. Sangat berbeda sekali saat dia bersama Zein. Berjalan saja rasanya sangat mengganjal seperti ada yang tertinggal di bawah sana. Apa malam ini pun ia akan merasakan hal yang luar biasa? Mendadak Zoya merinding sendiri memikirkan itu. Tubuhnya tiba-tiba geli akan sentuhan tangan nakal Gama. "Kak!" pekik Zoya saat ia merasakan tangan besar itu meraih sesuatu yang sangat sensitif milik Zoya. Rasanya sesuatu di bawah sana ikut berdenyut. Zoya resah merasakan itu. Gama memang semeresahkan itu hingga dia tak tahan dan mengeluarkan desahan yang membuat Gama tersenyum nakal. "Kenapa, Sayang?" bisik Gama. "Kak tangan kamu!" Zoya mendorong tangan Gama agar tak merai