"Zoya!" "Kak Gama!" Zoya berlari mendekati Gama yang baru saja hendak masuk rumah. Dia bersembunyi di belakang tubuh Gama melindungi diri dari Zein yang akan menangkapnya. Terlihat Zein menghentikan langkahnya dan menatap tak suka pada Gama. Begitu pun dengan Gama yang kini menggulung lengan kemejanya dengan tatapan tajam ke arah Zein. "Mau apa kamu ke sini? Bukankah semua sudah selesai? Masih tidak terima juga? Apa kamu buta hingga tidak melihat bagaimana sikap Zoya padamu?" cecar Gama. Zein berdecih mendengar itu. Pria itu pun melangkah maju hingga membuat Zoya semakin mengeratkan cengkeramannya di kedua sisi kemeja Gama. "Jangan takut! Ada aku, Zoya. Maaf karena aku datang terlambat," bisik Gama. Tangan pria itu menyentuh tangan Zoya yang terasa dingin. "Aku takut, Kak. Jangan biarkan Zein kembali menyakitiku!" "Hhmm... " Gama kembali menatap Zein yang tersenyum miring melihat kedekatan mantan istri dengan sang Kakak. Zoya tau, Zein sangat marah tapi Zoya tid
"Aku pulang ya. Besok aku kembali, aku ajak kamu belanja kebutuhan yang sudah habis. Konten masih berjalan 'kan?" "Masih Kak, tapi aku... " Zoya menghentikan ucapannya. Tangannya menahan Gama hingga pria itu melirik tangan mereka. "Maaf Kak." Zoya melepaskan tangannya dengan gugup. Dia bingung ingin mengatakan apa pada Gama. Sampai dimana pria itu meraih tangannya. "Ada apa, Zoya?" tanya Gama lembut seolah mengerti akan kekhawatiran Zoya. "Aku... Aku takut sendiri Kak. Bisa tidak jika Kakak tetap di sini? Aku takut Mas Zein kembali." Meskipun dia tau Zein tadi babak belur dan sulit untuk berjalan. Dia pun sudah meminta warga untuk mengusir Zein jika pria itu datang. Tetap saja Zoya tidak semudah itu bisa tenang. Zein bisa melakukan apapun terlebih pria itu pasti tau jika Gama selalu pulang dan tidak pernah menginap. Zoya takut hal itu dijadikan kesempatan oleh Zein untuk kembali mengganggunya. Zoya tidak ingin kejadian buruk kembali terjadi. Maka dari itu Zoya memi
Gama perlahan membuka mata membuat rona di wajah Zoya semakin memerah. Debaran jantungnya pun semakin kencang hingga Zoya mengeratkan cengkeraman tangannya pada jas Gama. Tatapan mata pria itu begitu teduh dan hembusan nafas Gama menghangat menerpa wajahnya yang semakin terasa panas. Zoya dibuat mati gaya. Pesona Gama yang sangat diagungkan oleh banyak wanita membuatnya hampir hilang akal. Setelah bercerai dan membenci Zein, dia baru sadar jika Gama memiliki pesona yang kuat. Pantas saja duda ini sangat diidamkan oleh para wanita. Begitu kuat pesonanya hingga tidak diragukan lagi. "Hati-hati! Aku tidak akan meninggalkanmu," ucap Gama lirih tetapi terdengar beda di telinga Zoya. Akh mungkin dia saja yang terlalu berlebihan. Zoya pun segera melepaskan diri dari Gama dan perlahan mengatur jarak. Dia berjongkok mengambil berkas yang terjatuh di lantai dan kembali berdiri di samping pria itu. Keduanya pun menuju restaurant yang akan dijadikan tempat meeting dengan klien p
Sebelum Amanda menjadi istri Gama, Amanda adalah teman Zoya satu divisi. Mereka dekat dan lumayan akrab. Bisa dikata bersahabat. Keduanya termasuk karyawati yang menonjol dari segi penampilan dan juga inner beauty yang mereka miliki. Keduanya juga menjadi incaran kaum Adam sampai di mana Gama memilih Amanda untuk dijadikan istri. Zoya pun mendukung hubungan Amanda dengan Gama hingga menikah sampai dimana Zoya yang kala itu masih dekat dengan Amanda berkenalan dengan Zein. Namun setelah Amanda tak lagi diperbolehkan bekerja oleh Gama karena pernah keguguran membuat hubungan mereka tak lagi sama. Amanda menjauh setelah menjadi nyonya besar dan tak lagi menyapa setiap kali bertemu. Sampai di mana Zoya memiliki hubungan dengan Zein. Naasnya, pernikahan Amanda dan Gama tak berlangsung lama. Hanya dua tahun dan itu pun saat Zein melamar, Amanda dan Gama justru mengurus perceraian. Jika ditanya masalah apa yang mereka hadapi tentu Zoya tidak tau menau akan itu. Zoya masuk ke
"Kamu gila, Amanda! Apa yang kamu lakukan pada Zoya, hah? Nggak waras kamu! Yang boleh menyakiti Zoya itu hanya aku bukan siapapun! Bukan kamu atau yang lainnya!" sentak Zein setelah tau apa yang Amanda lakukan di luar pantauannya. Zein sendiri baru pulang dari luar kota karena pekerjaannya yang mengharuskan pergi, maka dari itu dia kecolongan atas apa yang Amanda lakukan. Bagi Zein, Amanda sudah sangat keterlaluan. Bukan dia yang mengajari tetapi wanita itu sendiri yang berniat mencelakai. Andai Amanda mengatakan rencana gila itu padanya, tak mungkin dia menyetujui kegilaan wanita itu. "Aku nggak perduli, Zein! Aku nggak suka lihat dia dan Gama. Dia itu selalu beruntung dan aku? Aku gimana? Kamu sudah menceraikannya pun tidak mengubah apapun untuk hidupku, Zein!" "Kamu masih memikirkan dia bukan? Kamu masih mencintainya 'kan? Sekarang Zoya justru memiliki segalanya dan dengan mudah dia mendapatkan pengganti darimu, jabatan dan perhatian dari Gama." Kedua mata Amanda begit
"Kakak mau kemana?" Zoya meraih lengan Gama yang hendak pergi. Terlihat jelas emosi Gama meluap saat ini. Kedua mata pria itu terlihat memerah sampai di mana Zoya takut jika Gama akan berbuat nekat. Apalagi setelah dia tau lawannya cukup gila. Zein dan Amanda memang pas. Selain sama-sama tidak tau diri, mereka juga tidak memiliki belas kasih. "Aku akan menyelesaikan masalah ini, Zoya." Zoya menggelengkan kepala dan semakin mengeratkan pegangannya pada Gama. "Jangan tinggalin aku, Kak! Aku takut Amanda kembali datang," pinta Zoya enuh permohonan. "Di luar sana ada yang melindungimu, Zoya. Aku sudah memerintahkan anak buahku untuk menjagamu. Jangan takut! Aku akan menemui Amanda karena masalah ini pun ada kaitannya dengan hubungan kami." "Tapi Kak... " Gama menyentuh pipi Zoya dan mengusapnya dengan ibu jari. "Aku tidak akan lama," ucap Gama lembut tetapi kedua mata pria itu tak bisa menutupi kemarahan yang tengah mendera dalam jiwanya. Dia menarik nafas dalam dan meng
"Akkhh! Apa yang kamu lakukan padaku, Mas? Mas tolong aku! Akh... Aku sangat menginginkanmu, Mas. Panas sekali rasanya. Aku tidak tahan. Ini sangat menyiksa, Mas." Amanda tak bisa diam. Efek obat yang Gama berikan membuat wanita itu menggeliat tak karuan. Tubuhnya teras panas hingga ia ingin sekali melucuti semuanya tanpa sisa. Amanda terus mendesah hingga suaranya begitu terdengar menggairahkan. Bergerak meminta sentuhan dari pria yang saat ini berada di hadapannya. Amanda memohon pada Gama untuk bisa disentuh oleh pria itu. Amanda terus meronta dan meminta tetapi Gama hanya diam menatap Amanda dengan tatapan jijik. "Gimana rasanya, Amanda?" "Aku mohon jangan siksa aku, Mas! Lepaskan aku!" pinta Amanda disela desahan yang membuat Gama menyeringai tipis. Puas sekali melihat Amanda yang sedang merintih, memohon dan berharap sentuhan itu datang darinya. Gaun malam yang Amanda kenakan tersingkap karena gerakan yang semakin brutal. Sayangnya tubuh Amanda diikat oleh G
"Bajingan kau, Gama! Amanda hampir gila jika aku tidak datang. Dia hampir mati olehmu!" sentak Zein begitu membela. "Dan itu setimpal dengan apa yang telah Amanda lakukan padaku dan Zoya. Kenapa? kamu mau juga? Katakan saja! Karena kalian itu sama." BUGH Kali ini Gama kena bagian pipi kanan yang membuat pria itu menyeringai mengusap darah segar yang keluar dari ujung bibirnya. Namun bukan Gama jika diam tak membalas. Sudah cukup memberikan kesempatan dan kali ini adalah waktunya pria itu menyerang. Zoya yang menyaksikan meringis saat baku hantam kembali terjadi. "CUKUP! HENTIKAN! KELUAR KALIAN BERDUA DARI RUANGANKU! KALIAN SAMA GILANYA SEPERTI AMANDA! APA SELALU BEGINI CARA KALIAN MENYELESAIKAN MASALAH?" Zoya berteriak hingga pergerakan kedua pria itu terhenti. Kedua mata Zoya memerah menatap Zein dan Gama yang kini menoleh ke arahnya. "Keluar dari sini jika kalian hanya ingin adu kekuatan! Tempat ini bukan untuk kalian, dan kamu Mas Zein, buka mata kamu! Amanda itu
"Ayo mandi! Pak Gama meminta kamu untuk datang ke rumah sakit." Dito mendekati Sena setelah panggilan dari atasannya dimatikan. Langkahnya membawa pada wanita itu yang bergelung selimut di lantai. Masih tanpa busana jika dilepas selimutnya. Dito pun membongkar selimut itu membuat tubuh Sena terguling sedikit menjauh. "Kamu ini!" pekik Sena tidak terima. "Tidak mungkin kamu ke rumah sakit dengan menggunakan selimut seperti ini, atau mau telanjang saja, hhm?" tanya Dito santai tapi dia bergerak membuka ikatan di kaki Sena dan membantu wanita itu untuk beranjak dari sana. "Mau apa?" tanya Sena dengan selidik. "Mau memandikan kamu," jawab Dito kemudian meraih lengan Sena agar segera masuk ke dalam kamar mandi. "Lepas! Aku bisa sendiri!" sentai Sena dengan suara bernada kesal. Sena benar-benar masih tidak terima karena semalam dia sempat dibuat tersiksa oleh Dito. "Aku nggak mau kamu siksa lagi! Aku tau di dalam sana pasti kamu akan kembali menyentuhku!" "Percaya di
Sejenak Dito membiarkan dulu Sena menggatal dengan miliknya. Tak juga melepaskan tangannya yang kini masih menempel mengerjai Sena. "Buka Kak!" "Apanya?" tanya Dito yang kini menunduk memperhatikan Sena. Wanita itu sangat liar dan tatapannya sangat menggoda. Belum lagi lidahnya yang menjulur membuat Dito semakin ingin merasakannya. "Celananya." Dito tersenyum miring mendengar itu kemudian meraih pipi Sena dan mengapitnya hingga membuat wanita itu mengerang kesakitan. "Kamu minta milikku, kamu mengemis padaku hanya ingin dipuaskan oleh Kacung sepertiku? Sayangnya Kacung ini tidak suka denganmu. Wanita jahat yang tega menyakiti wanita lain. Kacung ini lebih suka dengan wanita baik-baik yang masih lugu, sekali pun kamu sangat menggoda imanku!" "Jangan sok jual mahal! Milikmu sudah berdiri dengan kencang." "Ya, aku sudah katakan tadi. Jika aku tergoda denganmu, tapi aku tidak akan menyentuhmu lebih dalam jika kamu belum mengakui kesalahanmu di depan keluar dan orang b
"Jangan!" Sena kembali melarang tetapi Dito membuat wanita itu semakin belingsatan dan tak bisa diam. Sena kewalahan merasakan gejolak yang menggebu meminta dituntaskan. Dito benar-benar gila malam ini. Sisi kalemnya tertutup karena Sena yang kurang ajar dan licik tentunya. Namun sebagai pria normal tentu dia merasakan tubuhnya bereaksi dengan sempurna. Hanya saja Dito mampu menahan dan terus saja dia mengerjai Sena. Tangan Dito bergerak semakin menyiksa dan lidahnya ikut serta memberikan sapuan di tubuh Sena yang membuat wanita itu semakin bergairah. "Ampun, Kacung!" "Panggil namaku dengan benar! Aku bukan kacungmu!" sahut Dito dengan suara mendesis pada Sena yang kini sudah tak lagi mengenakan apapun. Dito sempat terpanah kembali melihat bagian inti Sena yang mulus terurus. Sepertinya memang Sena merawatnya dengan baik sama seperti Sena merawat tubuhnya hingga terlihat seksi begini. "Aku nggak kuat! Sudah! Jangan buat aku... " "Apa? Sange? Kamu sange parah? M
"Kamu pikir aku perempuan gampangan?" sahut Sena tak terima dengan apa yang Dito katakan. "Bukannya seperti itu? Kamu gampang terpikat hanya karena paras yang tampan hingga membuat kamu menjadi gila dan menyakiti sesama wanita." "Tapi bukan kamu yang hanya kacung!" sahut Sena menciptakan seringai tipis di wajah Dito. Begini membuat penilaian Dito pada Sena bertambah semakin buruk saja. "Aku kacung tapi aku bukan kriminal seperti kamu! Sekarang waktunya mandi, sudah selesai makannya, Njing?" tanya Dito yang semakin membuat Sena marah. "Sialand kamu! Pergi kamu dari sini! Aku bukan binatang!" sentak Sena tidak terima. Tatapan wanita itu semakin tajam pada Dito yang tertawa melihat kemarahan Sena dengan mulut wanita itu yang kotor. "Ya kamu memang bukan binatang tapi kelakuan kamu sudah seperti binatang yang bisa mencabik sesamanya. Mandi sekarang!" Dito tidak minat walaupun Gama memberikannya kebebasan. Awalnya dia terpesona melihat Sena apalagi postur tubuh wanita itu
"Akh! Ampun Kak!" teriak Sena setelah ikat pinggang Gama melingkar di kedua tangan wanita itu dan Gama menariknya hingga tangan Sena terasa sakit. Tak cukup sampai di situ, Gama pun menarik kedua kaki Sena dan mengikatnya dengan dasi yang ia kenakan hingga wanita itu tidak lagi bisa melakukan apapun. "Kamu pikir aku akan sudi menyentuhmu lebih dalam lagi, hmm? Menyentuhmu sama saja aku menyentuh seorang pembunuh. Najis!" ujar Gama dengan sinis. Tangan Gama mengalir kedua pipi Sena dan menariknya hingga wanita itu mendongak kesakitan. Kedua mata Sena pun basah dan menggeleng meminta dilepaskan. "Kak aku mohon, lepaskan aku! Ampun Kak." "Permohonanmu sudah terlambat Sena. Aku akan menyiksamu sebelum memasukkanmu ke dalam penjara. Kamu, tanganmu, dan otakmu, aku pastikan akan lumpuh!" Kedua mata Sena terbelalak mendengar itu. Gurat ketakutan semakin nyata terlihat. Sena kembali menggelengkan kepala dan mencoba memberontak. tetapi tidak bisa. Gama meraih selimut dan m
Sena tersentak saat Gama menarik gaun tepat di punggung belakang wanita . Kedua mata Sena terbelalak saat jarak mereka sangatlah dekat, bahkan hembusan nafas Gama begitu terasa menyapu tengkuknya. Hangat, membuat tubuh meremang. Seketika seringai tipis di wajah Sena terlihat saat ini. Kena! Sena yang memasang perangkap dan Gama yang terjebak. Sena hanya diam saat Gama terindikasi menikmati aroma tubuh wanita itu. Cengkraman tangan Gama begitu kuat tapi kali ini tidak membuat Sena ketakutan. Justru ingin mendapatkan sentuhan yang lebih dari ini. Mungkin, tak hanya luarnya saja melainkan lebih dalam lagi juga bisa. Tunggu saja! Gama pasti tergoda. Kucing mana ada yang mengabaikan umpannya. "Buka Kak!" pinta Sena dengan suara yang manja. Sengaja sekali memang wanita ini. Mendapati Gama yang justru mengikis jarak bahkan mendekap erat, justru membuat Sena semakin menjadi. Wanita itu seperti di atas awan saat ini. "Mau dibuka, hhm?" "Iya, Kak. Aku mau bersih-bersih dulu.
"Aku sungguh-sungguh, Pah. Kak Gama baik dan nanti akan menjadikan aku istri sah juga. Bukan hanya pengantin pengganti di pelaminan. Papah tenang saja!" tutur Sena. Jawaban yang membuat Bara lega. Setidaknya sudah mendengar dari Sena langsung dan jawaban itu juga yang menciptakan seringai tipis di wajah Gama. Memang ini yang Gama mau. Akhirnya bisa membuat Sena menurut dan sebentar lagi bisa mengendalikan Sena, menyiksa wanita itu sampai benar-benar dia puas. Gama tidak takut dengan tuntutan dari mana pun sekalipun dari keluarga. Dia akan menuntut balik atas bukti pembunuhan yang hendak Sena lakukan. Sayangnya Zoya cukup kuat bertahan meskipun masih koma. "Bagaimana, Paman? Sudah mendengar sendiri bukan jawaban dari putri anda. Kadang kecemasan itu tercipta karena adanya kesalahan yang diperbuat, karena kesalahan besar hingga membuat orang tersebut merasakan tingkat tertinggi dari kecemasan itu sendiri." " Hati-hati Paman, terlalu cemas bisa masuk rumah sakit!" ujar Gama
Kedua mata indah dengan riasan yang begitu elok dipandang tak seirama dengan kelopak yang sudah menampung banyak air di sana. Terlihat jelas tatapan penuh ketakutan dan kekecewaan itu dari mata Sena tapi kedua bibir wanita itu semakin merapat tak mengatakan apa-apa. Sena yang dikenal sangat berani dan lantang dalam berbicara, kini hanya bisa diam tanpa menjawab pertanyaan sang Papah yang mendekat. Bukankah ini waktunya untuk mengatakan yang sesungguhnya? Mengatakan apa yang terjadi dan apa yang Gama lakukan pada wanita itu? Namun ancaman dari Gama mampu membuat Sena bungkam. Tangan Sena mencengkeram kedua sisi gaun yang dikenakan. Gama pun menunduk melirik tajam dan meraih tangan Sena saat Bara begitu memperhatikan. gerak gerik putrinya. "Ada apa ini, Gama? Paman tunggu dari tadi tidak ada acara ijab Kabul yang harusnya sudah diselenggarakan di awal acara. Sudah berjam-jam bahkan sampai tiba petang tidak ada acara itu," tanya Bara dengan wajah bingung dan tidak terima kar
"Selamat ya, Pak. Saya tidak menyangka jika Bapak akan menikah dengan wanita lain. Saya pikir Bapak akan sangat setia dengan satu wanita, tapi ternyata Bapak... Maaf ya, Pak. Sekali lagi selamat atas pernikahannya." "Iya Pak, istri anda cantik, tapi kasihan Zoya. Maaf ya, Pak. Jangan pecat kami! Kami hanya mengeluarkan uneg-uneg kami atas apa yang kami lihat. Bapak keterlaluan! Kasihan Zoya, Pak. Tapi saya ucapkan selamat." "Iya, kami mengucapkan selamat dan kami pamit pulang karena tidak ingin bersenang-senang di atas penderitaan Zoya. Andai tetap Zoya, pasti kami akan menikmati sajian yang ada. Sayangnya bukan Zoya. Jadi kami. memutuskan untuk segera pamit." "Iya Pak, kami akan menjenguk Zoya. Maaf Pak, kami pamit. Permisi, di sini hati kami seperti tercabik-cabik. Sama halnya dengan hati Zoya saat ini andai tau kalau Bapak ternyata mencari pengantin pengganti. Padahal gagalkan saja gampang." "Eh jangan begitu! Pemikiran orang kaya itu beda. Mereka tidak bisa dianggap ga