Zoya terdiam masih berdiri menunggu Gama yang terus sibuk tanpa memperdulikan dirinya. Sudah hampir satu jam berlalu setelah pria itu menahannya untuk tetap di sana. Terus menunggu tetapi Gama nampak santai saja tanpa menyentuh berkas yang ia berikan. Zoya frustasi sendiri, kakinya pegal sekali tetapi Gama tetap cuek seakan tak minat. Sengaja menahannya tanpa kejelasan. Rasanya Zoya ingin mengumpat pria itu tapi semua hanya di angan karena dia tak seberani yang dibayangkan. Zoya mendengus kesal, terdengar helaan nafas kasar darinya yang ternyata bisa menarik hati pria itu. Gama melirik ke arahnya dan menyandarkan tubuh di kursi kebanggaannya. "Bosan?" "Anda masih sibuk, Pak." "Tidak sabaran." celetuk Gama yang kemudian berdecak dan mengambil berkas yang Zoya berikan tadi. Meneliti beberapa saat dan kembali menatapnya dengan lekat. Zoya menegakkan tubuhnya saat sadar Gama memperhatikan. Berharap tak ada yang harus kembali direvisi agar dia bisa mengerjakan pekerjaan
Zoya menarik nafas dalam dan beranjak dari duduknya. Sekuat hati dia berusaha untuk tetap tenang. Ingat, harus banyak bukti untuk bisa memberontak dari pria seperti Zein jika tidak ingin hanya dijadikan angin lalu oleh pria itu. Zoya tersenyum menyambut langkah suaminya yang mendekati dan segera mengambil alih tas dan juga jas Zein. Sebenarnya ada rasa takut untuknya kelak memberontak. Zoya tak memiliki siapa-siapa lagi selain Zein. Jika dia dicampakkan oleh Zein lalu bagaimana dengan nasibnya kelak. Zoya melangkah mendekati Zein yang mulai membuka kancing lengan kemejanya. Dengan sigap pun Zoya mulai membantu membukakan kancing kemeja yang Zein kenakan. Aroma parfum yang sudah bercampur dengan parfum wanita membuat dada Zoya semakin sesak bahkan tangannya sedikit gemetar karena dia harus menahan rasa sakit yang semakin dalam. "Mas, tau kamu pulang lebih cepat. Aku tadi minta jemput sekalian. Aku lelah banget, Mas. Mana harus menunggu taksinya lama." "Jangan manja!" k
Zoya tersentak saat mendengar suara pintu kamar terbuka sangat kencang. Kedatangan Zein membuatnya yang baru saja terlelap seketika beranjak dari tidurnya. Zoya menatap heran saat Zein pulang sempoyongan tak seperti saat berangkat tadi. Zoya hendak turun dari ranjang untuk menyambut dan membantu tetapi dengan cepat Zein menghampiri. Zein menyibak selimut yang menutupi bagian tubuh bawahnya, hingga kedua mata Zoya terbelalak melihat itu. Terekspos lah kedua kaki jenjangnya yang putih mulus membuat kedua mata Zein berbinar melihatnya. Pria itu pun merangkak naik dan menyerang tanpa aba-aba. "Mas Zein!" "Layani aku, Zoya!" bisik Zein yang kemudian mendongak dan mencium ceruk leher Zoya yang terpampang indah, putih menggoda. Layaknya aliran sungai yang jernih begitu lancar mengalir lidah Zein menyusuri leher itu. Memberikan percikan gairah dan membangkitkan nafsu yang bercampur dengan rasa yang menggebu. Kedua tangan Zoya mencengkeram kuat sprei menahan gelora nikmat yang Z
Zoya terperangah mendengar tuduhan itu. Belum tenang hatinya karena Gama melihat kejadian semalam, Zein tiba-tiba menuduhnya berbohong hingga membuatnya ketakutan. Tatapan mata Zein begitu tajam padanya sampai Zoya sulit menelan kasar salivanya. Zein berdiri di hadapannya dan menekan tubuhnya hingga membuat Zoya sesak karena terhimpit oleh pintu dan tubuh pria itu. "A... Ada apa, Mas?" "Kamu pembohong, Zoya! Kamu mengatakan padaku jika masih belum bisa, tapi semalam apa? Satu tetes darah pun tidak terlihat. Sprei bersih sampai pagi. Sudah berani kamu membohongiku, hah?" "Mas!" pekik Zoya saat kedua pipinya ditekan kuat hingga kedua mata pun basah. Zein juga semakin menghimpit tubuhnya hingga ia sulit bergerak dan melepaskan diri dari pria itu. "Mas sakit, aku... " PLAK Kedua mata Zoya terpejam kuat merasakan panas menjalar ke seluruh pipi kanannya. Air mata itu pun tak lagi bisa dibendung. Bahkan dadanya begitu sesak hingga dia hanya bisa tertunduk terisak. Semalam
"Kopinya, Mas." Zoya meletakkan secangkir kopi di atas nakas tepat Zein sedang sibuk dengan ponselnya. Tanpa menjawab, pria itu pun terlihat sibuk sekali. Zoya duduk di hadapan Zein membuat pria itu melirik tajam ke arahnya. Tatapan penuh keraguan pun terlihat jelas dari kedua mata Zoya. Antara takut tetapi dia ingin apa yang Gama katakan tadi masih bisa diperbaiki. "Mau apa kamu?" tanya Zein seakan mengerti apa yang ingin dia lakukan setelah ini. "Hanya ingin berbicara sama kamu, Mas." Zoya meraih tangan Zein yang kosong. Menggenggam tangan itu kemudian menatap wajah Zein yang terlihat tak suka melihatnya. "Mas aku tidak bermaksud membohongimu. Aku minta maaf jika sikapku membuatmu marah tapi apa tidak bisa jika kamu sedikit saja lembut padaku, Mas? Aku ingin kita seperti dulu. Sebelum kamu kasar padaku, kamu pernah sangat lembut memperhatikanku, Mas." "Jangan banyak meminta, Zoya! Wajar di awal menikah pasti manis. Semua juga begitu. Kamunya aja yang berlebihan! Aku ng
"Dan apa jika aku mengatakannya sejak awal, kamu akan percaya? Ketika seseorang jatuh cinta dia seperti orang yang sedang mati rasa, Zoya! Kamu tidak akan perduli dan tetap fokus pada cintamu," kata Gama santai kemudian beranjak dari sana. "Keputusan ada di kamu. Tetap bertahan hingga sekarat atau berusaha lepas dari kesakitan. Aku hanya iba, karena kamu korban." Gama melangkah santai pergi dari hadapan Zoya. Semua yang pria itu katakan mengandung makna yang mendalam sedangkan Zoya saat ini begitu sakit mengetahui apa yang suaminya lakukan di luar sana. "Mas kamu sama siapa? Siapa wanita itu sebenarnya? Kenapa Kak Gama begitu mengenal? Sedang aku tidak bisa mengira-ngira." Pulang telat seperti sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Zein. Sudah beberapa hari ini Zein pulang semakin malam bahkan pagi. Tak ada lagi kehangatan yang Zoya rasakan. Zein begitu sibuk hingga membuatnya kesepian. Beralasan tak jelas dan tak mau banyak ditanya. Itulah sikap Zein setiap kali ingin
"Saya ijin pulang lebih cepat, Pak. Pekerjaan saya sudah selesai dan ini berkasnya. Maaf jika saya ijin lagi hari ini karena ada kepentingan mendesak yang tidak bisa saya tunda," ujar Zoya yang kini sedang meminta ijin pada manajer divisinya. "Mau kemana? Jika masih ada yang harus direvisi lagi bagaimana? Kamu sejak kemarin ijin terus. Jangan mentang-mentang memiliki hubungan dengan Pak Gama, Zoya! Kamu harus profesional dalam bekerja." "Baik, Pak. Maaf sebelumnya tapi kali ini benar-benar penting, Pak." Zoya harus mendapatkan ijin itu. Dia tidak bisa menunda lagi. Penasaran juga dengan siapa wanita yang bersama suaminya hingga membuat Zein berubah sikap bahkan sekarang semakin jauh saja. "Satu kali ini saja, setelah itu saya tidak akan menerima lagi apapun alasannya. Tidak ada pengecualian dalam bekerja, Zoya! Jika kamu begini terus, maka bisa menimbulkan kecemburuan sosial antar karyawan. Kami pun tidak akan membeda-bedakan kalian." "Baik, Pak. Maaf dan terimakasih atas i
Zoya menggelengkan kepala dan segera berlari dari sana setelah melihat kedua orang yang sedang memadu kasih itu terdiam karena mendengar suara yang ia ciptakan. Bergegas Zoya meninggalkan tempat itu hingga membuat sekretaris dari Zein, Sarah. Beranjak dari duduknya dan tercengang melihat dia yang menangis tergugu berlari masuk lift. Zoya tak sanggup, dia tak bisa, tadi begitu bersemangat untuk memergoki Zein dan ingin tau siapa wanita yang bersama suaminya tetapi setelah melihat apa yang pria itu lakukan justru Zoya tak mampu mengatakan apapun lagi. Lidahnya kelu hanya untuk memanggil Zein. Aliran darahnya melambat dan otaknya mendadak berhenti. Semua yang ia lihat bukan hanya membakar hati tetapi melumpuhkan kerja organ di dalam tubuhnya. Langkah Zoya sedikit sempoyongan. Dirinya yang keluar dalam keadaan menyedihkan menarik perhatian semua karyawan. Banyak yang menatap iba ke arahnya. Namun seperti yang tadi Zoya lakukan saat baru datang. Zoya berusaha tak memperdulikan a
Sampai di dalam Zoya lebih banyak diamnya, tapi dia memutuskan untuk mengikuti pemeriksaan karena penasaran. Sebenernya tidak ada keluhan apa-apa. Hanya saja, mana tau jika ada sesuatu. Beberapa lama di dalam, akhirnya mereka mendapatkan hasil dari pemeriksaan yang mana keduanya dinyatakan sehat. Gama seolah tau, terlihat dari senyumannya yang berbeda. Hanya saja kegelisahan Zoya seolah terbaca oleh Gama hingga pria itu berinisiatif untuk memeriksakan diri. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bapak dan Ibu sehat. Mungkin sedang diminta untuk lebih dulu menghabiskan waktu berdua dengan pacaran." Dokter tersebut tersenyum pada mereka. Kata-kata beliau begitu menenangkan tetapi Zoya tidak dengan serta merta lantas bisa tenang. "Tapi saya menikah sudah lama, Dok." Akhirnya Zoya pun buka suara akan itu. Dia menatap penuh harap tanpa menoleh ke arah Gama yang lebih tenang menyikapi ini semua. "Tapi Ibu sehat, insyaallah akan segera mendapatkan momongan, tapi kembali lagi, kita
"Aku nggak bohong, Mas. Aku buatkan kopi untuk kamu, oke!" ujar Zoya menyangkal pertanyaan Gama. Cup Zoya pun berlalu setelah mengecup bibir Gama. Satu kecupan itu untuk menenangkan sang suami yang sedang curiga padanya. Zoya pun memilih untuk menyiapkan sarapan sekalian. Sesekali membantu Bibi meskipun tujuan yang sebenarnya itu adalah untuk meredam hatinya yang gelisah. Apa salahnya? Kenapa masih sulit sekali memiliki keturunan? Manusia punya batas kesabaran. Bagaimana jika Gama habis kesabaran karena dia yang tak kunjung memberikan anak? Zein saja bisa berubah. Mungkin Gama pun juga. Terlebih Gama sudah sangat menginginkan. "Bi, dulu Bibi pas punya anak itu, jeda berapa lama setelah menikah, Bi?" tanya Zoya pada Bibi yang kemudian terlihat berpikir setelah mendapatkan pertanyaan darinya. "Cepet kayaknya Nyonya. Eemm... Dua atau tiga bulan gitu udah isi. Alhamdulillah anak lima jedanya nggak lama. Jadi begitu Bibi stop kemudian menunggu mereka besar dan memutuskan ke
"Euughh.... Siapa Mas yang telepon? Kamu berisik banget." Zoya sangat mengantuk tapi kalau ada suara-suara seperti tadi ya bakal terganggu. Apalagi terdengar Gama sedikit sewot. "Itu tadi Dito. Hanya ingin mengabari aku tentang nenek-nenek itu." Gama masuk ke dalam selimut kemudian mendekap tubuh Zoya. "Hmm... Ya udah tidur dulu, Mas. Besok lagi dipikirannya." Zoya berbalik kemudian membalas pelukan Gama. Keduanya pun tertidur tanpa memikirkan yang terjadi saat ini dengan Nenek. Di rumah sakit Wanita tua yang sangat ingin cucunya pulang itu tengah terbaring lemas di ranjang pesakitan. Tekanan darah beliau tinggi hingga membuat beliau pun sakit kepala dan akhirnya kesehatan mulai terganggu. Di sana beliau ditunggu oleh Bara dan juga sang istri yang ikut mengurus Ibu mertua. Hanya saja tetap beliau kepikiran dengan Gama dan sangat ingin melihat Gama pulang. "Sudah jangan dipikirkan terus masalah itu, Bu. Nanti kalau sudah butuh juga akan pulang. Ibu terlalu memikirkan a
"Astaga, Mas! Aku pikir siapa. Ya ampun jantung aku hampir lepas dari kandangnya." Zoya mengusap dadanya setelah dibuat sangat terkejut dengan kedatangan Gama. Dari mana pria itu masuk? Kenapa dia sampai tidak mengetahui pergerakannya tapi sempat merasakan kehadiran seseorang. Hanya saja aroma tubuh Gama kalah dengan sabun yang sedang ia gunakan. Gama sudah membuka semua pakaian dan kini masuk ke dalam bersamanya. Memeluk dengan lembut hingga Zoya terkejut mendapati sentuhan itu. Cup "Kamu terlalu menikmati mandimu, Sayang. Aku sejak tadi memperhatikanmu tapi kamu tidak tau. Apa setenang itu? Ini sabun baru, Sayang? Wangi banget badan kamu?" Gama mengecup kembali pundak polos Zoya. Terasa sekali sentuhan dari Gama membuat Zoya kembali terpejam dan mendongak memberikan kesempatan untuk pria itu merusuh lebih intens lagi. Padahal dia ingin rileks menikmati mandinya tapi Gama tidak bisa jika diam saja. Tangan pria itu sudah begitu nakalnya singgah di tempat-tempat yang mem
"Mas kamu jangan gila! Banyak yang memperhatikan kita. Aku malu banget sumpah! Bagaimana jika ada yang mengabadikan dan sengaja mempostingnya? Sekarang apapun bisa jadi bahan demi viral, Mas!" sahut Zoya menolak ajakan yang Gama berikan. Zoya pun terlihat menunduk menyembunyikan wajahnya dari tatapan mata pengunjung lain. Ngeri saja kalau sampai ada yang berniat memviralkan apa yang mereka lakukan. Bisa tenar jalur instan nanti mereka. Sementara Gama hanya menyeringai mendengar penolakan dari Zoya dan segala bentuk pemikirannya. Gama melirik ke arah wanita sexy di belakang sana yang nampak masih memperhatikan tapi terlihat kesal ke arahnya. Tatapan puas pun terlihat jelas di wajah Gama saat melihat itu. "Mas kamu sengaja banget!" ujar Zoya hingga tatapan mata Gama beralih padanya. "Terkadang manusia itu ada yang bebal juga. Jika dengan ucapan dia tidak bisa mengerti, bisa dengan tindakan agar orang itu paham siapa dia sudah menginginkan suami orang." "Kamu terlalu tampan
"Tidak perlu!" sahut Gama kemudian pria itu mengangkat tangannya memanggil waiters yang melintas. "Mbak!" "Saya Pak?" tanya waiters itu kemudian mendekati Gama. "Iya kamu," jawab Gama dengan jari telunjuk yang mengarah pada waiters tersebut. "Saya pesan vanila latte untuk orang ini! Nanti langsung kasih saja ke dia dan juga, billnya kasih ke saya. Saya ada di meja sebelah sana." Gama menunjuk ke arah mejanya agar nanti memudahkan pelayan dalam mengantarkan bill tersebut. "Baik, Kak. Akan kami buatkan." Pelayan tersebut pun segera pergi dari sana untuk membuatkan pesanan. Gama menoleh ke arah Zoya kemudian meraih tangan Zoya. Pria itu mengangguk pada sang istri dan mengajak kembali ke meja mereka. "Ayo Sayang! Urusan kita sudah selesai," ajak Gama. "Tapi, Mas. Aku mau pipis dulu." Zoya pun menahan Gama hingga pria itu tidak jadi beranjak dari sana. "Ya sudah aku antar. Jangan sendiri, Sayang! Kamu membuatku khawatir. Apa saja terjadi denganmu saat jauh dariku m
Zoya tersentak kala seseorang membentaknya dengan sangat kencang. Dia pun terkejut saat tengah buru-buru menuju kamar mandi, tapi tak sengaja menyenggol seseorang yang melintas tiba-tiba di hadapannya. Mana sempat Zoya ngerem kalau orang tersebut saja tiba-tiba melintas entah dari mana. Zoya juga hampir terjatuh setelah menyenggol wanita yang kini menatap garang ke arahnya. Ya, orang yang Zoya tabrak hingga minuman yang dipegang tumpah semua ke tubuhnya adalah seorang wanita cantik berambut panjang. Terlihat ayu, tapi tatapan matanya sangat tajam ke arahnya. Namun sepertinya Zoya pernah bertemu dengan wanita itu. Siapa? Dia tidak mungkin salah orang, tapi entah dimana dan kapan atau hanya dirinya saja yang salah ingat. "Maaf, Mbak. Saya tidak sengaja. Akan saya gantikan nanti minuman anda. Lagipula saya juga basah karena gelas minuman yang anda bawa mengenai tubuh saya." "Heh, ya kapok aja! Kalau sampai mengenai saya, abis kamu sama saya! Udah jalan nggak pakai mata. Ma
Asisten Dito membungkuk saat Nenek dari atasannya dan juga paman yang mengatakan jika dirinya sombong beranjak dan keluar ruangan memutuskan untuk pulang. Akhirnya..... Namun Asisten Dito tidak menimpali sama sekali ejekan dari beliau. Asisten Dito membiarkan saja Bara Atmanegara sesuka hati mengatakan jika dirinya sombong. Toh yang dia melakukan itu semua untuk Gama. Bukan semata-mata karena inginnya. Yang Dito tau tidak dibenarkan untuk mengatur atasan. Bukannya begitu? Bawahan kok ngatur. "Salam untuk Gama ya, Nak. Katakan jika nenek pulang dan Nenek tunggu di rumah. Semoga Gama cepat berubah pikiran dan mau menemui Nenek." Nenek masih sama. Tidak berpikiran buruk dan sangat berharap. Asisten Dito pun sangat menghargai beliau. Sabar sekali menghadapi situasi seperti ini. "Baik, Nek. Jika yang ini nanti akan saya sampaikan." Dito masih sangat sopan pada Nenek. Dia pun mempersilahkan keduanya untuk masuk ke dalam lift kemudian menutup menunggu sampai pintu tertutup.
"Mas!" "Jangan bujuk aku, Sayang!" ujar Gama membuat langkah Zoya terhenti. Zoya begitu khawatir pada suaminya, bukan ingin membujuk karena sadar betul Gama masih sangat kesakitan hatinya. Namun perlahan langkah Zoya maju saat Gama terlihat menunduk di depan meja kerja dengan wajah semrawut. Gama mengusap kasar wajahnya dan meninju meja itu dengan sangat kencang. "Mas!" "Aku benci hal ini, Sayang!" sentak Gama. Pria itu terlihat sangat marah. Apa lagi adanya permintaan kerja sama dari perusahaan besar itu. Gama menganggap hanya sebagai lelucon yang mereka buat. Zoya mengangguk paham kemudian melangkah mendekati Gama. Tangannya terulur mengusap lengan Gama dan memperhatikan wajah pria itu dengan lekat. Ada secuil hati yang menyayangkan akan sikap Gama tadi tapi Zoya paham itu karena sakit hatinya Gama atas sikap keluarga sang Ayah di masa lalu. Namun mereka sekarang sudah meminta maaf dan masih menganggap Gama ada. Walaupun salah satu alasan mereka karena membutuh