Siapa yang tak kecewa? Siapa yang tak takut? Siapa yang tak patah hatinya? Dia sudah menikah, tetapi berkhianat dengan pria yang sangat ia kenal.
Perlahan Zoya kembali melangkah menuju pintu, langkahnya tertatih merasakan miliknya yang masih sangat nyeri. Entah berapa lama Gama menggempurnya semalam. Yang jelas, rasanya seperti saat malam pertama. Begitu sangat menyakitkan dan terasa mengganjal setelahnya. "Zoya." Zoya menghentikan lagi langkahnya dan kali ini sengaja memberikan kesempatan untuk Kakak iparnya berbicara. Namun, Zoya enggan untuk menoleh ke arah pria itu. Dia muak dengan Gama yang semalam sudah memaksanya. Entah setan apa yang sudah membuat Gama kelewat batas. Zoya yakin ada yang tidak beres dengan Kakak iparnya tapi apa? Yang Gama lakukan semalam itu sudah menghancurkan harga dirinya. "Anggap tidak terjadi apa-apa, Gama! Kamu sudah menghancurkan kepercayaanku. Kamu tidak lebih dari pecundang di mataku, Kak!" sentak Zoya. Rasanya dia sudah tidak ingin lagi bertemu dengan pria itu. "Oke, aku setuju." Kedua tangan Zoya terkepal kuat dengan dadanya yang semakin terasa sesak. Mendengar jawaban dari Gama membuat Zoya semakin ingin membenci pria itu. Namun bukannya itu bagus, karena persetujuan dari Gama membuat mereka melupakan apa yang telah terjadi semalam. Walaupun Zoya sendiri tak mungkin lupa dan akan terus mengingat kelakuan bejat pria itu padanya. "Pulang bersamaku! Aku akan menjelaskan semuanya pada Zein” kata Gama. Mata Zoya lantas terpejam kuat saat mendengar ucapan Gama. Kepalanya terangkat menahan air mata yang kembali mendesak ingin keluar. Dia menggelengkan kepala tanpa menoleh ke arah Gama. "Tidak perlu, aku bisa memesan taksi sendiri. Aku pun tidak ingin merepotkanmu. Jadi, terimakasih atas niat baiknya." Zoya pun bergegas pergi dari kamar yang menjadi saksi bisu perselingkuhan yang terjadi semalam. Entah Gama sengaja atau tidak. Yang jelas apa yang terjadi pada meraka itu suatu kesalahan yang tak termaafkan. "Aku bersumpah tidak akan lagi menginjakkan kakiku di tempat ini!" gumam Zoya. Zoya segera menaiki taksi yang telah ia pesan lalu meminta driver itu sedikit mempercepat lajunya kendaraan. Dia berharap Zein tak akan marah dan mengerti saat ia menjelaskan alasan mengapa tak bisa pulang semalam. Zoya pun sengaja menyamarkan wajah sembabnya dengan make up. Dia tak ingin suaminya tau jika dirinya menangis. Tak ingin membuat suaminya curiga akan apa yang terjadi semalam. Zoya turun dari taksi bertepatan dengan suaminya yang baru saja keluar rumah. Zein menatap tajam ke arahnya kemudian melangkah panjang dan menarik tangannya dengan kasar. "Mas!" pekik Zoya dengan debaran di dada yang begitu kencang. "Pelan-pelan Mas, sakit!" rintih Zoya saat Zein menarik paksa dan membawanya masuk ke dalam rumah. Pria itu mencengkeram kuat tangannya hingga menimbulkan rasa yang panas dan perih. Zoya sudah mengira kalau Zein pasti akan marah. Beruntung dia tidak pulang bersama dengan Gama. Jika sampai mereka pulang bersama, Zoya yakin Zein pasti akan langsung menuduhnya bermain gila dengan kakak iparnya sendiri. Walaupun nyatanya memang Zoya telah berkhianat, tapi itu terjadi bukan karena kemauannya. Semua terjadi di luar kehendaknya dan atas si pemaksa, Gama. Zein seolah tuli dan tak peduli dengan kesakitan yang istrinya rasakan. Pria itu terus menarik kencang tangan kecil istrinya. Melihat istrinya baru pulang membuat Zein sangat murka. Terlebih semalam pria itu sedang sangat menginginkan, tetapi sang istri justru tidak ada kabar dan terindikasi menikmati pesta tanpa dirinya. "Dari mana saja kamu hingga jam segini baru pulang? Pesta macam apa yang kalian adakan? Kamu sudah berani macam-macam di belakangku, Zoya? Istri macam apa kamu, hah?" sentak Zein kepada Zoya. Bahkan pria itu tidak segan-segan menjambak rambut istrinya. "Aku... Aku... Auwh! Sakit Mas!" keluh Zoya menatap takut suaminya. "Aku apa, hah? Mau beralasan apa kamu? Jangan bilang jika kamu tidur dengan sembarang pria!" teriak Zein memenuhi ruangan. “Semalaman kamu membuat aku gelisah. Aku sedang sangat menginginkanmu, tetapi kamu malah nekat untuk tetap ikut ke pesta terkutuk itu hanya karena tidak enak dengan teman-teman kamu.” Zein berteriak kencang untuk menunjukkan perasaannya yang sedang berkabut amarah. “Dimana otak kamu, Zoya? Harusnya kamu memberatkan aku bukan malah memilih bersenang-senang dengan teman kamu! Padahal kamu tau aku melarang dan aku tidak bisa ikut semalam,” lanjut Zein dengan nada semakin menyentak. "Aku juga sudah menyuruhmu pulang, tapi apa? Mana? Kamu malah menginap. Dasar wanita jalang!" Tangan pria itu semakin mencengkeram kuat rambut istrinya hingga Zoya semakin meringis dengan bulir air mata yang semakin deras. “Jangan pikir aku tidak tau bagaimana situasi dalam pesta itu. Gama bisa saja mengatakan akan menjaga kamu, tapi aku tidak percaya jika tidak terjadi apa-apa pada kalian!” Jantung Zoya semakin berdegup kencang saat tuduhan yang Zein layangkan benar adanya. Namun tak mungkin dia membenarkan dan mengakuinya. Zein tidak akan segan-segan membunuhnya andai pria itu tau apa yang terjadi padanya. Sekilas bayangan akan dirinya yang melayani hasrat terlarang Gama terlintas jelas di pikirannya. Setiap sentuhan itu yang semakin lama semakin tidak bisa ia tolak karena Gama yang sudah tak lagi bisa dilawan. Namun bayangan itu membuat Zoya semakin ketakutan hingga wajahnya memucat. Bagaimana jika Zain ternyata tau apa yang terjadi antara dia dan Gama? "Jangan menjadi liar, Zoya! Sekali lagi aku tanya sama kamu. Tidur dimana kamu semalam?" sentak Zein dengan tatapan mata yang semakin menajam dan cengkeraman yang semakin kuat.“Semalam aku menginap di rumah temanku, Mas. Sungguh, aku tidak ber_" Belum sempat Zoya menyelesaikan ucapannya, Zein telah lebih dulu kembali menarik rambut Zoya dan mendorong tubuh istrinya itu hingga terhempas jatuh tepat di depan sepatu seseorang yang baru saja menginjakkan kakinya di rumah. “Ada apa ini?” Jantung Zoya seakan ingin lepas mendengar suara pria yang sangat ingin ia hindari. Pria yang telah menghabiskan malam panas dengannya hingga tidak pulang dan berujung pertengkaran dengan suaminya. Perlahan kepala Zoya terangkat menatap Gama hingga kedua mata mereka bertemu dengan perasaan yang tak menentu. Gama hanya terdiam menatap ke arahnya. Tatapannya tajam seperti menelisik penampilannya yang semakin berantakan kemudian mengangkat kedua alisnya menatap ke arah Zein. Pria itu seakan bertanya tetapi tak ada jawaban apa-apa dari Zein. Sampai di mana Gama kembali menunduk menatapnya dengan tatapan yang Zoya tak mengerti. Apa mungkin saat ini Gama tengah mengasiha
“Butuh bantuan untuk berpisah darinya?” Zoya terdiam saat ingin membuka pintu kamar. Dia tak menoleh ke asal suara, karena jelas suara yang familiar itu milik Gama. Sejenak mengurungkan niatnya untuk bergerak masuk. Melihat Gama yang berdiri diam menatapnya penuh tanya. Zoya pun melengos membuang muka. Namun sebelum Zoya benar-benar masuk, dia sempatkan untuk berbicara pada Gama. "Jangan sok menjadi pahlawan, Kak! Kamu tidak ada bedanya dengan Zein!" Hal yang tertutup rapat terumbar karena suatu perkara. Tak dapat ia sangkal jika kali ini melebihi dari sebelumnya dan bisa-bisanya Gama ingin membantunya untuk bercerai padahal di mata Zoya, Gama tidak ada bedanya dengan Zein. Sama-sama buruk setelah malam itu. Zein memang pria yang sedikit temperamen. Zoya sudah tau dan paham akan itu. Dia pun mengerti tanpa mengeluh. Sebab, bukannya jodoh saling melengkapi dan dan menutup kekurangan pasangannya masing-masing? Itu yang Zoya tau dan berharap sikap Zein lambat laun bisa beru
Zoya terdiam di undakan tangga saat mendengar panggilan dari Gama. Zoya menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. Dia tau siapa yang memanggilnya hingga ia tak ingin menoleh dan lebih memilih untuk menunduk. Egois sedang mendominasi diri Zoya sampai dimana dia mengabaikan sopan santun. "Jangan katakan apapun, Kak! Zoya tau apa yang akan kakak pertanyakan." "Bagaimana dengan jejak di tubuh…." "Kak aku mohon! Jangan ungkit itu lagi!" pinta Zoya lalu melangkah panjang meninggalkan Gama yang diam dengan helaan nafas berat. Namun setelahnya pria itu mengedikkan pundak dan masuk kamar tanpa beban. Zoya tak terima apapun sikap Gama padanya. Bagi Zoya itu hanya akan memperkeruh suasana. Mereka harus memiliki batasan jika perlu menjadi asing agar lebih nyaman melanjutkan hidup masing-masing. Walaupun Zoya tau perangai Gama yang sebenarnya baik tetapi setelah malam itu, pandangannya pada Gama tak lagi sama. Zoya nampak ragu untuk masuk kamar. Rasa takut membu
“Masuk ke mobil!” perintah Gama terdengar lugas. "Terima kasih. Aku lebih tertarik naik taksi," tolak Zoya dan bergegas kembali masuk ke dalam rumah untuk Bersiap-siap. Tak ingin dia dikasihani oleh Kakak iparnya yang pagi ini pun membuat geregetan. Sesampainya di kantor, Zoya bergegas untuk turun dari taksi online dan berlari masuk ke dalam kantor menuju lift agar cepat sampai ke ruangannya. Beruntung belum telat meskipun dia sudah di penghujung waktu. Namun sialnya masih harus melewati lift khusus karyawan yang terkenal penuh sesak. Pagi-pagi lift karyawan selalu ramai. Dia yang baru datang sudah pasti terjebak antrian. Tak seperti lift khusus CEO yang lancar jaya. Belum lagi saat penuh begini tercium bermacam-macam aroma yang membuatnya mual. Sungguh ujian setiap pagi di waktu yang mepet. Zoya berdiri agak belakang sembari menunggu gilirannya untuk masuk. Ekspresinya gelisah dan terus menerus melirik ke arah jam tangan, karena tinggal tersisa lima menit lagi untuk b
Zoya terdiam masih berdiri menunggu Gama yang terus sibuk tanpa memperdulikan dirinya. Sudah hampir satu jam berlalu setelah pria itu menahannya untuk tetap di sana. Terus menunggu tetapi Gama nampak santai saja tanpa menyentuh berkas yang ia berikan. Zoya frustasi sendiri, kakinya pegal sekali tetapi Gama tetap cuek seakan tak minat. Sengaja menahannya tanpa kejelasan. Rasanya Zoya ingin mengumpat pria itu tapi semua hanya di angan karena dia tak seberani yang dibayangkan. Zoya mendengus kesal, terdengar helaan nafas kasar darinya yang ternyata bisa menarik hati pria itu. Gama melirik ke arahnya dan menyandarkan tubuh di kursi kebanggaannya. "Bosan?" "Anda masih sibuk, Pak." "Tidak sabaran." celetuk Gama yang kemudian berdecak dan mengambil berkas yang Zoya berikan tadi. Meneliti beberapa saat dan kembali menatapnya dengan lekat. Zoya menegakkan tubuhnya saat sadar Gama memperhatikan. Berharap tak ada yang harus kembali direvisi agar dia bisa mengerjakan pekerjaan
Zoya menarik nafas dalam dan beranjak dari duduknya. Sekuat hati dia berusaha untuk tetap tenang. Ingat, harus banyak bukti untuk bisa memberontak dari pria seperti Zein jika tidak ingin hanya dijadikan angin lalu oleh pria itu. Zoya tersenyum menyambut langkah suaminya yang mendekati dan segera mengambil alih tas dan juga jas Zein. Sebenarnya ada rasa takut untuknya kelak memberontak. Zoya tak memiliki siapa-siapa lagi selain Zein. Jika dia dicampakkan oleh Zein lalu bagaimana dengan nasibnya kelak. Zoya melangkah mendekati Zein yang mulai membuka kancing lengan kemejanya. Dengan sigap pun Zoya mulai membantu membukakan kancing kemeja yang Zein kenakan. Aroma parfum yang sudah bercampur dengan parfum wanita membuat dada Zoya semakin sesak bahkan tangannya sedikit gemetar karena dia harus menahan rasa sakit yang semakin dalam. "Mas, tau kamu pulang lebih cepat. Aku tadi minta jemput sekalian. Aku lelah banget, Mas. Mana harus menunggu taksinya lama." "Jangan manja!" k
Zoya tersentak saat mendengar suara pintu kamar terbuka sangat kencang. Kedatangan Zein membuatnya yang baru saja terlelap seketika beranjak dari tidurnya. Zoya menatap heran saat Zein pulang sempoyongan tak seperti saat berangkat tadi. Zoya hendak turun dari ranjang untuk menyambut dan membantu tetapi dengan cepat Zein menghampiri. Zein menyibak selimut yang menutupi bagian tubuh bawahnya, hingga kedua mata Zoya terbelalak melihat itu. Terekspos lah kedua kaki jenjangnya yang putih mulus membuat kedua mata Zein berbinar melihatnya. Pria itu pun merangkak naik dan menyerang tanpa aba-aba. "Mas Zein!" "Layani aku, Zoya!" bisik Zein yang kemudian mendongak dan mencium ceruk leher Zoya yang terpampang indah, putih menggoda. Layaknya aliran sungai yang jernih begitu lancar mengalir lidah Zein menyusuri leher itu. Memberikan percikan gairah dan membangkitkan nafsu yang bercampur dengan rasa yang menggebu. Kedua tangan Zoya mencengkeram kuat sprei menahan gelora nikmat yang Z
Zoya terperangah mendengar tuduhan itu. Belum tenang hatinya karena Gama melihat kejadian semalam, Zein tiba-tiba menuduhnya berbohong hingga membuatnya ketakutan. Tatapan mata Zein begitu tajam padanya sampai Zoya sulit menelan kasar salivanya. Zein berdiri di hadapannya dan menekan tubuhnya hingga membuat Zoya sesak karena terhimpit oleh pintu dan tubuh pria itu. "A... Ada apa, Mas?" "Kamu pembohong, Zoya! Kamu mengatakan padaku jika masih belum bisa, tapi semalam apa? Satu tetes darah pun tidak terlihat. Sprei bersih sampai pagi. Sudah berani kamu membohongiku, hah?" "Mas!" pekik Zoya saat kedua pipinya ditekan kuat hingga kedua mata pun basah. Zein juga semakin menghimpit tubuhnya hingga ia sulit bergerak dan melepaskan diri dari pria itu. "Mas sakit, aku... " PLAK Kedua mata Zoya terpejam kuat merasakan panas menjalar ke seluruh pipi kanannya. Air mata itu pun tak lagi bisa dibendung. Bahkan dadanya begitu sesak hingga dia hanya bisa tertunduk terisak. Semalam
Sejenak Dito membiarkan dulu Sena menggatal dengan miliknya. Tak juga melepaskan tangannya yang kini masih menempel mengerjai Sena. "Buka Kak!" "Apanya?" tanya Dito yang kini menunduk memperhatikan Sena. Wanita itu sangat liar dan tatapannya sangat menggoda. Belum lagi lidahnya yang menjulur membuat Dito semakin ingin merasakannya. "Celananya." Dito tersenyum miring mendengar itu kemudian meraih pipi Sena dan mengapitnya hingga membuat wanita itu mengerang kesakitan. "Kamu minta milikku, kamu mengemis padaku hanya ingin dipuaskan oleh Kacung sepertiku? Sayangnya Kacung ini tidak suka denganmu. Wanita jahat yang tega menyakiti wanita lain. Kacung ini lebih suka dengan wanita baik-baik yang masih lugu, sekali pun kamu sangat menggoda imanku!" "Jangan sok jual mahal! Milikmu sudah berdiri dengan kencang." "Ya, aku sudah katakan tadi. Jika aku tergoda denganmu, tapi aku tidak akan menyentuhmu lebih dalam jika kamu belum mengakui kesalahanmu di depan keluar dan orang b
"Jangan!" Sena kembali melarang tetapi Dito membuat wanita itu semakin belingsatan dan tak bisa diam. Sena kewalahan merasakan gejolak yang menggebu meminta dituntaskan. Dito benar-benar gila malam ini. Sisi kalemnya tertutup karena Sena yang kurang ajar dan licik tentunya. Namun sebagai pria normal tentu dia merasakan tubuhnya bereaksi dengan sempurna. Hanya saja Dito mampu menahan dan terus saja dia mengerjai Sena. Tangan Dito bergerak semakin menyiksa dan lidahnya ikut serta memberikan sapuan di tubuh Sena yang membuat wanita itu semakin bergairah. "Ampun, Kacung!" "Panggil namaku dengan benar! Aku bukan kacungmu!" sahut Dito dengan suara mendesis pada Sena yang kini sudah tak lagi mengenakan apapun. Dito sempat terpanah kembali melihat bagian inti Sena yang mulus terurus. Sepertinya memang Sena merawatnya dengan baik sama seperti Sena merawat tubuhnya hingga terlihat seksi begini. "Aku nggak kuat! Sudah! Jangan buat aku... " "Apa? Sange? Kamu sange parah? M
"Kamu pikir aku perempuan gampangan?" sahut Sena tak terima dengan apa yang Dito katakan. "Bukannya seperti itu? Kamu gampang terpikat hanya karena paras yang tampan hingga membuat kamu menjadi gila dan menyakiti sesama wanita." "Tapi bukan kamu yang hanya kacung!" sahut Sena menciptakan seringai tipis di wajah Dito. Begini membuat penilaian Dito pada Sena bertambah semakin buruk saja. "Aku kacung tapi aku bukan kriminal seperti kamu! Sekarang waktunya mandi, sudah selesai makannya, Njing?" tanya Dito yang semakin membuat Sena marah. "Sialand kamu! Pergi kamu dari sini! Aku bukan binatang!" sentak Sena tidak terima. Tatapan wanita itu semakin tajam pada Dito yang tertawa melihat kemarahan Sena dengan mulut wanita itu yang kotor. "Ya kamu memang bukan binatang tapi kelakuan kamu sudah seperti binatang yang bisa mencabik sesamanya. Mandi sekarang!" Dito tidak minat walaupun Gama memberikannya kebebasan. Awalnya dia terpesona melihat Sena apalagi postur tubuh wanita itu
"Akh! Ampun Kak!" teriak Sena setelah ikat pinggang Gama melingkar di kedua tangan wanita itu dan Gama menariknya hingga tangan Sena terasa sakit. Tak cukup sampai di situ, Gama pun menarik kedua kaki Sena dan mengikatnya dengan dasi yang ia kenakan hingga wanita itu tidak lagi bisa melakukan apapun. "Kamu pikir aku akan sudi menyentuhmu lebih dalam lagi, hmm? Menyentuhmu sama saja aku menyentuh seorang pembunuh. Najis!" ujar Gama dengan sinis. Tangan Gama mengalir kedua pipi Sena dan menariknya hingga wanita itu mendongak kesakitan. Kedua mata Sena pun basah dan menggeleng meminta dilepaskan. "Kak aku mohon, lepaskan aku! Ampun Kak." "Permohonanmu sudah terlambat Sena. Aku akan menyiksamu sebelum memasukkanmu ke dalam penjara. Kamu, tanganmu, dan otakmu, aku pastikan akan lumpuh!" Kedua mata Sena terbelalak mendengar itu. Gurat ketakutan semakin nyata terlihat. Sena kembali menggelengkan kepala dan mencoba memberontak. tetapi tidak bisa. Gama meraih selimut dan m
Sena tersentak saat Gama menarik gaun tepat di punggung belakang wanita . Kedua mata Sena terbelalak saat jarak mereka sangatlah dekat, bahkan hembusan nafas Gama begitu terasa menyapu tengkuknya. Hangat, membuat tubuh meremang. Seketika seringai tipis di wajah Sena terlihat saat ini. Kena! Sena yang memasang perangkap dan Gama yang terjebak. Sena hanya diam saat Gama terindikasi menikmati aroma tubuh wanita itu. Cengkraman tangan Gama begitu kuat tapi kali ini tidak membuat Sena ketakutan. Justru ingin mendapatkan sentuhan yang lebih dari ini. Mungkin, tak hanya luarnya saja melainkan lebih dalam lagi juga bisa. Tunggu saja! Gama pasti tergoda. Kucing mana ada yang mengabaikan umpannya. "Buka Kak!" pinta Sena dengan suara yang manja. Sengaja sekali memang wanita ini. Mendapati Gama yang justru mengikis jarak bahkan mendekap erat, justru membuat Sena semakin menjadi. Wanita itu seperti di atas awan saat ini. "Mau dibuka, hhm?" "Iya, Kak. Aku mau bersih-bersih dulu.
"Aku sungguh-sungguh, Pah. Kak Gama baik dan nanti akan menjadikan aku istri sah juga. Bukan hanya pengantin pengganti di pelaminan. Papah tenang saja!" tutur Sena. Jawaban yang membuat Bara lega. Setidaknya sudah mendengar dari Sena langsung dan jawaban itu juga yang menciptakan seringai tipis di wajah Gama. Memang ini yang Gama mau. Akhirnya bisa membuat Sena menurut dan sebentar lagi bisa mengendalikan Sena, menyiksa wanita itu sampai benar-benar dia puas. Gama tidak takut dengan tuntutan dari mana pun sekalipun dari keluarga. Dia akan menuntut balik atas bukti pembunuhan yang hendak Sena lakukan. Sayangnya Zoya cukup kuat bertahan meskipun masih koma. "Bagaimana, Paman? Sudah mendengar sendiri bukan jawaban dari putri anda. Kadang kecemasan itu tercipta karena adanya kesalahan yang diperbuat, karena kesalahan besar hingga membuat orang tersebut merasakan tingkat tertinggi dari kecemasan itu sendiri." " Hati-hati Paman, terlalu cemas bisa masuk rumah sakit!" ujar Gama
Kedua mata indah dengan riasan yang begitu elok dipandang tak seirama dengan kelopak yang sudah menampung banyak air di sana. Terlihat jelas tatapan penuh ketakutan dan kekecewaan itu dari mata Sena tapi kedua bibir wanita itu semakin merapat tak mengatakan apa-apa. Sena yang dikenal sangat berani dan lantang dalam berbicara, kini hanya bisa diam tanpa menjawab pertanyaan sang Papah yang mendekat. Bukankah ini waktunya untuk mengatakan yang sesungguhnya? Mengatakan apa yang terjadi dan apa yang Gama lakukan pada wanita itu? Namun ancaman dari Gama mampu membuat Sena bungkam. Tangan Sena mencengkeram kedua sisi gaun yang dikenakan. Gama pun menunduk melirik tajam dan meraih tangan Sena saat Bara begitu memperhatikan. gerak gerik putrinya. "Ada apa ini, Gama? Paman tunggu dari tadi tidak ada acara ijab Kabul yang harusnya sudah diselenggarakan di awal acara. Sudah berjam-jam bahkan sampai tiba petang tidak ada acara itu," tanya Bara dengan wajah bingung dan tidak terima kar
"Selamat ya, Pak. Saya tidak menyangka jika Bapak akan menikah dengan wanita lain. Saya pikir Bapak akan sangat setia dengan satu wanita, tapi ternyata Bapak... Maaf ya, Pak. Sekali lagi selamat atas pernikahannya." "Iya Pak, istri anda cantik, tapi kasihan Zoya. Maaf ya, Pak. Jangan pecat kami! Kami hanya mengeluarkan uneg-uneg kami atas apa yang kami lihat. Bapak keterlaluan! Kasihan Zoya, Pak. Tapi saya ucapkan selamat." "Iya, kami mengucapkan selamat dan kami pamit pulang karena tidak ingin bersenang-senang di atas penderitaan Zoya. Andai tetap Zoya, pasti kami akan menikmati sajian yang ada. Sayangnya bukan Zoya. Jadi kami. memutuskan untuk segera pamit." "Iya Pak, kami akan menjenguk Zoya. Maaf Pak, kami pamit. Permisi, di sini hati kami seperti tercabik-cabik. Sama halnya dengan hati Zoya saat ini andai tau kalau Bapak ternyata mencari pengantin pengganti. Padahal gagalkan saja gampang." "Eh jangan begitu! Pemikiran orang kaya itu beda. Mereka tidak bisa dianggap ga
"Kak... " "Jangan mengatakan apapun, Sena! Pengganti, kamu mengerti apa yang disebut dengan pengganti? Apa kamu masih kurang paham? Tentu saja seharusnya kamu sangat paham akan itu." Gama tersenyum menatap Sena. Senyuman pertama yang dia berikan setelah beberapa saat tiba di pelaminan. Senyuman yang bagi semua orang itu adalah senyum bahagia. Bahkan karena senyuman yang Gama berikan, semua karyawan Gama khususnya yang benar-benar mengenal Zoya, sangatlah miris melihatnya. Mereka mengira jika Gama sedang sangat bahagia sekali. Gama tidak mengingat akan Zoya dan apa yang sudah diucapkannya hanyalah dusta. "Pengganti di pelaminan, bukan pengganti di hatiku, Sena. Aku harap kamu paham akan itu!" ujar Gama dengan tegas. "Tapi Kak, semua taunya jika aku ini adalah istrimu! Setelah acara ini pun yang mereka tau itu, aku adalah istrimu! Sekali pun aku hanya pengganti tapi yang mereka tau, aku istrimu, Kak! Aku, bukan Zoya!" sahut Sena dengan kedua mata nampak sengit tapi penu