Share

Bab 2 Apa yang mereka rahasiakan?

RAHASIA TIGA HATI

Part 2 Apa yang mereka rahasiakan?

"Hai, Din," sapa Livia berjalan menghampiri seorang wanita yang baru turun dari mobil.

"Liv, aku mau ngomong sebentar." Dina yang tampak tegang menarik tangan Livia dan mengajaknya duduk di teras rumah.

Wanita itu mengeluarkan ponselnya di saku celana. Kemudian menunjukkan sebuah foto dari galeri. Degup jantung Livia bergemuruh melihatnya. Apalagi ketika menyaksikan video di mana Bre berinteraksi dengan seorang gadis yang sangat ia kenal. Karena video itu diambil dari kejauhan, makanya tidak begitu jelas dengan apa yang mereka lakukan. Namun ia tahu siapa perempuan itu.

"Kamu ngambil video ini di mana?"

"Aku tadi nganterin roti di Restoran Tamimi. Kaget juga saat melihat Bre dan keluarganya makan di sana bersama keluarga Agatha, tapi kamunya nggak ada. Lebih kaget lagi saat mereka seperti sedang melakukan pembicaraan serius. Tapi entah apa aku nggak tahu."

Livia lemas dan gemetar. Padahal tadi pagi Bre pamitan hendak ke Madiun. Jadi mereka telah merencanakan sesuatu untuk hari ini.

Dina pun khawatir. Dalam perjalanan tadi ia bingung juga. Haruskah Livia diberitahu atau tidak. Pada akhirnya ia mampir juga di rumah Pak Rosyam saat melihat ada Livia duduk di samping rumah bersama Alan.

"Liv, aku sebenarnya nggak sampai hati ngasih tahu kamu. Tapi kalau diam, mereka semakin semena-mena sama kamu."

"Nggak apa-apa, Din. Makasih banyak sudah ngasih tahu aku." Suara Livia bergetar.

"Kirimkan video itu padaku."

"Iya. Aku kirim." Dina mengirim ke nomernya Livia. "Aku tadi nggak bisa mendekat karena mereka berada di ruangan yang dibooking secara private. Aku curiga, mereka ngadain acara lamaran, Liv."

"Bisa jadi." Mengingat peristiwa tadi malam, mungkin saja hal itu terjadi.

Dina merangkul sahabatnya dan tidak bisa berkata apa-apa untuk menenangkan. Sebab hatinya sendiri kebingungan dan sakit dengan apa yang dialami oleh Livia. Dina tahu semua cerita hidup wanita itu.

"Om di mana?" Dina menatap ke dalam rumah. Khawatir ayahnya Livia mendengar percakapan mereka.

"Ayah di mushola kalau jam segini."

"Kalau gitu aku pamit dulu, ya."

"Iya." Livia menghapus air matanya.

Aku nggak tahu mau bilang apa sama kamu. Tapi aku yakin, kamu tahu apa yang akan kamu lakukan."

Keduanya menatap sore yang cerah. Matahari masih bersinar terang kendati sudah pukul empat.

"Mas Alan, sudah di sini sejak tadi."

"Iya, nyambangi ayah."

"Baik banget dia. Perhatian sama calon mertua yang nggak jadi."

Livia tersenyum tipis. Jauh berbeda dengan Bre yang tidak seperhatian itu pada mertuanya.

"Aku pulang dulu, Liv. Khawatir anakku nangis. Waktu aku tinggal tadi dia masih tidur."

"Makasih kamu udah ngasih tahu aku."

Dina menepuk bahu sahabatnya, lantas beranjak dari sana. Melangkah ke samping rumah untuk menyapa Alan. "Mas Alan, aku mau pulang dulu. Maaf, nggak nyamperin. Buru-buru soalnya."

"Oke, nggak apa-apa. Hati-hati kalau nyetir."

"Iya, Mas. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Livia masih mematung memperhatikan mobil sahabatnya yang bergerak pergi. Kalau sopir yang biasa mengantarkan pesanan sibuk, Dina sendiri yang akan pergi mengantar. Usahanya bersama sang ibu sekarang berkembang pesat.

"Kenapa mematung di sini?" Alan menghampiri.

"Nggak apa-apa, Mas. Aku mau mandi dulu."

"Kalau gitu aku juga mau pamit. Sampaikan salam pada Om, maaf nggak nunggu beliau pulang."

"Iya, nanti aku sampaikan." Livia menjawab seraya mengangguk. Tak terasa sebulir air bening menetes di pipinya. Buru-buru Livia menghapus dengan ujung jemari.

"Ada apa?" Alan tidak jadi beranjak pergi. Perasaannya mengatakan kalau ada yang tidak beres dengan Livia.

Bukannya menjawab, Livia menangis. Alan mengajaknya duduk di bangku halaman samping, supaya tidak terlihat oleh orang yang lewat di jalan depan.

Untuk beberapa lama, Alan membiarkan Livia dalam tangisnya hingga wanita itu berhenti dan menghapus air matanya. Sekuat apapun hatinya, rasanya begitu sakit mendengar apa yang disampaikan oleh Dina tadi. Kenapa Bre begitu tega padanya. Padahal jelas tadi pagi pamit hendak ke Madiun. Ternyata masih ada di Surabaya.

Setelah menarik napas panjang, Livia menceritakan tentang kemelut yang akhir-akhir ini kian menyiksanya. Dia harus maju atau mundur. Sebenarnya sangat tidak terima jika ayahnya dipandang buruk oleh keluarga Bre. Sang ayah tak mungkin curang dengan rekan bisnisnya yang sekarang justru berkomplot dengan keluarga mertuanya.

"Jangan ambil keputusan dalam keadaan emosi. Kamu bisa membahasnya ini dengan Bre." Alan mencoba menenangkan, walaupun ia menduga kalau keluarga Bre sendiri yang sebenarnya menghancurkan bisnis Pak Rosyam. Sebab sejak awal ia tahu kalau Bre hendak dijodohkan dengan Agatha.

"Apa mungkin mereka menyuruh Bre menikah diam-diam, Mas?"

Dua insan itu saling bersipandang. Alan tidak ingin menjawab yang bisa menambah runyam keadaan.

"Selidiki dulu, ya. Jangan cepat mengambil kesimpulan. Jika kamu butuh teman cerita, jangan sungkan menghubungiku. Kamu nggak mungkin cerita sama ayahmu."

"Makasih, Mas," jawab Livia dengan suara serak.

"Kalau gitu. Aku pulang dulu."

"Hu um. Hati-hati."

Alan memakai jaketnya. Kemudian melangkah ke arah motor besar yang terparkir di depan garasi rumah Pak Rosyam.

Laki-laki membunyikan klakson kemudian bergerak meninggalkan Livia yang masih berdiri di sana.

Ketika hendak masuk rumah, mobil Bre memasuki halaman. Laki-laki itu turun dan tersenyum manis pada istrinya.

"Cepatnya Mas pulang dari Madiun?" tanya Livia ketika Bre menghampiri. Untuk menguak sesuatu, Livia harus bersabar dan menahan emosi. Seperti mereka yang bermain cantik di belakangnya.

"Iya. Setelah urusan selesai kami langsung pulang."

"Oh." Livia masuk rumah diikuti Bre. "Aku buatin kopi?"

"Nggak usah. Aku sudah ngopi tadi."

"Ya udah kalau gitu aku mau mandi." Livia meninggalkan Bre yang duduk sendirian di ruang tamu.

Livia membiarkan air shower membasahi dari ujung kelapa hingga ke seluruh raganya. Tangannya mengepal jika ingat satu tahun terakhir ia menjalani hidup di bawah tekanan mertuanya. Yang lebih menyakitkan, ketika ia dilarang hamil, Bre pun mendukung mamanya. Disaat ia menghindari pemakaian kontrasepsi, Bre yang memakai pengaman. Bukankah itu sebuah persetujuan? Dengan alasan belum siap punya anak. Lucu sekali alasan itu, karena secara mental dan finansial mereka pasti siap. Mereka bisa membayar baby sitter untuk membantu merawat anak.

Apa setelah ini Livia akan tetap sabar, mendiamkan perlakuan mereka yang mulai terang-terangan hendak menyingkirkannya?

Selesai mandi dan salat asar, Livia membawakan segelas teh hangat untuk Bre.

"Ayah ke mana?"

"Ke mushola."

Bre meraih gagang gelas dan menyesap teh hangat. Livia diam. Dia tidak akan membahas sesuatu yang akan membuang tenaga. Sekarang ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya mereka lakukan di restoran Tamimi beberapa jam yang lalu. Untuk beberapa waktu ke depan, Livia harus menebalkan muka dan menulikan telinga, agar tahu apa yang sebenarnya mereka rencanakan di belakangnya.

Livia bangkit dari duduknya dan melangkah ke kamar. Ponselnya tengah di charge di sana dan ia harus menyimpan dulu video yang dikirimkan oleh Dina sebelum Bre menemukannya.

Pelukan Bre dari belakang mengangetkan Livia. Untung saja ia sudah menyimpan video itu dengan aman.

Tangan Bre yang mulai nakal ditepiskan olehnya. Kalau dulu dengan senang hati ia akan menyambut bahkan membalasnya. Sekarang moodnya telah lenyap sejak semalam. Lelaki yang ia kira bisa memperjuangkannya, ternyata begitu lemah dalam membela istrinya.

Lelaki itu tidak putus asa, karena semalam keinginannya terpatahkan begitu saja. Livia tidak mau bangun dikala ia masuk kamar usai berbincang dengan keluarga Agatha.

Kembali Bre mencoba lagi, tapi Livia tetap menepis tangannya. "Bukan waktu yang tepat, Mas. Sebentar lagi Maghrib." Wanita itu melepaskan diri dan beranjak ke jendela kamar. Suasana di luar sudah merambah senja.

"Kamu harus membayarnya malam ini."

Livia tidak menanggapi. "Aku mau wudhu dulu."

Kisah mereka tidak diwarnai lagi oleh kehangatan dan kebebasan bercerita. Dulu Livia bisa mengerti saat dilarang punya anak karena Bre masih harus menyelesaikan S2 dan sedang membangun karirnya. Namun sekarang, ada alasan lain yang terlalu mengada-ada dan menyakitinya.

***L***

Sudah beberapa hari ini ia melihat Agatha datang ke kantor. Gadis itu masih menyapanya seperti biasa. Tidak ada yang aneh. Bahkan masih sempat menawarinya untuk makan siang bersama.

"Mbak Agatha, kapan nih?" Pertanyaan penuh teka-teki dari seorang staf yang duduk tepat di samping Livia, bertanya pada Agatha yang sedang berbincang dengan sekretaris pribadi Bre.

Livia pura-pura tidak mendengarnya. Ia sibuk meneliti laporan keuangan yang baru saja di selesaikan. Namun telinganya tajam mendengarkan. Perasaannya tak enak. Ada sesuatu yang sedang mereka rencanakan.

"Nanti kukabari," jawab gadis itu.

"Beneran jangan lupa. Aku tunggu pokoknya."

"Siipp."

Setelah itu hentakan stiletto Agatha terdengar meninggalkan ruangan.

Livia baru mengangkat wajahnya. Memandang ke arah sekretaris pribadi Bre yang saat itu tengah menatapnya dan buru-buru mengalihkan perhatian pada layar laptop.

Berkas yang sudah dimasukkan ke dalam map bening, dibawa Livia ke ruangan Kenny. "Silakan di cek, Mbak."

"I-iya. Nanti aku cek." Kenny selalu gugup jika didekati oleh Livia. Semenjak kepergian mereka hari Sabtu, Kenny berusaha menghindarinya.

"Mbak, boleh aku bertanya sesuatu?"

"Apa?" jawab Kenny tanpa memandang istri dari iparnya.

"Hari Sabtu kemarin Mbak ikut pergi ke mana?"

"Ke Madiun."

"Bener ke Madiun?"

Kenny mengangguk. Wanita itu terlihat gelisah saat Livia masih duduk di hadapannya. Terlihat sekali ia serba salah. Padahal Livia hanya diam menunggu laporannya selesai di tanda tangani.

Wanita yang biasanya selalu ramah dan mengajaknya bercerita, kini diam saja. Dan tergesa-gesa mengecek angka dan menandatanganinya.

"Nggak usah buru-buru, Mbak. Dicek betul-betul. Kalau ada kesalahan, dikira kita berkomplot nanti," ujar Livia yang membuat Kenny makin salah tingkah.

"Kamu bisa pergi. Nanti kalau ada yang perlu dibenahi, akan Mbak panggil."

Livia bangkit dari duduknya dan meletakkan amplop putih di atas meja. "Ini surat resign-ku, Mbak. Aku mau berhenti kerja dan mencari pekerjaan lain."

Baru Kenny menatap wanita cantik yang berdiri di hadapannya. "Kenapa?"

"Mbak Kenny, kan sudah tahu alasannya. Aku permisi dulu." Livia meninggalkan ruangan. Ia memutuskan pergi sebelum apa yang dirahasiakan darinya terkuak.

Beberapa saat setelah duduk di kursinya. Sekretaris Bre menghampiri. "Bu Livia, Pak Bre meminta ibu untuk datang ke ruangannya."

Tanpa menjawab, Livia bangkit dari duduknya dan melangkah ke ruangan sang suami.

"Apa maksudnya ini?" Bre menunjuk amplop putih di atas meja. Rupanya Kenny langsung memberitahu Bre tadi.

"Surat pengunduran diri," jawab Livia tenang.

"Aku nggak akan menyetujui."

"Saya nggak butuh persetujuanmu, Pak. Surat pengunduran diri hak mutlak karyawan yang ingin berhenti kerja. Dan ini menjadi tanggung jawab atasan untuk mengakui dan menerima keputusan itu."

"Kamu masih punya tanggungjawab yang harus kamu bereskan di sini."

"Hari ini, saya sudah menyelesaikan semuanya."

Bre menghela nafas berat. Ia bangkit dari duduknya dan menghampiri Livia. Meraih pinggang langsing istrinya hingga merapat dengan tubuhnya. "Apa maksudmu untuk berhenti kerja?"

"Aku dapat pekerjaan lain dengan gaji yang lumayan. Aku butuh itu untuk membiayai pengobatan ayahku yang tidak bisa dicover oleh asuransi kesehatannya."

"Aku selalu memberimu cukup uang tiap bulan. Apa itu kurang?"

"Aku nggak akan menggunakan uangmu untuk pengobatan ayahku."

"Aku nggak pernah melarangmu."

"Tapi aku yang nggak mau." Livia masih ingat bagaimana mama mertuanya berkata kalau Pak Rosyam hanya menjadi benalu dalam hidup putranya.

Mereka saling pandang dengan jarak yang begitu dekat. Livia berusaha melepaskan diri hingga panggutan itu mengangetkannya. Karena pada saat yang bersamaan, pintu ruangan di ketuk dari luar.

Next ....

Selamat membaca šŸ„°

Selamat menyambut dan menjalankan ibadah puasa Ramadhan 1445 H, kepada teman-teman yang sedang merayakannya. Mohon maaf lahir dan batin, ya šŸ™ Semoga amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT.

Comments (22)
goodnovel comment avatar
Khim Raghida
ya Allah mau baca novel nunggu ampe kebuka semua dulu neh baru mulai ...
goodnovel comment avatar
Fatma Ilolu
ya , berhenti saja kerja dengan orang yg selalu meremehkanmu Livia,itu keputusan yg tepat...
goodnovel comment avatar
Sherly Monicamey
livia, cerai saja. kamu berhak loh bahagia
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status