RAHASIA TIGA HATI
- Keributan Sore ItuLivia terkejut begitu juga dengan Bre. Ia tidak menyangka bertemu wanita yang ingin dicarinya di sana. Niatnya tadi ingin menemui Alan untuk menanyakan keberadaan Livia. Justru bertemu wanita itu yang baru keluar dari rumah Alan.Bre turun dari mobil dan melangkah menghampirinya. Rasa kaget tadi berubah menjadi tampang curiga di wajah lelaki tampan itu."Kenapa Mas di sini?" tanya Livia."Kamu kabur ke rumah Alan?" Bukannya menjawab, Bre berbalik tanya. Mereka saling menatap tajam. "Atau Alan yang membawamu kabur?""Jangan sembarangan kalau ngomong. Tahu kan apa alasan yang membuatku meninggalkan rumahmu, Mas.""Aku kan sudah bilang, tunggu aku pulang dulu.""Mamamu mengusirku. Jangan pura-pura tidak tahu. Nanti kutunjukkan semua pesan yang dikirim mamamu padaku."Pada saat mereka berdebat, Alan menghampiri. Spontan Bre mengalihkan tatapan yang menunjukkan rasa tidak suka pada lelaki tampan dengan postur tegap menjulang. "Jangan berdebat di sini, kita bisa bicarakan di dalam rumah," kata Alan dengan suara tenang. Tidak enak jika didengar dan diperhatikan oleh tetangga perumahan."Kenapa kamu nggak memberitahuku kalau Livia ada bersamamu?" Bre menatap tajam Alan. "Kamu sengaja memanfaatkan keadaan untuk membawanya pergi, kan?""Kamu salah paham. Ayolah masuk rumah dulu, kita bisa bicara di dalam.""Nggak usah. Aku mau mengajak istriku pulang," jawab Bre masih dengan nada tak bersahabat."Aku bukan istrimu lagi, Mas. Kamu ingat dengan talak yang telah kamu ucapkan, kan?""Selagi dalam masa iddah, aku berhak merujukmu.""Aku nggak akan kembali. Keadaan kita tidak akan pernah berubah. Mas, nggak pernah membela kehormatanku saat dihina keluargamu. Kita cerai saja.""Livi, please kita bisa bicarakan ini di dalam rumah. Nggak enak kalau masalah pribadi jadi tontonan orang." Alan kembali mengajak mereka bicara di dalam rumah."Ya, Mas," jawab Livia. Namun ketika hendak melangkah, tangannya di cekal oleh Bre. "Nggak perlu ke dalam. Aku ingin membawa Livia pulang.""Lepasin." Livia menyentakkan tangannya hingga terlepas dari cekalan Bre. "Apa sih maumu, Mas. Heran aku dengan pendirianmu. Mas, ingin aku kembali tapi disisi lain Mas juga menyetujui perjodohan dengan Agatha.""Aku sudah bilang kalau menolaknya.""Mas, nggak tegas.""Aku akan bicara dengan mama lagi kalau kamu ikut aku pulang."Mereka saling tatap dan saling mengintimidasi. Sedangkan Alan membuang pandang ke arah lain. Dia tidak bisa terlalu dalam ikut campur urusan rumah tangga Bre dan Livia. Walaupun ia sangat memahami bagaimana perasaan Livia saat ini. Siapa yang bisa terima kalau ayahnya di hina."Mas, pulang saja. Aku nggak akan pernah kembali ke sana. Aku sudah siap bercerai darimu.""Oh, kamu sudah keenakan tinggal sama mantan kekasih kakakmu di sini, makanya menolak kuajak pulang. Apa yang kalian lakukan selama tiga hari di sini?"Baik Livia atau pun Alan sangat terkejut dengan ucapan yang bernada tuduhan dari Bre."Jangan sembarangan ngomong, Livi tinggal di homestay bukan di rumahku. Kamu bisa cek rumah itu. Livia butuh tempat tinggal sementara, menyiapkan mental untuk memberitahu ayahnya." Alan menunjuk rumah mungil minimalis di hadapannya.Bre tersenyum sinis. "Jarak kalian tinggal, hanya beberapa meter saja. Nggak akan jadi penghalang untuk laki-laki dan perempuan tidur bersama."Mendengar tuduhan itu membuat Livia menatap nanar Bre, dia tidak terima dengan tuduhan kotor itu. Sementara Alan yang berdiri tegak dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celananya, masih bersikap tenang. Bukan tak ingin membela diri, tapi percuma bicara dengan lelaki seperti Bre."Sembarangan kamu ngomong, Mas," hardik Livia dengan mata melotot tajam dan tangan mengepal di kedua sisi tubuhnya."Alan diam saja, berarti membenarkan ucapanku." Bre menatap Alan. Memancing amarah lelaki itu."Meski sekian lama kalian bersama, rupanya kamu nggak mengenali siapa Livi, Bre. Dia bukan perempuan murahan seperti yang ada dipikiranmu. Ternyata Livi memang tidak layak menjadi istri dari lelaki yang tidak tahu bagaimana memperjuangkannya." Setelah diam dengan semua tuduhan, akhirnya Alan meluapkan pembelaannya pada adiknya Selvia.Bre marah dan melayangkan pukulan ke rahang Alan. Namun laki-laki itu dengan sigap bisa menghindarinya. Bre tidak terima saat pukulannya sia-sia di udara. Lelaki jago karate itu menyerang kembali Alan.Livia cemas saat perdebatan tadi berujung pada perkelahian dua lelaki yang sama-sama jago bela diri. Serangan Bre yang membabi buta hanya dihindari oleh Alan tanpa melakukan balasan. Muay Thai termasuk bela diri yang paling keras di dunia, sehingga tidak sulit untuk menghindari atau menangkal pukulan Bre.Wanita itu panik, apalagi dari beberapa rumah para ART yang memperhatikan dari balik pagar tampak ketakutan. Jam segitu para majikan mereka memang belum kembali dari bekerja."Hentikan, Mas!" teriak Livia.Alan menjauh karena memang tidak mau menyerang balik, baginya percuma berkelahi dengan lelaki seperti Bre. Namun Bre yang tidak terima karena menyerang tanpa adanya perlawanan. Bagi Alan, apa yang ia kuasai bukan untuk menunjukkan kalau dirinya hebat dan kuat. Lagipula, jika ia bisa memukul dan melukai Bre, urusan bisa jadi lain kalau lelaki itu bersikap licik dengan melaporkannya ke polisi.Melihat Bre terus mendesak, Livia yang geram. Dia mencuri kesempatan dan melakukan tendangan ke perut Bre, membuat laki-laki itu mundur ke belakang beberapa langkah."Kamu membelanya!" Bre menatap marah sambil memegangi perutnya."Iya. Kenapa? Mas, nggak terima!" jawab Livia. Walaupun jika berkelahi pun, ia tidak mungkin menang dari Bre.Mendengar jawaban Livia, mata Bre merah menahan murka. Livia yang selama ini selalu mengalah padanya, kini terang-terangan membela lelaki lain.Pada saat itu muncul beberapa bapak-bapak dari ujung gang. Mereka menghampiri karena mendengar ada keributan."Ada apa ini?" Seorang bapak bertubuh subur menegur lebih dulu. Menunjukkan rasa terganggu dengan apa yang terjadi."Dia membawa lari istri saya, Pak." Bre menunjuk Alan. "Bahkan mereka sudah tinggal serumah.""Bohong, Pak. Mas Alan tidak membawa kabur saya. Saya yang pergi dari rumah karena saya sama suami sudah bercerai secara agama. Saya juga tidak tinggal serumah dengan Mas Alan. Tiga hari ini saya tinggal di homestay milik Pak Wuri," jawab Livia seraya menatap tajam Bre kemudian beralih pada lelaki bertubuh kerempeng, pemilik homestay."Iya. Mbak, ini yang kemarin menemui saya.""Maaf Bapak-Bapak, kalau kami membuat keributan di sini. Sebenarnya ini hanya kesalahpahaman." Alan berkata sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada pada keempat laki-laki yang berdiri di tengah jalan."Kalau masalah pribadi, sebaiknya dibicarakan secara kekeluargaan, Mas Alan," ujar seorang bapak berkaus kuning."Ya, Pak. Maaf.""Kami kenal baik Mas Alan dan almarhum papanya Mas Alan, saya yakin kalau Mas Alan nggak mungkin membawa kabur istri orang. Lagian masih banyak gadis yang ngejar-ngejar Mas Alan. Ngapain bikin masalah dengan membawa kabur istri orang." Pak Wuri membela Alan."Makasih, Pak Wuri."Kemudian Pak Wuri dan bapak komplek lainnya meninggalkan tempat itu.Bre serasa dikuliti di sana karena mereka lebih jelas mengenal siapa Alan daripada dirinya. Dibenahinya kemeja kemudian menghampiri Livia. "Nggak akan kubiarkan laki-laki manapun memilikimu," ancamnya."Jangan mengancamku, Mas. Aku nggak pernah takut sendirian. Kehidupan mengajariku tidak lemah saat dipatahkan."Tatapan Bre meredup. Jujur saja, bagaimanapun kasarnya kalimat yang keluar dari bibirnya, tapi hatinya telah remuk redam. Kekasarannya hanya untuk menutupi luka dalam dada.Seketika itu ia merasakan kehilangan arah. Bingung memilih sikap karena sudah terlanjur marah melihat Livia bersama Alan. Untuk merendah minta maaf, ego lebih menguasai dirinya."Aku tunggu akta cerai kita."Bre tidak menanggapi ucapan Livia, ia langsung masuk ke dalam mobilnya setelah menatap sekilas pada Alan."Kamu nggak apa-apa?" Alan menghampiri Livia yang tengah menangis tanpa suara."Aku nggak apa-apa, Mas. Sekarang juga aku akan pulang ke rumah ayah. Daripada nanti timbul fitnah di antara kita. Mas Alan, nggak tahu apa-apa malah kena imbasnya.""Kamu ingin memberitahu Om Syam sekarang?"Livia mengangguk pelan. "Sekarang atau nanti, ayah tetap bakalan tahu juga.""Kamu berkemas-kemas dulu, nanti kuantar."Livia kembali ke homestay dan Alan masuk ke rumahnya.Selesai berkemas, Livia meraih ponsel dan mengirimkan pesan dari Bu Rika pada Bre. Laki-laki itu tidak menjawab meski pesannya dilihat.***L***Pak Rosyam diam mematung setelah Livia menceritakan kemelut rumah tangganya. Netra lelaki itu berkaca-kaca. Sebenarnya dalam diamnya dia juga tahu bagaimana perlakuan keluarga Bre pada putrinya. Namun masih berharap bahwa rumah tangga mereka akan tetap baik-baik saja.Setelah keruntuhan bisnisnya, pihak besan kian berubah dan menjaga jarak. Padahal dirinya hanya menjadi korban fitnah. Namun sayang, posisinya sangat lemah untuk melakukan pembelaan. Belum lagi kenangan pahit kehilangan istri dan anaknya waktu itu masih menjadi trauma yang dalam."Nggak apa-apa, Nduk. Ikhlaskan saja. Kelak kamu akan mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik lagi." Pak Rosyam membelai rambut putrinya.Alan yang masih di sana, diam duduk di sofa. Tadi Livia minta tolong supaya ditemani bicara dengan ayahnya. Sebab jika terjadi apa-apa bisa memberikan pertolongan. Ternyata ayahnya tidak syok seperti yang ia takutkan. Walaupun jelas sekali dari wajahnya kalau dia sangat terpukul."Ayah, nggak usah khawatir. Aku baik-baik saja. Aku ikhlas jika pernikahanku selesai sampai di sini. Mereka boleh menghinaku, tapi aku nggak terima jika mereka menghina ayah." Livia memeluk lengan ayahnya."Maafkan ayah karena nggak bisa membelamu," ujar Pak Rosyam dengan suara serak."Nggak apa-apa. Ada Mas Alan yang membantuku. Yang penting sekarang ayah harus selalu sehat."Sang ayah manggut-manggut, kemudian melepaskan kacamata dan menghapus air matanya."Aku juga minta tolong sama Mas Alan untuk mencarikan pekerjaan.""Ayah nggak usah lagi pergi ke dokter. Ayah sudah jauh lebih baik sekarang ini, Liv.""Tapi harus tetap kontrol untuk jantungnya, Ayah."Pak Rosyam mengangguk pelan.Setelah keadaan tenang, Alan pamitan. Dia mencium tangan Pak Rosyam lantas melangkah keluar di antar Livia. "Makasih banyak ya, Mas. Aku ngrepotin Mas Alan beberapa hari ini.""Nggak apa-apa. Kalau ada sesuatu, segera hubungi aku.""Hu um. Jangan lupa kalau ada lowongan pekerjaan untukku.""Iya. Nanti aku kabari. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Livia masih berdiri di teras meskipun mobil Alan telah pergi. Akhirnya ia sampai juga di titik ini. Menyandang gelar janda tak lama lagi. Dia tidak akan mengemis untuk diperjuangkan oleh Bre. Laki-laki itu sudah jauh berubah ketimbang pada saat mereka berjuang untuk bisa menikah.Sejak dulu Bu Rika memang tidak menyukainya. Entah apa alasannya. Mungkin karena dia lebih menyukai Agatha dan berharap perempuan itu yang menjadi menantunya. Atau ada alasan lain, Livia tidak tahu. Namun Alan pernah bilang, keluarga Bre pasti tahu banyak tentang runtuhnya bisnis keluarga Livia.Agatha bukan wanita baru dalam hidup Bre. Mereka berteman semenjak masih sama-sama SMA. Tapi mereka kuliah di universitas yang berbeda. Bre bilang tidak pernah pacaran dengan gadis itu."Mbak Livia, bapak pingsan, Mbak!" teriakan Pak Tamin dari dalam rumah mengangetkan Livia.Next ....Selamat membaca 🥰RAHASIA TIGA HATI- Jangan Pergi, AyahLivia gelisah, sedih, takut, saat menunggu ayahnya yang sedang diperiksa. Tidak tenang duduk, ia berdiri dan mondar-mandir di depan ruang IGD. Ayahnya merupakan satu-satunya keluarga yang ia punya sekarang ini. Jika ayahnya pergi, runtuh sudah dunianya.Pak Tamin juga cemas duduk di bangku logam. Dia sudah mengabdi pada Pak Rosyam puluhan tahun.Hati Livia sedikit lega ketika melihat Alan berjalan cepat menghampirinya. Belum sampai di rumah Livia sudah menelponnya lagi, makanya berpatah balik langsung ke rumah sakit."Bagaimana keadaan Om?""Masih diperiksa, Mas," jawab Livia menatap penuh harap pada Alan. Bahwa laki-laki itu bisa menemaninya melewati masa sulit ini. "Duduklah, semoga nggak terjadi apa-apa pada Om." Alan mengajak Livia duduk di sebelah Pak Tamin.Suasana mulai temaram karena hari beranjak senja. Namun para pembesuk masih terus hilir mudik di parkiran depan sana. "Padahal ayah bilang tadi bilang baik-baik saja. Mas Alan, juga li
RAHASIA TIGA HATI- Hapus Foto Itu"Assalamu'alaikum, Liv." Kenny mengucapkan salam setelah muncul di pintu pagar."Wa'alaikumsalam.""Maaf, aku ganggu waktumu. Kebetulan aku pas lewat, jadi sekalian mampir. Kamu mau pergi, ya?" tanya Kenny menghampiri Livia."Ya, Mbak.""Boleh kita bicara sebentar?""Bicara tentang apa ya, Mbak? Soalnya aku buru-buru. Ayahku opname dan aku harus ada di sana saat dokter melakukan pemeriksaan pagi ini.""Ayahmu sakit apa?""Seperti biasa. Apa yang ingin Mbak bicarakan?""Mama merencanakan perceraianmu dengan Bre. Beliau sudah menyiapkan pengacara.""Oh, itu. Aku sudah tahu, Mbak."Kenny diam sejenak. "Kamu nggak bicara dengan Bre untuk menggagalkan rencana Mama.""Enggak, Mbak. Lebih baik kami memang berpisah. Kenapa Mbak Kenny yang justru mencegah supaya kami tidak bercerai?" Livia menatap heran pada wanita cantik di depannya. Apa yang dipikirkannya sehingga sibuk ikut mengurusi permasalahannya."Aku hanya menyayangkan kalau kalian berpisah. Bre seben
Livia membesarkan hati ayahnya. Ia pun tidak menunjukkan kesedihan. Begitu juga dengan Pak Tamin, turut memberikan semangat pada majikannya. Mereka berbincang dan bercanda hingga siang. Jam tiga sore Alan datang membawakan brownies, minuman, dan buah. Laki-laki dengan rambut diikat rapi melepaskan jaketnya dan menaruhnya di sandaran kursi. Dia menghampiri Pak Rosyam yang tengah tertidur. "Bagaimana kata dokter tadi?" Alan bertanya lirih pada Livia."Alhamdulillah, dokter bilang kondisi ayah membaik.""Syukurlah!""Mas Alan, ini tadi baru pulang dari kantor?""Iya. Kamu sudah makan?""Aku makan roti tadi.""Mbak Livia nggak mau makan nasi, Mas," sahut Pak Tamin."Kenapa nggak makan nasi? Nanti kamu sakit. Kita makan di restoran depan. Kebetulan aku tadi juga belum sempat makan siang." Alan berdiri lagi sambil menarik lengan kemejnya hingga sebatas siku."Titip ayah, ya Pak," ucapnya pada Pak Tamin."Njih, Mbak."Akhirnya Livia bangkit dari duduk dan mengikuti Alan. Mereka menyeberang
RAHASIA TIGA HATI- Rela"Mana, aku mau lihat ponselmu?"Agatha mendongak, menatap Alan yang menjulang di hadapannya. Keder juga dia dengan lelaki yang diam-diam diidamkan banyak perempuan. Termasuk sahabat dekatnya sendiri."Sudah kuhapus."Alan tetap memaksa mengambil ponsel dari tangan Agatha. Mengecek bagian galeri. Memang sudah tidak ada. Kemudian ia melihat di aplikasi pesan. Dugaannya benar. Foto tadi rupanya diambil dan langsung dikirim pada nomernya Bre dan sudah dilihat oleh laki-laki itu.Ponsel Agatha yang masih dipegang Alan berdering. Bre yang menelepon. "Halo.""Kenapa kamu yang ngangkat?" Suara di seberang."Aku tunggu di depan rumah sakit Harapan Keluarga. Datang ke sini sekarang. Aku tunggu." Alan mematikan ponsel dan memberikan benda itu pada pemiliknya.Livia memandang Alan dengan tatapan tidak mengerti."Agatha mengambil foto dan langsung terkirim pada Bre. Kita tunggu dia di sini. Persoalan ini harus selesai sekarang juga." Alan menjelaskan.Mendengar itu Livia
Alan marah dengan tindakan Agatha yang mengambil foto secara diam-diam. Ingin juga menyuruh Bre menghapus foto itu. Tapi ia sadar, hanya keributan yang akan terjadi. Makin memperpanjang permasalahan saja. Akhirnya Alan memilih diam. Setidaknya urusan Livia bisa segera selesai.Ponsel Bre di saku celana berdering. Telepon dari Fery. Rupanya laki-laki itu tadi meninggalkan meeting untuk menemui mereka. Bre menjawab telepon sebentar kemudian kembali memandang Livia. Terlalu banyak yang ikut campur dalam rumah tangganya, membuat hubungannya dengan Livia carut marut. Tapi dirinya sendiri tidak punya kemampuan untuk meninggalkan keluarganya, terutama sang mama.Jujur saja kalau sebenarnya ia merasakan hatinya patah sepatah-patahnya. Pernikahannya terlanjur porak-poranda saat ini. Livia bahkan sudah kehilangan rasa kepercayaan padanya.Bre lantas menoleh sekilas pada Agatha. "Kita pergi," ujarnya lalu melangkah pergi diikuti oleh gadis itu.Livia menatap mereka yang berjalan menjauh ke arah
RAHASIA TIGA HATI- Sidang Terakhir "Assalamu'alaikum, Mas Alan.""Wa'alaikumsalam.""Ada kabar apa? Semoga kabar baik." Livia tidak sabar. Terdengar tawa di seberang. "Mas Alan, malah ketawa.""Sabar, Livi. Nanti kalau ada kukabari. Aku cuman mau bilang. Mungkin beberapa menit lagi akan ada kurir nganterin ayam panggang dan ikan bakar ke rumah. Nanti kalian bisa makan malam bersama.""Mas, kok repot sih. Mas Alan, nggak mau sekalian makan malam di sini?""Enggak. Ini aku juga baru sampai rumah. Tadi ngopi bareng sama teman. Siang tadi aku dapat kabar kalau menang dalam kontes desain.""Oh ya? Wah selamat, Mas. Pasti hadiahnya besar.""Sebenarnya waktu itu ikutnya nggak niat banget, Livi. Alhamdulillah dapat juara. Kalau ada waktu luang, nanti kuajak kamu jalan-jalan sekalian sama Om dan Pak Tamin. Cuman dalam minggu ini aku masih banyak kerjaan.""MasyaAllah, Mas baik banget sih. Makasih banyak." Livia jadi terharu. Andai kakaknya masih ada, pasti bahagia memiliki suami seperti Ala
Livia baru saja masuk kamar saat ponsel di tasnya berdenting. [Livia, bisa kita bertemu sebelum sidang perceraian diputuskan?][Kapan sidangnya?] Ini kesempatan Livia untuk tahu kapan sidang terakhir.[Tanggal 20 bulan ini.]Oh, ternyata masih sekitar semingguan lagi.[Untuk apa bertemu?][Kita bisa membatalkan perceraian ini. Aku nggak ingin kehilanganmu, tapi aku dipaksa, Liv. Aku selalu diawasi supaya tidak bertemu denganmu.]Livia mengirimkan emot tawa berderet-deret pada Bre.[Telat perjuanganmu, Mas. Aku sudah lebih dari siap menyandang status baruku. Nggak sabar menunggu momen itu.][Please, Liv.][Nggak akan pernah ada jalan untuk kita kembali.][Ada, Liv. Please.]Livia melempar ponsel di atas tempat tidur dan bersiap-siap untuk mandi. Dia juga malas membalas lagi pesan dari Bre. Hanya membuat emosi saja. Penyesalan yang terlambat. Livia sudah membunuh perasaannya. Dia tidak akan kembali pada pria yang sama. Lelaki yang tidak tahu bagaimana harus bersikap tegas terhadap rumah
RAHASIA TIGA HATI - Speechless Ada rahasia apa sebenarnya? Kenapa mereka begitu kejam pada keluarganya."Mas Alan nggak pernah cerita pada saya, Bu." Livia penasaran saat di perjalanan."Karena kamu masih bagian dari keluarga Hutama. Waktu ibu tanya, kenapa berhenti proses untuk penyelidikan. Dia jawab 'Livi sudah menjadi bagian keluarga mereka, Bu. Yang penting dia bahagia.' Alan bicara seperti itu."Speechless. Livia diam kehilangan kata-kata. Alan telah melakukan banyak hal tanpa sepengetahuannya. "Setelah tahu permasalahan kamu dan kamu sendiri memilih keluar dari keluarga Hutama, Alan mulai bertindak lagi. Untuk sekarang ini dia fokus melindungimu dan ayahmu.""Bu Mira sudah kenal lama dengan Mas Alan?""Sudah lama. Saya teman papanya Alan. Saya bekerja di firma hukum yang sama dengan Pak Azhar sebelum beliau meninggal. Jadi saya juga kenal baik dengan Bu Azhar yang sekarang tinggal di desa."Livia mendengar cerita Bu Mira. Bersyukur karena ia diketemukan dengan orang-orang bai