RAHASIA TIGA HATI
- Talak"Aku bisa merujukmu."Livia tertawa. "Mas kira cerai dan rujuk itu bisa dibuat candaan. Sebentar bilang cerai sebentar bilang rujuk. Kalau cerai, cerai saja, Mas. Rumit hubungan kita. Sedikit saja Mas nggak bisa membelaku dan ayahku saat keluargamu menghina kami. Itu berarti, Mas pun setuju dengan penghinaan mereka yang merendahkan keluargaku."Bre menghela nafas panjang. Dia lupa kalau Livia bukan perempuan yang gampang sekali diperdaya. Waktu masih kuliah dulu, dia cewek yang lembut, tapi keadaan yang menimpa keluarga membuatnya berubah menjadi perempuan yang tegas."Liv."Livia sudah mematikan panggilannya. Bre kembali menghubungi tapi tidak di angkat. Beberapa pesan dikirim tapi juga diabaikan. Perasaannya kalang kabut. Ingat bagaimana dia begitu ceroboh memberikan ancaman pada Livia tentang talak. Dipikirnya, Livia tidak akan pergi karena apapun yang terjadi selama ini, Livia bertahan di sampingnya.Bre mondar-mandir di ruangannya. Denting suara pesan membuatnya buru-buru menyambar ponselnya di atas meja.[Aku nggak bisa membawa semua pakaianku. Tapi aku sudah berpesan pada Si Mbok, untuk membereskan lemari itu. Terserah pakaianku mau di apakan, dibuat lap juga nggak apa-apa.][Mau sampai kapan kita bertahan. Hubungan ini nggak akan membaik. Keluarga Mas nggak akan pernah bisa menerimaku. Apalagi mereka sudah memiliki pilihan sendiri dan mama bilang, Mas sudah menyetujuinya.] Livia mengirimkan dua pesan.[Di mana aku bisa menemuimu sekarang?] Balas Bre.[Jangan sekarang. Aku ada janji bertemu dengan seseorang.][Siapa?]Livia tidak membalasnya. Bre melempar ponsel di atas meja. Tangannya mengusap kasar wajah sambil mendengkus kesal. Bodoh sekali, kenapa ia sampai menjatuhkan talak.***L***"Dokter, saya benar-benar minta maaf karena telat pagi ini. Padahal saya kemarin janji mau datang jam tujuh." Livia duduk di hadapan dokter Pasha dan merasa sangat bersalah. Akhirnya Livia menemui dokter Pasha di restoran depan rumah sakit."Nggak apa-apa." Dokter berpenampilan menawan dan penuh kharisma itu tersenyum ramah. Usianya sudah pertengahan tiga puluhan. Dia sangat baik pada keluarga Livia. Makanya memanggil wanita itu hanya dengan sebutan nama saja."Kenapa kamu bawa koper?" Dokter Pasha memandang koper di sebelah kursi Livia. "Kamu pergi dari rumah suamimu?"Livia mengangguk pelan. Sebenarnya sungkan juga jika dokter itu tahu permasalahan pribadinya."Kamu sudah sarapan?""Sudah, Dok," jawab Livia berbohong. Malu kalau sampai dokter Pasha membelikannya sarapan."Oke, kalau gitu kamu mau minum apa?""Teh anget saja."Dokter Pasha menjentikkan jarinya pada pelayan dan ia memesan dua teh hangat."Kenapa kamu pergi dari suamimu?" Dokter itu penasaran juga, padahal selama ini pun sering bertanya-tanya karena tidak pernah melihat suami Livia mendampingi Pak Rosyam ketika melakukan pemeriksaan padanya.Livia diam sejenak. Sungkan hendak mengulas tentang rumah tangganya. Tapi jika ingin mendapatkan solusi, ia harus jujur. Akhirnya Livia menceritakan poin-poin penting mengenai permasalahannya dengan suami dan keluarganya."Saya mau pulang ke rumah ayah, tapi khawatir dengan kondisi psikologisnya, Dok. Saya takut, ayah saya shock dan kembali down.""Perkembangan Pak Rosyam sangat baik, Liv. Dia sudah bisa menerima segala kejadian yang membuatnya syok dan trauma. Runtuhnya bisnis tidak begitu berpengaruh pada kondisi psikologis beliau. Yang membuat ayahmu nyaris depresi adalah kehilangan ibu dan kakakmu dalam waktu bersamaan dan begitu tragis."Sudah pasti. Apalagi peristiwa itu terjadi tepat di depan matanya. Mereka sedang pergi ke Pacet saat itu. Selvia mengendarai mobil ayahnya bersama sang ibu. Sedangkan Pak Rosyam mengendarai mobil yang baru diambil dari Malang dan mengikuti di belakangnya. Namun siapa mengira, mobil yang dikendarai Selvia remnya blong dan tidak bisa di kendalikan hingga akhirnya masuk jurang.Padahal yang diincar oleh pelaku adalah Pak Rosyam, tapi ternyata mobil itu dikendarai anak dan istrinya."Saran saya, pelan-pelan saja dikasih tahunya. Saya yakin beliau pasti bisa menerima kenyataan itu. Kalau misalnya ada apa-apa, kamu bisa menelepon saya. Insya saya usahakan untuk datang.""Dok, makasih banyak. Saya jadi ngrepotin, Dokter.""Nggak apa-apa, dengan senang hati saya akan membantumu. Terus sementara kamu mau ke mana? Atau langsung pulang?""Saya mau cari kamar kos untuk sementara.""Jadi belum dapat kosan?""Belum.""Saya ada teman yang keluarganya punya kos-kosan. Mau saya hubungkan?"Livia malu kalau merepotkan dokter Pasha."Nggak usah, Dok. Saya punya teman yang bisa bantu saya.""Beneran?""Iya.""Kalau belum ada, saya teleponkan teman saya." Dokter Pasha mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Namun di cegah oleh Livia. "Nggak usah, Dok. Nanti saya telepon teman saya.""Oke. Kalau gitu saya harus kembali ke rumah sakit. Para pasien sedang menunggu saya. Maaf, karena nggak bisa berlama-lama ngobrol sama kamu.""Nggak apa-apa, Dok. Justru saya yang seharusnya minta maaf, karena mengganggu waktu, Dokter.""Jangan sungkan. Kalau ada apa-apa segera telepon saja."Livia mengangguk. "Makasih, Dok.""Saya pergi dulu, ya." Dokter Pasha pamit setelah menyesap teh. Laki-laki itu melangkah keluar rumah makan setelah membayar minuman mereka.Livia memperhatikan hingga dokter tegap itu menyeberang jalan. Dia sangat baik. Peduli ketika diajak konsultasi di luar tempat prakteknya padahal dia super sibuk.Para pengunjung rumah makan memperhatikan Livia dengan koper besar di sebelahnya. Pesan yang dikirim pada Dina belum juga dijawab. Kalau pagi begini pasti dia sibuk dengan pesanan. Yang masuk justru pesan dari Bre. Kemudian Livia menelepon Alan."Assalamu'alaikum." Suara laki-laki itu di seberang."Wa'alaikumsalam. Mas Alan, di rumah apa di kantor?""Hari ini aku WFH, Livi. Nanti ada jadwal ngajar jam dua siang. Ada apa?""Mas, sibuk ya?""Ada projek yang sedang aku selesaikan. Tapi aku bisa sambil mendengarmu kalau kamu ingin cerita.""Aku pergi dari rumah Mas Bre.""Kamu serius?""Iya.""Kamu di mana sekarang?""Aku di Rumah Makan Padang depan rumah sakit. Tadi aku ngirim pesan ke Dina belum dijawab. Mungkin dia belum sempat pegang ponsel. Rencananya aku mau cari kamar kos sementara, sambil menyiapkan mental untuk memberitahukan hal ini pada ayah.""Tunggu di situ, kujemput!" Alan mematikan ponselnya. Livia duduk melamun dan berharap tidak ada kenalan suami atau mertua yang memergoki dia di sana.Hampir setengah jam menunggu, akhirnya Alan sampai juga di restoran. Lelaki itu melangkah tergesa menghampiri Livia. "Maaf, nunggu lama. Macet tadi karena ada perbaikan jalan.""Nggak apa-apa, Mas. Aku yang nggak enak karena ngrepotin, Mas Alan. Padahal Mas lagi kerja.""Nggak apa-apa."Alan seorang design grafis yang memang lebih sering bekerja secara work from home. Ke kantor jika ada meeting atau hal lain. Selain itu dia juga seorang dosen yang mengajar di universitas swasta meski seminggu hanya ada jadwal dua sampai tiga kali pertemuan saja. Jika ada waktu, dia pergi membantu temannya menjadi coach Muay Thai."Kamu sudah sarapan?""Belum, tapi aku udah pesen untuk di bungkus. Mas, sudah sarapan?""Sudah.""Aku mau cari kosan, Mas. Untuk sementara saja kalau bisa." Livia juga menceritakan apa yang terjadi antara dirinya, Bre, dan keluarga suaminya."Jadi, Bre sudah menalakmu?""Ya. Tapi untuk hari ini aku belum bisa ngasih tahu ayah. Makanya untuk sementara aku mau cari kosan. Mas, bisa bantu aku?""Kamu ikut aku. Nanti kutanyakan sama satpam perumahan. Ada homestay di sana, semoga saja free dan nggak ada yang booking dalam seminggu ini."Livia bernapas lega, meski itu pun belum pasti juga. Tapi ia yakin kalau Alan sudah tentu akan membantunya."Aku juga butuh pekerjaan, Mas. Mungkin ada lowongan di kantor, Mas Alan. Atau di tempat kenalannya, Mas.""Soal pekerjaan bisa dipikirkan nanti saja setelah Om Syam tahu permasalahan kamu.""Iya, tapi kalau ada lowongan segera kasih tahu aku. Khawatirnya nanti keduluan orang. Pengobatan dan gaji untuk Pak Tamin terus berjalan, Mas.""Aku bisa bantu kamu.""Tapi nggak bisa terus-terusan aku minta bantuan Mas, kan?""Itu dipikir nanti saja. Sekarang kita pergi dari sini," kata Alan setelah seorang pelayan mengantarkan pesanan Livia."Aku sudah membayarnya, Mas," cegah Livia ketika Alan hendak mengeluarkan dompetnya."Oke. Kita pergi sekarang."Mereka keluar rumah makan dan langsung naik ke mobil Alan. Mobil milik almarhum papanya Alan yang sebenarnya jarang sekali di pakai pria itu. Alan lebih suka naik motor. Pulang menjenguk ibunya di desa pun sering naik motor.Mobil berhenti di dekat pos satpam. Livia lega karena homestay yang biasa di sewa oleh para warga jika ada kerabat yang datang dan rumah mereka tidak muat, biasanya ketika mereka mengadakan acara hajatan, ternyata kosong untuk dua minggu ke depan.Pak Satpam langsung menghubungi pemilik rumah. Tidak lama kemudian Livia sudah masuk homestay minimalis tepat di depan rumah Alan. Rumah yang ditinggali laki-laki itu sendirian karena mamanya memilih pulang ke kampung halaman setelah papanya Alan tiada."Aku pulang, ya. Nanti siang nggak usah pesen makanan. Biar sekalian aku pesankan.""Makasih ya, Mas."Alan mengangguk kemudian melangkah cepat kembali ke rumah karena harus segera menyelesaikan pekerjaan.Homestay itu bersih dan tinggal menempati saja. Livia duduk di ruang tamu untuk sarapan. Jam tangannya sudah menunjukkan pukul sembilan lebih seperempat.***L***Tinggal tiga hari di homestay, Livia lebih banyak melamun. Dina datang dua kali dan membawakan roti serta makanan lainnya. Dalam kesunyian justru semua kenangan dan kisah hidupnya muncul ke permukaan. Amat menyesakkan.Alan yang setiap hari mengurusi makan dan minumnya. Livia makin tak enak karena merepotkan mantan kekasih almarhumah Selvia.[Jangan pernah temui Bre lagi meski dia yang mengajakmu ketemuan. Surat perceraian akan segera diproses dan bulan depan Bre-Agatha lamaran.]Livia tidak membalas pesan yang dikirim oleh mama mertuanya. Pesan dan telepon dari Bre juga tidak di angkat. Bu Rika leluasa mengancamnya karena tahu, Livia tidak akan melawan karena memikirkan kondisi ayahnya.Baru saja Livia melihat postingan Agatha yang muncul di beranda media sosialnya.MENUNGGU BULAN DEPAN.Perasaan Livia terguris. Jadi beneran mereka mau lamaran. Selama ini Agatha memang diam. Bahkan tetap menegurnya dengan sikap biasa saja. Menulis sesuatu di wall pribadinya juga menggunakan bahasa kiasan. Sepertinya gadis itu tengah menjaga image-nya. Menyelamatkan reputasi agar tidak mendapatkan tuduhan sebagai perebut suami orang. Mereka semua sangat pandai bersandiwara.Sedih. Bagaimana ia harus memberitahu ayahnya agar bisa segera pulang dan kembali bekerja. Supaya tidak kelamaan menjadi bebannya Alan.Livia melihat Alan yang mengendarai motor baru saja memasuki rumahnya. Ia mengambil sekotak brownis kukus di atas meja dan membawanya ke rumah pria itu."Mas," panggil Livia pada Alan yang tengah membuka pintu."Hai, sini!""Ini ada brownis dari Dina. Siang tadi dia mampir ke sini lagi.""Kan itu untuk kamu.""Dina bawain buat, Mas Alan." Livia meletakkan brownies di atas meja. Kemudian pandangannya terpaku pada foto yang menempel di dinding ruang kerja Alan."Ya ampun, Mas Alan belum nurunin fotonya Mbak Selvi," seloroh Livia. "Kalau Mas masih nyimpen foto mantan, pasti cewek yang mau deketin Mas Alan udah mundur duluan."Alan tersenyum sambil melepas sarung tangan. "Nanti kalau sudah ada pengganti, baru aku turunin.""Memangnya Mas belum punya pacar lagi?"Lagi-lagi Alan hanya menjawab dengan senyuman. Livia jadi terharu. Beruntung sekali kakaknya dicintai lelaki seperti Alan. Sudah meninggalpun Alan masih setia. Sementara dirinya tidak pernah merasakan bagaimana dibela suami sendiri."Besok aku akan menemui ayah, Mas. Aku harus jujur dengan keadaanku sekarang ini.""Perlu kutemani?""Nggak usah. Aku udah banyak ngrepotin, Mas.""Nggak apa-apa kalau kamu perlu teman.""Makasih. Besok aku akan menemui ayah sendiri saja.""Oke. Tapi kamu lihat dulu kondisi Om Syam bagaimana.""Iya. Kalau gitu, aku balik dulu, Mas."Alan mengangguk. Livia melangkah keluar. Ketika baru melewati pintu pagar, ia dikejutkan oleh mobil Bre yang berhenti tepat di depannya.Next ....Selamat membaca 🥰RAHASIA TIGA HATI- Keributan Sore Itu Livia terkejut begitu juga dengan Bre. Ia tidak menyangka bertemu wanita yang ingin dicarinya di sana. Niatnya tadi ingin menemui Alan untuk menanyakan keberadaan Livia. Justru bertemu wanita itu yang baru keluar dari rumah Alan.Bre turun dari mobil dan melangkah menghampirinya. Rasa kaget tadi berubah menjadi tampang curiga di wajah lelaki tampan itu. "Kenapa Mas di sini?" tanya Livia."Kamu kabur ke rumah Alan?" Bukannya menjawab, Bre berbalik tanya. Mereka saling menatap tajam. "Atau Alan yang membawamu kabur?""Jangan sembarangan kalau ngomong. Tahu kan apa alasan yang membuatku meninggalkan rumahmu, Mas.""Aku kan sudah bilang, tunggu aku pulang dulu.""Mamamu mengusirku. Jangan pura-pura tidak tahu. Nanti kutunjukkan semua pesan yang dikirim mamamu padaku."Pada saat mereka berdebat, Alan menghampiri. Spontan Bre mengalihkan tatapan yang menunjukkan rasa tidak suka pada lelaki tampan dengan postur tegap menjulang. "Jangan berdebat di sin
RAHASIA TIGA HATI- Jangan Pergi, AyahLivia gelisah, sedih, takut, saat menunggu ayahnya yang sedang diperiksa. Tidak tenang duduk, ia berdiri dan mondar-mandir di depan ruang IGD. Ayahnya merupakan satu-satunya keluarga yang ia punya sekarang ini. Jika ayahnya pergi, runtuh sudah dunianya.Pak Tamin juga cemas duduk di bangku logam. Dia sudah mengabdi pada Pak Rosyam puluhan tahun.Hati Livia sedikit lega ketika melihat Alan berjalan cepat menghampirinya. Belum sampai di rumah Livia sudah menelponnya lagi, makanya berpatah balik langsung ke rumah sakit."Bagaimana keadaan Om?""Masih diperiksa, Mas," jawab Livia menatap penuh harap pada Alan. Bahwa laki-laki itu bisa menemaninya melewati masa sulit ini. "Duduklah, semoga nggak terjadi apa-apa pada Om." Alan mengajak Livia duduk di sebelah Pak Tamin.Suasana mulai temaram karena hari beranjak senja. Namun para pembesuk masih terus hilir mudik di parkiran depan sana. "Padahal ayah bilang tadi bilang baik-baik saja. Mas Alan, juga li
RAHASIA TIGA HATI- Hapus Foto Itu"Assalamu'alaikum, Liv." Kenny mengucapkan salam setelah muncul di pintu pagar."Wa'alaikumsalam.""Maaf, aku ganggu waktumu. Kebetulan aku pas lewat, jadi sekalian mampir. Kamu mau pergi, ya?" tanya Kenny menghampiri Livia."Ya, Mbak.""Boleh kita bicara sebentar?""Bicara tentang apa ya, Mbak? Soalnya aku buru-buru. Ayahku opname dan aku harus ada di sana saat dokter melakukan pemeriksaan pagi ini.""Ayahmu sakit apa?""Seperti biasa. Apa yang ingin Mbak bicarakan?""Mama merencanakan perceraianmu dengan Bre. Beliau sudah menyiapkan pengacara.""Oh, itu. Aku sudah tahu, Mbak."Kenny diam sejenak. "Kamu nggak bicara dengan Bre untuk menggagalkan rencana Mama.""Enggak, Mbak. Lebih baik kami memang berpisah. Kenapa Mbak Kenny yang justru mencegah supaya kami tidak bercerai?" Livia menatap heran pada wanita cantik di depannya. Apa yang dipikirkannya sehingga sibuk ikut mengurusi permasalahannya."Aku hanya menyayangkan kalau kalian berpisah. Bre seben
Livia membesarkan hati ayahnya. Ia pun tidak menunjukkan kesedihan. Begitu juga dengan Pak Tamin, turut memberikan semangat pada majikannya. Mereka berbincang dan bercanda hingga siang. Jam tiga sore Alan datang membawakan brownies, minuman, dan buah. Laki-laki dengan rambut diikat rapi melepaskan jaketnya dan menaruhnya di sandaran kursi. Dia menghampiri Pak Rosyam yang tengah tertidur. "Bagaimana kata dokter tadi?" Alan bertanya lirih pada Livia."Alhamdulillah, dokter bilang kondisi ayah membaik.""Syukurlah!""Mas Alan, ini tadi baru pulang dari kantor?""Iya. Kamu sudah makan?""Aku makan roti tadi.""Mbak Livia nggak mau makan nasi, Mas," sahut Pak Tamin."Kenapa nggak makan nasi? Nanti kamu sakit. Kita makan di restoran depan. Kebetulan aku tadi juga belum sempat makan siang." Alan berdiri lagi sambil menarik lengan kemejnya hingga sebatas siku."Titip ayah, ya Pak," ucapnya pada Pak Tamin."Njih, Mbak."Akhirnya Livia bangkit dari duduk dan mengikuti Alan. Mereka menyeberang
RAHASIA TIGA HATI- Rela"Mana, aku mau lihat ponselmu?"Agatha mendongak, menatap Alan yang menjulang di hadapannya. Keder juga dia dengan lelaki yang diam-diam diidamkan banyak perempuan. Termasuk sahabat dekatnya sendiri."Sudah kuhapus."Alan tetap memaksa mengambil ponsel dari tangan Agatha. Mengecek bagian galeri. Memang sudah tidak ada. Kemudian ia melihat di aplikasi pesan. Dugaannya benar. Foto tadi rupanya diambil dan langsung dikirim pada nomernya Bre dan sudah dilihat oleh laki-laki itu.Ponsel Agatha yang masih dipegang Alan berdering. Bre yang menelepon. "Halo.""Kenapa kamu yang ngangkat?" Suara di seberang."Aku tunggu di depan rumah sakit Harapan Keluarga. Datang ke sini sekarang. Aku tunggu." Alan mematikan ponsel dan memberikan benda itu pada pemiliknya.Livia memandang Alan dengan tatapan tidak mengerti."Agatha mengambil foto dan langsung terkirim pada Bre. Kita tunggu dia di sini. Persoalan ini harus selesai sekarang juga." Alan menjelaskan.Mendengar itu Livia
Alan marah dengan tindakan Agatha yang mengambil foto secara diam-diam. Ingin juga menyuruh Bre menghapus foto itu. Tapi ia sadar, hanya keributan yang akan terjadi. Makin memperpanjang permasalahan saja. Akhirnya Alan memilih diam. Setidaknya urusan Livia bisa segera selesai.Ponsel Bre di saku celana berdering. Telepon dari Fery. Rupanya laki-laki itu tadi meninggalkan meeting untuk menemui mereka. Bre menjawab telepon sebentar kemudian kembali memandang Livia. Terlalu banyak yang ikut campur dalam rumah tangganya, membuat hubungannya dengan Livia carut marut. Tapi dirinya sendiri tidak punya kemampuan untuk meninggalkan keluarganya, terutama sang mama.Jujur saja kalau sebenarnya ia merasakan hatinya patah sepatah-patahnya. Pernikahannya terlanjur porak-poranda saat ini. Livia bahkan sudah kehilangan rasa kepercayaan padanya.Bre lantas menoleh sekilas pada Agatha. "Kita pergi," ujarnya lalu melangkah pergi diikuti oleh gadis itu.Livia menatap mereka yang berjalan menjauh ke arah
RAHASIA TIGA HATI- Sidang Terakhir "Assalamu'alaikum, Mas Alan.""Wa'alaikumsalam.""Ada kabar apa? Semoga kabar baik." Livia tidak sabar. Terdengar tawa di seberang. "Mas Alan, malah ketawa.""Sabar, Livi. Nanti kalau ada kukabari. Aku cuman mau bilang. Mungkin beberapa menit lagi akan ada kurir nganterin ayam panggang dan ikan bakar ke rumah. Nanti kalian bisa makan malam bersama.""Mas, kok repot sih. Mas Alan, nggak mau sekalian makan malam di sini?""Enggak. Ini aku juga baru sampai rumah. Tadi ngopi bareng sama teman. Siang tadi aku dapat kabar kalau menang dalam kontes desain.""Oh ya? Wah selamat, Mas. Pasti hadiahnya besar.""Sebenarnya waktu itu ikutnya nggak niat banget, Livi. Alhamdulillah dapat juara. Kalau ada waktu luang, nanti kuajak kamu jalan-jalan sekalian sama Om dan Pak Tamin. Cuman dalam minggu ini aku masih banyak kerjaan.""MasyaAllah, Mas baik banget sih. Makasih banyak." Livia jadi terharu. Andai kakaknya masih ada, pasti bahagia memiliki suami seperti Ala
Livia baru saja masuk kamar saat ponsel di tasnya berdenting. [Livia, bisa kita bertemu sebelum sidang perceraian diputuskan?][Kapan sidangnya?] Ini kesempatan Livia untuk tahu kapan sidang terakhir.[Tanggal 20 bulan ini.]Oh, ternyata masih sekitar semingguan lagi.[Untuk apa bertemu?][Kita bisa membatalkan perceraian ini. Aku nggak ingin kehilanganmu, tapi aku dipaksa, Liv. Aku selalu diawasi supaya tidak bertemu denganmu.]Livia mengirimkan emot tawa berderet-deret pada Bre.[Telat perjuanganmu, Mas. Aku sudah lebih dari siap menyandang status baruku. Nggak sabar menunggu momen itu.][Please, Liv.][Nggak akan pernah ada jalan untuk kita kembali.][Ada, Liv. Please.]Livia melempar ponsel di atas tempat tidur dan bersiap-siap untuk mandi. Dia juga malas membalas lagi pesan dari Bre. Hanya membuat emosi saja. Penyesalan yang terlambat. Livia sudah membunuh perasaannya. Dia tidak akan kembali pada pria yang sama. Lelaki yang tidak tahu bagaimana harus bersikap tegas terhadap rumah