RAHASIA TIGA HATI
- Pergi"Kamu menungguku?" Bre menghampiri Livia."Aku menyelesaikan pekerjaanku.""Sudah jam berapa ini? Kita pulang sekarang." Bre meraih lengan Livia."Aku sedang menyelesaikan pekerjaanku. Kalau Mas ingin pulang, silakan pulang lebih dulu. Nanti aku bisa pulang sendiri.""Bisa dikerjakan lagi besok.""Besok aku sudah tidak bekerja di sini lagi," jawab Livia, tangannya terus bekerja. Ia tidak peduli perutnya yang sudah menjerit-jerit minta asupan makanan."Kamu keras kepala."Livia tidak menanggapi. Siapa yang mengajarinya seperti ini, kalau bukan sikap dari keluarga suaminya. Dia sudah berusaha menjadi menantu yang baik selama ini. Namun mama mertuanya tega mengatai kalau ayahnya seorang pecundang dan benalu yang membebani hidup Bre. Mereka sudah melupakan, siapa orang yang membantu mereka bangkit dari keterpurukan. Dan sekarang terang-terangan meminta Bre menceraikannya."Aku nggak ngizinin kamu resign."Livia tidak peduli dengan ucapan Bre."Kita pulang sekarang!" Kembali Bre meraih lengan istrinya. Livia bergeming. Dia memperhatikan sekeliling. Suasana sudah sepi. Orang-orang yang meeting terdengar sudah keluar kantor."Biar kuselesaikan pekerjaan ini. Aku serius akan resign besok."Bre duduk di depan istrinya."Berhenti kerja pilihan yang tepat bagiku. Aku sudah cukup bersabar dengan penghinaan keluargamu, Mas." Livia menatap serius suaminya."Mas, tahu apa yang dikatakan oleh Mama Rika tadi?"Bre menatap lekat pada Livia. "Mama bicara apa?"Livia memberitahukan semua yang dikatakan oleh Mama mertuanya. "Untuk kesekian kalinya aku merasakan sakit disaat ayahku dihina oleh keluargamu. Orang seenaknya bicara tanpa mau tahu sedalam apa luka yang kualami akhibat kata-katanya itu.""Jangan dengarkan mamaku.""Nggak bisa. Ini menyangkut harga diriku dan ayahku. Aku sudah bilang, kalau aku akan berhenti dari perusahaan dan akan keluar dari rumah kalian. Peran suami itu penting untuk menyelesaikan permasalahan, apalagi permasalahan antara aku dan keluargamu. Tapi selama ini Mas hanya menyuruhku untuk bersabar. Mau sampai kapan?"Jangankan membawaku pergi dari sana dan kita bisa tinggal di tempat terpisah, untuk membelaku saja nggak bisa Mas lakukan. Ya, aku masih ingat. Mama Rika mau merestui pernikahan kita, tapi dengan syarat kalau kita akan tetap tinggal bersamanya. Tapi aku sudah nggak sanggup lagi. Aku nggak akan memaksamu mengajakku pergi dari sana, biarlah aku sendiri yang keluar."Bre menghela nafas panjang. "Kamu masih ingat kan, Liv. Kalau aku keluar dari rumah itu, mama mengancam akan menyakiti dirinya sendiri."Livia tersenyum miris. Baginya ancaman itu hanya sebuah omong kosong. Bagaimana mungkin Bu Rika akan menyakiti dirinya sendiri, sedangkan dia sangat sayang dengan hartanya, dengan dunianya, dengan teman sosialita, dan segala kesenangan. Itu hanya gertakan supaya Bre tidak meninggalkannya. Karena terlalu sayang pada sang mama, Bre tetap percaya dengan apapun yang diomongkan oleh mamanya."Biar aku saja yang keluar, Mas.""Maksudnya apa?""Mama Rika menginginkan kita bercerai, kan?""Kita nggak akan bercerai.""Mama Rika bisa nekat kalau aku tetap disampingmu." Livia memandang lekat suaminya. Kenapa Bre menolak perpisahan sementara sudah ada rencana lain dari pihak keluarga untuk dirinya."Aku tahu ada rencana besar yang kalian rahasiakan dariku," ujar Livia."Rencana apa?""Hari Sabtu kemarin, Mas nggak pergi ke Madiun. Kalian ada acara dengan keluarga Agatha, kan?"Bre kaget. Livia mengeluarkan ponsel dan menunjukkan foto serta video yang dikirim oleh Dina. Bre tambah terkejut. Dari mana Livia mendapatkan gambar dan video itu. Tidak mungkin istrinya membuntuti ke mana ia pergi."Acara apa sampai aku nggak diajak atau hanya sekedar dikasih tahu?""Membahas pekerjaan.""Bukan. Kalau bicara mengenai pekerjaan, pasti dilakukan di kantor. Lagian kenapa membahas pekerjaan tapi anak-anak kecil diajak serta. Di situ tampak ada kakaknya Agatha dan anak-anaknya. Juga ada anak-anak Mas Ferry. Kenapa kalau urusan pekerjaan tidak berterus terang saja padaku. Malah kalian bilang hendak pergi ke Madiun. Mas lamaran dengan Agatha?" Livia berkata dengan rasa sakit yang menyayat hati."Nggak," jawab Bre singkat."Kalian nggak mungkin jujur. Karena aku bisa menuntut secara pidana jika Mas menikah lagi secara diam-diam.""Kalau aku bilang enggak, berarti enggak, Livia. Aku menolaknya." Bre berkata dengan nada tinggi.Jawaban Bre kembali mengguris hati Livia. Kalimat 'aku menolaknya' bermakna memang mereka memiliki rencana untuk menjodohkan Bre dengan Agatha.Hening. Livia masih menata hati agar bisa kembali bicara. Dadanya terasa sesak dan air mata hendak tumpah saja rasanya. Setelah menarik napas dalam-dalam, Livia kembali bicara. "Kalau gitu, kita keluar dari rumah mama dan tinggal bersama ayahku atau kita cari kontrakan sambil berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mama."Mendengar pilihan yang disampaikan Livia, Bre tidak bisa menjawab. Dia sangat menyayangi mamanya dan tidak mungkin akan meninggalkan rumah mereka. Jika Bre pergi, berarti harus keluar juga dari perusahaan yang telah membesarkan namanya.Melihat suaminya diam, air mata Livia meluncur begitu saja ke pipi. Buru-buru dihapus dengan jemari. Ia paham kalau bagi Bre ini pilihan yang sulit. Padahal ia tidak menyuruh sang suami untuk durhaka pada mamanya. Livia ingin mengajaknya menepi sebentar untuk menenangkan diri dan menyelamatkan rumah tangga mereka. Memperbaiki hubungan dengan mertuanya kalau bisa.Inikah yang dinamakan cinta? Cinta seperti apa jika takut berkorban. Bre tidak lagi segigih dulu memperjuangkannya.Segera dikemasnya meja. Tidak perlu dilanjutkan lagi pekerjaannya."Kita bahas ini di rumah," ujar Bre.Livia meraih tas di atas meja. Kemudian mengikuti Bre melangkah meninggalkan kantor.Di dalam kendaraan, mereka saling diam tidak bicara apa-apa. Bre tidak langsung mengajaknya pulang ke rumah, tapi mampir dulu ke sebuah restoran untuk makan malam."Mau makan apa?" tanya Bre."Nasi goreng."Bre memesan dua porsi nasi goreng seafood dan dua gelas jus apel. Selama menunggu pesanan datang sampai mereka selesai makan, tidak ada perbincangan mengenai percakapan di kantor tadi. Bre mengalihkan perhatian dengan membicarakan tentang pekerjaan.Sampai rumah disambut wajah sinis Bu Rika. Wanita itu memanggil putranya sedangkan Livia langsung naik ke kamarnya. Mandi dan salat isya. Tangisnya tumpah di atas sajadah. Luka yang kian berdarah-darah. Ia mohon pengampunan pada Rabb-nya jika kali ini menyerah pada pernikahannya. Ia harus siap kehilangan lelaki yang sangat dicintai.Bre masuk kamar setelah Livia berbaring di ranjang. Laki-laki itu segera mandi dan menyusul istrinya. Memeluk, menciumi, hingga naluri kelelakiannya menuntut lebih dari itu.Livia menghindar dan bangkit dari pembaringan. Membuka laci meja riasnya. "Pakai pengaman, Mas.""Nggak perlu. Setelah kita punya anak, mama pasti bisa luluh." Mendengar penolakan suaminya, Livia mematung. Kenapa baru sekarang memiliki pemikiran seperti itu. Disaat semuanya sudah berada di ujung tanduk."Nggak akan segampang itu. Mama nggak hanya membenciku, tapi juga membenci ayahku. Dan Mas pun mempercayai kalau ayahku memang curang dan brengs*k. Aku nggak ingin anakku akan jadi sasaran kebencian selanjutnya. Mas, pakai atau kita nggak akan melakukannya."Keinginan yang sudah di ubun-ubun kepala membuat Bre akhirnya menuruti Livia. Daripada dia tidak akan mendapatkan haknya. Sebagai istri, apapun yang terjadi tadi, tidak bisa menjadikan alasan untuk menolak.***L***"Apa maksudnya ini, Livia?" Bre kaget saat bangun tidur melihat koper sudah penuh pakaian."Seperti yang kubilang tadi malam, Mas. Aku ingin pulang ke rumah ayah," jawab Livia sambil membereskan meja riasnya."Aku nggak ngizinin kamu pergi.""Mas, ingin menyiksaku di sini? Sedangkan mama sudah mengusirku."Keduanya saling pandang. "Permasalahan kita akan senantiasa seperti ini, Mas. Sejak dulu mama memang nggak pernah menyukaiku. Apalagi sudah ada Agatha yang akan menjadi menantu idaman. Daripada kalian sembunyi-sembunyi dariku, lebih baik kita berpisah secara baik-baik."Sepagi itu mereka kembali berdebat. Bre keukeh tidak mungkin meninggalkan rumah mamanya dan yakin kalau hati sang mama pasti bisa luluh pada akhirnya. Padahal Livia sudah secara terang-terangan diusir dari sana. "Jangan pergi. Aku akan bicara dengan mama lagi nanti. Pagi ini aku masih ada pertemuan penting dengan vendor.""Mama Rika sudah bilang kalau aku mesti meninggalkanmu, meninggalkan rumah ini. Hari ini juga.""Aku suamimu, aku yang melarangmu pergi. Tunggu aku pulang. Jika selangkah saja kamu meninggalkan rumah ini, berarti ... sudah jatuh talak satu padamu."Livia bergetar mendengar ancaman Bre. Suaminya menatap lekat manik matanya. Mereka saling pandang untuk beberapa lama hingga bunyi ponsel Bre membuat laki-laki itu mengalihkan perhatian.Tampaknya itu telepon penting yang membuat Bre tergesa-gesa mandi dan berganti pakaian. Kemudian mengecup kening Livia lalu keluar menuruni tangga."Ma, aku ke kantor sekarang," pamitnya menghampiri sang mama."Kamu nggak sarapan dulu.""Nggak, Ma. Aku buru-buru." Setelah pamit, ia mendekati salah seorang ART. "Mbok, antarkan sarapan untuk Mbak Livia di kamar.""Njih, Mas," jawab si mbok patuh.Si mbok gemetaran saat mengangkat nampan sarapan untuk Livia, karena langkahnya diikuti oleh Bu Rika.Livia membuka pintu kamar ketika Bu Rika mengetuk pintu dengan kasar. Si mbok langsung masuk dan menaruh sarapan di atas meja. Setelah ART-nya pergi, Bu Rika baru bicara. "Hmm, rupanya kopermu sudah siap. Sarapan dulu, lalu kamu tinggalkan rumah ini. Bre juga sudah setuju untuk menikah dengan Agatha nggak lama lagi. Sekarang kamu memilih pergi atau mau menjadi saksi pernikahan kedua suamimu," kata wanita itu sambil menatap tajam wajah Livia.Tak terbayang lagi bagaimana sakitnya hati Livia. Penghinaan seperti apalagi ini.Tanpa menjawab perkataan mertuanya, Livia melepaskan cincin pernikahan dari jari manisnya dan meletakkan di atas meja rias. Kemudian mengangkat koper keluar kamar. Tangannya menggantung di udara karena Bu Rika tidak menerima uluran tangannya."Assalamu'alaikum," ucap Livia kemudian menuruni tangga. Sambil melangkah ia merasakan lukanya berdarah-darah. Kakinya terus meninggalkan rumah besar dua tingkat, meski itu artinya talak Bre sudah jatuh terhadapnya.***L***Bre yang baru duduk di ruangannya berdecak lirih setelah berulang kali menelepon tapi tidak di respon oleh Livia. Padahal ponselnya aktif.Laki-laki itu ganti menghubungi telepon rumahnya."Halo, Mbok. Mbak Livia sudah makan?""Be-belum, Mas," jawabannya terdengar gugup."Kenapa belum sarapan? Si mbok nganterin nasi ke kamar, kan?""Iya, Mas.""Tolong panggilkan Mbak Livia, saya mau ngomong sama dia.""M-maaf, Mas.""Ada apa?""Mbak Livianya pergi setelah Mas Bre berangkat tadi.""Pergi ke mana?" Bre panik."Saya nggak tahu, Mas. Mbak Livia pergi membawa kopernya."Bre kaget dan mematikan panggilan. Kembali dihubunginya sang istri. Entah panggilan yang ke berapa, baru dijawab oleh Livia."Halo.""Kamu di mana? Sudah aku bilang kalau jangan pergi. Tunggu aku bicara lagi pada mama." Bre benar-benar panik karena ingat apa ancaman yang dikatakan pada istrinya tadi pagi."Rumah itu milik siapa, Mas? Milik mama, kan? Kalau tuan rumah sudah tidak menginginkan aku di sana, apa aku harus memaksakan diri. Aku masih punya harga diri, Mas.""Aku akan menjemputmu. Kamu di rumah ayah, kan?""Mas, masih ingat apa yang Mas bilang tadi pagi? Selangkah saja aku meninggalkan rumahmu, berarti sudah jatuh talak satu padaku. Nggak usah mencariku. Aku nggak di rumah ayah. Aku tetap akan pulang ke sana tapi tidak sekarang. Lepaskan aku sebelum kamu menikahi Agatha. Temui aku sekalian bawa akta cerai. Kutunggu, Mas."Next ....Selamat membaca š„°RAHASIA TIGA HATI- Talak "Aku bisa merujukmu."Livia tertawa. "Mas kira cerai dan rujuk itu bisa dibuat candaan. Sebentar bilang cerai sebentar bilang rujuk. Kalau cerai, cerai saja, Mas. Rumit hubungan kita. Sedikit saja Mas nggak bisa membelaku dan ayahku saat keluargamu menghina kami. Itu berarti, Mas pun setuju dengan penghinaan mereka yang merendahkan keluargaku."Bre menghela nafas panjang. Dia lupa kalau Livia bukan perempuan yang gampang sekali diperdaya. Waktu masih kuliah dulu, dia cewek yang lembut, tapi keadaan yang menimpa keluarga membuatnya berubah menjadi perempuan yang tegas."Liv."Livia sudah mematikan panggilannya. Bre kembali menghubungi tapi tidak di angkat. Beberapa pesan dikirim tapi juga diabaikan. Perasaannya kalang kabut. Ingat bagaimana dia begitu ceroboh memberikan ancaman pada Livia tentang talak. Dipikirnya, Livia tidak akan pergi karena apapun yang terjadi selama ini, Livia bertahan di sampingnya.Bre mondar-mandir di ruangannya. Denting suara pesan m
RAHASIA TIGA HATI- Keributan Sore Itu Livia terkejut begitu juga dengan Bre. Ia tidak menyangka bertemu wanita yang ingin dicarinya di sana. Niatnya tadi ingin menemui Alan untuk menanyakan keberadaan Livia. Justru bertemu wanita itu yang baru keluar dari rumah Alan.Bre turun dari mobil dan melangkah menghampirinya. Rasa kaget tadi berubah menjadi tampang curiga di wajah lelaki tampan itu. "Kenapa Mas di sini?" tanya Livia."Kamu kabur ke rumah Alan?" Bukannya menjawab, Bre berbalik tanya. Mereka saling menatap tajam. "Atau Alan yang membawamu kabur?""Jangan sembarangan kalau ngomong. Tahu kan apa alasan yang membuatku meninggalkan rumahmu, Mas.""Aku kan sudah bilang, tunggu aku pulang dulu.""Mamamu mengusirku. Jangan pura-pura tidak tahu. Nanti kutunjukkan semua pesan yang dikirim mamamu padaku."Pada saat mereka berdebat, Alan menghampiri. Spontan Bre mengalihkan tatapan yang menunjukkan rasa tidak suka pada lelaki tampan dengan postur tegap menjulang. "Jangan berdebat di sin
RAHASIA TIGA HATI- Jangan Pergi, AyahLivia gelisah, sedih, takut, saat menunggu ayahnya yang sedang diperiksa. Tidak tenang duduk, ia berdiri dan mondar-mandir di depan ruang IGD. Ayahnya merupakan satu-satunya keluarga yang ia punya sekarang ini. Jika ayahnya pergi, runtuh sudah dunianya.Pak Tamin juga cemas duduk di bangku logam. Dia sudah mengabdi pada Pak Rosyam puluhan tahun.Hati Livia sedikit lega ketika melihat Alan berjalan cepat menghampirinya. Belum sampai di rumah Livia sudah menelponnya lagi, makanya berpatah balik langsung ke rumah sakit."Bagaimana keadaan Om?""Masih diperiksa, Mas," jawab Livia menatap penuh harap pada Alan. Bahwa laki-laki itu bisa menemaninya melewati masa sulit ini. "Duduklah, semoga nggak terjadi apa-apa pada Om." Alan mengajak Livia duduk di sebelah Pak Tamin.Suasana mulai temaram karena hari beranjak senja. Namun para pembesuk masih terus hilir mudik di parkiran depan sana. "Padahal ayah bilang tadi bilang baik-baik saja. Mas Alan, juga li
RAHASIA TIGA HATI- Hapus Foto Itu"Assalamu'alaikum, Liv." Kenny mengucapkan salam setelah muncul di pintu pagar."Wa'alaikumsalam.""Maaf, aku ganggu waktumu. Kebetulan aku pas lewat, jadi sekalian mampir. Kamu mau pergi, ya?" tanya Kenny menghampiri Livia."Ya, Mbak.""Boleh kita bicara sebentar?""Bicara tentang apa ya, Mbak? Soalnya aku buru-buru. Ayahku opname dan aku harus ada di sana saat dokter melakukan pemeriksaan pagi ini.""Ayahmu sakit apa?""Seperti biasa. Apa yang ingin Mbak bicarakan?""Mama merencanakan perceraianmu dengan Bre. Beliau sudah menyiapkan pengacara.""Oh, itu. Aku sudah tahu, Mbak."Kenny diam sejenak. "Kamu nggak bicara dengan Bre untuk menggagalkan rencana Mama.""Enggak, Mbak. Lebih baik kami memang berpisah. Kenapa Mbak Kenny yang justru mencegah supaya kami tidak bercerai?" Livia menatap heran pada wanita cantik di depannya. Apa yang dipikirkannya sehingga sibuk ikut mengurusi permasalahannya."Aku hanya menyayangkan kalau kalian berpisah. Bre seben
Livia membesarkan hati ayahnya. Ia pun tidak menunjukkan kesedihan. Begitu juga dengan Pak Tamin, turut memberikan semangat pada majikannya. Mereka berbincang dan bercanda hingga siang. Jam tiga sore Alan datang membawakan brownies, minuman, dan buah. Laki-laki dengan rambut diikat rapi melepaskan jaketnya dan menaruhnya di sandaran kursi. Dia menghampiri Pak Rosyam yang tengah tertidur. "Bagaimana kata dokter tadi?" Alan bertanya lirih pada Livia."Alhamdulillah, dokter bilang kondisi ayah membaik.""Syukurlah!""Mas Alan, ini tadi baru pulang dari kantor?""Iya. Kamu sudah makan?""Aku makan roti tadi.""Mbak Livia nggak mau makan nasi, Mas," sahut Pak Tamin."Kenapa nggak makan nasi? Nanti kamu sakit. Kita makan di restoran depan. Kebetulan aku tadi juga belum sempat makan siang." Alan berdiri lagi sambil menarik lengan kemejnya hingga sebatas siku."Titip ayah, ya Pak," ucapnya pada Pak Tamin."Njih, Mbak."Akhirnya Livia bangkit dari duduk dan mengikuti Alan. Mereka menyeberang
RAHASIA TIGA HATI- Rela"Mana, aku mau lihat ponselmu?"Agatha mendongak, menatap Alan yang menjulang di hadapannya. Keder juga dia dengan lelaki yang diam-diam diidamkan banyak perempuan. Termasuk sahabat dekatnya sendiri."Sudah kuhapus."Alan tetap memaksa mengambil ponsel dari tangan Agatha. Mengecek bagian galeri. Memang sudah tidak ada. Kemudian ia melihat di aplikasi pesan. Dugaannya benar. Foto tadi rupanya diambil dan langsung dikirim pada nomernya Bre dan sudah dilihat oleh laki-laki itu.Ponsel Agatha yang masih dipegang Alan berdering. Bre yang menelepon. "Halo.""Kenapa kamu yang ngangkat?" Suara di seberang."Aku tunggu di depan rumah sakit Harapan Keluarga. Datang ke sini sekarang. Aku tunggu." Alan mematikan ponsel dan memberikan benda itu pada pemiliknya.Livia memandang Alan dengan tatapan tidak mengerti."Agatha mengambil foto dan langsung terkirim pada Bre. Kita tunggu dia di sini. Persoalan ini harus selesai sekarang juga." Alan menjelaskan.Mendengar itu Livia
Alan marah dengan tindakan Agatha yang mengambil foto secara diam-diam. Ingin juga menyuruh Bre menghapus foto itu. Tapi ia sadar, hanya keributan yang akan terjadi. Makin memperpanjang permasalahan saja. Akhirnya Alan memilih diam. Setidaknya urusan Livia bisa segera selesai.Ponsel Bre di saku celana berdering. Telepon dari Fery. Rupanya laki-laki itu tadi meninggalkan meeting untuk menemui mereka. Bre menjawab telepon sebentar kemudian kembali memandang Livia. Terlalu banyak yang ikut campur dalam rumah tangganya, membuat hubungannya dengan Livia carut marut. Tapi dirinya sendiri tidak punya kemampuan untuk meninggalkan keluarganya, terutama sang mama.Jujur saja kalau sebenarnya ia merasakan hatinya patah sepatah-patahnya. Pernikahannya terlanjur porak-poranda saat ini. Livia bahkan sudah kehilangan rasa kepercayaan padanya.Bre lantas menoleh sekilas pada Agatha. "Kita pergi," ujarnya lalu melangkah pergi diikuti oleh gadis itu.Livia menatap mereka yang berjalan menjauh ke arah
RAHASIA TIGA HATI- Sidang Terakhir "Assalamu'alaikum, Mas Alan.""Wa'alaikumsalam.""Ada kabar apa? Semoga kabar baik." Livia tidak sabar. Terdengar tawa di seberang. "Mas Alan, malah ketawa.""Sabar, Livi. Nanti kalau ada kukabari. Aku cuman mau bilang. Mungkin beberapa menit lagi akan ada kurir nganterin ayam panggang dan ikan bakar ke rumah. Nanti kalian bisa makan malam bersama.""Mas, kok repot sih. Mas Alan, nggak mau sekalian makan malam di sini?""Enggak. Ini aku juga baru sampai rumah. Tadi ngopi bareng sama teman. Siang tadi aku dapat kabar kalau menang dalam kontes desain.""Oh ya? Wah selamat, Mas. Pasti hadiahnya besar.""Sebenarnya waktu itu ikutnya nggak niat banget, Livi. Alhamdulillah dapat juara. Kalau ada waktu luang, nanti kuajak kamu jalan-jalan sekalian sama Om dan Pak Tamin. Cuman dalam minggu ini aku masih banyak kerjaan.""MasyaAllah, Mas baik banget sih. Makasih banyak." Livia jadi terharu. Andai kakaknya masih ada, pasti bahagia memiliki suami seperti Ala