Share

Bab 4 Pergi

RAHASIA TIGA HATI

- Pergi

"Kamu menungguku?" Bre menghampiri Livia.

"Aku menyelesaikan pekerjaanku."

"Sudah jam berapa ini? Kita pulang sekarang." Bre meraih lengan Livia.

"Aku sedang menyelesaikan pekerjaanku. Kalau Mas ingin pulang, silakan pulang lebih dulu. Nanti aku bisa pulang sendiri."

"Bisa dikerjakan lagi besok."

"Besok aku sudah tidak bekerja di sini lagi," jawab Livia, tangannya terus bekerja. Ia tidak peduli perutnya yang sudah menjerit-jerit minta asupan makanan.

"Kamu keras kepala."

Livia tidak menanggapi. Siapa yang mengajarinya seperti ini, kalau bukan sikap dari keluarga suaminya. Dia sudah berusaha menjadi menantu yang baik selama ini. Namun mama mertuanya tega mengatai kalau ayahnya seorang pecundang dan benalu yang membebani hidup Bre. Mereka sudah melupakan, siapa orang yang membantu mereka bangkit dari keterpurukan. Dan sekarang terang-terangan meminta Bre menceraikannya.

"Aku nggak ngizinin kamu resign."

Livia tidak peduli dengan ucapan Bre.

"Kita pulang sekarang!" Kembali Bre meraih lengan istrinya. Livia bergeming. Dia memperhatikan sekeliling. Suasana sudah sepi. Orang-orang yang meeting terdengar sudah keluar kantor.

"Biar kuselesaikan pekerjaan ini. Aku serius akan resign besok."

Bre duduk di depan istrinya.

"Berhenti kerja pilihan yang tepat bagiku. Aku sudah cukup bersabar dengan penghinaan keluargamu, Mas." Livia menatap serius suaminya.

"Mas, tahu apa yang dikatakan oleh Mama Rika tadi?"

Bre menatap lekat pada Livia. "Mama bicara apa?"

Livia memberitahukan semua yang dikatakan oleh Mama mertuanya. "Untuk kesekian kalinya aku merasakan sakit disaat ayahku dihina oleh keluargamu. Orang seenaknya bicara tanpa mau tahu sedalam apa luka yang kualami akhibat kata-katanya itu."

"Jangan dengarkan mamaku."

"Nggak bisa. Ini menyangkut harga diriku dan ayahku. Aku sudah bilang, kalau aku akan berhenti dari perusahaan dan akan keluar dari rumah kalian. Peran suami itu penting untuk menyelesaikan permasalahan, apalagi permasalahan antara aku dan keluargamu. Tapi selama ini Mas hanya menyuruhku untuk bersabar. Mau sampai kapan?

"Jangankan membawaku pergi dari sana dan kita bisa tinggal di tempat terpisah, untuk membelaku saja nggak bisa Mas lakukan. Ya, aku masih ingat. Mama Rika mau merestui pernikahan kita, tapi dengan syarat kalau kita akan tetap tinggal bersamanya. Tapi aku sudah nggak sanggup lagi. Aku nggak akan memaksamu mengajakku pergi dari sana, biarlah aku sendiri yang keluar."

Bre menghela nafas panjang. "Kamu masih ingat kan, Liv. Kalau aku keluar dari rumah itu, mama mengancam akan menyakiti dirinya sendiri."

Livia tersenyum miris. Baginya ancaman itu hanya sebuah omong kosong. Bagaimana mungkin Bu Rika akan menyakiti dirinya sendiri, sedangkan dia sangat sayang dengan hartanya, dengan dunianya, dengan teman sosialita, dan segala kesenangan. Itu hanya gertakan supaya Bre tidak meninggalkannya. Karena terlalu sayang pada sang mama, Bre tetap percaya dengan apapun yang diomongkan oleh mamanya.

"Biar aku saja yang keluar, Mas."

"Maksudnya apa?"

"Mama Rika menginginkan kita bercerai, kan?"

"Kita nggak akan bercerai."

"Mama Rika bisa nekat kalau aku tetap disampingmu." Livia memandang lekat suaminya. Kenapa Bre menolak perpisahan sementara sudah ada rencana lain dari pihak keluarga untuk dirinya.

"Aku tahu ada rencana besar yang kalian rahasiakan dariku," ujar Livia.

"Rencana apa?"

"Hari Sabtu kemarin, Mas nggak pergi ke Madiun. Kalian ada acara dengan keluarga Agatha, kan?"

Bre kaget. Livia mengeluarkan ponsel dan menunjukkan foto serta video yang dikirim oleh Dina. Bre tambah terkejut. Dari mana Livia mendapatkan gambar dan video itu. Tidak mungkin istrinya membuntuti ke mana ia pergi.

"Acara apa sampai aku nggak diajak atau hanya sekedar dikasih tahu?"

"Membahas pekerjaan."

"Bukan. Kalau bicara mengenai pekerjaan, pasti dilakukan di kantor. Lagian kenapa membahas pekerjaan tapi anak-anak kecil diajak serta. Di situ tampak ada kakaknya Agatha dan anak-anaknya. Juga ada anak-anak Mas Ferry. Kenapa kalau urusan pekerjaan tidak berterus terang saja padaku. Malah kalian bilang hendak pergi ke Madiun. Mas lamaran dengan Agatha?" Livia berkata dengan rasa sakit yang menyayat hati.

"Nggak," jawab Bre singkat.

"Kalian nggak mungkin jujur. Karena aku bisa menuntut secara pidana jika Mas menikah lagi secara diam-diam."

"Kalau aku bilang enggak, berarti enggak, Livia. Aku menolaknya." Bre berkata dengan nada tinggi.

Jawaban Bre kembali mengguris hati Livia. Kalimat 'aku menolaknya' bermakna memang mereka memiliki rencana untuk menjodohkan Bre dengan Agatha.

Hening. Livia masih menata hati agar bisa kembali bicara. Dadanya terasa sesak dan air mata hendak tumpah saja rasanya. Setelah menarik napas dalam-dalam, Livia kembali bicara. "Kalau gitu, kita keluar dari rumah mama dan tinggal bersama ayahku atau kita cari kontrakan sambil berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mama."

Mendengar pilihan yang disampaikan Livia, Bre tidak bisa menjawab. Dia sangat menyayangi mamanya dan tidak mungkin akan meninggalkan rumah mereka. Jika Bre pergi, berarti harus keluar juga dari perusahaan yang telah membesarkan namanya.

Melihat suaminya diam, air mata Livia meluncur begitu saja ke pipi. Buru-buru dihapus dengan jemari. Ia paham kalau bagi Bre ini pilihan yang sulit. Padahal ia tidak menyuruh sang suami untuk durhaka pada mamanya. Livia ingin mengajaknya menepi sebentar untuk menenangkan diri dan menyelamatkan rumah tangga mereka. Memperbaiki hubungan dengan mertuanya kalau bisa.

Inikah yang dinamakan cinta? Cinta seperti apa jika takut berkorban. Bre tidak lagi segigih dulu memperjuangkannya.

Segera dikemasnya meja. Tidak perlu dilanjutkan lagi pekerjaannya.

"Kita bahas ini di rumah," ujar Bre.

Livia meraih tas di atas meja. Kemudian mengikuti Bre melangkah meninggalkan kantor.

Di dalam kendaraan, mereka saling diam tidak bicara apa-apa. Bre tidak langsung mengajaknya pulang ke rumah, tapi mampir dulu ke sebuah restoran untuk makan malam.

"Mau makan apa?" tanya Bre.

"Nasi goreng."

Bre memesan dua porsi nasi goreng seafood dan dua gelas jus apel. Selama menunggu pesanan datang sampai mereka selesai makan, tidak ada perbincangan mengenai percakapan di kantor tadi. Bre mengalihkan perhatian dengan membicarakan tentang pekerjaan.

Sampai rumah disambut wajah sinis Bu Rika. Wanita itu memanggil putranya sedangkan Livia langsung naik ke kamarnya. Mandi dan salat isya. Tangisnya tumpah di atas sajadah. Luka yang kian berdarah-darah. Ia mohon pengampunan pada Rabb-nya jika kali ini menyerah pada pernikahannya. Ia harus siap kehilangan lelaki yang sangat dicintai.

Bre masuk kamar setelah Livia berbaring di ranjang. Laki-laki itu segera mandi dan menyusul istrinya. Memeluk, menciumi, hingga naluri kelelakiannya menuntut lebih dari itu.

Livia menghindar dan bangkit dari pembaringan. Membuka laci meja riasnya. "Pakai pengaman, Mas."

"Nggak perlu. Setelah kita punya anak, mama pasti bisa luluh." Mendengar penolakan suaminya, Livia mematung. Kenapa baru sekarang memiliki pemikiran seperti itu. Disaat semuanya sudah berada di ujung tanduk.

"Nggak akan segampang itu. Mama nggak hanya membenciku, tapi juga membenci ayahku. Dan Mas pun mempercayai kalau ayahku memang curang dan brengs*k. Aku nggak ingin anakku akan jadi sasaran kebencian selanjutnya. Mas, pakai atau kita nggak akan melakukannya."

Keinginan yang sudah di ubun-ubun kepala membuat Bre akhirnya menuruti Livia. Daripada dia tidak akan mendapatkan haknya. Sebagai istri, apapun yang terjadi tadi, tidak bisa menjadikan alasan untuk menolak.

***L***

"Apa maksudnya ini, Livia?" Bre kaget saat bangun tidur melihat koper sudah penuh pakaian.

"Seperti yang kubilang tadi malam, Mas. Aku ingin pulang ke rumah ayah," jawab Livia sambil membereskan meja riasnya.

"Aku nggak ngizinin kamu pergi."

"Mas, ingin menyiksaku di sini? Sedangkan mama sudah mengusirku."

Keduanya saling pandang. "Permasalahan kita akan senantiasa seperti ini, Mas. Sejak dulu mama memang nggak pernah menyukaiku. Apalagi sudah ada Agatha yang akan menjadi menantu idaman. Daripada kalian sembunyi-sembunyi dariku, lebih baik kita berpisah secara baik-baik."

Sepagi itu mereka kembali berdebat. Bre keukeh tidak mungkin meninggalkan rumah mamanya dan yakin kalau hati sang mama pasti bisa luluh pada akhirnya. Padahal Livia sudah secara terang-terangan diusir dari sana. "Jangan pergi. Aku akan bicara dengan mama lagi nanti. Pagi ini aku masih ada pertemuan penting dengan vendor."

"Mama Rika sudah bilang kalau aku mesti meninggalkanmu, meninggalkan rumah ini. Hari ini juga."

"Aku suamimu, aku yang melarangmu pergi. Tunggu aku pulang. Jika selangkah saja kamu meninggalkan rumah ini, berarti ... sudah jatuh talak satu padamu."

Livia bergetar mendengar ancaman Bre. Suaminya menatap lekat manik matanya. Mereka saling pandang untuk beberapa lama hingga bunyi ponsel Bre membuat laki-laki itu mengalihkan perhatian.

Tampaknya itu telepon penting yang membuat Bre tergesa-gesa mandi dan berganti pakaian. Kemudian mengecup kening Livia lalu keluar menuruni tangga.

"Ma, aku ke kantor sekarang," pamitnya menghampiri sang mama.

"Kamu nggak sarapan dulu."

"Nggak, Ma. Aku buru-buru." Setelah pamit, ia mendekati salah seorang ART. "Mbok, antarkan sarapan untuk Mbak Livia di kamar."

"Njih, Mas," jawab si mbok patuh.

Si mbok gemetaran saat mengangkat nampan sarapan untuk Livia, karena langkahnya diikuti oleh Bu Rika.

Livia membuka pintu kamar ketika Bu Rika mengetuk pintu dengan kasar. Si mbok langsung masuk dan menaruh sarapan di atas meja. Setelah ART-nya pergi, Bu Rika baru bicara. "Hmm, rupanya kopermu sudah siap. Sarapan dulu, lalu kamu tinggalkan rumah ini. Bre juga sudah setuju untuk menikah dengan Agatha nggak lama lagi. Sekarang kamu memilih pergi atau mau menjadi saksi pernikahan kedua suamimu," kata wanita itu sambil menatap tajam wajah Livia.

Tak terbayang lagi bagaimana sakitnya hati Livia. Penghinaan seperti apalagi ini.

Tanpa menjawab perkataan mertuanya, Livia melepaskan cincin pernikahan dari jari manisnya dan meletakkan di atas meja rias. Kemudian mengangkat koper keluar kamar. Tangannya menggantung di udara karena Bu Rika tidak menerima uluran tangannya.

"Assalamu'alaikum," ucap Livia kemudian menuruni tangga. Sambil melangkah ia merasakan lukanya berdarah-darah. Kakinya terus meninggalkan rumah besar dua tingkat, meski itu artinya talak Bre sudah jatuh terhadapnya.

***L***

Bre yang baru duduk di ruangannya berdecak lirih setelah berulang kali menelepon tapi tidak di respon oleh Livia. Padahal ponselnya aktif.

Laki-laki itu ganti menghubungi telepon rumahnya.

"Halo, Mbok. Mbak Livia sudah makan?"

"Be-belum, Mas," jawabannya terdengar gugup.

"Kenapa belum sarapan? Si mbok nganterin nasi ke kamar, kan?"

"Iya, Mas."

"Tolong panggilkan Mbak Livia, saya mau ngomong sama dia."

"M-maaf, Mas."

"Ada apa?"

"Mbak Livianya pergi setelah Mas Bre berangkat tadi."

"Pergi ke mana?" Bre panik.

"Saya nggak tahu, Mas. Mbak Livia pergi membawa kopernya."

Bre kaget dan mematikan panggilan. Kembali dihubunginya sang istri. Entah panggilan yang ke berapa, baru dijawab oleh Livia.

"Halo."

"Kamu di mana? Sudah aku bilang kalau jangan pergi. Tunggu aku bicara lagi pada mama." Bre benar-benar panik karena ingat apa ancaman yang dikatakan pada istrinya tadi pagi.

"Rumah itu milik siapa, Mas? Milik mama, kan? Kalau tuan rumah sudah tidak menginginkan aku di sana, apa aku harus memaksakan diri. Aku masih punya harga diri, Mas."

"Aku akan menjemputmu. Kamu di rumah ayah, kan?"

"Mas, masih ingat apa yang Mas bilang tadi pagi? Selangkah saja aku meninggalkan rumahmu, berarti sudah jatuh talak satu padaku. Nggak usah mencariku. Aku nggak di rumah ayah. Aku tetap akan pulang ke sana tapi tidak sekarang. Lepaskan aku sebelum kamu menikahi Agatha. Temui aku sekalian bawa akta cerai. Kutunggu, Mas."

Next ....

Selamat membaca šŸ„°

Komen (39)
goodnovel comment avatar
Ma E
Orang kaya memang kejam
goodnovel comment avatar
Nova Vaw
setrongĀ²,,,jgn au kebujuk
goodnovel comment avatar
Ayu Darjo
nyeseknya... pilihan yg sulit
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status