Share

Bab 7 Jangan Pergi, Ayah

RAHASIA TIGA HATI

- Jangan Pergi, Ayah

Livia gelisah, sedih, takut, saat menunggu ayahnya yang sedang diperiksa. Tidak tenang duduk, ia berdiri dan mondar-mandir di depan ruang IGD. Ayahnya merupakan satu-satunya keluarga yang ia punya sekarang ini. Jika ayahnya pergi, runtuh sudah dunianya.

Pak Tamin juga cemas duduk di bangku logam. Dia sudah mengabdi pada Pak Rosyam puluhan tahun.

Hati Livia sedikit lega ketika melihat Alan berjalan cepat menghampirinya. Belum sampai di rumah Livia sudah menelponnya lagi, makanya berpatah balik langsung ke rumah sakit.

"Bagaimana keadaan Om?"

"Masih diperiksa, Mas," jawab Livia menatap penuh harap pada Alan. Bahwa laki-laki itu bisa menemaninya melewati masa sulit ini.

"Duduklah, semoga nggak terjadi apa-apa pada Om." Alan mengajak Livia duduk di sebelah Pak Tamin.

Suasana mulai temaram karena hari beranjak senja. Namun para pembesuk masih terus hilir mudik di parkiran depan sana.

"Padahal ayah bilang tadi bilang baik-baik saja. Mas Alan, juga lihat bagaimana ayah tadi, kan?"

"Iya. Tapi beliau pasti sedih juga, Livi. Hanya beliau nggak ingin menunjukkan kesedihan itu padamu. Doakan saja, semoga tidak terjadi permasalahan serius pada Om."

Livia mengangguk lemah. Air matanya mengambang di pelupuk mata. Hidungnya pun berair karena menahan tangis dan sesaknya dada. "Aku nggak ingin kehilangan ayahku, Mas. Dialah satu-satunya yang aku punya. Aku nggak bisa sendirian tanpa ayah."

"Kamu juga memiliki aku. Aku akan bantu semampuku. Semoga Om Syam segera sadar dan tidak terjadi apa-apa terhadapnya."

"Hu um. Makasih ya, Mas."

Alan tersenyum. Dalam hati sedih juga. Entah sudah berapa kali ia duduk di ruang IGD seperti ini untuk menemani Livia menunggui ayahnya. Banyak kisah hidupnya terukir bersama keluarga Pak Rosyam.

Dulu kurang dua bulan lagi ia menikah dengan Selvia, tapi peristiwa naas itu terjadi dan menghancurkan mimpinya. Kejadian itu masih segar dalam ingatan dan sangat menyakitkan.

Seorang dokter yang memeriksa Pak Rosyam keluar dan mencari pihak keluarga. Spontan Livia dan Alan berdiri. "Saya anaknya Pak Rosyam, Dok. Bagaimana keadaan ayah saya?"

"Beliau sudah sadar, tapi perlu penanganan yang intensif. Suplai darah ke otaknya berkurang sangat drastis. Beliau mengalami serangan jantung dan ini sangat serius, makanya beliau harus mendapatkan perhatian medis, jadi harus rawat inap."

"Iya, Dok." Livia mengangguk. "Boleh saya menengok ke dalam?"

"Silakan dan segera tentukan untuk ruang perawatan." Selesai bicara, dokter itu melangkah meninggalkan mereka.

"Kamu jenguk Om Syam, biar aku yang ngurusi untuk kamar perawatan," kata Alan.

"Iya, Mas. Makasih banyak." Livia bergegas masuk ke dalam. Sedangkan Alan di dampingi Pak Tamin segera menemui petugas untuk memesan ruang perawatan Pak Rosyam.

Malam setelah kondisi stabil, laki-laki itu dipindahkan ke ruang perawatan. Pak Rosyam belum banyak bicara. Hanya netranya yang terus-menerus berembun.

Alan juga belum pulang. Tapi Pak Tamin yang pulang untuk mengurusi rumah yang tadi di tinggal begitu saja.

"Mas Alan, nggak apa-apa kalau mau pulang. Ayah sudah jauh lebih baik ini. Nanti Pak Tamin juga ke mari lagi." Livia bicara pada Alan.

"Iya. Jangan lupa, kamu harus makan. Supaya nggak sakit." Alan menatap nasi kotak di atas meja. Ia yang tadi keluar membelikan, tapi belum disentuh oleh Livia.

"Sebentar lagi kumakan."

"Vitamin C-nya juga kamu minum."

"Hu um. Makasih banyak, Mas. Karena selalu bantuin kami."

"Nggak usah mikirin hal itu. Selagi aku mampu, aku akan bantu kamu."

Livia terharu. Air matanya hendak tumpah makanya ia bergegas ke kamar mandi. Supaya ayahnya tidak melihatnya menangis. Beberapa menit kemudian ia kembali keluar dan ganti Alan bangkit dari duduknya untuk menghampiri Pak Roysam yang berbaring lemah. Tangan lelaki itu bergerak hendak menyentuh Alan tapi tidak mampu. Alan yang akhirnya menggenggam jemari Pak Rosyam.

"Makasih," ucap lelaki itu terbaca dari gerakan bibirnya.

"Sama-sama, Om. Semoga Om segera sehat dan bisa pulang ke rumah."

Pak Rosyam menarik napas dalam-dalam, seolah untuk mengumpulkan kekuatan bicara.

"Om nggak tahu bisa bertahan sampai kapan. Kalau terjadi sesuatu pada Om, titip Livia, ya." Suara yang lirih dan serak itu membuat Alan terharu mendengarnya. Ia mengangguk cepat.

"Kalau gitu saya pamit pulang dulu, Om. Insyaallah, setelah mandi saya akan kembali ke sini."

Pak Rosyam mengangguk lemah.

Alan melangkah keluar kamar diikuti oleh Livia. "Kalau Mas Alan capek, nggak usah ke sini lagi nggak apa-apa. Nanti Pak Tamin pasti ke mari lagi."

"Nggak apa-apa. Aku pulang untuk mandi dan ganti baju saja. Kamu mau dibawain cemilan apa?"

"Nggak usah, nasiku masih ada."

"Oke, kalau gitu aku pulang dulu. Jangan lupa segera makan."

Livia mengangguk. Setelah Alan berbelok di ujung lorong, ia baru masuk kembali ke kamar. Membenahi selimut ayahnya yang saat itu tengah memejam. Kemudian ia duduk di kursi dan membuka nasi yang dibelikan oleh Alan tadi.

Ketika tengah makan, Livia tidak menyadari kalau diperhatikan oleh ayahnya yang kembali membuka mata. Melihat putrinya, tak terasa sebutir air mata luruh di sudut netra. Kenapa ia tidak punya kekuatan untuk menjadi tameng bagi Livia. Satu-satunya anak yang masih ada. Justru malah menyusahkannya.

Pak Rosyam sangat sedih. Merasa bersalah menjadi ayah yang tidak berguna. Jika ia pergi untuk selamanya, siapa yang akan mendampingi putrinya? Namun kalau masih bertahan dalam keadaan seperti ini, hanya merepotkan Livia saja.

Jujur saja, ia lega kalau Livia lepas dari Bre. Daripada putrinya disiksa batin oleh mereka. Pak Rosyam sebenarnya curiga, kalau sang besan ikut campur dalam menumpas bisnisnya. Namun ia tidak memiliki bukti meski tahu banyak tentang mereka. Sekejam itu keluarga Bre.

Jam sebelas malam, Alan kembali sampai di rumah sakit. Ia heran saat melihat Livia duduk sendirian di depan kamar perawatan. Laki-laki itu menaruh tiga gelas teh hangat di kursi tempat duduk Livia. Wanita yang tengah melamun itu kaget, karena Alan sudah kembali menemuinya.

"Kamu nggak tidur?"

"Aku nggak bisa tidur, Mas. Pak Tamin yang nungguin papa di dalam."

"Kamu harus cukup istirahat biar nggak sakit."

"Aku juga pengen tidur, tapi nggak bisa."

"Di minum tehnya."

Livia mengambil segelas teh dan minum beberapa teguk. Kerongkongannya terasa hangat. Keduanya memandang ke arah yang sama. Pada pekat malam yang kelam.

"Makasih banyak ya, Mas. Kalau nggak ada Mas aku nggak tahu mau minta tolong sama siapa." Livia berkata lirih.

"Sudah kubilang. Aku akan membantu semampuku. Kamu jangan khawatir. Soal biaya rumah sakit, biar aku yang mengurusnya."

"Nggak usah, Mas. Aku masih punya uang. Nanti saja kalau butuh, aku minta tolong sama, Mas Alan."

"Oke," jawab laki-laki itu sambil melepaskan jaket dan memberikan pada Livia. "Pakaikah, udara makin dingin."

Hening.

"Bre nggak meneleponmu?" tanya Alan setelah diam beberapa saat.

"Nelepon dua kali, tapi nggak kuangkat. Tadi mereka sedang makan malam bersama keluarganya Agatha."

"Kamu tahu dari mana?"

"Dari story-nya Agatha."

"Kamu masih mencari tahu tentang mereka?"

Livia tersenyum getir. "Aku hanya ingin melihat apa yang mereka lakukan. Jika mereka seserius itu, berarti tak lama lagi kami akan segera bercerai."

Suara Livia terdengar sangat tegar, tapi Alan melihat ada kaca-kaca yang bersarang di netra Livia. Perceraian pasti membawa kepedihan. Apalagi mereka baru menikah belum genap dua tahun.

Alan pamitan pulang jam enam pagi setelah membelikan sarapan untuk mereka. Ia terburu-buru karena ada meeting hari itu.

"Pak Tamin, saya titip ayah, ya. Saya mau pulang mandi dan ganti baju." Livia berkata pada lelaki yang duduk di sebelah brankar ayahnya.

"Njih, Mbak. Ini kunci mobilnya."

Livia bergegas pergi setelah menerima kunci dari Pak Tamin. Ketika baru saja sampai di parkiran, ia berserempak dengan dokter Pasha. "Selamat pagi, Dok."

"Hai, Livia. Ayahmu opname?" tebak dokter Pasha. Karena sudah sangat mengenal tentang riwayat kesehatan Pak Rosyam.

"Iya, Dok. Ayah saya masuk rumah sakit kemarin sore."

"Kamu sudah memberitahu tentang permasalahan kamu?"

Livia mengangguk.

"Di kamar mana beliau di rawat? Nanti saya jenguk."

"Makasih banyak, Dok. Ayah ada di kamar Bougenville-05."

"Oke."

"Saya mau pulang dulu, Dok."

"Hati-hati, Livia."

"Makasih." Livia pulang mengendarai satu-satunya kendaraan yang masih mereka miliki. Harta yang tersisa hanya rumah dan mobil itu.

Dalam situasi seperti ini, Livia ingat ibu dan kakaknya. Mereka sudah tiada sekarang. meninggalkannya berjuang sendirian karena ayahnya pun dalam kondisi yang sangat lemah.

Dulu Selvia pernah bilang, "Carilah lelaki yang pandai menghargai dan melindungimu. Biar pun dia sederhana, tapi hidupmu jauh dari luka dan air mata."

Dan sungguh kakaknya beruntung dicintai lelaki seperti Alan. Yang tahu bagaimana mencintai dan menghargai pasangannya. Walaupun akhirnya sang kakak pergi, setidaknya ia pergi dalam kenangan yang indah. Makanya sampai sekarang pun Alan belum menggantinya dengan kehadiran wanita baru dalam hidupnya. Sementara dirinya mendapatkan lelaki yang tidak tahu bagaimana menjaga perasaan.

Alan memiliki paras yang tampan dan tubuh menawan sebagai seorang laki-laki. Manly. Tentunya banyak gadis di luar sana yang pasti menyukai. Namun setelah kepergian tunangannya, laki-laki itu masih bertahan sendirian. Sekarang usianya sudah tiga puluh tahun.

Mobil Livia langsung parkir di garasi. Ia masuk rumah dan segera mandi. Ketika tengah bersiap kembali ke rumah sakit, bel rumahnya berbunyi. Livia kaget, di depan pintu berdiri asistennya Bu Rika.

"Maaf, saya mengganggu, Mbak Livia. Bisa kita bicara sebentar. Saya mau menyampaikan pesan dari Bu Rika."

"Silakan duduk."

Livia mengajak gadis itu duduk di teras. "Ada apa?"

"Bu Rika telah menyiapkan seorang pengacara untuk mengurus perceraian Mas Bre dan Mbak Livia. Pengacara akan menemui Mbak Livia dalam beberapa hari ini. Bu Rika minta agar Mbak Livia jangan mempersulit proses di pengadilan."

"Bilang sama Bu Rika, nggak usah khawatir. Dengan senang hati saya akan menandatangani surat perceraian itu. Nggak usah pengacara itu menemui saya, untuk apa. Saya nggak akan datang ke sidang. Saya hanya menunggu akta cerai dikirim pada saya di alamat rumah ini. Tapi tunggu, kenapa Mbak yang disuruh menemui saya. Beliau kan menyimpan nomer saya."

"Saya nggak tahu, Mbak," jawab gadis itu.

"Apa takut kalau saya merekam percakapannya dan menyimpan chat-nya?"

Asisten Bu Rika diam.

"Bilang sama Bu Rika, nggak usah banyak drama. Dengan senang hati saya nggak akan mempersulit proses perceraian. Kenapa mereka takut kalau saya akan berulah. Katakan juga kalau rahasianya nggak bakalan saya bocorkan ke media jika perceraian kami terkuak. Saya juga nggak akan menyangkal apapun alasan dalam gugatan cerai itu. Walaupun nama saya akan di jelek-jelekan untuk mempermudah dikabulkannya perceraian."

Gadis itu mendengar ulasan panjang Livia. "Saya turut prihatin, Mbak," ujarnya kemudian.

Livia tidak menanggapi. Dia tidak mempercayai orang-orang di sekeliling keluarga B.

"Maaf, saya nggak bisa berlama-lama karena harus pergi."

"Iya. Kalau gitu saya permisi, Mbak." Gadis itu melangkah cepat keluar pagar. Di mana mobil dan sopir Bu Rika menunggu di sana.

Livia juga bersiap kembali ke rumah sakit. Mengutamakan kesembuhan ayahnya jauh lebih penting ketimbang meladeni drama mereka. Meski jujur saja, hatinya sangat sakit. Apalagi jika mengingat Bre. Lelaki yang sangat dicintainya ternyata makin menenggelamkannya dalam nestapa.

Sekarang Livia sadar dan sudah merasa cukup bertahan selama ini. Keluarga Bre menginginkan dia dan Bre bercerai, tapi mereka tidak ingin kemelut itu terbongkar ke luar.

Langkah Livia yang hendak ke garasi terhenti saat di luar pagar berhenti sebuah kendaraan warna silver.

Next ....

Selamat membaca 🥰

Komen (166)
goodnovel comment avatar
Nova Vaw
kliatan pengen harta ny
goodnovel comment avatar
Koriahamiatun
ayok lanjut
goodnovel comment avatar
Khasminar
ngak seru j jd nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status