RAHASIA TIGA HATI- Rela"Mana, aku mau lihat ponselmu?"Agatha mendongak, menatap Alan yang menjulang di hadapannya. Keder juga dia dengan lelaki yang diam-diam diidamkan banyak perempuan. Termasuk sahabat dekatnya sendiri."Sudah kuhapus."Alan tetap memaksa mengambil ponsel dari tangan Agatha. Mengecek bagian galeri. Memang sudah tidak ada. Kemudian ia melihat di aplikasi pesan. Dugaannya benar. Foto tadi rupanya diambil dan langsung dikirim pada nomernya Bre dan sudah dilihat oleh laki-laki itu.Ponsel Agatha yang masih dipegang Alan berdering. Bre yang menelepon. "Halo.""Kenapa kamu yang ngangkat?" Suara di seberang."Aku tunggu di depan rumah sakit Harapan Keluarga. Datang ke sini sekarang. Aku tunggu." Alan mematikan ponsel dan memberikan benda itu pada pemiliknya.Livia memandang Alan dengan tatapan tidak mengerti."Agatha mengambil foto dan langsung terkirim pada Bre. Kita tunggu dia di sini. Persoalan ini harus selesai sekarang juga." Alan menjelaskan.Mendengar itu Livia
Alan marah dengan tindakan Agatha yang mengambil foto secara diam-diam. Ingin juga menyuruh Bre menghapus foto itu. Tapi ia sadar, hanya keributan yang akan terjadi. Makin memperpanjang permasalahan saja. Akhirnya Alan memilih diam. Setidaknya urusan Livia bisa segera selesai.Ponsel Bre di saku celana berdering. Telepon dari Fery. Rupanya laki-laki itu tadi meninggalkan meeting untuk menemui mereka. Bre menjawab telepon sebentar kemudian kembali memandang Livia. Terlalu banyak yang ikut campur dalam rumah tangganya, membuat hubungannya dengan Livia carut marut. Tapi dirinya sendiri tidak punya kemampuan untuk meninggalkan keluarganya, terutama sang mama.Jujur saja kalau sebenarnya ia merasakan hatinya patah sepatah-patahnya. Pernikahannya terlanjur porak-poranda saat ini. Livia bahkan sudah kehilangan rasa kepercayaan padanya.Bre lantas menoleh sekilas pada Agatha. "Kita pergi," ujarnya lalu melangkah pergi diikuti oleh gadis itu.Livia menatap mereka yang berjalan menjauh ke arah
RAHASIA TIGA HATI- Sidang Terakhir "Assalamu'alaikum, Mas Alan.""Wa'alaikumsalam.""Ada kabar apa? Semoga kabar baik." Livia tidak sabar. Terdengar tawa di seberang. "Mas Alan, malah ketawa.""Sabar, Livi. Nanti kalau ada kukabari. Aku cuman mau bilang. Mungkin beberapa menit lagi akan ada kurir nganterin ayam panggang dan ikan bakar ke rumah. Nanti kalian bisa makan malam bersama.""Mas, kok repot sih. Mas Alan, nggak mau sekalian makan malam di sini?""Enggak. Ini aku juga baru sampai rumah. Tadi ngopi bareng sama teman. Siang tadi aku dapat kabar kalau menang dalam kontes desain.""Oh ya? Wah selamat, Mas. Pasti hadiahnya besar.""Sebenarnya waktu itu ikutnya nggak niat banget, Livi. Alhamdulillah dapat juara. Kalau ada waktu luang, nanti kuajak kamu jalan-jalan sekalian sama Om dan Pak Tamin. Cuman dalam minggu ini aku masih banyak kerjaan.""MasyaAllah, Mas baik banget sih. Makasih banyak." Livia jadi terharu. Andai kakaknya masih ada, pasti bahagia memiliki suami seperti Ala
Livia baru saja masuk kamar saat ponsel di tasnya berdenting. [Livia, bisa kita bertemu sebelum sidang perceraian diputuskan?][Kapan sidangnya?] Ini kesempatan Livia untuk tahu kapan sidang terakhir.[Tanggal 20 bulan ini.]Oh, ternyata masih sekitar semingguan lagi.[Untuk apa bertemu?][Kita bisa membatalkan perceraian ini. Aku nggak ingin kehilanganmu, tapi aku dipaksa, Liv. Aku selalu diawasi supaya tidak bertemu denganmu.]Livia mengirimkan emot tawa berderet-deret pada Bre.[Telat perjuanganmu, Mas. Aku sudah lebih dari siap menyandang status baruku. Nggak sabar menunggu momen itu.][Please, Liv.][Nggak akan pernah ada jalan untuk kita kembali.][Ada, Liv. Please.]Livia melempar ponsel di atas tempat tidur dan bersiap-siap untuk mandi. Dia juga malas membalas lagi pesan dari Bre. Hanya membuat emosi saja. Penyesalan yang terlambat. Livia sudah membunuh perasaannya. Dia tidak akan kembali pada pria yang sama. Lelaki yang tidak tahu bagaimana harus bersikap tegas terhadap rumah
RAHASIA TIGA HATI - Speechless Ada rahasia apa sebenarnya? Kenapa mereka begitu kejam pada keluarganya."Mas Alan nggak pernah cerita pada saya, Bu." Livia penasaran saat di perjalanan."Karena kamu masih bagian dari keluarga Hutama. Waktu ibu tanya, kenapa berhenti proses untuk penyelidikan. Dia jawab 'Livi sudah menjadi bagian keluarga mereka, Bu. Yang penting dia bahagia.' Alan bicara seperti itu."Speechless. Livia diam kehilangan kata-kata. Alan telah melakukan banyak hal tanpa sepengetahuannya. "Setelah tahu permasalahan kamu dan kamu sendiri memilih keluar dari keluarga Hutama, Alan mulai bertindak lagi. Untuk sekarang ini dia fokus melindungimu dan ayahmu.""Bu Mira sudah kenal lama dengan Mas Alan?""Sudah lama. Saya teman papanya Alan. Saya bekerja di firma hukum yang sama dengan Pak Azhar sebelum beliau meninggal. Jadi saya juga kenal baik dengan Bu Azhar yang sekarang tinggal di desa."Livia mendengar cerita Bu Mira. Bersyukur karena ia diketemukan dengan orang-orang bai
Sementara di lantai bawah, keluarga masih sibuk mencegah bagaimana agar berita itu tenggelam sebelum muncul ke khalayak umum."Beneran bukan Mbak Kenny yang mengambil foto dan mengirimkan pada Livia?" tanya Agatha penuh selidik, ketika gadis itu mendekati Kenny yang tengah mengambil air minum di ruang makan."Enggak. Lagian untuk apa aku melakukan itu. Nggak ada untungnya dan hanya menambah masalah saja," jawab Kenny tanpa menatap Agatha."Mbak, kan paling dekat dengan Livia?""Wajar kalau kami dekat. Karena dia staf-ku di kantor. Kami nyaris berinteraksi setiap hari menyelesaikan pekerjaan. Tapi untuk urusan ini, aku nggak mau ikut campur. Kamu juga tahu kan, kalau Livia sendiri sebenarnya ingin berpisah dari Bre?"Menantu dan calon menantu itu saling pandang. Saling menilai, meraba, mengukur penuh persaingan. Kalau selama ini Kenny bisa dekat dengan Livia, untuk sekarang bisa dipastikan kalau ia tidak akan pernah bisa akur dengan Agatha.Kenny menganggap Agatha pesaingnya dalam mereb
RAHASIA TIGA HATI- Setelah Berpisah Nomer siapa ini? "Halo.""Liv, jangan matikan teleponnya." Ternyata suara Bre di seberang. Dia sengaja menggunakan nomer lain agar Livia mau menerima panggilannya. "Ada apa meneleponku?""Bisa kita bertemu?""Nggak bisa.""Bukan sekarang. Esok atau lusa jika kamu ada waktu.""Nggak bisa. Hubungan kita sudah usai. Nggak ada lagi yang perlu kita bicarakan, Mas.""Kamu tinggal di mana sekarang?""Di rumah.""Posisiku sekarang di depan rumahmu. Sepi dan pintu pagar terkunci.""Nggak usah tahu aku ada di mana. Kita sudah jadi mantan sekarang. Kita teruskan hidup masing-masing. Kalau Mas ingin memperjuangkan hubungan kita, sudah terlambat sekarang."Terdengar Bre menghela nafas berat. "Kenapa kau tolak uang mut'ah dan iddah. Kamu juga mengembalikan sisa nafkah. Itu hak kamu untuk menerimanya." Pasti Bu Mira yang diberi amanah oleh Livia sudah mengembalikan sejumlah uang itu pada Bre. "Kasihkan ke mamamu, Mas. Aku nggak butuh uang kalian. Dulu seenakn
Dua bulan kemudian ...."Mas, dua Minggu lagi masa iddahku habis. Aku dan ayah bisa kembali ke rumah kami. Sepertinya mereka nggak bakalan ngusik kami lagi." Livia berkata pada Alan ketika bertemu di kantin untuk makan siang."Mereka diam karena telah berhasil membuatmu dan Bre bercerai," jawab Alan.Tentu mereka berpikir berkali-kali jika ingin mencari gara-gara lagi. Mereka pasti tidak ingin Alan ikut campur."Kalau kamu dan Om nyaman tinggal di apartemen, tetap tinggal saja di sana.""Nggak usah. Aku nggak mau terlalu banyak ngrepotin Mas Alan. Sewa apartemen itu pasti mahal.""Aku sudah membayarnya untuk setahun. Kan baru beberapa bulan kamu tinggali sama Om.""Jadi Mas Alan nggak nyewa per bulan?""Nggak. Aku bayar untuk setahun.""Ya ampun, Mas. Aku tambah jadi nggak enak, pasti mahal kan?""Berhentilah bilang nggak enak, Livi.""Beneran aku nggak enak selalu ngrepotin kamu, Mas.""Lupakan itu. Minggu depan pembukaan kantor kami. Kalau sudah berjalan stabil, kamu resign dan bisa
Bre menyalami Pak Rosyam dan Pak Tamin dan meminta maaf karena terlambat datang."Sekolah libur kan, Bang?" tanya Bre pada Alvian."Iya, Om. Libur seminggu setelah ulangan.""Oke, besok kita jalan-jalan ke pantai sama Kak Leo. Mau nggak?"Alvian memandang kakeknya. Saat Pak Rosyam mengangguk, Alvian senang karena diberi izin. Bocah itu memang sering bertemu Bre tiap kali ikut kakeknya ke Malang.Pak Rosyam dan Bre sambil makan membicarakan projek yang akan di mulai bulan depan. Setelah itu Bre mengajak Leo dan Alvian jalan-jalan di mall depan restoran. Pria yang masih tetap sendiri itu seperti biasa membelikan mainan dan pakaian untuk Alvian dan si kembar. Untuk Aliva dia hanya membelikan sebuah boneka. Aliva masih terlalu kecil. Bre belum pernah melihat wajah Aliva. Pasti cantik seperti ibunya. Bre terakhir kali bertemu Livia, ketika acara dinner malam itu. Kalau Alan masih sering bertemu karena mereka memang menjadi partner bisnis."Nak Bre, kapan bapak dapat undangan pernikahan? B
"Saya merintis bisnis bersama istri saya yang saat itu masih menjadi teman biasa. Juga Adi, teman kita yang malam ini tidak bisa datang. Mereka yang menemani saya benar-benar dari nol. Mulai dari mencari tempat usaha, perizinan, dan karyawan.""Dari teman langsung menikah atau pacaran dulu, Bro?" celetuk seorang teman."Suatu hari saya diam-diam menemui ayahnya dan berterus terang hendak menikahi putrinya. Tapi saya minta waktu agar saya mapan secara finansial. Beberapa bulan kemudian saya melamarnya dan kami menikah."Beberapa perempuan memandang ke arah Livia yang masih duduk di tempatnya. "Kenapa nggak ngundang kami? Kamu lupakan teman-temanmu," protes yang lain."Maaf, saya menikah di Sarangan, jadi hanya Adi saja yang datang. Kami hanya mengadakan pesta sederhana karena waktu itu saya masih dalam tahap merintis bisnis."Alan berbagi pengalaman dan motivasi yang menginspirasi. Semua pertanyaan teman dijawabnya dengan penjelasan yang gamblang. Dan pertemuan itu berakhir di jam seb
Livia berdebar-debar takut dan netranya pun berembun. Sekarang susah untuk menelan saliva, seperti ada yang menyekat tenggorokan. Livia merasa malu dan bersalah. Setiap kali ayahnya menemuinya di ruang kerja, sang ayah tidak pernah menutup pintu dengan rapat. Dari celah itulah, tentunya Alan mendengar percakapan dan tangisnya."Mas, aku nggak ada perasaan apapun selain empati dengan nasib Bre." Suara Livia bergetar. "Dia menjadi korban keegoisan mamanya, sedangkan dirinya juga tidak bisa mengendalikan diri makanya sakit akhibat merokok. Aku ....""Nggak perlu dijelaskan, Sayang. Mas paham perasaanmu. Kalau pun masih ada sisa rasa karena kalian pernah hidup bersama, mas juga ngerti.""Bukan seperti itu, Mas. Sekarang hidup dan matiku, jiwa dan ragaku hanya untuk mas dan anak-anak. Jangan salah pengertian.""Mas sangat mengerti, Livi. Sebaiknya kita nggak usah lagi membahas tentang hal ini. Mas percaya sama kamu. Mas dan Bre sudah bicara baik-baik, tetap membuka peluang supaya kita bisa
RAHASIA TIGA HATI - Alone"Tampaknya Mbak ini ngebet banget pengen ketemu sama Mas Alan.""Oh, bukan saya saja. Jangan salah paham, Mbak. Tapi teman-teman yang lain juga ingin bertemu. Berharap Alan bisa datang di pertemuan kami dan berbagi pengalamannya. Yang jelas berbagi ilmu. Alan sedang hangat diperbincangkan di grup alumni." Sonya tampak malu dan membuat wajahnya merona."Oh," jawab Livia pendek. Padahal di antara sekian banyak alumni, pasti bukan suaminya saja yang sukses. Tapi kalau pada akhirnya Alan jadi inspirasi dan penyemangat buat mereka, bukankah itu menjadi nilai plus. Pengalamannya menjadi sangat berguna tidak hanya untuk diri pribadi, tapi untuk orang banyak. Ah, Livia positif thinking saja."Alan jarang ikut pertemuan alumni. Mungkin karena sibuk kali, ya. Tapi kami berharap kali ini dia bisa hadir. Mumpung ada di Malang. Kalau gitu saya mau kembali ke kamar dulu, Mbak.""Ya, Mbak," jawab Livia.Wanita itu melangkah pergi. Tampaknya dia masih tahu malu juga setelah
"Besok pagi. Karena malam ini aku masih ada acara ketemuan dengan teman-teman alumni.""Apa benar AFBC mau buka cabang di Malang? Mas Ferry ngasih tahu aku sebulan yang lalu.""Insyaallah. Semoga tahun ini bisa terealisasi."Percakapan terjeda sejenak ketika makanan yang dipesan datang."Aku juga membuka peluang kerjasama dengan Hutama Jaya," ujar Alan sambil mulai menikmati makanannya."Kamu nggak khawatir denganku, Lan?"Alan tersenyum. "Apa mungkin kamu tega menikamku dari belakang? Sedangkan aku mendapatkan Livia bukan karena aku merebutnya darimu. Marilah kita menjalin hubungan kerjasama secara sportif sebagai pria sejati, tanpa ada bayang masa lalu. Profesional all out."Keduanya saling pandang. Tanpa bayang masa lalu? Jelas tawaran itu tidak mudah bagi Bre, bahkan bagi Alan sendiri. Tapi urusan dunia properti berada di tangan Pak Rosyam dan Adi. Alan tetap di pasionnya sendiri. Livia sebagai kepala staf keuangan, tetap di kantor bersamanya. Untuk projek properti ditangani oleh
Bre menggeliat sebelum turun dari kasur. Langsung ke dapur dan membuat secangkir kopi lantas membawanya ke balkon. Duduk di sana sambil menyesap white coffee. Dia lebih suka kopi hitam, tapi stok di dapurnya sudah tidak ada dan belum sempat belanja.Jam dua dini hari Bre baru bisa tidur. Pertemuannya dengan Livia membuatnya kembali merasa tersungkur. Dan itu pilihannya, karena sebenarnya dia bisa saja tidak usah datang ke acara dinner setelah tahu Alan pasti datang bersama Livia.Namun ia tetap datang juga. Dan ini akhibatnya. Luka yang seharusnya mulai sembuh, kini basah kembali. Meski demikian ia tidak lagi terpuruk seperti tahun-tahun kemarin. Bre lebih siap kendati tetap ada rasa kecewa karena penyesalan."Bre, dapat salam dari Atikah," ujar seorang teman kerjanya suatu hari.Bre hanya menjawab dengan senyuman. Dan kiriman salam itu terus berlanjut beberapa kali. Atikah ini salah satu staf di kantor tempatnya bekerja. Perempuan yang lumayan nekat karena berani mengirim salam dulua
RAHASIA TIGA HATI - Suami IdamanLivia meringkuk untuk berlindung dari dingin. Rasa cemas masih tersisa atas kejadian tadi malam. Tak terbayangkan kalau Alan bersikap arogan karena kesalahan yang istrinya lakukan. Selama ini dia sudah sangat bersabar, Livia benar-benar takut jika Alan bisa saja lepas kendali. Namun suaminya memiliki kecerdasan emosional, mampu mengekspresikan perasaan kecewa, marah, dengan cara yang bijak. Meski begitu bisa membuat Livia menangis.Saat melampiaskan hasr*tnya pun tetap semanis seperti biasanya meski diselimuti amarah dan cemburu. Tidak kasar untuk membalas rasa kecewanya. Suami seperti ini, di mana ia akan mendapatkan dalam situasi dunia seperti sekarang. Ketika perselingkuhan sudah menjadi life style, tidak hanya di kalangan kelas atas bagi orang-orang berduit, tapi kelas pinggiran pun mengalami fenomena yang sama.Kunci sebuah hubungan ada pada laki-laki. Mau sekuat apapun berdebat, kalau cinta seorang laki-laki sangat besar. Hubungan itu akan tetap
"Jadi Mas Alan nggak tahu?" Livia terkejut lagi. Alan yang biasanya banyak tahu hal-hal yang berada di luar jangkauan Livia, tapi kali ini dia tidak tahu apa-apa."Untuk apa mas berbohong sama kamu. Apa begitu pentingnya kabar tentang Bre bagimu?"Tangis Livia tumpah. "Bukan begitu. Aku takut kalian berselisih. Padahal aku sudah senang kalian bisa bekerjasama dengan baik sampai tiga tahun lamanya. Mas, jangan salah paham."Alan menarik napas panjang. Keduanya terdiam beberapa menit. Livia mengusap air mata dengan tisu yang ditarik dari atas nakas. "Maafkan aku. Aku nggak ada niatan mengkhianatimu," ujar Livia serak."Livi, kita sudah punya tiga anak. Saat mendengar percakapanmu dan ayah yang menasehatimu tadi, mas diam. Nggak akan menjadikan itu masalah yang membuat hubungan kita berubah. Mas memutuskan diam karena mas percaya dengan ayah dan kamu."Mas anggap itu hal biasa. Tapi setelah mas melihatmu berbincang dengan Bre, mas akhirnya perlu mendiskusikan hal ini denganmu.""Percayal
Livia menebarkan pandangan ke belakang. Ia tidak menemukan Bre di antara para undangan. Mungkin dia masih di sana, karena banyaknya tamu yang berjas hitam, jadi susah untuk menemukan."Apa yang kamu cari?" Alan menyentuh dan langsung menggenggam jemarinya."Mas." Livia kaget karena Alan tiba-tiba ada di belakangnya. Wajah sang suami tidak secerah tadi. Apa ada masalah antara suami dan rekan kerjanya? Livia jadi khawatir.Seseorang menyapa mereka. Alan kembali berbincang dan tidak melepaskan genggaman tangannya.Sedangkan Sonya yang kembali dari menerima telepon terkejut melihat tangan Livia digenggam oleh Alan. Laki-laki yang dibicarakan tadi sudah bersama wanita itu. Apa hubungan mereka? Bukankah Livia bilang datang bersama suaminya? Jadi dia istrinya Alan? Oh, mungkin bukan. Kenapa Livia tidak mengakui kalau dia istrinya bos AFBC ketika sang suami dibicarakan perempuan lain.Apa dia selingkuhannya Alan? Waduh, padahal Alan tidak ada tampang laki-laki red flag. Sonya tidak percaya. K