Share

RAHASIA TIGA HATI
RAHASIA TIGA HATI
Author: Lis Susanawati

Bab 1 Jangan Punya Anak

RAHASIA TIGA HATI 1

Part 1 Jangan Punya Anak

"Nggak usah punya anak dulu. Mama nggak setuju."

Livia tercekat di balik pintu saat mendengar mama mertuanya bicara dengan Bre di ruang keluarga. Niatnya hendak masuk bergabung, tapi akhirnya hanya mematung di balik dinding.

"Kenapa, Ma?"

"Mama nggak sudi punya cucu keturunan dari orang gila." Ucapan ibu mertuanya bagai belati tajam yang menusuk tepat di ulu hati Livia. Wanita yang sangat ia sayangi tega berkata begitu di belakangnya. Wajar saja sebenarnya. Sebab Bu Rika memang tidak menyukainya sejak dulu. Wanita itu setengah hati merestui hubungan putranya dengan Livia. Namun kata 'gila' itu lebih menyakitkan dari apapun.

Mengingat kenangan itu, Livia menghela nafas panjang sambil menatap langit yang beranjak senja.

Meski sudah setengah tahun yang lalu perkataan itu diucapkan sang mertua. Bagi Livia masih terasa sakitnya. Dulu dia diterima dengan setengah hati, makanya tidak heran kalau sekarang ingin disingkirkan secara perlahan. Apalagi setelah bisnis keluarganya hancur, difitnah, dan orang tuanya terpuruk. Livia tidak dianggap lagi di keluarga suaminya. Mereka bilang, sekarang sudah tidak selevel lagi.

Siapa yang gila? Ayahnya bukan orang gila. Dia hanya mengalami PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) dan mengidap sakit jantung. Setelah banyak kejadian mengerikan dilalui. Untung Livia tidak mengalami depresi seperti ayahnya. Bre yang selalu membantu dan menguatkan agar dirinya bisa tetap berdiri tegak, setelah peristiwa kelam itu terjadi.

Namun sampai kapan Bre bisa bertahan membelanya, sementara mama terus merongrongnya. Setelah papanya tiada, Bre tidak mungkin akan meninggalkan sang mama. Meninggalkan usaha yang dikelola bersama kakak lelakinya.

Livia sendiri kian terasa asing di rumah besar mertua.

"Mbak Livia, dicari bapak." Seorang laki-laki setengah baya menghampiri Livia yang duduk di kursi belakang rumah.

"Iya, Pak Tamin," jawab Livia pada lelaki yang selama ini ia bayar untuk merawat dan menemani sang papa. Satu-satunya orang yang masih setia pada keluarganya, setelah kehidupan mereka runtuh.

Livia masuk ke ruang keluarga di mana ayahnya duduk di dekat jendela memandang langit sore. "Ayah, mau sesuatu?"

Pak Rosyam menggeleng. "Nggak. Ayah pikir kamu sudah pulang."

"Belum."

"Nanti Bre mencarimu."

"Dia tahu aku di sini."

Tiap kali memandang ayahnya, airmata Livia rasanya hendak tumpah. Lelaki yang dulunya sangat gagah, kini terpuruk setelah kehilangan istri, putri sulungnya, dan usaha yang mereka bangun selama ini juga hancur.

Ayah dan anak diam menikmati semilir angin sore. Seminggu dua sampai tiga kali, Livia akan mengunjungi ayahnya setelah pulang dari kantor.

Tadi hendak pamitan pada Bre, tapi di cegah oleh asisten suaminya. "Pak Bre, sedang meeting bersama Pak Ferry, Bu Kenny, dan Bu Agatha. Beliau tidak bisa diganggu, Bu Livia."

Padahal sudah di luar jam kerja, tapi ingin bertemu suaminya saja dilarang. Livia tidak heran, asistennya Bre memang sudah didoktrin oleh mama mertuanya. Semua orang diminta memusuhinya supaya Livia tidak kerasan di kantor atau pun di rumah besar mereka. Hanya Mbak Kenny, istri dari kakak ipar yang masih baik dan peduli padanya.

Dan parahnya lagi, keluarga seolah ingin mendekatkan Bre pada Agatha.

[Mas, aku nggak langsung pulang. Aku akan mengantarkan ayah ke dokter malam ini.] Itu pesan yang dikirim Livia pada Bre. Namun suaminya tidak membalas sampai sekarang.

Kadang ia merasa posisinya sangat terjepit di sana. Bre sendiri super sibuk sekarang. Pulang ke rumah sudah dalam keadaan sama-sama lelah.

Pernikahan yang belum genap dua tahun ini sudah mulai hilang kehangatannya. "Nggak usah diambil hati perkataan mama." Itu kalimat sama, yang selalu diucapkan Bre padanya.

"Habis Maghrib kita berangkat ke dokter, Yah. Ingat kan kalau jadwal Ayah kontrol ke dokter hari ini?"

"Ayah sudah nggak apa-apa, Liv. Nggak perlu kontrol lagi."

"Nggak bisa. Dokter bilang Ayah masih harus kontrol sampai kondisi Ayah benar-benar pulih."

"Kalau kamu repot. Biar ayah di antarkan Pak Tamin saja."

"Aku nggak repot."

"Ayah nggak enak selalu ngrepotin kamu. Sungkan sama Bre."

"Nggak apa-apa. Ayah nggak usah ada perasaan nggak enakan. Ini kewajiban aku mastiin ayah kembali pulih," jawab Livia untuk menenangkan sang ayah. Setelah mengalami PTSD, Pak Rosyam selalu dilanda kecemasan dan ketakutan yang berlebihan. Makanya Livia tidak mungkin akan menceritakan permasalahan rumah tangganya pada sang ayah, agar Pak Rosyam tidak down lagi.

Livia bangkit dari duduknya. "Aku mau mandi dulu."

Selesai salat Maghrib, Livia langsung mengantarkan sang ayah ke tempat praktek dr. Pasha Rizqullah Iqbal, SpKJ. Seorang psikiater yang sejak awal memang menangani permasalahan Pak Rosyam. Menangani kesehatan mental, rehabilitatif dengan pemberian konseling, psikoterapi, dan memberikan obat-obatan.

Setelah mengantarkan ayahnya pulang, Livia kembali ke rumah mertuanya. Saat itu jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Namun suasana di sana masih terang benderang. Mobil Ferry ada di carport. Kalau akhir pekan begini, kakak ipar dan keluarga kecilnya memang menginap di sana.

"Kamu pisah saja sama Livia. Daripada nama keluarga kita ikut tercoreng atas apa yang berlaku pada keluarganya. Sejak awal mama kan sudah bilang, mereka ini keluarga nggak bener. Curang dan akhirnya sekarang hancur sendiri."

Livia tercekat di ujung tangga. Kembali terpukul atas ucapan mama mertuanya. Tidak menyangka malam itu mereka berkumpul untuk membahas kembali tentang perceraian yang sudah berulangkali disarankan pada Bre.

"Usaha kita pun kena imbas dari kejadian itu. Mau nggak mau dia harus setuju untuk bercerai dengamu," lanjut Bu Rika.

"Jangan khawatir, Ma. Saya setuju!" jawab Livia dengan nada tegas sambil melangkah menghampiri mereka. Berusaha bersikap tenang, meski dalam dada sakitnya tiada terkira.

Mereka semua kaget melihat Livia yang tiba-tiba muncul di sana. Terlebih Bre yang duduk di samping kakaknya.

"Aku nggak setuju," jawab Bre menatap tajam istrinya. Jelas saja ia terkejut dengan jawaban Livia.

"Livia saja setuju kenapa kamu nggak?" Bu Rika menatap putranya.

"Keluarga kita ikut menanggung malu karena kasus keluarganya." Ferry menatap sinis pada Livia.

Mendengar ucapan kakak iparnya, Livia menelan ludah. Melonggarkan tenggorokan yang tersekat karena menahan geram. Dia tidak akan melakukan pembelaan. Percuma saja bicara. Sebagai sebuah keluarga, harusnya mereka berpihak padanya. Tapi justru memusuhi. Harusnya mereka menguatkan tapi malah hendak turut menghancurkannya.

Mereka semua sedang lupa sekarang ini. Siapa dulu yang membantu keluarga Bre bangkit dari kebangkrutan, kalau bukan ayahnya. Sekarang jangankan diberi jabatan di perusahaan, Livia direndahkan di sana. Bahkan untuk asisten Bre, mereka memilih orang lain. "Kamu nggak usah banyak ikut campur dalam perusahaan, daripada usaha kami hancur." Ferry berkata padanya, pasca tragedi menimpa keluarga Livia.

Kenny yang iba melihat Livia, hanya diam tidak bisa berbuat apa-apa.

"Silakan urus perceraian kami. Saya nggak akan mempersulit. Saya akan menandatanganinya nanti." Selesai bicara, Livia berbalik dan menuruni tangga.

Bre bangkit, mengejar, dan menahan tangan istrinya. "Kamu mau ke mana? Kamar kita ada di atas."

"Aku mau pulang ke rumah ayahku."

"Aku nggak ngizinin kamu meninggalkan rumah ini." Bre menarik lengan istrinya dan mengajaknya masuk kamar.

"Kenapa menahanku. Keluargamu sudah nggak ngizinin aku menjadi bagian dari mereka lagi." Livia berkaca-kaca.

"Aku nggak akan menceraikanmu. Sampai kapanpun."

"Lebih baik kita berpisah saja. Pernikahan macam apa yang kita jalani ini. Sejak awal mereka nggak setuju Mas menikahiku. Mereka semakin membenci dengan kasus yang menimpa keluargaku. Mereka mempercayai fitnah yang ditujukan pada keluargaku, pada kakakku. Mamamu melarang kita punya anak. Aku nggak dihargai di sini. Dan Mas nggak mungkin meninggalkan rumah ini. Jadi lebih baik kita luluskan saja permintaan mereka."

Bre menatap Livia. "Kita nggak akan bercerai apapun yang terjadi."

"Hampir dua tahun kita menikah. Sampai detik ini, Mama Rika tetap nggak menyukaiku. Bahkan melarangku hamil anakmu. Mama Rika nggak ingin keturunannya lahir dari perempuan sepertiku. Kami sekarang memang miskin. Tapi ayahku nggak gila."

"Aku tahu."

"Tahu apa? Mas, pun takut aku mengandung anakmu, kan?"

Mereka saling pandang. Livia tersenyum getir melihat Bre diam tidak menjawab. Dulu mereka antusias untuk segera memiliki anak, tapi dua bulan menikah, mama mertuanya bilang agar dirinya jangan hamil dalam waktu dekat. "Biar Bre fokus untuk menyelesaikan S2-nya yang sempat tertunda. Bre juga baru kehilangan ayahnya dan perusahaan sedang tidak baik-baik saja."

Livia mengerti dan memaklumi alasan itu. Namun setelah setahun berlalu, mama mertuanya tetap tidak mengizinkan dirinya hamil dengan alasan yang sangat menyakitkan.

"Baiklah, kita planning untuk punya anak mulai sekarang. Nggak usah pedulikan apa kata mama." Bre berdiri dan membuka laci meja rias. Sekotak 'pengaman' yang selalu tersedia di sana dibuangnya ke tempat sampah.

"Bre." Suara Ferry memanggil dari luar kamar. "Agatha sudah sampai bersama papanya. Kutunggu kamu di bawah."

Bre memandang Livia. "Aku turun dulu. Ada hal yang perlu kami bahas."

Selesai bicara, Bre meninggalkan kamar. Tinggal Livia yang duduk termenung di tepi pembaringan. Mereka datang jam sepuluh malam. Sepenting apa permasalahan yang hendak mereka bicarakan, sampai tidak sabar menunggu esok pagi.

Wanita itu jatuh meringkuk di tepi ranjang. Malas hendak menguping pembicaraan mereka. Daripada nanti membuatnya lebih sakit hati. Rasanya sudah tidak sanggup lagi ia tinggal di sana. Harusnya dulu ia tidak memaksakan diri masuk keluarga Hutama. Namun cinta dan sikap Bre yang terus meyakinkannya, membuat Livia tidak ragu untuk terus maju. Nyatanya makin ke sini, kian menyiksa batinnya sendiri.

***L***

Livia memperhatikan Bre yang tengah berpakaian. Suaminya bilang kalau pagi ini akan berangkat ke Madiun bersama kakaknya. Ada pekerjaan yang harus mereka selesaikan. Urgent.

"Aku akan ke rumah ayah setelah Mas berangkat."

"Oke. Aku akan menjemputmu nanti." Bre mendekat. Memeluk dan mengecup kening istrinya cukup lama.

Setelah Bre keluar, Livia beranjak ke Balkon dan memperhatikan suaminya dari sana. Ternyata Bre tidak hanya pergi berdua dengan Ferry, tapi dengan Kenny dan mamanya juga.

***L***

"Stop, Livia. Kamu tidak sedang latihan, tapi ingin menghabisiku." Seorang laki-laki berperawakan tinggi dan gagah menghentikan gerakan Livia yang membabi buta dalam melancarkan pukulan.

"Mustahil aku bisa melukaimu, Coach." Wanita itu bergerak mundur dan duduk di bangku panjang samping rumahnya. Dilepaskan hand wrap atau pelindung tangan untuk menghindari dari cedera saat latihan Muay Thai.

"Kamu kenapa?" tanya pria tampan yang kini duduk di hadapannya.

"Nggak apa-apa, Coach," jawab Livia sambil mengatur napasnya.

"Sudah kubilang kan, jangan panggil coach. Aku nggak nglatih lagi sekarang. Hanya sesekali saja datang ke tempat latihan. Aku datang ke sini juga untuk jenguk Om Syam, bukan adu kesaktian sama kamu."

Livia manarik napas dalam-dalam sambil mengelap peluh di pelipisnya. Sore ini udara kota Surabaya panas. Kemudian ia menatap Alan. Laki-laki dihadapannya ini adalah kekasih kakaknya sebelum saudara satu-satunya itu meninggal. Dia seorang design grafis juga pelatih Muay Thai.

"Ada yang ingin kamu ceritakan padaku?"

"Mas Alan, mau mendengarnya?"

"Tentu. Ada apa?"

Livia diam. Rasanya tidak pantas ia menceritakan permasalahan pribadinya dengan Bre pada Alan. Walaupun laki-laki itu banyak tahu tentang penerimaan keluarga Bre terhadapnya. Livia bukan menantu yang diinginkan mereka.

"Livia," panggil Alan.

"Mas Alan kenal Agatha, kan?"

"Ya. Kenapa?"

"Nggak ada apa-apa, Mas. Aku mau mandi dulu. Gerah." Langkah Livia terhenti ketika ada suara mobil memasuki halaman rumah.

Next ....

Selamat membaca.

Selamat datang di cerbung RAHASIA TIGA HATI. Kisah kehidupan perempuan tangguh, Livia. Jangan lupa subscribe dan rate bintang lima ya. Makasih.

Comments (30)
goodnovel comment avatar
Ma E
lanjut thor ceritanya bagus
goodnovel comment avatar
Ayu Anita
bagus livia
goodnovel comment avatar
Sherly Monicamey
bagus livia. jgn jadi perempuan lemah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status