"Lemparan yang bagus. Tuan!" puji seorang lelaki muda dengan tepukan tangan.
Lelaki yang sudah lanjut usia melangkah menuju lelaki muda yang sedang menatapnya dengan senyuman, "Terimakasih. Nak," balasnya dengan tersenyum.
Lelaki muda itu mengamati lelaki tua yang kini sedang memeriksa stiknya. "Bagaimana anda bisa melempar dengan jarak sejauh itu. Tuan?" tanya lelaki muda itu."Kalo boleh saya tahu, apa teknik yang anda terapkan?" lanjutnya.
Lelaki tua itu mengalihkan atensinya menatap lelaki muda yang kini sedang menatapnya, sorot mata itu menampilkan rasa ingin tahu lebih. "Pertama yang harus kamu lakukan adalah harus fokus. Apapun itu tujuan kamu jika kamu fokus maka tujuanmu akan tercapai. Nah... Kemudian kamu harus memilih hole mana yang ingin kamu tuju, " sahutnya dengan mengambil bola golf dari asistennya.
Lelaki tua itu meletakan bola pada rumput, "Kedua teknik memegang stik sama dengan cara teknik memegang baseball. Tapi kamu harus mengaitkan jari kelingking tangan kanan dengan jari telunjuk tangan kiri," ucap lelaki tua itu fokus memberi penjelasan dengan memperagakan setiap kata yang di ucapkan.
"Ketiga teknik mengayun kamu bisa memilih dua teknik mengayun. Bisa pilih antara teknik Backswing atau Downswing, apa kamu tahu cara melakukan kedua teknik tersebut?" Lelaki muda itu menggeleng karena dia tidak mengerti dengan kedua teknik itu.
Lelaki tua itu menghela nafas pelan, jika dipikir anak muda jaman sekarang kenapa tak mau belajar bermain golf padahal ini olahraga sangat menyenangkan. "Baiklah... Biar saya beri tahu teknik Backswing adalah teknik mengayunkan stik golf dengan cara mengayunkan ke belakang tubuh kamu sehingga melewati kepala. Sedangkan teknik Downswing adalah teknik mengayun untuk melancarkan pukulan yang pas supaya mengenai bola."
Lelaki muda itu mengangguk sebagai tanda mengerti apa yang dijelaskan lelaki tua itu.
"Keempat, teknik memukul. Kamu bisa melakukan dengan lima cara teknik untuk memukul antaranya yaitu; Tee Shoot, Fairway Shot, Bunker Shot, Putting atau Punch."
"Teknik Tee shot dipakai pada pukulan pertama, Fairway Shot dilakukan pada pukulan setelah Tee Shot. Bunker Shot hanya dilakukan ketika bola dipukul keluar area permainan, Putting dipukul jika bola sudah dekat dengan lubang. Yang terakhir Punch biasanya dipakai jika ada angin yang berhembus sangat kencang," ujar lelaki tua dengan mencoba memberi penjelasan.
Melihat lelaki muda itu mengangguk mengerti atas apa yang diucapkan membuat lelaki tua inisiatif untuk memberinya percobaan. "Cobalah... Saya akan membantumu," lanjutnya dengan memberi isyarat kepada lelaki itu."Satu lagi, kamu harus memilih stik Wood untuk memukul bola jarak yang sangat jauh."
Lelaki tua itu mengambil stik Wood dari asistennya, kemudian menukar dengan stik Wedge dari tangan lelaki muda."Ingat poin-poin pentingnya," ujarnya dengan menepuk pundak lelaki muda itu.
Lelaki muda itu memposisikan dirinya untuk bersiap, dia menerapkan poin-poin penting yang diucap lelaki tua itu. Dia mulai mengayunkan stiknya dengan berulang kali kemudian dia memukul bola dengan sekali hentakan. Dan ya! Bola itu menggelinding perlahan ke arah lubang hole yang dia tuju dengan tepat.
Senyum kebahagiaan terpancar diwajah lelaki muda itu, dan disambut tepukan tangan dari lelaki tua yang tersenyum hangat padanya."Bagus! Nak! Tidak di sangka kamu memasukan bola dengan melakukan pukulan sekali hentakan."
Lelaki muda itu tersenyum lebar. "Terimakasih! Ini berkatmu... Tuan!"
Lelaki tua itu menepuk pundak lelaki muda, "Siapa namamu?" tanyanya.
"Perkenalkan nama saya Benson." Benson mengulurkan tangannya kepada lelaki di hadapannya, lelaki itu menjabat uluran tangan Benson dengan tersenyum. "Saya James Vandic jeorge," ujarnya dengan tersenyum lebar.
"Senang berkenalan dengan anda. Tuan Vandic," ucap Benson dengan menunduk hormat.
Kini Benson dan Jenderal Vandic duduk di tepi area lapangan permainan golf, setelah beberapa sesi permainan yang membuat mereka terlihat sangat lelah. "Apa anda selalu kemari?" tanya Benson dengan menyilangkan kakinya.
"Hem... Ya, saya selalu kemari diusia segini harus rajin berolahraga. Dan salah satu olahraga kesukaan saya adalah golf manfaat golf itu untuk melatih konsentrasi dan menguatkan fisik, selain itu golf juga dapat menghilangkan stres."Jenderal Vandic meneguk air mineral yang di berikan oleh asistennya. Kemudian ia meluruskan kakinya, jemarinya terulur memijat betisnya.
"Kalo boleh saya tahu, apa profesi anda?" tanya Benson dengan menatap Jenderal Vandic.
"Saya sebagai seorang jenderal kepolisian," bisiknya dengan menutupi setengah mulutnya kemudian ia tertawa.
"Wah... Rupanya saya berbicara dengan orang penting," balas Benson dengan kekehan.
"Tidak masalah kamu sudah saya anggap seperti anak saya. Anak saya juga seumuran dengan kamu," ujar Jenderal Vandic dengan menepuk-nepuk pundak Benson.
"Terimakasih tuan. Anda berlebihan." Mereka berdua lanjut berbincang dengan sesekali tertawa karena obrolan yang di lontarkan Jenderal Vandic.
Benson menjalankan misi yang menurutnya sangat lumanyan normal. Ia sebenarnya sudah tidak sabar untuk menanyakan lebih dalam pada Jenderal Vandic. Tapi dia harus bersabar karena itu tidak mudah, ia harus melakukan teknik pendekatan terlebih dahulu.
Misi pendekatan sangatlah tidak mudah, ia harus tahu tentang karakter targetnya harus tahu apakah si target seseorang yang mudah didekati atau tidak. Seorang agen harus selalu siap dan waspada agar dia tidak terjebak dalam perangkapnya sendiri.
Jika target sudah dekat dengannya, maka ia mudah untuk memanipulasi keadaan dengan begitu pertanyaan yang ia tanyakan akan sangat mudah dijawab. Tapi begitupun sebaliknya jika dia tidak berhati-hati dalam bertindak maka dia akan terperangkap dilubang yang dia gali sendiri.
Ibaratnya seperti Benson mengasuh bayi singa, jika bayi singa bertumbuh dewasa dan jika dia tidak memberi umpan maka dialah yang akan menjadi umpanya.
***
"Kamu bagaimana?" tanya seorang gadis dengan menatap lawan yang ia tanyakan.
"Berjalan dengan lancar," balas lelaki di hadapannya dengan tersenyum miring.
"Dan kamu?" tanyanya lagi pada lelaki satu yang kini berada di sampingnya.
Lelaki itu menghela nafas panjang. "Aku sudah menelusuri semuanya tapi nihil, aku tidak bisa menemukan apapun."
Dia menyenderkan punggungnya pada punggung kursi. "Tapi, ketika aku menulusuri disalah satu 'Lab' terakhir. Aku mendengar para peneliti berbicara bahwa salah satu dari mereka akan mengantarkan serum pada lab Kbi" lanjutnya lagi dengan menatap kedua orang yang kini menatapnya.
Lelaki satunya menopang dagu dengan mencoba berpikir. "Tunggu, sepertinya tidak asing dengan nama Kbi," ujarnya.
Sehingga membuat gadis di hadapannya mengerutkan dahinya."Maksudmu?" tanya sang Gadis.
"Lab mana yang kamu terlusuri terakhir itu?" tanya lelaki di hadapan gadis itu pada lelaki di samping gadis.
"Laboratorium sync," ujarnya dengan menatap kedua temannya yang kini sedang larut pada pikirannya masing-masing.
"Kamu harus bertahan di laboratorium Sync. Agar kamu bisa mengorek lebih dalam informasi terkait serum itu," ucap lelaki satunya.
"Baiklah... Sebaiknya jangan bahas masalah ini di sini. Lebih baik kita cari tempat yang aman," ucap sang Gadis membuat kedua lelaki itu mengangguk setuju.
"Kita kembali ke mansionku," sahut lelaki di hadapannya.
"Tidak! Kita harus kembali ke hotel," tolak lelaki satunya yang mendapat tatapan tajam dan nyalang pada lelaki itu.
"Kamu gila! Sekarang sudah tidak aman! Tempat teraman ialah mansionku!" bentaknya dengan menggebrak meja.
"Kita bisa cari tempat lain!" tantang lelaki di samping gadis itu.
Gadis yang melihat pertikaian antara kedua lelaki itu mengusap wajahnya kasar."Stop! Louis Benson! Kenapa kalian jadi berantem seperti ini, liat semua orang melihat kita," bentak Daisy menatap nyalang kedua lelaki itu.
Ya, gadis itu adalah Daisy dengan kedua temanya Benson dan Louis. Daisy sangat malu karena melihat semua orang yang berbisik-bisik seolah dia adalah dalang terjadinya pertengkaran kedua lelaki itu.
"Ayo kita kembali ke mansion!" perintah Diasy yang kini berjalan meninggalkan kedua lelaki itu yang hanya diam menatap nyalang satau sama lain.
Senyum miring tercetak dibibir Benson, membuat Louis menggeram ingin menghabisinya detik itu juga.
Diam dan sunyi itu yang dirasakan di dalam mobil Benson yang sibuk mengendalikan kemudinya, Louis sibuk dengan ponselnya dan Daisy hanya diam dia memijat pelipisnya dengan menghela nafas.
Mendengar helaan nafas dari sang Gadis, kedua lelaki itu menoleh.
"Maaf," ucap Louis pada Daisy.
"Aku juga minta maaf," ujar Benson.
"Aku tidak suka kejadian itu terulang lagi, apa kalian mengerti?" Daisy sangat marah, ia tidak suka melihat kedua temannya berantem gara-gara masalah sepele."Aku ingin bertanya dengan kalian, kalian harus jawab jujur!"
Kedua lelaki itu mengangguk lalu menggeleng kompak, membuat Daisy ingin menggantikan posisi kemudi sehingga ingin menabrakan diri pada pembatas jalan. Tapi Daisy urungkan ia tidak mungkin mati konyol gara-gara stres akibat temanya."Ekhem... Apa yang membuat kalian tidak akur seperti itu?" Daisy berdehem mencoba mencairkan suasana, kemudia ia bertanya pada kedua lelaki itu.
"Tidak ada," ucap mereka.
Daisy menggertak kan giginya, dengan tersenyum tipis yang mungkin terlihat sangat horor."Baiklah... Terserah kalian, aku tidak akan bertanya lagi."
Daisy gadis yang males berdebat ia tidak mau berdebat hanya masalah sepele, namun jika ada orang yang memancingnya untuk berdebat. Jangan salahkan dirinya jika orang tersebut akan mendapatkan kata-kata yang membuat orang itu mengingatnya sampai mati.
Mobil yang dikendarai Benson telah sampai memasuki pekarangan mansionnya. Daisy sebenarnya sangat nyaman di mansion Benson. Entah kenapa seperti tertarik oleh magnet sehingga membuatnya betah di mansion tersebut.
Keluar dari mobil Daisy menatap kedua lelaki di hadapannya, kedua lelaki itu hanya diam menatapnya dengan tatapan mengerjap."Ah... Sudahlah," ujar Daisy dengan memalingkan wajahnya kemudian ia melangkahkan kakinya menuju mansion.
Louis dan Benson melihat kepergian Daisy mereka diam kemudian saling pandang. Detik itu juga Louis mendapat tinju dilengannya dari Benson, Louis yang tak terima ia menyerang balik Benson.
Daisy melirik kedua lelaki itu menggeleng melihat tingkah laku temannya. Ia melanjutkan langkahnya untuk memasuki mansion menghiraukan kedua lelaki yang sedang melanjutkan sesi baku hantamnya.
Deringan dari ponsel membuat Daisy mengalihkan atensinya dirogoh saku celananya nama dan wajah yang ia kenal membuat dirinya segera mengangkat panggilan tersebut.
"Hallo!" sapa Daisy pada seseorang di seberang sana dengan melangkah kan kakinya memasuki mansion Benson.
"Oh sayangku, bagaimana kabarmu?" tanya lelaki di seberang sana.
Daisy memutar bola matanya, karena lelaki itu memanggilnya dengan kata-kata yang menjijikan. "Baik," ujar Daisy.
"Oh sayang, aku tahu kamu tidak baik-baik saja sekarang."
Daisy melangkah menuju belakang mansion lebih tepatnya ke area kolam dia mendudukan dirinya di kursi yang tersedia di tepi kolam itu. Kolam renang terletak di belakang yang berhadapan langsung dengan hutan karena cuaca masih sore hutan itu terlihat sangat indah. Entah dorongan dari mana Daisy melangkah mendekati hutan tersebut. "Aku kesal sama mereka berdua," sahut Daisy dengan berhati-hati melangkah melalui pijakan.
"Apakah mereka bertengkar?" tanyanya pada Daisy.
"Hem...," gumam Daisy ia melihat ke sana kemari melalui ekor matanya. Dirasa sudah memasuki hutan itu lebih dalam Daisy tersadar.
Matanya menangkap semak-semak yang bergoyang Daisy mengerutkan keningnya kemudian ia mendekati semak-semak tersebut tanpa ragu.
"Kamu dimana? Kenapa koneksinya terputus-putus."
"Will, aku akan menghubungimu lagi nanti. Sekarang mungkin aku tersesat di hutan belakang mansion," balas Daisy dengan santai.
"Hah! Kamu tersesat? Dimana kedua lelaki itu, kenapa dia tidak menjagamu!" teriak Will sehingga membuat Daisy menjauhkan ponsel dari telinganya.
Daisy menghela nafas. "Tenanglah...," ucap Daisy yang mendengar sahabatnya itu khawatir terhadap dirinya.
"Gimana bisa tenang! Aku tidak ingin kamu kenapa-napa? Aku di sini menjagamu dengan hati-hati dan kamu di sana hilang begitu saja! Bagaimana aku tidak khawatir Daisy!" teriak Benson karena jika menyangkut keselamatan Daisy dia sangat posesif.
Bagi Will Daisy itu sudah dia anggap sebagai adiknya maka dari itu dia akan menjaga Daisy sebagai mana seorang kakak laki-laki menjaga adik perempuannya."Will, aku sudah besar aku bisa jaga diri sendiri."
Daisy yang kini melangkah mendekati semak belukar yang bergoyang rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya, jemarinya terulur untuk siap menyibak semak itu. "Akh!" Daisy terpenjat ketika sesuatu menyerang dirinya ia berteriak sangat lantang sehingga membuat para burung berterbangan menjauhi pepohonan.
"Daisy! Kamu tak apa-apa? Kenapa teriak? Ada apa!" tanya Will sangat khawatir karena teriakan Daisy sangat lantang hingga nyaring ditelinganya.
"Sy!"
Namun tidak ada sahutan di seberang sana membuat Will semakin khawatir. Ia sedang di ruangan kantornya ia mondar-mandir tidak karuan dengan menarik rambutnya pelan.
"Ha-lo," ucap Diasy yang kini tersambung kembali.
Mengetahui ponselnya tersambung kembali Will sedikit lega, "Kamu tak apa-apa?" tanyanya.
"Aku tak apa hanya saja tadi aku terkejut ada sesuatu yang menyerangku...," ucap Daisy yang kini sedang terduduk di rerumputan jemarinya terulur mengelus sesuatu yang ia temukan.
"Apa gorila? Atau serigala? Atau binatang buas lainya?" tanya Will dengan nada yang sangat cepat membuat Daisy menggeleng dan tertawa.
"Hahaha... Tidak ini sangat lucu dan mungil Will, aku menemukan seekor kelinci putih."
Will yang berada di ruangannya kini mendudukan diri pada kursinya. "Oh ya Tuhan... Syukurlah," ujar Will dengan mengela nafas lega.
"hehehe... Maaf membuatmu khawatir," kekeh Daisy.
"Hem," balas Will singkat.
"Jangan merajuk seperti itu, aku janji tidak akan membuatmu khawatir lagi...," lirih Daisy.
"Ya ya baiklah... Sudah dulu aku dipanggil kepala direktur untuk menghadapnya," kata Will.
"Yeah... Sampai jumpa!"
Daisy menaruh ponsel pada saku celananya, ia kembali memperhatikan kelinci putih itu. "Manis sekali, dimana teman-temanmu?" tanya Daisy.
Tatapan polos itu membuat Daisy gemas, ia ingin membawanya pulang untuk di pelihara Daisy pun bangkit dari duduknya dia membersihkan beberapa rumput dan daun yang tertempel dicelananya. Lalu Daisy menggendong kelinci itu dengan hati-hati supaya dia tidak menyakitinya.
Sebentar!
Daisy menatap sekelilingnya dengan bingung, dia tak tahu arah mana untuk menuju mansion. Daisy berjalan mengikuti kata hatinya terus menerus namun ia tidak menemukan tanda-tanda apapun. Hanya ada pepohonan yang tinggi menjulang dan suara-suara kicauan burung yang menemani setiap perjalanannya.
Oh Tuhan, dia tak tahu harus kemana? Kakinya sangat lelah untuk melangkah sehingga membuatnya memilih duduk di bawah pohon rindang.
Sungguh! Kenapa dia menarik diri sendiri kedalam bahaya. Daisy meruntuki dirinya sendiri, dia menatap kelinci yang kini juga menatapnya. "Apa kau tau jalan pulang?" tanya Daisy pada kelinci kecil.
Namun tak ada jawaban dari kelinci itu hanya tatapan polos yang terpancar dari wajahnya. "Ahk... Kenapa aku berbicara pada binatang." Daisy meruntuki dirinya sendiri kemudian dia mengambil ponsel pada sakunya mencoba menghubungi Benson dan Louis.
Sial!
Tidak ada koneksi di tengah hutan, dia menghentak-hentakan kakinya. Kenapa dia terperangkap di hutan yang menyeramkan seperti ini. Daisy mencoba mencari cara apakah ia berteriak? Ia menggeleng tidak mungkin ada orang di hutan ini. Bukannya manusia yang datang nanti malah binatang buas Daisy berpikir terus menerus sehingga membuat kepalanya pening.
"Ayolah... Siapapun tolong keluarkan aku dari hutan ini," teriak Daisy dengan pasrah hanya ada suara gemaan dirinya yang terdengar.
Hari sudah gelap Daisy masih terjebak di hutan itu, terduduk diam dengan memeluk kelincinya. Namun tiba-tiba.
Roarr....
Suara raungan dari binatang buas membuat Daisy terlonjak, sehingga membuat kelinci di dekapannya meloncat dan kabur darinya.
Daisy menggigit bibir bawahnya tubuhnya bergetar ia sangat takut sekarang. Sendiri digelapnya hutan yang tidak ada pencerahan dan penerangan hanya ada cahaya dari ponsel hanya menerangi dirinya.
Ia memeluk lututnya seketika buliran bening menetes di pipi mulusnya."Kenapa hari ini sial sekali," lirih Daisy dengan menutupi matanya dengan jemarinya.
Grrrrr!
Daisy terkejut ia meneguk salivanya nafasnya tercekat ketika Daisy melihat binatang yang besar dan berbulu berdiri di hadapannya."Oh... Apalagi kali ini, ya Tuhan...," lirih Daisy suaranya terdengar sangat pasrah nyawanya mungkin ada ditangan binatang di hadapannya saat ini.
“Bagaimana? Kamu menemukanya?” tanya Louis dengan menampilkan raut wajah cemas.“Aku sudah mencari ke seluruh mansion tapi tidak ada,” balas Benson. Benson mencari ke setiap penjuru mansion namun nihil Daisy tidak bisa ditemukan.Sekarang yang dipikiran mereka berdua apakah Daisy masih marah pada mereka? Sehingga dia pergi dari mansion? Atau Daisy diculik?“Apa dia memasuki hutan?” Benson dan Louis menatap hutan yang ada di hadapannya mereka berdua meneliti apa ada tanda-tanda Daisy memasuki hutan tersebut.Dan ya! Mereka menemukan jejak sepatu dipijakan pertama jejak sepatu itu jejak seorang gadis karena memiliki ukuran yang kecil dibandingkan jejak sepatu seorang lelaki.“Sial! kita harus cepat bertindak!" ujar Louis yang tidak bisa menyembunyikan raut kekhawatiran pada wajahnya.Benson mengangguk setuju kini mereka berdua memasuki hutan dengan berlari, cahaya dari mentari sudah sirna sehingg
"Jika Anda terus diam maka berita itu benar yang mulia. Pangeran Arthur tidak memiliki mate."Perkataan para rakyat masih terngiang dikepala alpha Rery setelah dia bisa meyakinkan semua rakyat kini dia berada di ruangan khusus rapat kerajaan."Siapa yang membeberkan berita ini sehingga para rakyat tau?" tanya alpha Rery menatap satu persatu para tetua peninggi kerajaan, tapapan dari sang Alpha membuat mereka tertunduk."Yang mulia...," ucap Argus. Alpha Rery mengangkat tangannya ke udara memberi tanda kepada Argus untuk diam.Mendapat peringatan dari tuannya Argus mengangguk kemudian dia diam, dari raut wajah sang Alpha dia mengerti sang Alpha sedang murka."Saya tanya kepada kalian. Siapa yang memberi tahu para rakyat?!" teriak alpha Rery. Para petinggi terkejut karena mereka baru melihat sang Alpha semarah itu.Alpha yang di hadapannya bukan alpha yang mereka kenal apakah dia Jaz? Tapi mereka menggeleng kalo saja Jaz yang berganti shit mak
Daisy terbangun dengan terbatuk-batuk tenggorokannya sangat sakit ia meraih gelas berisi air di atas nakas, kemudian meneguknya hingga tandas. Daisy menatap jam yang tertempel di dinding ternyata pukul 12 siang. Kedua orang lelaki berlari memasuki kamarnya dengan mimik wajah yang penuh kekhawatiran."Kamu baik-baik saja?" tanya Louis dia bertekuk lutut agar sejajar dengan Daisy kemudian mengelus puncak kepalanya.Daisy menatap kedua lelaki itu dengan mimik wajah yang datar. "Aku baik-baik saja," ucap Daisy dengan menatap pintu kamarnya.Benson yang merasa ada yang janggal pada gadis itu dia pun akhirnya bersuara. "Ada apa?" tanya Benson pada Daisy yang kini terus saja melihat pintu kamarnya seolah ada sesuatu di sana yang menarik perhatiannya."Dimana orang itu?" tanya Daisy sehingga membuat keduanya mengerutkan dahinya menatap Daisy dengan mimik wajah bingung karena siapa orang yang dimaksud Daisy?"Siapa? Kita cuma bertiga di sini," balas Louis.
Seorang lelaki terduduk di kursi kebesarannya dengan mengecek satu persatu dokumen yang terjejer di meja. Suara ketukan dari pintu membuatnya menoleh, seorang wanita dengan pakaian formal berdiri di ambang pintu sehingga lelaki itu mempersilahkan untuk masuk.Wanita itu tersenyum dengan mendudukan diri. “Tuan saya ingin melaporkan tentang proyek pembangunan gedung itu,” ucapnya dengan memberikan dokumen pada lelaki itu.Lelaki yang sudah lanjut usia itu mengangguk mempersilahkan. “Bicaralah….”Wanita itu tersenyum dengan menganggukkan kepalanya, “Semua bahan sudah kita siapkan. Apakah kita langsung membangunnya Tuan?” tanyanya dengan menatap serius.Lelaki itu diam berpikir sejenak, kemudian menggeleng. “Tunggu! Kita belum membicarakan tentang pembangunan proyek ini kepada para investor,” ujarnya dengan melepaskan kacamatanya.Wanita itu mengernyit menatap iris mata lelaki itu.“Lalu sekar
Karena tak mau berdiam diri terus menerus di kamarnya kini Daisy bangkit untuk segera menjalankan misi selanjutnya, walaupun kedua lelaki itu melarangnya Daisy tetaplah Daisy gadis yang tak mau dirinya dianggap lemah. Bagi Daisy itu hanyalah luka kecil bahkan ia sering mendapatkan luka ketika bertugas.Dengan pakaian formalnya ia kini menuruni pijakan tangga. Daisy mengernyit ketika melihat kedua lelaki itu saling diam menikmati makanannya masing-masing. "Kalian masih bertengkar?" Dari raut wajah mereka berdua kemungkinan memang benar mereka berdua masih bertengkar.Daisy mendudukkan di kursi kosong yang terletak ditengah-tengah kedua lelaki itu, ia menghela nafasnya membuat kedua lelaki itu menoleh padanya."Makanlah...." Benson menyodorkan piring yang berisi roti dipadu sayuran dan telur diatasnya.Daisy menerimanya, ekor matanya masih bergerak ke kanan-kiri. "Terimakasih Ben." Benson mengangguk sebagai jawaban. Daisy langsung memakan makanannya dengan
Sepanjang perjalanan Daisy hanya diam ia larut akan pikirannya. Memikirkan penyamarannya kebongar membuat ia menghela nafas beberapa kali. Bagaimana bisa penyamaran kali ini terbongkar, padahal ia sudah menganalisa lebih dulu tentang penyamarannya.Siapa lelaki itu kenapa dengan mudahnya dia mengetahui bahwa Daisy sedang menyamar. Daisy harus berhati-hati pada lelaki itu karena dia bukan orang sembarangan.“Kau tak apa?” Benson yang sedang fokus menatap jalanan ia mendengar helaan nafas dari Daisy membuatnya menoleh. Gadis itu tak hentinya menghembuskan nafasnya kasar.“Penyamaranku terbongkar pada satu orang.”Benson mengerem sacara mendadak hingga menimbulkan suara gesekan aspal dengan roda mobilnya.“Astaga! Kenapa tiba-tiba ngerem mendadak?” bentak Daisy tak kuasa menahan kagetnya jantungnya seolah ingin keluar detik itu juga. Pikirannya yang masih membahas mengenai masalah tadi dengan tiba-tiba Benson mengangget
Daisy melirik ke samping melalui ekor matanya, rasanya seperti aneh bila berdekatan dengan lelaki yang kini serius dengan setir kemudinya. Berbagai perasaan curiga mendesak relung hatinya, tapi anehnya dari tingkah lakunya lelaki itu tak ada yang aneh sama sekali. Bahkan terlihat biasa-biasa saja.“Kenapa?”Dengan cepat Daisy memalingkan wajahnya ke depan setelah lelaki itu angkat suara. Atau mungkin lelaki itu menyadarinya kalau saja dia sedang diperhatikan.“Ah... Tidak apa-apa,” balas Daisy dengan tersenyum tipis.Lelaki itu mengangguk mungkin dia tak ingin bertanya lebih banyak lagi.Setelah berdebat dengan Benson dan Louis mengenai pakaiaan yang harus dikenakan untuk menghadiri pesta ulang tahun, Daisy kini sudah berada di mobil untuk segera menuju lokasi. Di sampingnya lelaki yang mengenakan stelan tuxedo hitam yang sangat pas sekali di tubuhnya. Lelaki itu adalah Stefan Smith sebagai pasangannya untuk malam ini. Sebenarnya bisa saja Daisy mengajak Benson
Daisy hanya mengikuti lelaki itu tanpa rasa ragu, entah apa yang direncanakan lelaki itu. Yang menjadi penasaran hanyalah permainan yang akan dimainkannya. Daisy hanya mengikuti alur yang dirancang lelaki itu, bahkan Daisy tak tahu kegelapan sedang menunggunya dengan cara melambaikan tangan kepadanya. “Silakan duduk Nona....” Lelaki itu menyuruh Daisy untuk duduk. Daisy mengernyit ketika di sana terdapat satu meja dengan kursi saling berhadapan, ditambah orang-orang yang sudah diketahui mereka anak buah dari lelaki itu berdiri dengan memakai topeng menunduk hormat ketika lelaki itu mendekati mereka. Daisy semakin penasaran pada lelaki itu, tentang siapa dirinya dan latar belakangnya. Sudah dipastikan lelaki itu bukan sembarang seorang kemungkinan dia juga peran penting di kedua proyek itu. “Nona kenapa Anda termenung?” tanyanya. Daisy tersadar dengan segera ia duduk tepat di hadapan lelaki itu yang sudah terduduk tegak di kursinya.
Daisy bangun dengan nafas tersengal, mengambil air dari nakas untuk segera ia teguk. Tapi pergerakannya terhenti ketika ia melihat sekelilingnya. Ini kamarnya. Kamar sesungguhnya, kamar dirinya di dunia manusia."Apakah ini mimpi? Tapi jika mimpi semuanya terasa nyata dan aku mengingat jelas dari awal diriku pertama kali bertemu dengan Arthur," gumamnya seraya memegang kepalanya yang sedikit berdenyut."Tingg...tongg!"Terdengar suara bel rumahnya, ia bergegas keluar dari kamarnya untuk segera membuka pintu utama. Alangkah terkejutnya ketika mendapati Louis dan William, tanpa aba-aba Daisy memeluk satu persatu kawannya itu."Loh... Loh ada apa ko tiba-tiba kau memeluk kami seperti itu?" kata William heran. "Tidak. Hanya saja aku merindukan kalian," jawabnya tak ingin membahas apa yang terjadi dengan dirinya."Baru aja kemarin kita bertemu sy, aneh kamu." Kali ini Louis yang berkata."Masa sih? Ko aku lupa ya?" "Heleh... Kau kebanyakan nonton film sih jadinya pikun!" seru William."
Daisy sangat lega ketika melihat Louis selamat dari kejaran para anak buah para peneliti itu. Ia tak kunjung melepaskan pelukannya, terus menyucap syukur.Daisy tak tahu akan berapa lama lagi pencarian terhadap lelaki itu, tapi ia sangat berterimakasih pada lelaki yang kini menyandang sebagai suaminya itu berkat dia Louis ditemukan."Sy, maaf."Kata itu terlontar dari mulut Louis, perkataan maaf yang membuat Daisy terheran."For what?"Melepaskan pelukannya dan kini menatap lekat wajah Louis."Mungkin suatu saat nanti kamu tahu, sebelum terlambat aku lebih dulu meminta maaf padamu atas apa yang kuperbuat selama ini. Dan mungkin suatu saat nanti kamu akan lebih-lebih membenciku.""Ayolah, kita hanya terpisah dan kau tak perlu meminta maaf hanya karena kita beda jalur untuk menyelamatkan diri." Daisy tertawa kecil menanggapinya. Ia tahu temannya itu mungkin merasa bersalah sebab telah meninggalkannya sendirian di hutan.Louis menatap Arthur yang kini sudah memberikan tatapan tajam, Arth
Arthur tak bisa menahan lagi amarahnya ketika seseorang di depannya tak menjawab pertanyaan darinya. Lelaki itu hanya tersenyum walaupun sekujur tubuhnya kini penuh dengan darah."Waktumu hampir habis, jika kau tak berkata tentang kebenarannya mungkin bisa jadi kau akan selamanya terperangkap di sini.""Silahkan saja, jika kau tak ingin tahu siapa yang menculik Daisy dan menjadikannya eksperimen itu."Arthur sangat geram dia dengan gesit mencengkram kerat kerah lelaki itu."Katakanlah bedebah!"Kembali mengingat tentang masa kecilnya, dimana bayangan-bayangan kejadian yang membuat Arthur hilang ingatan sementara setelah mendapatkan kabar bahwa teman kecilnya menghilang.Dia berupaya untuk bisa menemukan teman kecilnya itu, bahkan pencarian itu bertahun-tahun lamanya. Bahkan ia rela menghabiskan separuh hidupnya untuk hidup di lingkungan manusia hanya demi mencari keberadaan gadisnya."Aku akan jelaskan tapi kau harus berjanji takkan memberitahunya?""Kenapa? Apa kau takut muncul di de
Arthur tak tahan ketika melihat seluruh badan Daisy terekspos. Perlahan mendekati gadisnya, tangannya sudah membelai punggung mulus itu. Kedua matanya sudah menandakan bahwa dirinya kelaparan. "Baumu sangat manis." Dia berkata seraya mengendus, mengecup tak lupa memberi jilatan kecil pada punggung itu.Daisy melenguh mendapatkan perlakuan dari Arthur membuat dirinya memejamkan mata menikmat kegelian nikmat. Arthur membalikkan tubuh Daisy, matanya kini tertuju pada dua gundukan yang pas baginya. Memeras dan memainkan ujungnya. Rasa geli menjalar diseleluruh tubuh Daisy. Rasa geli yang aneh, rasa geli yang berbeda ketika Arthur sudah memasukan pada mulutnya memainkan gundukan itu dengan lidahnya.Sangat sangat nikmat pikir Daisy yang baru pertama kali melakukan hal dewasa seperti itu. Mereka berperang dalam kegelapan, malam itu Arthur tak membiarkan Daisy tidur sama sekali, dia terus menggempurnya habis-habisan.Keesokan paginya Arthur lebih dulu bangun dari Daisy ia menatap wajah dama
Daisy tampak benar-benar berbinar ketika melihat dirinya sendiri di pantulan cermin.Arthur memeluknya dari belakang."Bagaimana kau suka atau tidak? Kalo tak cocok kita bikin lagi yang baru sesuai dengan keinginanmu," bisik Arthur."Aku suka! Sangat-sangat seperti yang aku inginkan!" Gaun pengantin berwarna putih ukurannya dibuat sesuai dengan bentuk tubuh yang ramping. Coraknya yang simpel dan dibagian dadanya terdapat berlian Azura yang terselip, sungguh dia sangat diratukan oleh Arthur. Bersanding dengan Arthur membuat sisi manlynya hilang digantikan dengan sisi feminin.Tak terasa air mata jatuh membasahi pipinya, ia merindukan kedua orang tuanya mungkin jika mereka hadir pasti suasana yang sangat bahagia. “Kenapa menangi, hem?” Arthur mengusap air mata Daisy tampak khawatir pada gadisnya."Aku merindukan kedua orang tuaku."Arthur tiba-tiba diam seolah sedang memikirkan sesuatu. "Kau bisa melihatnya nanti," katanya.“Maksudmu?”Arthur tak membalas perkataan Daisy ia melenggang
Semua orang di istana sibuk sebab hari ini di adakan pertemuan para bangsawan. Namun hanya Daisy yang diam saja di kamar, ia hampir mati karena kebosanan. Sebab Arthur mengurungnya di kamar alih-alih agar ia tak diculik katanya. Terdengar konyol di telinga, namun apa boleh buat."Ayoklah Ben, aku ingin keluar jalan-jalan!"Daisy memohon pada Benson yang di tugaskan untuk menjaganya di kamar. Apalagi situasi antar keduanya kembali normal tanpa kecanggungan seperti semula."Tidak! Pangeran Arthur melarangmu untuk keluar," katanya."Aku bosan Ben! Kau tahu, aku sangat-sangat bosan!" Daisy mondar-mandir dengan memegangi kepalanya.Melihat itu Benson yang sedang asik membaca buku menghela nafas. Lalu ia bangkit merapikan kembali buku-buku yang berceceran menaruhnya pada rak buku.Sudah dua puluh buku yang ia baca dari pagi sampai sore itu sebagai bukti bahwa dirinya sangat penat juga."Ayo!" kata Benson.Berjalan beriringan tak lupa menyapa para pelayan dan pengawal. Dan memang benar suasa
Sorotan cahaya membuat Daisy memejamkan mata ketika Benson memberikan penemuannya. Setelah mengambil alih benda itu betapa mengejutkannya ketika benda itu persis yang dimiliki Louis. Kalung kebersamaan."Aku menemukannya di hutan, batu di dalamnya membuatku tertarik untuk memungut benda itu." Benson menjelaskan jujur apa adanya."Ini milik Louis dan ini kalung persahabatan kita. Lihatlah... Jika kau perhatikan lebih teliti kau bisa menemukan huruf abjad di dalamnya." Daisy menunjukkan pada Benson hingga jarak mereka sangat intim.Benson mengangguk membenarkan bahwa dirinya juga melihat huruf L terukir rapih di dalam batu itu. Bau manis pun membuatnya menahan nafas ketika berdekatan dengan Daisy."Ini adalah batu Azura. Batu yang sangat langka yang hanya bisa ditemukan di hutan tertentu.""Jadi dari mana batu itu berasal?"Daisy tersenyum tipis memandang lekat kalung milik Louis. Mengingat kembali tentang bagaimana caranya bisa menemukan batu itu."Kami bertiga menemukan ini dibagian h
Setelah sesi berkuda Arthur mengajak Daisy makan siang bersama di meja makan. Sebelumnya Daisy tak pernah makan bersama ia tak mau ikiut bergabung dengan keluarga itu, ia hanya orang asing yang tak pantas bergabung dengan keluarga kerajaan. Ya, Daisy sudah sepenuhnya memahami sesuatu yang terjadi. Bahwa ia benar-benar terjebak di sebuah kerajaan yang besar, bukan lelucon semata. Daisy menyaksikan dengan kedua mata, tak ada kameramen serta produser. Jadi ia tahu bahwa ucapan lelaki itu benar.Daisy terjebak kaku ketika semua mata tertuju padanya. Situasi yang tak ia inginkan, makan siang bersama kedua calon mertua. Tidak, bukan berarti ia dengan cepat setuju atas pernikahan itu hanya saja jika dipikir-pikir memang itu nyatanya."Oh MoonGoddess, calon menantuku akhirnya ikut makan bersama di meja makan." Suara sang ratu Arabell terdengar merdu di telinga Daisy, ia hanya mengangguk dengan tersenyum."Baguslah, Nak! Setidaknya keluar dari kamarmu untuk ikut bergabung dengan kami." Sang ra
Setelah mengambil keputusan. Daisy kembali dibawa ke istana Arthur, tentu saja Daisy menyetujui itu karena Arthur menjanjikan untuk menemukan Louis. Daisy masih sangat kecewa pada Benson. Ternyata Benson adalah tangan kanan Arthur. Daisy melangkah menuju taman menghilangkan rasa penat. "Rupanya Anda di sini, Nona" Suara tak asing yang mengganggunya, Daisy bertanya-tanya. "Saya tahu Anda marah besar sama saya, tapi saya hanya ingin membantu pangeran Arthur." Daisy mengerutkan keningnya. "Apa hubungannya dengan kami-pura menjadi seorang agen mata-mata?!" sarkas. "Apa yang ingin saya jelaskan, Nona?" ujarnya. "Berhenti panggil saya dengan sebutan itu Benson." Benson terdiam kemudian berdehem. "Sekarang Anda sudah tahu saya adalah bawahan pangeran Arthur." Hati kecil Daisy sebenarnya tak tega melihat wajah Benson yang merasa bersalah. Apalagi ini sepenuhnya bukan kesalahan dia. Just yang harus disalahkan lelaki gila itu. Daisy menghembuskan nafasnya panjang. "Ben... Bisa kau jela