"Jika Anda terus diam maka berita itu benar yang mulia. Pangeran Arthur tidak memiliki mate."
Perkataan para rakyat masih terngiang dikepala alpha Rery setelah dia bisa meyakinkan semua rakyat kini dia berada di ruangan khusus rapat kerajaan.
"Siapa yang membeberkan berita ini sehingga para rakyat tau?" tanya alpha Rery menatap satu persatu para tetua peninggi kerajaan, tapapan dari sang Alpha membuat mereka tertunduk.
"Yang mulia...," ucap Argus. Alpha Rery mengangkat tangannya ke udara memberi tanda kepada Argus untuk diam.
Mendapat peringatan dari tuannya Argus mengangguk kemudian dia diam, dari raut wajah sang Alpha dia mengerti sang Alpha sedang murka.
"Saya tanya kepada kalian. Siapa yang memberi tahu para rakyat?!" teriak alpha Rery. Para petinggi terkejut karena mereka baru melihat sang Alpha semarah itu.
Alpha yang di hadapannya bukan alpha yang mereka kenal apakah dia Jaz? Tapi mereka menggeleng kalo saja Jaz yang berganti shit maka sang Alpha akan menjadi serigala.
"Yang mulia, boleh saya bicara?" tanya Hermes sebagai wakil kerajaan mungkin dia memecahkan aura ketegangan di ruangan tersebut.
Alpha Rery mengangguk, mempersilahkan Hermes untuk berbicara.
Hermes yang mendapatkan persetujuan ia berdiri dan menunduk hormat. "Begini yang mulia, bukankah ketika kita mengadakan konferensi semua para petinggi kerajaan berada di ruangan ini?" Hermes diam sejenak kemudian dia melanjutkan ucapannya kembali yang belum selesai ucapkan. "Tidak ada satu pun dari kita pergi meninggalkan rapat selain Pangeran Arthur," lanjut Hermes.
Ucapan Hermes membuat Alpha Rery mengerutkan keningnya, para petinggi lainya menatap Hermes dengan pikirannya masing-masing.
Benar juga apa yang dikatakan Hermes, bukankah semua para petinggi kerajaan berada di ruangan ini? Jadi siapa yang membeberkan masalah ini pada rakyat?
"Jangan bilang anda menuduh Pangeran Arthur. Tuan Hermes!" celetuk Ares ia sebagau sekertaris kerajaan dengan menatap tidak suka pada Hermes.
Hermes yang mendapatkan lontaran itu membuat dirinya sedikit tergugup. "Bu-bukan! Maksud saya... Kita semua berada di sini lalu siapa yang memberi tahu para rakyat sedangkan, kita semua berada di ruangan ini dengan sang Alpha."
Hermes mencoba mejelaskan pada sang Alpha yang kini menatapnya lekat. Dari raut wajah alpha Hermes tahu mungkin ucapan yang dia katakan membuat sang Alpha setuju.
"Tapi menurut saya perkataan anda seolah menyudutkan Pangeran Arthur!" cetus Ares dengan memicingkan matanya.
Hermes menatap balik tatapan Ares dengan tersenyum, mereka duduk berhadapan sehingga bisa melihat raut wajah satu sama lain.
"Untuk apa aku menuduh? Tuan Ares yang terhomat... Dan coba anda berpikir untuk apa Pangeran Arthur melakuan tindakan yang bisa merugikan dirinya sendiri?" balas Hermes dengan tersenyum hangat.
Senyuman itu membuat Ares muak,"Wajah Anda tidak mencerminkan hati anda. Jadi jangan tersenyum seperti itu kepada saya tuan Hermes...."
Alpha Rery melihat keduanya hanya menghela nafas berat. Sehingga terdengar ditelinga Argus yang tepat duduk di sebelah Alpha.
"Kalian lebih baik diam! Jangan membuat sang Alpha pusing akibat celotehan kalian!" marah Argus menatap satu persatu kedua orang yang saling melemparkan raut wajah masing-masing. melihat sang Alpha memijat pelipisnya Argus bangkit dari tempatnya menuju sang Alpha.
"Yang mulia... Lebih baik anda istirahat kita lanjutkan rapat besok," ucap Argus karena dia tidak tega melihat sang Alpha.
Alpha Rery mengangguk setuju. "Baiklah... Kita lanjutkan besok. Satu lagi, jangan ada yang memberi tahu Pangeran Arthur tentang masalah ini. Kalian mengerti?" perintah Alpha sehingga membuat semuanya mengangguk patuh.
Alpha Rery pamit untuk undur diri dengan didampingi Argus yang kini menuntunnya.
"Cih! Permainan apa lagi yang Anda permainkan, tuan Hermes!" desis Ares menatap Hermes dengan memicingkan matanya.
Keduanya masih setia di kursinya masing-masing, menatap satu sama lain. Seolah menyalurkan rasa kebencian yang tertanam di dalam diri mereka.
"Apa maksud Anda? Tuan Ares," ujar Hermes membalas tatapan Ares dengan tersenyum.
"Apa perlu saya ulangi dengan jelas?" tanya Ares dengan melipat kedua tangannya.
"Heem... Seharusnya Anda yang patut di curigai!" ucap Hermes. "Bukankah... Anda membenci Pangeran Arthur?" lanjutnya dengan diiringi pertanyaan, yang membuat Ares semakin menatap tajam ke arahnya.
"Saya tidak serendah itu! Memang benar saya tidak menyukai Pangeran Arthur. Tapi, bukan berarti saya ingin menjatuhkannya...."
Ares memajukan tubuhnya wajahnya ia dekatkan tepat di samping kepala Hermes, ia menatap Hermes dengan tatapan jijik.
"Seharusnya Anda yang harus berhati-hati. Bangkai yang disembunyikan suatu saat nanti akan akan tercium karena baunya yang menyeruak...," bisik Ares tepat di telinga Hermes kemudian ia menatap Hermes dengan tersenyum miring.
Ares pergi begitu saja dengan sesekali bersenandung, Hermes melihat Ares pergi ia menggeram seketika.
"Sialan kau Ares!" murkanya.
***
Seorang lelaki menggeliat dalam tidurnya, ia membuka kelopak matanya dengan perlahan. Dia tersenyum melihat seorang wanita menatapnya dengan pancaran kasih sayang.
"Bu?" tanya Arthur pada sang ibunda yang tersenyum hangat ke arahnya.
"Iya sayang?" balas sang Luna yang kini mendekatinya.
"Ibu masih di sini?" tanya Arthur dengan suara khas bangun tidur.
"Hem...."
"Ibu kau baik-baik saja?" Arthur melihat tatapan sang ibu sangat berbeda, tatapan itu seperti penuh kesedihan.
"Ibu baik-baik saja, sekarang bangunlah waktunya makan malam."
"Ibu tidak bisa menutupi kebohongan. Maka dari itu, aku tau ibu sedang tidak baik-baik saja." Arthur bangun dari tidurnya ia menatap sang ibu dengan tatapan lembut, ia menggenggam jemari sang ibu.
"Sayang... Kamu percaya sama ibu?" tanya sang Luna, Arthur mengangguk.
"Ibu baik-baik saja, ibu hanya memikirkan kapan bertemu dengan calon menantu ibu." Arthur yang mendengarkan ucapan sang Ibu membelakan matanya, ia tidak menyangka ibunya sampai memikirkan matenya sedalam itu.
"Ibu pasti segera bertemu dengannya... Tapi tidak sekarang. Karena waktunya belum tepat ibu," ucap Arthur mencoba memberi penjelasan kepada sang Ibu.
"Kenapa sayang? Apa ada masalah? Kenapa susah sekali membawanya ke istana kita?" Luna Arabel tidak sabar menanti calon menantunya, ia ingin segera bertemu dengan gadis pujaan anaknya.
"Ibu... Dia sedang menjalankan tugas, karena dia bukan gadis sembarangan bu. Setelah tugasnya selesai aku akan membawanya kemari... Ibu tidak usah khawatir," ujar Arthur ia memeluk sang Ibu mengelus pelan punggung yang rapuh itu.
"Ibu akan menunggunya...."
"Baiklah... Ibu aku mau membersihkan diri dulu." Arthur melepaskan pelukan dari tubuh ibunya, ia pun bangkit dari tempat tidurnya.
"Ya sayang... Cepatlah turun, Ibu tunggu di meja makan."
Arthur mengangguk mengecup singkat pipi ibunya, lalu Arabella bangkit untuk keluar dari kamar Arthur.
Arthur selesai dari ritualnya kini ia menatap cermin ia menyisir rambutnya dengan rapi. Ketukan pintu membuatnya menoleh seketika ia mengerutkan keningnya menatap beta yang menampilkan raut wajah kekhawatiran.
"Ada apa?" tanya Arthur.
"Begini yang mulia...." Beta mencoba menghirup udara kemudian ia membuangnya secara perlahan.
"Ada apa? Dan kenapa kamu di sini!"
"Maafkan hamba yang mulia," ucap beta dengan menunduk.
"Ada apa? Jangan bertele-tele seperti itu!" teriak Arthur.
"Dia hilang yang mulia. Saya khawatir dia bertemu para kawanan rogue," lirih sang Beta, ia takut jika Arthur marah padanya. Tapi inilah konsekuensinya karena ini juga kesalahan dirinya.
"Sialan! Kenapa kau tidak menjaganya dengan benar!" Arthur sangat murka ia mencengkram kerah baju beta dengan kuat. Arthur ingin meninju wajah sang Beta dan ingin memukuli habis-habisan tapi niatnya dia urungkan. Karena yang dia pikirkan saat ini adalah dia harus menyelamatkan gadisnya dari para rogue.
"Pangeran... Maafkan saya telah lalai," lirihnya masih dengan menunduk. Arthur menghela nafasnya berat kemudian dia melepaskan cengkraman itu membuat beta bernafas dengan lega.
Arthur memijat pelipisnya. "Pergilah... Aku akan mencarinya sendiri," ucap Arthur.
Ucapan yang keluar dari mulut Arthur membuat beta melebarkan matanya."Tapi pangeran saya akan membantu mencarinya," pinta Beta dengan memohon.
Beta hanya ingin mempertanggung jawabkan atas apa yang dia perbuat dengan ikut mencari gadis itu.
"Tidak perlu! Kau kembali dan jalankan tugasmu, biar ini menjadi urusanku."
Arthur menepuk pundak beta kemudian dia melangkah pergi keluar dari kamarnya. Beta mengusap wajahnya kasar kemudian dia pun ikut keluar dari kamar Arthur.
"Hei, kau akhirnya kembali." Alfred melihat beta berjalan membuatnya berlari menghampiri beta dengan merangkul pundak sang Beta.
"Berisik kau!" ucap beta dengan nada yang terdengar tak bersahabat ditelinga Alfred.
Hampir saja jantung Alfred copot akan ucapan yang dilontarkan dari beta "Wow... Santai dong," balas Alfred dengan mengelus dadanya.
Jika dilihat dari raut wajah beta dia sedang banyak pikiran. "Bagaimana tugasmu?" tanya Alfred pada beta mereka kini mendudukan diri di kursi panjang taman.
"Awalnya berjalan, tapi cobaan datang." Beta menghirup udara kemudian membuangnya dengan kasar dia mengacak-acak rambutnya dengan frustasi.
Alfred mengangguk kemudian menatap lekat wajah beta. "Pantas saja wajahmu tidak terpancar akan kebahagiaan hahaha...."
Blam!
Aw....
"Berisik!"
Beta meninju rahang Alfred kemudian dia meninggalkan Alfred yang terbengong. "Sialan kenapa aku yang kena," ucap Alfred dengan melihat beta berlari dia pun mengumpat dengan berbagai macam perkataan lalu ia berdoa agar beta terjatuh. Dan....
Bruk!
Alfred melongo melihat beta tersandung kakinya sendiri dan ternyata ucapanya menjadi nyata dia tertawa terpingkal-pingkal melihat beta jatuh tersungkur di rumputan. Beta menatap Alfred dengan tajam kemudian ia menunjukan jari tengah pada Alfred dia pun bangkit kemudian berjalan kembali ke tempat tujuannya menghiraukan Alfred yang masih tertawa
Beta menatap dari kejauhan melihat seorang melambaikan tangan ke arahnya.
Oh Tuhan!
Beta berucap semoga orang itu tidak menghampirinya namun ucapannya tidak terkabul orang tersebut malah berlari ke arahnya."Akhirnya pulang kau pulang juga. Gimana tugasmu lancar?" tanya orang itu.
Beta memutar bola matanya. "Berisik!" cetus Beta masih terus berjalan menghiraukan seseorang di sampingnya.
"Kena-" Beta memberi peringatan pada seseorang itu untuk tidak berbicara.
"Diam! Jangan mengikutiku!" Orang itu mengangguk.
"Diam di tempat" Orang itu hanya mengangguk masih berdiri di tempatnya.
"Jangan mengejar!" perintah Beta orang tersebut mengangguk kembali dengan patuh.
"Anjing yang pintar," ucap beta kemudian dia berlari meninggalkan orang itu yang masih mencerna perkataan Beta.
"Shit! Sialan!" teriak Alward.
Alward pergi dan berjalan ke arah taman ia mengerutkan keningnya matanya menangkap seorang yang dia kenal tanpa ragu dia pun menghampirinya.
"Fred, ngapain di situ?" ucap Alward melihat Alfred terduduk diam di kursi taman.
Alfred mendengar suara yang tidak asing menengok."Enggak!" cetus Alfred kemudian pergi meninggalkan Alward yang menatap kepergiannya, dengan menggaruk tengkuknya.
"Semua orang pada kenapa?" monolog Alward pada diri sendiri.
***
Arthur berlari ia berganti shift dengan wolfnya yaitu Edzhar. Serigala besar berbulu abu-abu yang lebat membuat siapa saja yang melihatnya langsung jatuh hati, karena Edzhar memiliki kharisma tersendiri. Edzhar mengendus-endus ke seluruh hutan dia melacak keberadaan mate nya dengan melalui aromanya.
Edzhar berlari dengan kecepatan yang sangat cepat dia menghindari beberapa pohon dan ranting yang menghalangi jalannya dengan mudah. Edzhar pun berhenti sebentar.
Roarrr....
Edzhar meraung karena aroma dari mate tercium ke indra penciumannya. Dia berjalan dengan pelan karena aroma tersebut sangat dekat.
Sialan!
Edzhar menggeram dia melihat matenya terjatuh tersungkur dengan air mata yang menetes deras. Edzhar ingin menerjang serigala hitam itu detik ini juga dia tak akan beri ampun pada serigala yang telah menyakiti mate nya.
Akan tetapi Arthur berbicara melalui pikirannya. "Ed... Sebaiknya kita bertukar shift, lihatlah mate kita sangat ketakutan. Aku tidak mau dia semakin ketakutan melihatmu."
Arthur berbicara didalam otak Edzhar membuat Edzhar berpikir kemudian melihat mate nya yang sangat ketakutan. Sehingga dia pun mengangguk menyutujui apa yang dibicarakan Arthur.
Edzhar memundurkan langkahnya mengumpat dibalik pohon. "Apa kau bawa pakaian?" tanya Edzhar pada Arthur.
"Ya aku bawa."
"Baik... Bersiaplah."
Edzhar bertukar shift lagi dengan Arthur sebenernya dia ingin menemui matenya. Tapi melihat gadisnya sangat ketakutan sehingga membuat dirinya mengurungkan niatnya dia takut jika mate nya tidak bisa menerima dirinya.
Maka dari itu Edzhar menyentujui ucapan Arthur ya, mungkin nanti jika keadaan sudah membaik dia bisa memperkenalkan dirinya.
Krek!
Dalam hitungan detik Arthur telah berdiri dengan bertelanjang ia memungut pakaian kemudian ia mengenakannya. Suara pekikan terdengar ditelinganya, sehingga membuat Arthur menoleh dia mengeraskan rahangnya ketika melihat tubuh gadisnya ingin dikoyak serigala itu.
Bruk!
Tanpa aba-aba Arthur langsung menerjang serigala itu dengan sekali lemparan membuat serigala hitam itu terpental jauh menubruk batu besar.
Ia menghajar rogue tanpa ampun suara permohonan untuk dilepaskan terdengar ditelinga Arthur sehingga membuatnya menampilkan seringai pada rogue yang kini menatapnya sendu.
Crak!
Arthur mematahkan tulang serigala itu dengan tanpa ragu.
Jlep!
Arthur menusuk perut serigala itu dengan belati yang terselip dipakaiannya.
Slash, slash!
Kemudian dia menebas kepala serigala itu sehingga memisahkan kepala serigala itu dari tubuhnya dengan menggunakan belati perak yang ada digenggaman tangannya.
Arthur mematahkan sumber pernafasan serigala itu dengan menebasnya sehingga terdengar suara hembusan terakhir yang terdengar ditelinganya. Arthur tersenyum miring ia menendang badan itu untuk menjauhkan dari dirinya.
Arthur berbalik badan dia menatap gadisnya bergetar hebat dengan air mata yang membahasi pipi mulusnya.
"Ar... Mate kita sangat ketakutan," ucap Edzhar dipikiran Arthur.
Arthur mengangguk. "Tenanglah... Ed aku akan membuatnya tenang," balas Arthur melalu suara batin.
"Padahal aku ingin sekali bertemu langsung dengannya."
Edzhar meraung membuat kepala Arthur sangat sakit. "Bersabarlah hari itu akan tiba, berhentilah meraung kepalaku sakit!"
Arthur menatap gadis di hadapannya dengan penuh kecemasan raut ketegangan terpancar diwajah cantiknya. Suara gadis itu terdengar ditelinga Arthur sehingga Edzhar meraung ingin di lepaskan."Bukankah mate kita sangat cantik Ed?" tanya Arthur pada Edzhar.
"Benar sangat cantik! Lihatlah dia sangat menggemaskan!" balas Edzhar.
"Aku tidak sabar ingin cepat menandainya," ucap Arthur dengan tersenyum.
"Sabarlah! Kita harus memberi kenyamanan dulu pada mate kita! Jangan langsung menandai dengan paksa, biarkan kata itu yang terucap dari mate kita."
Arthur mengangguk tapi melihat wajah cantik dari gadisnya dia tak ingin berlama-lama menunggu hari itu tiba.
Dia memikirkan apa yang harus dilakukan nanti pada gadisnya. Pipi yang bersemu itu membuatnya ingin membelai pelan pipi itu, bibir tipis merah membuat Arthur ingin mengecupnya dengan lembut.
Tubuh mungil itu ingin sekali Arthur mendekapnya seharian. Aroma vanilla dari tubuh matenya memang sangat memabukan sehingga ingin sekali dia menghirup rakus bau itu. "Dasar pria mesum!" celetuk Edzhar membuat Arthur memutar bola matanya.
"Berisik! Bukankah kau juga menginginkannya?"
"Aku memang menginginkannya. Tapi, pada waktu dan hari yang tepat!" balas Edzhar.
Cih dasar munafik!
Kini Arthur sangat tidak karuan, mate nya memujinya walaupun tidak secara langsung. Ia tahu bahwa gadisnya memikirkannya karena Arthur bisa membaca pikiran gadisnya. Tapi hanya gadisnya yang bisa ia baca tidak untuk yang lainya.
Sungguh! Hati Arthur berbunga-bunga gadisnya memuji ketampanannya, lihatlah ketika Arthur memergokinya untuk kedua kali pipi gadisnya bersemu.
Sial!
Arthur sungguh tidak kuat ia menanti hari dimana pertemuan langsung dengan mate nya. Arthur merindukannya sangat merindukannya setiap malam dia hanya menatap gadisnya dari kejauhan. Dia tak bisa menggapai gadis itu karena jarak, tetapi akhirnya dia bisa dipertemukan dengan cepat dia pernah memeluk gadisnya walaupun dengan keadaan tidak sadar.
Arthur tidak rela jika gadisnya berdekatan dengan lelaki lain selain dirinya, dia selama ini menahan cemburu ketika mendengar bahwa matenya mempunyai banyak teman lelaki. Dan lebih membuat cemburunya salah satu temannya menyukai matenya.
Arthur ingin sekali menandai mate nya secepat mungkin bahwa gadis itu sudah mempunyai pemiliknya. Dia tidak akan berbagi dengan siapapun tidak akan! Karena Arthur tidak ingin gadisnya tersentuh lelaki lain walau hanya seujung kuku pun semua yang ada di diri mate nya hanya milik Arthur seorang.
Daisy terbangun dengan terbatuk-batuk tenggorokannya sangat sakit ia meraih gelas berisi air di atas nakas, kemudian meneguknya hingga tandas. Daisy menatap jam yang tertempel di dinding ternyata pukul 12 siang. Kedua orang lelaki berlari memasuki kamarnya dengan mimik wajah yang penuh kekhawatiran."Kamu baik-baik saja?" tanya Louis dia bertekuk lutut agar sejajar dengan Daisy kemudian mengelus puncak kepalanya.Daisy menatap kedua lelaki itu dengan mimik wajah yang datar. "Aku baik-baik saja," ucap Daisy dengan menatap pintu kamarnya.Benson yang merasa ada yang janggal pada gadis itu dia pun akhirnya bersuara. "Ada apa?" tanya Benson pada Daisy yang kini terus saja melihat pintu kamarnya seolah ada sesuatu di sana yang menarik perhatiannya."Dimana orang itu?" tanya Daisy sehingga membuat keduanya mengerutkan dahinya menatap Daisy dengan mimik wajah bingung karena siapa orang yang dimaksud Daisy?"Siapa? Kita cuma bertiga di sini," balas Louis.
Seorang lelaki terduduk di kursi kebesarannya dengan mengecek satu persatu dokumen yang terjejer di meja. Suara ketukan dari pintu membuatnya menoleh, seorang wanita dengan pakaian formal berdiri di ambang pintu sehingga lelaki itu mempersilahkan untuk masuk.Wanita itu tersenyum dengan mendudukan diri. “Tuan saya ingin melaporkan tentang proyek pembangunan gedung itu,” ucapnya dengan memberikan dokumen pada lelaki itu.Lelaki yang sudah lanjut usia itu mengangguk mempersilahkan. “Bicaralah….”Wanita itu tersenyum dengan menganggukkan kepalanya, “Semua bahan sudah kita siapkan. Apakah kita langsung membangunnya Tuan?” tanyanya dengan menatap serius.Lelaki itu diam berpikir sejenak, kemudian menggeleng. “Tunggu! Kita belum membicarakan tentang pembangunan proyek ini kepada para investor,” ujarnya dengan melepaskan kacamatanya.Wanita itu mengernyit menatap iris mata lelaki itu.“Lalu sekar
Karena tak mau berdiam diri terus menerus di kamarnya kini Daisy bangkit untuk segera menjalankan misi selanjutnya, walaupun kedua lelaki itu melarangnya Daisy tetaplah Daisy gadis yang tak mau dirinya dianggap lemah. Bagi Daisy itu hanyalah luka kecil bahkan ia sering mendapatkan luka ketika bertugas.Dengan pakaian formalnya ia kini menuruni pijakan tangga. Daisy mengernyit ketika melihat kedua lelaki itu saling diam menikmati makanannya masing-masing. "Kalian masih bertengkar?" Dari raut wajah mereka berdua kemungkinan memang benar mereka berdua masih bertengkar.Daisy mendudukkan di kursi kosong yang terletak ditengah-tengah kedua lelaki itu, ia menghela nafasnya membuat kedua lelaki itu menoleh padanya."Makanlah...." Benson menyodorkan piring yang berisi roti dipadu sayuran dan telur diatasnya.Daisy menerimanya, ekor matanya masih bergerak ke kanan-kiri. "Terimakasih Ben." Benson mengangguk sebagai jawaban. Daisy langsung memakan makanannya dengan
Sepanjang perjalanan Daisy hanya diam ia larut akan pikirannya. Memikirkan penyamarannya kebongar membuat ia menghela nafas beberapa kali. Bagaimana bisa penyamaran kali ini terbongkar, padahal ia sudah menganalisa lebih dulu tentang penyamarannya.Siapa lelaki itu kenapa dengan mudahnya dia mengetahui bahwa Daisy sedang menyamar. Daisy harus berhati-hati pada lelaki itu karena dia bukan orang sembarangan.“Kau tak apa?” Benson yang sedang fokus menatap jalanan ia mendengar helaan nafas dari Daisy membuatnya menoleh. Gadis itu tak hentinya menghembuskan nafasnya kasar.“Penyamaranku terbongkar pada satu orang.”Benson mengerem sacara mendadak hingga menimbulkan suara gesekan aspal dengan roda mobilnya.“Astaga! Kenapa tiba-tiba ngerem mendadak?” bentak Daisy tak kuasa menahan kagetnya jantungnya seolah ingin keluar detik itu juga. Pikirannya yang masih membahas mengenai masalah tadi dengan tiba-tiba Benson mengangget
Daisy melirik ke samping melalui ekor matanya, rasanya seperti aneh bila berdekatan dengan lelaki yang kini serius dengan setir kemudinya. Berbagai perasaan curiga mendesak relung hatinya, tapi anehnya dari tingkah lakunya lelaki itu tak ada yang aneh sama sekali. Bahkan terlihat biasa-biasa saja.“Kenapa?”Dengan cepat Daisy memalingkan wajahnya ke depan setelah lelaki itu angkat suara. Atau mungkin lelaki itu menyadarinya kalau saja dia sedang diperhatikan.“Ah... Tidak apa-apa,” balas Daisy dengan tersenyum tipis.Lelaki itu mengangguk mungkin dia tak ingin bertanya lebih banyak lagi.Setelah berdebat dengan Benson dan Louis mengenai pakaiaan yang harus dikenakan untuk menghadiri pesta ulang tahun, Daisy kini sudah berada di mobil untuk segera menuju lokasi. Di sampingnya lelaki yang mengenakan stelan tuxedo hitam yang sangat pas sekali di tubuhnya. Lelaki itu adalah Stefan Smith sebagai pasangannya untuk malam ini. Sebenarnya bisa saja Daisy mengajak Benson
Daisy hanya mengikuti lelaki itu tanpa rasa ragu, entah apa yang direncanakan lelaki itu. Yang menjadi penasaran hanyalah permainan yang akan dimainkannya. Daisy hanya mengikuti alur yang dirancang lelaki itu, bahkan Daisy tak tahu kegelapan sedang menunggunya dengan cara melambaikan tangan kepadanya. “Silakan duduk Nona....” Lelaki itu menyuruh Daisy untuk duduk. Daisy mengernyit ketika di sana terdapat satu meja dengan kursi saling berhadapan, ditambah orang-orang yang sudah diketahui mereka anak buah dari lelaki itu berdiri dengan memakai topeng menunduk hormat ketika lelaki itu mendekati mereka. Daisy semakin penasaran pada lelaki itu, tentang siapa dirinya dan latar belakangnya. Sudah dipastikan lelaki itu bukan sembarang seorang kemungkinan dia juga peran penting di kedua proyek itu. “Nona kenapa Anda termenung?” tanyanya. Daisy tersadar dengan segera ia duduk tepat di hadapan lelaki itu yang sudah terduduk tegak di kursinya.
“Nona, Anda ke mana saja?”Stefan tiba-tiba berada di belakang Daisy lelaki itu dari tadi mencari-cari keberadaan Daisy yang tiba-tiba hilang dalam sekejap dari pandangannya.Daisy tersentak membuatnya menoleh seketika. “Tu-tuan Stefan, rupanya itu Anda.”Daisy bernafas dengan lega, tanpa aba-aba ia langsung menyeret Stefan lebih tepatnya menggandeng secara paksa. Stefan terkejut atas tindakan yang dilakukan Daisy secara tiba-tiba membawanya berlari mengikuti lari kecilnya. Stefan hanya diam tanpa berkomentar, baru kali ini ada seorang wanita yang memperlakukannya seperti itu tanpa meminta dan mendapatkan persetujuan darinya. Namun pikiran-pikiran itu ia segera singkirkan karena kemungkinan ada sesuatu di balik raut kecemasaan dari wajah wanita itu.Daisy berhenti mengatur nafas ia menengok ke belakang, matanya membulat ketika tangannya membalut tangan kokoh milik Stefan dengan cepat menghempaskan kaitan tangannya. &ldq
“Daisy! Benson! Cepat ke sini!”Suara Louis yang nyaring membuat kedua orang yang sedang sibuk di lantai bawah segera menuju sumber suara.“Ada apa? Kenapa teriak?” tanya Daisy dengan berjalan menghampiri Louis yang sedang fokus pada monitornya disusul Benson yang mengekor di belakangnya.“Lihatlah... Apa yang baru saja aku temukan!” Louis memperlihatkan layar monitornya, memberitahu pada kedua temannya atas apa yang telah ia temukan.Di sana dengan tertera menunjukkan sebuah titik lokasi yang entah itu tak bisa dilacak keberadaannya. Sangat janggal, padahal Louis sudah mencoba dengan metode para hacker namun tetap saja letak keberadaan titik merah itu tak dapat ditemukan.Benson menyentuh layar monitor agar lebih memperjelas di mana letak lokasi tersebut. Tatapannya lurus ke arah layar, otaknya berpikir lebih dalam karena sepertinya ia tahu di mana lokasi tersebut.“Aku yakin dia masih
Daisy bangun dengan nafas tersengal, mengambil air dari nakas untuk segera ia teguk. Tapi pergerakannya terhenti ketika ia melihat sekelilingnya. Ini kamarnya. Kamar sesungguhnya, kamar dirinya di dunia manusia."Apakah ini mimpi? Tapi jika mimpi semuanya terasa nyata dan aku mengingat jelas dari awal diriku pertama kali bertemu dengan Arthur," gumamnya seraya memegang kepalanya yang sedikit berdenyut."Tingg...tongg!"Terdengar suara bel rumahnya, ia bergegas keluar dari kamarnya untuk segera membuka pintu utama. Alangkah terkejutnya ketika mendapati Louis dan William, tanpa aba-aba Daisy memeluk satu persatu kawannya itu."Loh... Loh ada apa ko tiba-tiba kau memeluk kami seperti itu?" kata William heran. "Tidak. Hanya saja aku merindukan kalian," jawabnya tak ingin membahas apa yang terjadi dengan dirinya."Baru aja kemarin kita bertemu sy, aneh kamu." Kali ini Louis yang berkata."Masa sih? Ko aku lupa ya?" "Heleh... Kau kebanyakan nonton film sih jadinya pikun!" seru William."
Daisy sangat lega ketika melihat Louis selamat dari kejaran para anak buah para peneliti itu. Ia tak kunjung melepaskan pelukannya, terus menyucap syukur.Daisy tak tahu akan berapa lama lagi pencarian terhadap lelaki itu, tapi ia sangat berterimakasih pada lelaki yang kini menyandang sebagai suaminya itu berkat dia Louis ditemukan."Sy, maaf."Kata itu terlontar dari mulut Louis, perkataan maaf yang membuat Daisy terheran."For what?"Melepaskan pelukannya dan kini menatap lekat wajah Louis."Mungkin suatu saat nanti kamu tahu, sebelum terlambat aku lebih dulu meminta maaf padamu atas apa yang kuperbuat selama ini. Dan mungkin suatu saat nanti kamu akan lebih-lebih membenciku.""Ayolah, kita hanya terpisah dan kau tak perlu meminta maaf hanya karena kita beda jalur untuk menyelamatkan diri." Daisy tertawa kecil menanggapinya. Ia tahu temannya itu mungkin merasa bersalah sebab telah meninggalkannya sendirian di hutan.Louis menatap Arthur yang kini sudah memberikan tatapan tajam, Arth
Arthur tak bisa menahan lagi amarahnya ketika seseorang di depannya tak menjawab pertanyaan darinya. Lelaki itu hanya tersenyum walaupun sekujur tubuhnya kini penuh dengan darah."Waktumu hampir habis, jika kau tak berkata tentang kebenarannya mungkin bisa jadi kau akan selamanya terperangkap di sini.""Silahkan saja, jika kau tak ingin tahu siapa yang menculik Daisy dan menjadikannya eksperimen itu."Arthur sangat geram dia dengan gesit mencengkram kerat kerah lelaki itu."Katakanlah bedebah!"Kembali mengingat tentang masa kecilnya, dimana bayangan-bayangan kejadian yang membuat Arthur hilang ingatan sementara setelah mendapatkan kabar bahwa teman kecilnya menghilang.Dia berupaya untuk bisa menemukan teman kecilnya itu, bahkan pencarian itu bertahun-tahun lamanya. Bahkan ia rela menghabiskan separuh hidupnya untuk hidup di lingkungan manusia hanya demi mencari keberadaan gadisnya."Aku akan jelaskan tapi kau harus berjanji takkan memberitahunya?""Kenapa? Apa kau takut muncul di de
Arthur tak tahan ketika melihat seluruh badan Daisy terekspos. Perlahan mendekati gadisnya, tangannya sudah membelai punggung mulus itu. Kedua matanya sudah menandakan bahwa dirinya kelaparan. "Baumu sangat manis." Dia berkata seraya mengendus, mengecup tak lupa memberi jilatan kecil pada punggung itu.Daisy melenguh mendapatkan perlakuan dari Arthur membuat dirinya memejamkan mata menikmat kegelian nikmat. Arthur membalikkan tubuh Daisy, matanya kini tertuju pada dua gundukan yang pas baginya. Memeras dan memainkan ujungnya. Rasa geli menjalar diseleluruh tubuh Daisy. Rasa geli yang aneh, rasa geli yang berbeda ketika Arthur sudah memasukan pada mulutnya memainkan gundukan itu dengan lidahnya.Sangat sangat nikmat pikir Daisy yang baru pertama kali melakukan hal dewasa seperti itu. Mereka berperang dalam kegelapan, malam itu Arthur tak membiarkan Daisy tidur sama sekali, dia terus menggempurnya habis-habisan.Keesokan paginya Arthur lebih dulu bangun dari Daisy ia menatap wajah dama
Daisy tampak benar-benar berbinar ketika melihat dirinya sendiri di pantulan cermin.Arthur memeluknya dari belakang."Bagaimana kau suka atau tidak? Kalo tak cocok kita bikin lagi yang baru sesuai dengan keinginanmu," bisik Arthur."Aku suka! Sangat-sangat seperti yang aku inginkan!" Gaun pengantin berwarna putih ukurannya dibuat sesuai dengan bentuk tubuh yang ramping. Coraknya yang simpel dan dibagian dadanya terdapat berlian Azura yang terselip, sungguh dia sangat diratukan oleh Arthur. Bersanding dengan Arthur membuat sisi manlynya hilang digantikan dengan sisi feminin.Tak terasa air mata jatuh membasahi pipinya, ia merindukan kedua orang tuanya mungkin jika mereka hadir pasti suasana yang sangat bahagia. “Kenapa menangi, hem?” Arthur mengusap air mata Daisy tampak khawatir pada gadisnya."Aku merindukan kedua orang tuaku."Arthur tiba-tiba diam seolah sedang memikirkan sesuatu. "Kau bisa melihatnya nanti," katanya.“Maksudmu?”Arthur tak membalas perkataan Daisy ia melenggang
Semua orang di istana sibuk sebab hari ini di adakan pertemuan para bangsawan. Namun hanya Daisy yang diam saja di kamar, ia hampir mati karena kebosanan. Sebab Arthur mengurungnya di kamar alih-alih agar ia tak diculik katanya. Terdengar konyol di telinga, namun apa boleh buat."Ayoklah Ben, aku ingin keluar jalan-jalan!"Daisy memohon pada Benson yang di tugaskan untuk menjaganya di kamar. Apalagi situasi antar keduanya kembali normal tanpa kecanggungan seperti semula."Tidak! Pangeran Arthur melarangmu untuk keluar," katanya."Aku bosan Ben! Kau tahu, aku sangat-sangat bosan!" Daisy mondar-mandir dengan memegangi kepalanya.Melihat itu Benson yang sedang asik membaca buku menghela nafas. Lalu ia bangkit merapikan kembali buku-buku yang berceceran menaruhnya pada rak buku.Sudah dua puluh buku yang ia baca dari pagi sampai sore itu sebagai bukti bahwa dirinya sangat penat juga."Ayo!" kata Benson.Berjalan beriringan tak lupa menyapa para pelayan dan pengawal. Dan memang benar suasa
Sorotan cahaya membuat Daisy memejamkan mata ketika Benson memberikan penemuannya. Setelah mengambil alih benda itu betapa mengejutkannya ketika benda itu persis yang dimiliki Louis. Kalung kebersamaan."Aku menemukannya di hutan, batu di dalamnya membuatku tertarik untuk memungut benda itu." Benson menjelaskan jujur apa adanya."Ini milik Louis dan ini kalung persahabatan kita. Lihatlah... Jika kau perhatikan lebih teliti kau bisa menemukan huruf abjad di dalamnya." Daisy menunjukkan pada Benson hingga jarak mereka sangat intim.Benson mengangguk membenarkan bahwa dirinya juga melihat huruf L terukir rapih di dalam batu itu. Bau manis pun membuatnya menahan nafas ketika berdekatan dengan Daisy."Ini adalah batu Azura. Batu yang sangat langka yang hanya bisa ditemukan di hutan tertentu.""Jadi dari mana batu itu berasal?"Daisy tersenyum tipis memandang lekat kalung milik Louis. Mengingat kembali tentang bagaimana caranya bisa menemukan batu itu."Kami bertiga menemukan ini dibagian h
Setelah sesi berkuda Arthur mengajak Daisy makan siang bersama di meja makan. Sebelumnya Daisy tak pernah makan bersama ia tak mau ikiut bergabung dengan keluarga itu, ia hanya orang asing yang tak pantas bergabung dengan keluarga kerajaan. Ya, Daisy sudah sepenuhnya memahami sesuatu yang terjadi. Bahwa ia benar-benar terjebak di sebuah kerajaan yang besar, bukan lelucon semata. Daisy menyaksikan dengan kedua mata, tak ada kameramen serta produser. Jadi ia tahu bahwa ucapan lelaki itu benar.Daisy terjebak kaku ketika semua mata tertuju padanya. Situasi yang tak ia inginkan, makan siang bersama kedua calon mertua. Tidak, bukan berarti ia dengan cepat setuju atas pernikahan itu hanya saja jika dipikir-pikir memang itu nyatanya."Oh MoonGoddess, calon menantuku akhirnya ikut makan bersama di meja makan." Suara sang ratu Arabell terdengar merdu di telinga Daisy, ia hanya mengangguk dengan tersenyum."Baguslah, Nak! Setidaknya keluar dari kamarmu untuk ikut bergabung dengan kami." Sang ra
Setelah mengambil keputusan. Daisy kembali dibawa ke istana Arthur, tentu saja Daisy menyetujui itu karena Arthur menjanjikan untuk menemukan Louis. Daisy masih sangat kecewa pada Benson. Ternyata Benson adalah tangan kanan Arthur. Daisy melangkah menuju taman menghilangkan rasa penat. "Rupanya Anda di sini, Nona" Suara tak asing yang mengganggunya, Daisy bertanya-tanya. "Saya tahu Anda marah besar sama saya, tapi saya hanya ingin membantu pangeran Arthur." Daisy mengerutkan keningnya. "Apa hubungannya dengan kami-pura menjadi seorang agen mata-mata?!" sarkas. "Apa yang ingin saya jelaskan, Nona?" ujarnya. "Berhenti panggil saya dengan sebutan itu Benson." Benson terdiam kemudian berdehem. "Sekarang Anda sudah tahu saya adalah bawahan pangeran Arthur." Hati kecil Daisy sebenarnya tak tega melihat wajah Benson yang merasa bersalah. Apalagi ini sepenuhnya bukan kesalahan dia. Just yang harus disalahkan lelaki gila itu. Daisy menghembuskan nafasnya panjang. "Ben... Bisa kau jela