Daisy terbangun dengan terbatuk-batuk tenggorokannya sangat sakit ia meraih gelas berisi air di atas nakas, kemudian meneguknya hingga tandas. Daisy menatap jam yang tertempel di dinding ternyata pukul 12 siang. Kedua orang lelaki berlari memasuki kamarnya dengan mimik wajah yang penuh kekhawatiran.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Louis dia bertekuk lutut agar sejajar dengan Daisy kemudian mengelus puncak kepalanya.
Daisy menatap kedua lelaki itu dengan mimik wajah yang datar. "Aku baik-baik saja," ucap Daisy dengan menatap pintu kamarnya.
Benson yang merasa ada yang janggal pada gadis itu dia pun akhirnya bersuara. "Ada apa?" tanya Benson pada Daisy yang kini terus saja melihat pintu kamarnya seolah ada sesuatu di sana yang menarik perhatiannya.
"Dimana orang itu?" tanya Daisy sehingga membuat keduanya mengerutkan dahinya menatap Daisy dengan mimik wajah bingung karena siapa orang yang dimaksud Daisy?
"Siapa? Kita cuma bertiga di sini," balas Louis. Louis bingung siapa orang yang dimaksud Daisy dia pun berpikir apa ada orang lain selain mereka di mansion ini? Apakah Benson menyembunyikan orang lain selain mereka?
Tapi tidak mungkin karena jika ada orang lain kemungkinan ada gerak-gerik dan suara sejak kemarin.
"Lelaki yang menyelamatkanku dari terkaman serigala," ucap Daisy dengan menatap kedua temanya yang hanya diam yang larut dengan pikirannya masing-masing. Mereka bingung siapa lelaki yang dimaksud Daisy.
Aww!
Daisy bangkit dari tidurnya namun ia meringis merasakan nyeri pada pergelangan kaki kanannya. Sehingga dia menyibak selimut yang menutupi seluruh tubuhnya dia melebarkan matanya ketika melihat bekas luka yang sudah dibalut perban.
"Lihat! Ini luka akibat aku jatuh tersungkur karena dikejar serigala!" teriak Daisy dengan menjelaskan kejadian yang menimpa dirinya di hutan, kedua lelaki itu menautkan alisnya bersamaan.
Terkaman serigala? Benson dan Louis Namun Louis dan Benson membenarkan kejadian yang menimpa dirinya. "Lukamu itu karena terjatuh mengejar kelinci. Kami melihatmu terkapar di tanah," ucap Benson dengan menatap Daisy lekat.
Daisy memicingkan matanya pada Benson dia memang mengejar kelinci tapi bukan cuma itu saja dia pun dikejar oleh serigala besar. "Tidak! Tidak! Kalian tidak benar. Aku dikejar serigala hitam besar dia ingin memangsaku tetapi seorang lelaki datang menyelamatkanku...."
Daisy sangat ingat betul kejadian itu, dia mengingat dengan jelas wajah tampan lelaki yang menolongnya. Apa semuanya cuma mimpi? Lalu ia menggeleng tidak mungkin!
"Kamu tersesat di hutan karena mengejar kelinci putih itu. Kamu terjatuh dan kakimu tersayat ranting pohon," ucap Louis ia memberi penjelasan kepada Daisy mengenai tragedi yang menimpannya. "Dan... Kamu tidak sadar selama 3 hari akibat kehilangan banyak darah," lanjut Louis.
Louis kembali menjelaskan, bola mata Daisy menelusuri bola mata milik Louis seolah mencari kebenaran dan kejujuran di sana. Dan yang Daisy lihat dari mata itu hanya memancarkan kebenaran. Daisy menghela nafas panjang dengan mengusap wajahnya dengan kasar.
Benson melihat gadis itu merasa kasihan dan iba tapi memang benar bukan? Mereka berdua menemukan Daisy dalam keadaan tak sadar diri dengan kelinci di dekapannya. "Sudah jangan dipikirkan, lebih baik kamu makan lalu minum obat supaya lukamu cepat sembuh."
Setelah mengatakan itu Benson keluar untuk mengambil sesuatu. Kemudian, dia kembali memasuki kamar Daisy dengan nampan berisi makanan dan segelas air putih.
"Makanlah...," ucap Benson ia memberikan nampan ke tangan Daisy yang terduduk bersandar dipunggung ranjangnya.
"Biar aku suapi," ucap Louis dia ingin meraih nampan makanan dari tangan Daisy namun Daisy mencegahnya lebih dulu.
"Tidak usah, biar aku saja. Kau bersikap seolah aku sakit parah sehingga tidak bisa melakukan apapun dengan sendiri...," balas Daisy dengan memutar bola matanya malas.
Louis terlalu berlebihan menurutnya dia bisa makan sendiri tanpa bantuan karena ia memiliki tangan yang masih utuh dan normal tentunya.
"Hei! Aku hanya membantu orang yang sedang sakit... Apa tidak boleh?" ujar Louis yang kini beralih duduk di samping Daisy sehingga punggungnya menyender pada pinggiran ranjang.
Benson yang menatap gerak gerik Louis yang semakin mendekati Daisy ia memicingkan matanya dan entah inisiatif dari mana sehingga dia mendudukan diri diranjang Daisy.
"Cih! Aku tidak selemah itu, kakiku memang sakit tapi bukan tangan dan pikiranku yang sakit!" desis Daisy.
"Sebentar entah kenapa cuma kamu wanita yang tidak ingin diperhatikan. Bukankah semua wanita ingin bermanja-manja jika mereka sedang sakit?" tanya Louis yang kini menatap Daisy dengan menarik turunkan alisnya.
Daiys yang mendengar ucapan dari Louis sudut matanya berkerut. "Tidak semua wanita seperti itu ya... Para lelaki hanya tahu dari satu sisi wanita saja dia tidak melihat dari semua sisi wanita. Pantas saja selalu meremehkan wanita bahwa wanita makhluk Tuhan yang sangat lemah," tutur Daisy dengan menyuap makanan ke mulutnya mengabaikan mimik wajah Louis yang terkejut akan perkataannya.
"Aku tidak berkata seperti itu! Itu kamu sendiri yang berkata, kamu dari perwakilan kaum wanita yang berbicara sendiri tentang dirinya. Jadi jangan menyalakanku," ujar Louis dengan mangangkat tanganya.
Benson hanya diam melihat kedua temannya bertengkar, lebih baik dia cari aman dengan berdiam karena dia tak mau terkena amukan dari gadis itu.
"Terserah kau sajalah... Aku malas meladenimu!" cetus Daisy dengan memalingkan wajahnya ke samping dan kembali menyuapkan makanan ke mulutnya.
Nahkan? Dugaan Benson benar dia angkat tangan jika melihat gadis itu merajuk. Karena menurut Benson membujuk seorang wanita sama saja memancing amukan dari singa.
"Nah... Nah! Siapa yang salah siapa yang merajuk," ucap Louis.
"Siapa yang salah?" tanya Daisy yang kini menatap Louis dengan nyalang."Siapa yang salah!" ulangi Daisy lagi dengan menaikan oktaf suaranya menatap tajam Louis.
Benson dan Louis terkejut ini pertanda bahaya, mereka menatap satu sama lain mereka berbicara melalui mimik wajah. "Aku salah!" balas Louis dengan menghela nafas pelan.
"Siapa yang salah!" tanya Daisy lagi dengan teriak.
Benson dan Louis mengusap wajahnya kasar. "Kami para kaum lelaki yang salah!" Benson dan Louis berteriak kompak, mereka harus bersabar menghadapi gadis di hadapannya yang notabennya adalah perwakilan seorang wanita dari seluruh dunia. Walaupun mereka sepenuhnya tidak salah tapi mereka harus mengucapkan kata 'maaf' demi keamanan dan kebaikan diri mereka.
Daisy tersenyum kepada kedua lelaki yang menatapnya dengan datar. Kemudian Daisy melanjutkan sesi makannya yang sempat terhenti.
Kedua lelaki itu ingin melemparkan Daisy ke jurang saja, jika dia bukan wanita mungkin kedua lelaki itu sudah memberi tinju ke rahangnya.
Setelah memakan makanannya Daisy bangkit dari ranjangnya namun kedua lelaki itu mencegahnya. "Ada apa?" tanya Daisy dengan mengerutkan dahinya.
"Kamu mau kemana? Tetaplah di sini. Kamu masih sakit jangan terus bergerak," ucap Louis.
"Aku mau ke kamar mandi. Aku ingin buang air kecil. Apa tidak boleh? Apa aku harus mengeluarkannya di sini begitu?"
Perkataan Daisy membuat kedua lelaki itu memalingkan wajahnya. Sungguh! Kenapa Daisy sangat terang-terangan mengatakan seperti itu. Apa dia tidak tahu bahwa dia berada di dalam satu kamar bersama kedua lelaki yang mungkin saja jika kedua lelaki itu tidak mempunyai akal pikiran kemungkinan mereka pasti langsung ingin menerjangnya.
Louis dan Benson mengangguk sebagai jawaban. Mereka tidak tahu ingin mengucapkan kata apa?
"Jadi? Apa kalian menyuruhku untuk melakukannya di sini?" tanya Daisy polos matanya yang mengerjap membuat Louis ingin membenamkan gadis itu ke lipatan ketiaknya.
"Ti-dak! Kamu cepatlah ke kamar mandi!" perintah Louis. Daisy mencebikan bibirnya kemudian ia bangkit dan melangkah memasuki toilet kamarnya dengan menyeret kaki kanannya.
Benson dan Louis saling diam mereka meruntuki diri mereka masing-masing. Benson menarik pergelangan tangan Louis untuk keluar dari kamar Daisy. Louis yang ditarik hanya pasrah tanpa berkata apapun.
Dari toilet kamar mandi Daisy tidak mendengar adanya tanda-tanda kehidupan di luar sana. Ia bergegas keluar dengan menyeret kakinya perlahan ia melihat ke sekeliling kamar dan pantas saja tidak terdengar suara ternyata kedua lelaki itu pergi.
Daisy tidak memikirkannya ia kembali menaiki ranjangnya, bersandar di dada ranjangnya meraih ponsel yang ada di nakas untuk menghubungi seseorang. "Will," ucap Daisy pada William yang berada di seberang sana.
"Akhirnya kau menghubungiku juga." Terdengar suara helaan nafas di seberang sana, membuat Daisy tersenyum tipis.
"Maaf. Ponselku mati Will, aku baru saja mengisi daya baterainya."
"Kamu baik-baik saja?" tanya William pada Daisy.
"Hem... Aku baik," ucap Daisy dengan memijat pelipisnya.
"Syukurlah...," balas William.
"Will ada yang ingin aku tanyakan kepadamu," bisik Daisy suaranya hanya terdengar oleh Will.
"Hem... Mau tanya apa?"
Daisy menautkan alisnya. "Kamu dimana?" tanya Daisy karena ia mendengar suara yang sangat berisik di seberang sana.
"Aku di kafetaria kantor sedang makan, kenapa?" ujarnya.
Ya, Will sedang makan siang sekarang, menikmati makan sendiri tanpa ada yang menemani. Karena biasanya Louis atau Daisy yang menemaninya makan di kantor tapi keduanya sedang bertugas bersama jadi apa boleh buat Will hanya ditemani dentingan sendok sama garpu.
"Apa aku mengganggu? Sudahlah teruskan saja makanmu," ucap Daisy tak enak kepada Will yang sedang menikmati sesi makannya.
"Hei hei! Jangan seperti orang yang baru kenal. Kita sudah kenal lama, dan aku sudah tahu semua tentangmu begitu pun sebaliknya. Katakan apa yang ingin kamu tanyakan?" ucap Will dia tidak tahu apa yang terjadi pada Daisy sehingga Daisy bersikap aneh seperti itu.
"Sudahlah nanti saja, suaramu tidak terdengar jelas. Kita lanjutkan jika kamu sudah pulang ke apartemen."
Daisy ingin menanyakan hal penting pada William namun ia mengurungkan niatnya. Karena Will mungkin tidak benar-benar mendengarkan dirinya karena suara bising di sana.
"Baiklah... Nanti kalo aku sudah sampai di apartemen aku akan langsung menghubungimu," ucap William.
Daisy memutuskan ponselnya, kemudian dia mengerutkan dahinya ketika ada notifikasi pesan dan panggilan yang tidak ia kenal. Daisy membuka pesan itu kemudian ia matanya berbinar ketika membaca setiap deretan kata. Seperti mendapat jackpot ia berteriak bahagia, mengabaikan rasa nyeri pada kakinya.
"Mari kita mulai!" ucapnya dengan menatap deretan pesan itu dengan tersenyum miring.
"Aku tidak sabar untuk berlibur!" monolog Daisy dengan menggenggam erat ponselnya.
***
"Aku tanya sekali lagi padamu! Siapa yang membawanya kemari?!" teriak Louis dengan mencengkram kerah baju Benson yang kini hanya menatapnya datar.
"Aku tidak tahu," jawab Benson dengan singkat sehingga membuat Louis menggeram.
"Aku tahu, kamu mengetahui semuanya. Dan siapa lelaki yang dia ucapkan?"
Louis menatap Benson penuh selidik, Benson hanya menatap datar jujur ada rasa ingin memberi tinju pada rahang Louis. "Mana aku tahu, bukankah aku ikut mencarinya denganmu."
Louis menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sudahlah Ben tak usah menutupinya, aku tahu kau pasti berbohong?"
"Untuk apa aku membohongimu, apa untungnya buatku? Tidak ada untung sama sekali." Benson melangkah pergi mengabaikan Louis yang terus mengupat padanya.
"Sialan!" teriak Louis.
***
Daisy meraih koper miliknya dia membuka koper itu untuk mencari-cari sesuatu yang membuatnya panik. Ia meraih amplop cokelat yang terselip di pojok tertutup pakaiannya.
Daisy melangkah mendudukan diri di kursi pinggir jendela kamar yang terbuka sehingga angin sore menyambutnya membuat surai madunya yang tergerai terombang ambing.
Daisy membuka amplop itu terdapat beberapa lembar foto kenangan dirinya bersama orang tercinta. Ia meraih selembar foto, di foto itu terdapat dirinya yang berusia 15 tahun sedang bermain lempar salju bersama sang Ayah foto tersebut diambil oleh ibunya. Daisy tertawa melihat ekpresi sang Ayah yang terkejut karena terkena serangan salju darinya.
Kemudian Daisy mengambil foto kedua. Di foto itu terdapat dirinya yang pertama kali memasuki sekolah menengah pertama. Ia tersenyum ke arah pantulan cermin dengan sang ibu yang menyisir rambutnya ikut tersenyum ke arahnya, foto itu diambil diam-diam oleh ayahnya yang berdiri di ambang pintu kamar.
Kemudian ia melihat foto ketiga dimana foto tersebut hari ulang tahun ke 17 tahun dirinya. Di foto itu, kedua orang tuanya mencium pipinya Daisy yang terkejut karena kedua orang tuanya menciumnya dengan tiba-tiba sehingga membuatnya membulatkan matanya yang terlihat sangat lucu difoto itu.
Namun tanpa disangka air mata Daisy turun membahasi pipinya. Ia mengambil foto lainnya di foto itu pertahanan Daisy luntur dia memejamkan matanya mencoba agar air matanya tidak jatuh lagi.
Foto selanjutnya ialah foto kelulusan dirinya di universitas ternama. Dia mendapat peringkat sebagai mahasiswi terbaik di universitasnya sehingga membuat kedua orang tua Daisy menangis hingga suasana haru mengelilinginya. Kedua orang tua Daisy sangat bangga padanya karena mereka berhasil mendidik anaknya sehingga menjadi mahasiswi angkatan terbaik di universitasnya.
Daisy tidak kuat kini ia menutup wajahnya dengan jemarinya, ia menangis dalam diam. Sungguh! Daisy sangat merindukan kedua orangtuanya.
Sesak kini melanda dadanya dia mencoba memukul beberapa kali dadanya yang terasa sakit.
Daisy sangat merindukan orang tuanya saat ini, dia merindukan kasih sayang mereka. Merindukan senyuman hangat mereka, merindukan belaian mereka, merindukan kata-kata manis dan kata-kata semangat yang selalu terucap di bibir mereka.
Ya Tuhan!
Dia merindukan kedua orangtuanya saat ini. Dan andaikan kejadian itu tidak terjadi mungkin dia masih bersama kedua orangtuanya sampai saat ini. Daisy sangat menyalahkan dirinya sendiri karena dia tidak becus menjadi seorang anak, dia tidak bisa menjaga kedua orangtuanya dengan baik dan benar.
Daisy sungguh sangat tidak kuat jika mengingat kejadian itu seperti kaset yang terputar otomatis di otaknya.
Bayangan-bayangan itu membuat kepalanya sangat pening, ia menarik rambutnya mengacak surai madunya. sehingga surai itu menjadi tidak beraturan akibat dirinya.
Usapan tangan di surainya membuat ia menghentikan tangisnya mendongakan kepala menatap orang itu. Daisy melihat lelaki itu tersenyum ke arahnya kemudian dia mengusap pipinya yang basah.
"Kenapa kamu menangis?" tanya orang itu yang kini beralih mendudukan dirinya di hadapan Daisy.
Daisy menggeleng. "Aku baik-baik saja," ujar Daisy kemudian menekuk kedua kakinya sehingga membenamkan wajahnya.
Lelaki itu menatap foto-foto yang berserakan di lantai sehingga membuat dia tahu apa yang sedang terjadi pada gadis itu. "Kamu merindukan mereka?" tanya lelaki itu ia meraih lembaran foto yang terselip dijemari Daisy. Dia memandangi foto tersebut dengan tersenyum.
Di foto itu ketiga orang tersenyum hangat pada kamera mereka duduk di kursi taman yang dikelilingi bunga-bunga yang sangat indah. Louis sangat ingat betul foto itu dialah yang memotretnya ketika libur musim panas.
Louis dan Will memang sangat akrab dengan Diana dan James mereka sudah dianggap seperti keluarga. Bahkan orang tua Daisy selalu menitipkan anaknya pada mereka jika mereka pergi keluar kota.
"Louis... Jika aku tak menyuruh mereka untuk datang. Mungkin mereka masih bersamaku sekarang," lirih Daisy dengan suara terdengar bergetar.
Louis yang menatap sendu pada Daisy karena keadaan gadis itu sangat berantakan. "Hei, hei! Tidak boleh menyalahkan diri kamu sendiri. Ini semua takdir Tuhan. Mereka akan sedih jika kamu terus seperti ini," ucap Louis ia memegang wajah Daisy ia mengusap semua air mata yang mengalir di pipinya.
Daisy menatap Louis dengan sorot mata penuh akan kesedihan. "Ta-pi Louis... Ini memang salahku," lirih Daisy dengan memejamkan matanya. Dia membiarkan Louis menyentuh semua bagian wajahnya membiarkan teman seperjuangannya memberi kehangatan pada dirinya.
Inilah kenapa Louis dan Will tak membiarkan Daisy sendirian karena mereka tak mau Daisy menumpahkan kesedihannya dengan sendiri. Maka dari itu setiap Daisy sedang berlibur Will dan Louis menghubungi atau menyempatkan diri untuk ke apartemennya hanya untuk mengecek keadaan Daisy baik-baik saja atau tidak.
"Hei! Lihat aku! Tatap mataku," ujar Louis ia merapikan helaian rambut yang menutupi wajah Daisy dengan menatap lembut gadis itu.
Daisy membuka kelopaknya ia menatap sendu ke arah Louis, membuat hati Louis teriris seolah merasakan nyeri hingga relung hatinya. Ia sungguh tidak bisa melihat wanita menangis di hadapannya.
Daisy menghela nafas pelan ia menatap lekat Daisy dengan tatapan penuh kasih sayang. "Dengarkan aku," ucap Louis. "Semua di dunia ini tidak akan abadi, begitupun manusia. Kita akan merasakan sakit dan bahagia, kita akan merasakan hidup dan mati. Untuk apa kamu terlalu larut dalam kesedihan jika itu semua tidak bisa mengubah takdir Tuhan," lanjutnya.
Jika semua orang melihat Daisy dari luar bahwa wanita itu sanga berani, tegas. Namun Louis dan Will mereka tahu bahwa Daisy adalah gadis yang lemah dan rapuh.
Louis menjeda sebentar ucapannya untuk menstabilkan perasaannya yang ikut larut akan kesedihan. "Bibi Diana dan Paman James di sana pasti sangat bangga karena putri cantiknya telah bertahan sampai detik ini. Mereka sangat bangga melihatmu tumbuh menjadi gadis yang baik hati, bijaksana, dan mempunyai keberanian. Aku di sini ada untukmu dan Will yang selalu setia bersamamu dan menjagamu. Semua teman-temanmu menyayangimu. Jadi jangan bersedih, sekarang saatnya menentukan hidup yang dijalani diri sendiri."
Louis mengucapkan kalimat-kalimat yang membuat Daisy tenang. Oh Tuhan Daisy sangat berterima kasih telah dipertemukan dan dikenalkan dengan orang-orang baik yang mengelilinginya.
Orang-orang yang melindungi dirinya, menyayanginya, selalu siap sedia jika Daisy meminta bantuan. Selalu ada di saat Daisy sedang terpuruk.
Tanpa aba-aba Daisy menerjang tubuh Louis sehingga tubuh Louis terhuyung ke belakang membuat tubuh Louis menegang akan serangan tiba-tiba yang Daisy berikan.
Daisy menangis menumpahkan kesedihannya kepada Louis, Louis mengelus punggung Daisy dengan lembut mencoba memberi kenyamanan dan ketenangan pada gadis itu. "Menangislah... Jika menangis membuat hatimu tenang. Aku ada di sini akan selamanya di sini menjagamu," bisik Louis tepat ditelinga Daisy. Daisy semakin membenamkan wajahnya di dada bidang Louis dia memeluknya dengan erat seolah tidak ingin Louis pergi.
Kegiatan keduanya tak luput dari pandangan seorang lelaki yang kini sudah mengepalkan tangan dan mengeraskan rahangnya. Dari kejauhan lelaki tersebut ingin sekali membunuh lelaki yang memeluk gadisnya.
"Sialan!"
"Tidak akanku beri ampun kepada orang yang menyentuh gadisku!"
Lelaki itu terlihat sangat murka, ia menatap tajam kedua orang yang masih setia dengan kegiatannya. Hatinya seolah tertusuk seribu jarum, tertancap belati, tersayat pedang sehingga sangat menyakitkan!
"Akan kubawa dirimu... Dan akan segera aku tandai secepat mungkin! Supaya seluruh dunia tahu bahwa kamu hanya miliku seorang. Sayang.... Lihat saja nanti!" ucapnya dengan seringaian yang tersungging di bibir tebalnya.
Daisy melepaskan pelukannya ia menatap Louis yang kini juga menatapnya.
Tampan!
Kenapa Daisy baru menyadari sekarang kalo temanya itu sangat tampan bila sedekat ini. Daisy mengedipkan matanya membuat Louis tersenyum.
Dada Louis sangat sesak darahnya mengalir dengan deras disetiap sel peredaran darah. Jantungnya semakin berdebar tidak karuan.
Daisy sangat cantik! Oh tidak! Jangan sampai perasaan itu muncul kembali pada dirinya. Louis menggeleng dia memundurkan tubuhnya seolah menjaga jarak aman. "Kembalilah ke ranjang... Tubuhmu butuh istirahat," ucap Louis.
Daisy mengangguk, ia bangkit dari duduknya tanpa sengajaa ia menapakan kaki kananya ke lantai.
Aww!
Daisy meringis merasakan nyeri pada kakinya yang bengkak namun tiba-tiba tubuhnya melayang membuat dirinya tersentak. Louis menggendongnya sekarang perlakuan Louis sangat lembut membuatnya sangat gugup.
Mata mereka terkunci sehingga membuat jantung Daisy berdebar menatap langsung wajah tampan Louis dengan jarak yang sangat dekat. Louis menaruh Daisy pada ranjangnya dengan hati-hati, kemudian ia duduk tepat di samping Daisy menatapnya lekat.
"Terimakasih," ucap Daisy padanganya lurus kedepan menghiraukan Louis di sampingnya yang kini menatapnya.
"Jangan menangis lagi ya... Aku tidak suka melihatmu menangis," ucap Louis membuat Daisy menoleh ke samping menatap wajahnya.
"Aku tidak akan menangis lagi, tapi tidak janji." Daisy tersenyum lebar menampakan gigi kelincinya sehingga membuat Louis memalingkan wajahnya sejenak.
Oh sial! Kenapa Daisy tersenyum seperti itu, jantung Louis berdebar sangat cepat tak lagi mengikuti tempo. "Baiklah... Jika kamu menangis lagi aku akan memberikanmu pada kawanan singa di kebun binatang yang sering kita kunjungi," balas Louis dengan mimik wajah menakuti Daisy.
Daisy memicingkan matanya dengan memanyunkan bibirnya. "Kamu tidak akan seberani itu," ucap Daisy dengan menatap Louis dengan tapapan seolah menantang Louis.
"Akanku lakukan, lihat saja nant!" balas Louis dengan tersenyum miring ke arahnya.
Daisy dan Louis sering mengunjungi kebun binatang setiap hari Minggu atau hari dimana mereka senggang. Kenapa mereka ke kebun binatang? Alasannya sangat klasik karena ingin melihat sang Kembaran.
"Yaya... Terserah kau saja. Lebih baik kamu pergi dari kamarku," usir Daisy.
"Begitu ya... Tidak tahu terimakasih."
Daisy memutar bola matanya. "Tuan Louis Blake, saya sangat berterimakasih kepada anda dari lubuk hati saya yang paling dalam. Anda sangat baik hati mempunyai hati seperti malaikat, dan memiliki wajah tampan namun tidak setampan manurios. Saya mengucapkan kata terimakasih," tutur Daisy dengan tersenyum palsu.
Louis terbahak mendengar penuturan dari gadis di hadapannya dia melangkahkan kakinya, jemarinya terulur mengacak surai madu itu dengan gemas.
Keduanya saling tertawa namun tiba-tiba seorang memasuki kamarnya sehingga membuat mereka menghentikan tawanya. Mereka menatap lelaki yang berdiri di ambang pintu menatap mereka dengan tajam.
"Apa yang kalian lakukan di kamar?" tanya lelaki itu dengan suara yang tegas dengan menatap curiga kearah Louis dan Daisy.
"Kita hanya berbincang, kenapa?" balas Daisy.
"Tidak baik dua orang berbeda kelamin berada di dalam satu kamar," jelas Benson.
"Kita tidak melakukan apapun Benson! Kita hanya berbincang tidak lebih, kamu jangan berpikiran yang tidak-tidak tentang kita," ucap Daisy dia mencoba menjelaskan kepada Benson yang menatapnya dengan penuh kecurigaan.
Daisy tidak mau ada kesalah pahaman antara dirinya dan temanya. Memang benar bukan? Mereka tidak melakukan apapun? Louis hanya menenangkannya tidak lebih dan tidak mungkin juga Louis akan melakuan hal buruk pada dirinya.
Louis ingin mengutuk Benson menjadi batu, jika saja dirinya penyihir mungkin berbagai macam kutukan sudah mengenai tubuh Benson.
"Istirahatlah... Biarkan temanmu saya urus!" ucap Benson dengan melangkah mendekati Louis yang hanya diam menatapnya datar. Sungguh Benson sangat mengganggu!
Tanpa membuang-buang waktu dan tanpa aba-aba Benson menarik pergelangan tangan Louis untuk keluar dari kamar Daisy. Benson menutup pintu kamar Daisy dengan kakinya. "Sialan! Lepaskan! Kau mau membawaku kemana? Brengsek!" Louis memberontak ia mengumpati Benson dengan kata-kata kasar yang masih menariknya.
Daisy yang melihat keduanya hanya menggelengkan kepala, apakah seperti ini jika dia mempunyai 2 saudara laki-laki? Pasti setiap hari rumah selalu ada peperangan dan pertumpahan darah.
Daisy merebahkan badannya merilekskan otot-otot yang tegang. Daisy menghadap langit-langit kamarnya dia mencoba berpikir tentang kejadian yang menimpanya.
Jika itu mimpi mengapa dia mengingatnya dengan jelas dari awal sampai akhir? Dan tunggu! Apakah lelaki itu adalah lelaki yang selalu ada dimimpinya? Daisy memikirkan wajah tampannya membuat bibirnya menarik sudut ke atas.
Daisy menggeleng ia tidak harus memikirkan lelaki yang tidak dikenalnya. Tiba-tiba Daisy menepuk dahinya ia hampir lupa akan tujuanya kesini.
Daisy mengambil laptop dari kopernya yang masih terbuka kemudian membukanya dia mengecek satu persatu dokumen yang tersimpan di file. Sesekali mengecek email yang mungkin saja ada pesan dari perusahaan. Karena selama dia di mansion kepala direktur tidak menghubunginya.
Terkahir kali hanya menghubungi Daisy menanyakan apa Daisy dan Louis sudah tiba di negara tersebut.
Seorang lelaki terduduk di kursi kebesarannya dengan mengecek satu persatu dokumen yang terjejer di meja. Suara ketukan dari pintu membuatnya menoleh, seorang wanita dengan pakaian formal berdiri di ambang pintu sehingga lelaki itu mempersilahkan untuk masuk.Wanita itu tersenyum dengan mendudukan diri. “Tuan saya ingin melaporkan tentang proyek pembangunan gedung itu,” ucapnya dengan memberikan dokumen pada lelaki itu.Lelaki yang sudah lanjut usia itu mengangguk mempersilahkan. “Bicaralah….”Wanita itu tersenyum dengan menganggukkan kepalanya, “Semua bahan sudah kita siapkan. Apakah kita langsung membangunnya Tuan?” tanyanya dengan menatap serius.Lelaki itu diam berpikir sejenak, kemudian menggeleng. “Tunggu! Kita belum membicarakan tentang pembangunan proyek ini kepada para investor,” ujarnya dengan melepaskan kacamatanya.Wanita itu mengernyit menatap iris mata lelaki itu.“Lalu sekar
Karena tak mau berdiam diri terus menerus di kamarnya kini Daisy bangkit untuk segera menjalankan misi selanjutnya, walaupun kedua lelaki itu melarangnya Daisy tetaplah Daisy gadis yang tak mau dirinya dianggap lemah. Bagi Daisy itu hanyalah luka kecil bahkan ia sering mendapatkan luka ketika bertugas.Dengan pakaian formalnya ia kini menuruni pijakan tangga. Daisy mengernyit ketika melihat kedua lelaki itu saling diam menikmati makanannya masing-masing. "Kalian masih bertengkar?" Dari raut wajah mereka berdua kemungkinan memang benar mereka berdua masih bertengkar.Daisy mendudukkan di kursi kosong yang terletak ditengah-tengah kedua lelaki itu, ia menghela nafasnya membuat kedua lelaki itu menoleh padanya."Makanlah...." Benson menyodorkan piring yang berisi roti dipadu sayuran dan telur diatasnya.Daisy menerimanya, ekor matanya masih bergerak ke kanan-kiri. "Terimakasih Ben." Benson mengangguk sebagai jawaban. Daisy langsung memakan makanannya dengan
Sepanjang perjalanan Daisy hanya diam ia larut akan pikirannya. Memikirkan penyamarannya kebongar membuat ia menghela nafas beberapa kali. Bagaimana bisa penyamaran kali ini terbongkar, padahal ia sudah menganalisa lebih dulu tentang penyamarannya.Siapa lelaki itu kenapa dengan mudahnya dia mengetahui bahwa Daisy sedang menyamar. Daisy harus berhati-hati pada lelaki itu karena dia bukan orang sembarangan.“Kau tak apa?” Benson yang sedang fokus menatap jalanan ia mendengar helaan nafas dari Daisy membuatnya menoleh. Gadis itu tak hentinya menghembuskan nafasnya kasar.“Penyamaranku terbongkar pada satu orang.”Benson mengerem sacara mendadak hingga menimbulkan suara gesekan aspal dengan roda mobilnya.“Astaga! Kenapa tiba-tiba ngerem mendadak?” bentak Daisy tak kuasa menahan kagetnya jantungnya seolah ingin keluar detik itu juga. Pikirannya yang masih membahas mengenai masalah tadi dengan tiba-tiba Benson mengangget
Daisy melirik ke samping melalui ekor matanya, rasanya seperti aneh bila berdekatan dengan lelaki yang kini serius dengan setir kemudinya. Berbagai perasaan curiga mendesak relung hatinya, tapi anehnya dari tingkah lakunya lelaki itu tak ada yang aneh sama sekali. Bahkan terlihat biasa-biasa saja.“Kenapa?”Dengan cepat Daisy memalingkan wajahnya ke depan setelah lelaki itu angkat suara. Atau mungkin lelaki itu menyadarinya kalau saja dia sedang diperhatikan.“Ah... Tidak apa-apa,” balas Daisy dengan tersenyum tipis.Lelaki itu mengangguk mungkin dia tak ingin bertanya lebih banyak lagi.Setelah berdebat dengan Benson dan Louis mengenai pakaiaan yang harus dikenakan untuk menghadiri pesta ulang tahun, Daisy kini sudah berada di mobil untuk segera menuju lokasi. Di sampingnya lelaki yang mengenakan stelan tuxedo hitam yang sangat pas sekali di tubuhnya. Lelaki itu adalah Stefan Smith sebagai pasangannya untuk malam ini. Sebenarnya bisa saja Daisy mengajak Benson
Daisy hanya mengikuti lelaki itu tanpa rasa ragu, entah apa yang direncanakan lelaki itu. Yang menjadi penasaran hanyalah permainan yang akan dimainkannya. Daisy hanya mengikuti alur yang dirancang lelaki itu, bahkan Daisy tak tahu kegelapan sedang menunggunya dengan cara melambaikan tangan kepadanya. “Silakan duduk Nona....” Lelaki itu menyuruh Daisy untuk duduk. Daisy mengernyit ketika di sana terdapat satu meja dengan kursi saling berhadapan, ditambah orang-orang yang sudah diketahui mereka anak buah dari lelaki itu berdiri dengan memakai topeng menunduk hormat ketika lelaki itu mendekati mereka. Daisy semakin penasaran pada lelaki itu, tentang siapa dirinya dan latar belakangnya. Sudah dipastikan lelaki itu bukan sembarang seorang kemungkinan dia juga peran penting di kedua proyek itu. “Nona kenapa Anda termenung?” tanyanya. Daisy tersadar dengan segera ia duduk tepat di hadapan lelaki itu yang sudah terduduk tegak di kursinya.
“Nona, Anda ke mana saja?”Stefan tiba-tiba berada di belakang Daisy lelaki itu dari tadi mencari-cari keberadaan Daisy yang tiba-tiba hilang dalam sekejap dari pandangannya.Daisy tersentak membuatnya menoleh seketika. “Tu-tuan Stefan, rupanya itu Anda.”Daisy bernafas dengan lega, tanpa aba-aba ia langsung menyeret Stefan lebih tepatnya menggandeng secara paksa. Stefan terkejut atas tindakan yang dilakukan Daisy secara tiba-tiba membawanya berlari mengikuti lari kecilnya. Stefan hanya diam tanpa berkomentar, baru kali ini ada seorang wanita yang memperlakukannya seperti itu tanpa meminta dan mendapatkan persetujuan darinya. Namun pikiran-pikiran itu ia segera singkirkan karena kemungkinan ada sesuatu di balik raut kecemasaan dari wajah wanita itu.Daisy berhenti mengatur nafas ia menengok ke belakang, matanya membulat ketika tangannya membalut tangan kokoh milik Stefan dengan cepat menghempaskan kaitan tangannya. &ldq
“Daisy! Benson! Cepat ke sini!”Suara Louis yang nyaring membuat kedua orang yang sedang sibuk di lantai bawah segera menuju sumber suara.“Ada apa? Kenapa teriak?” tanya Daisy dengan berjalan menghampiri Louis yang sedang fokus pada monitornya disusul Benson yang mengekor di belakangnya.“Lihatlah... Apa yang baru saja aku temukan!” Louis memperlihatkan layar monitornya, memberitahu pada kedua temannya atas apa yang telah ia temukan.Di sana dengan tertera menunjukkan sebuah titik lokasi yang entah itu tak bisa dilacak keberadaannya. Sangat janggal, padahal Louis sudah mencoba dengan metode para hacker namun tetap saja letak keberadaan titik merah itu tak dapat ditemukan.Benson menyentuh layar monitor agar lebih memperjelas di mana letak lokasi tersebut. Tatapannya lurus ke arah layar, otaknya berpikir lebih dalam karena sepertinya ia tahu di mana lokasi tersebut.“Aku yakin dia masih
Melangkah dan bergerak untuk tetap hati-hati itu yang dilakukan Daisy dan kedua kawannya ketika menyelinap memasuki bangunan itu, ketika mendengar kata-kata yang sudah membuat amarahnya melonjak tinggi, Daisy, Louis, dan Benson sudah tak sabar lagi mereka bergegas untuk memasuki lebih dalam lagi bangunan itu.Melewati lorong-lorong dengan pipa-pipa putih saling bertumpu yang meneteskan air kotor bekas laboratorium dengan bau yang sama sekali tak enak, sehingga memberikan kesan memabukkan dan pusing. Jika dipikir ke mana air-air ini pergi akan teramat sangat berbahaya bila mereka membuangnya pada sungai hutan itu. Sungai akan tercemar dan para binatang-binatang akan tewas dan keracunan karena limbah airnya.“Kau tahu ke mana mereka membuang limbah air kotor ini?” tanya Daisy dengan menutup hidungnya. Baunya sudah membuat perutnya mual.“Kurasa di salah suatu reservoir yang dibuat khusus,” kata Benson menimpali.Ketiganya masih berja