Share

Bab 4

Bima Kusuma menjalani dua kehidupan yang sangat berbeda. Di satu sisi, dia adalah mahasiswa yang rajin, dikenal dengan kepintaran dan ketajaman pikirannya di kampus. Namun, di balik penampilan akademisnya yang rapi, Bima juga menjalani kehidupan sebagai tangan kanan bos mafia terkemuka di kota.

Pagi itu, Bima memasuki ruang kuliah dengan senyum tipis. Ia menyusun buku-bukunya dengan rapi, berusaha menyembunyikan lingkaran hitam di bawah matanya. Di kelas, ia aktif berdiskusi, memberikan pendapat yang cerdas, dan menjawab pertanyaan dosen dengan percaya diri.

“Bima, kau selalu punya jawaban yang tepat,” puji dosen dalam kuliah Ekonomi. “Apa rahasianya?”

Bima tersenyum singkat, “Hanya berusaha untuk memahami materi dengan baik. Terima kasih, Profesor.”

Setelah pulang dari kuliah Bima pergi ke suatu tempat di sisi lain kota, suasana di sana sangat berbeda, penuh dengan ketegangan. Bima dikenal karena sikapnya yang dingin dan tegas. Ia sering memimpin operasi-operasi penting dengan sangat muaskan bos mafia disana.

Bos mafia, Mr. Tanaka, memanggil Bima untuk sebuah rapat rahasia. “Bima, kau adalah tangan kananku yang paling dipercaya,” ujar Mr. Tanaka, matanya menatap tajam. “Aku perlu kau menyelesaikan beberapa urusan penting malam ini.”

Bima mengangguk. “Aku akan mengurusnya, Boss. Apa yang harus aku lakukan?”

“Pastikan semuanya bersih dan rapi. Kita tidak bisa meninggalkan jejak,” perintah Mr. Tanaka.

Setelah rapat, Bima kembali ke apartemennya, di mana ia sering merasa tertekan. Kesibukan di dua dunia yang sangat berbeda ini mulai membuat hubungannya dengan Laras terasa renggang. Meskipun Bima berusaha keras untuk tetap menjaga kontak, waktu dan kesibukan yang tidak terhindarkan membuat komunikasi mereka semakin jarang.

Sedangkan di sisi Laras di dalam kamarnya Laras duduk di sofa dengan tatapan kosong. Dia membuka buku catatan keuangan dan menghitung pengeluaran bulanan. Pengorbanan yang dilakukannya untuk Bima terasa semakin besar, dan rasa bersalah serta harga diri yang hilang semakin menyiksa dirinya.

"Kenapa harus seperti ini?" Laras bertanya pada dirinya sendiri, sambil menutup buku catatan. “Aku sudah memberikan segalanya, tapi rasanya aku masih belum cukup.”

Di tengah-tengah tekanan yang dia rasakan, Laras mencoba untuk menemukan kebahagiaan pribadinya. Dia mulai menghadiri beberapa kegiatan sosial yang selama ini dia abaikan. Namun, kebahagiaan tersebut terasa semu, karena pikirannya selalu kembali ke tekanan dan masalah yang dihadapinya di rumah.

Pada pagi hari berikutnya, Laras mengikuti kelas yoga di pusat kebugaran, dia bertemu dengan seorang instruktur yang ramah, Ibu Maya, yang mulai berbicara dengan Laras setelah kelas selesai.

"Bagaimana kelasnya?" tanya Ibu Maya dengan senyum hangat.

Laras tersenyum kecil, “Itu cukup membantu. Aku merasa lebih tenang.”

Ibu Maya mengamati Laras dengan penuh perhatian. “Kadang-kadang kita perlu meluangkan waktu untuk diri sendiri. Jangan biarkan diri kita terjebak dalam peran yang membebani kita.”

Laras mengangguk, merasakan kata-kata itu menyentuh hatinya. “Terima kasih bu Maya, aku akan mencobanya.”

Ibu Maya meletakkan tangan di bahu Laras. “Kita semua butuh waktu untuk diri sendiri, Laras. Jangan ragu untuk mencari kebahagiaanmu.”

Setelah pertemuan tersebut, Laras merasa terinspirasi untuk lebih fokus pada dirinya sendiri. Meskipun kesibukannya tidak membiarkan banyak waktu luang, dia mulai mencoba untuk lebih memprioritaskan kebahagiaan dan kesejahteraannya.

Laras merasa ada perubahan kecil dalam dirinya setelah berbicara dengan Ibu Maya. Menghadiri kelas yoga dan berbicara dengan seseorang yang peduli memberinya semangat baru untuk menghadapi situasinya. Namun, malam hari ketika dia pulang ke rumah, semua beban dan tekanan dari rumah tangga kembali menghampirinya.

Maya dan Siska datang ke ruang tamu dengan wajah serius. Maya memulai percakapan dengan nada dingin.

“Laras, kami hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja,” ucap Maya. “Tapi, beberapa orang mulai berbicara tentang kau dan Adrian.”

Laras tertegun. “Berbicara tentang apa?”

Siska menyeringai. “Ada rumor tentang ketidakharmonisan dalam pernikahan kalian. Kami tidak ingin ada masalah yang bisa merugikan posisi kita di keluarga.”

Laras merasakan kemarahan dalam dirinya tetapi berusaha tetap tenang. “Rumor-rumor seperti itu tidak ada artinya. .”

Laras merasa kesal dan melanjutkan. “Aku akan menjaga semuanya agar tetap baik-baik saja.”

Maya dan Siska hanya menanggapi ucapannya dengan mentap Laras sinis dan senyum meremehkan setelah itu mereka berbalik dari kamar Laras.

Setelah Maya dan Siska pergi, Laras merasa semakin tertekan. Dia kembali masuk ke kamarnya dan merenung. Ia merasa hidupnya semakin berat dan semakin jauh dari kebahagiaan yang dia cari. Memikirkan tentang Bima, Laras merasa rindu dan terasing dari adiknya.

Di sisi lain, Bima tengah menjalani rutinitas malamnya yang padat. Bos mafia, Mr. Tanaka, memanggil Bima untuk rapat yang penting. Bima memasuki ruangan dengan penuh kewaspadaan.

“Bima, kita punya pekerjaan besar malam ini,” ujar Mr. Tanaka. “Aku butuh kau mengatur semuanya dengan rapi.”

Bima mengangguk. “Apa yang harus dilakukan?”

Mr. Tanaka menjelaskan rincian rencana mereka. “Kita akan menargetkan salah satu pesaing bisnis kita. Pastikan tidak ada kesalahan. Ini harus dilakukan dengan bersih dan cepat.”

Selama rapat, Bima merasa beban moral semakin menekan dirinya. Dia merindukan waktu ketika hidupnya lebih sederhana dan lebih fokus pada laras. Kesibukan dalam dunia mafia mulai membebani pikirannya, dan ia merasa semakin terasing dari Laras.

Tetapi dia sisi lain dia juga ingin mengurangi beban kakaknya yang terus memberikanya uang tiap bulan, ia ia ingin mengatakan kepada kakaknya untuk tidak lagi mengirimkan dia uang tetapi dia tidak tau alasan apa yang cocok untuk memberi tahu kakaknya, agar Laras tidak curiga dia terlimbat dalam dunia mafia.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status