Di ruang kerja Bima yang terletak di apartemennya, Bima melihat berbagai dokumen. Dia membuka dokumen yang berisi informasi mengenai beberapa bisnis ilegal yang dimiliki Adrian.
Sambil menyisir data yang ada, Bima menemukan beberapa transaksi mencurigakan dan laporan keuangan yang menunjukkan adanya kegiatan ilegal. Setiap bukti yang dia temukan menambah daftar panjang pelanggaran hukum yang dilakukan Adrian.
Bima memindai dokumen-dokumen tersebut dengan seksama. “Jadi, Adrian terlibat dalam lebih banyak hal daripada yang terlihat di permukaan,” gumamnya pada diri sendiri. “Bisnis-bisnis ini bisa membuatnya sangat rentan jika informasi ini jatuh ke tangan yang salah.”
Saat Bima melanjutkan pencariannya, dia mulai menemukan informasi tambahan mengenai Maya dan Siska. Ternyata, keduanya memiliki hubungan dengan beberapa perusahaan cuci uang yang juga terhubung dengan jaringan bisnis ilegal Adrian. Rahasia ini bisa menjadi senjata berharga jika digunakan dengan tepat.
“Menarik,” kata Bima sambil membaca dokumen yang mengungkapkan keterlibatan Maya dan Siska dalam bisnis ilegal. “Ternyata mereka juga memiliki noda di tangan mereka.”
Dia menemukan bahwa Maya dan Siska terlibat dalam penipuan dan manipulasi keuangan yang memanfaatkan posisi mereka untuk keuntungan pribadi. Mereka menyembunyikan uang hasil penipuan di rekening-rekening yang sulit dilacak.
Dalam pikirannya, Bima mulai merencanakan langkah-langkah strategis untuk menggunakan informasi ini. Dia memutuskan untuk menyimpan bukti-bukti tersebut sebagai alat tawar yang kuat jika diperlukan.
Bima kembali ke meja kerjanya, menatap tumpukan dokumen dan catatan yang ada di depannya. “Aku harus hati-hati,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Ini bukan hanya tentang melawan Adrian dan keluarganya. Ini juga tentang melindungi Laras dari semua bahaya yang mungkin timbul.”
Dia menyiapkan dokumen dan bukti-bukti yang telah dia kumpulkan, memastikan semuanya rapi dan siap untuk digunakan jika diperlukan. Bima tahu bahwa dia harus bergerak dengan hati-hati, tidak hanya untuk melindungi dirinya, tetapi juga untuk melindungi Laras dari dampak yang tidak diinginkan.
Di hari yang sama, Laras merasa tertekan dengan segala beban yang dipikulnya. Saat ia berkeliling rumah, mencoba menenangkan pikirannya.
Laras merasa cemas dan memutuskan untuk memanggil Bima lagi, tetapi sekali lagi, tidak ada jawaban. “Bima, aku benar-benar membutuhkanmu,” ketiknya dalam pesan singkat. “Kamu tidak bisa terus menghindar seperti ini. Aku hanya ingin berbicara denganmu.”
Laras masih merasa terasing dan tertekan dengan ketidakpastian tentang keadaan Bima. Tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, dia berusaha untuk mengatasi perasaan kesepian dan tekanan yang terus menerus membebani dirinya.
Laras memutuskan untuk berbicara dengan Adrian tentang perasaannya yang semakin tertekan. Dia merasa bahwa perbincangan tersebut mungkin bisa membantu meredakan ketegangan yang ada di antara mereka.
Dia mengetuk pintu kamar kerja Adrian dan masuk tanpa menunggu jawaban.
Laras masuk dan berkata “Aku ingin berbicara tentang situasi kita,” ia mencoba mengontrol nada suaranya agar tetap tenang.
Adrian meletakkan pena dan menghela napas. “Apa yang kamu inginkan dariku, Laras?”
“Aku hanya ingin kita jujur satu sama lain,” Laras menjawab. “Aku merasa sangat tertekan. Aku tahu aku hanya istri ketiga, tapi aku ingin tahu di mana aku berdiri di sini. Apakah aku benar-benar berarti bagi kamu?”
Adrian menatapnya dengan tatapan datar. “Laras, kamu tahu bahwa pernikahan kita adalah tentang mendapatkan keturunan. Aku tidak bisa memberikan lebih dari itu.”
Laras merasa hatinya sakit mendengar kata-kata Adrian. “Jadi, semua ini hanya tentang mendapatkan anak?” tanyanya dengan suara bergetar. “Aku merasa seolah-olah semua pengorbananku sia-sia.”
Adrian tidak menjawab. Dia hanya menatap Laras dengan dingin, membuat Laras merasa semakin kehilangan arah. Tanpa berkata lagi, Laras meninggalkan ruangan dengan perasaan hancur.
Dia dengan perasaan yang hancur kembali ke kamarnya, Laras merasa semakin tertekan. Rasa cemas yang dirasakannya membuatnya sulit tidur. Dia berbaring di tempat tidur, memikirkan percakapan sebelumnya dengan Adrian dan bagaimana sikapnya terhadapnya.
Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu kamar tidur Laras. Maya dan Siska masuk dengan senyum yang tampaknya tidak tulus. Mereka duduk di tepi tempat tidur Laras, seolah-olah ingin menghibur.
“Laras, kau terlihat sangat letih,” kata Maya dengan nada penuh kepalsuan. “Kami hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja.”
Siska menambahkan, “Kami semua mengerti betapa sulitnya situasi ini. Tapi ingat, ada banyak hal yang harus dihadapi ketika menjadi bagian dari keluarga ini.”
Laras mengangkat alisnya, merasa tidak nyaman dengan kunjungan mendadak mereka. “Apa maksud kalian?” tanyanya, berusaha untuk tidak menunjukkan ketegangan yang dirasakannya.
Maya berpura-pura menunjukkan kepedulian. “Kami hanya khawatir tentangmu. Kau harus memastikan bahwa kamu membuat keputusan yang benar tentang kehamilan. Kadang-kadang, keputusan kecil bisa berdampak besar pada semua orang.”
Siska menambahkan dengan nada yang menyinggung, “Kami semua tahu bahwa kamu sudah menghadapi banyak tekanan. Kami hanya ingin kamu berpikir tentang apa yang terbaik untuk semua orang, termasuk dirimu.”
Laras merasakan sindiran dalam kata-kata mereka, tetapi memilih untuk tetap diam. Dia tahu bahwa Maya dan Siska tidak benar-benar peduli dengan kesejahteraannya, melainkan hanya ingin menjaga posisi mereka dalam keluarga.
Setelah Maya dan Siska pergi, Laras duduk di tepi tempat tidur, merasakan beban emosional yang semakin berat. Dia merasa terjebak dalam dilema besar apakah dia harus menuruti keinginan Adrian untuk memiliki anak, meskipun dia meragukan rasa cintanya.
Dia menggenggam tangan, berusaha menenangkan pikirannya. “Apa yang harus aku lakukan?” bisiknya pada dirinya sendiri. “Apakah aku harus terus bertahan dan berharap bahwa semuanya akan menjadi lebih baik.
Saat Laras merenung, dia memikirkan semua pengorbanan yang telah dia buat dan berdoa agar suatu hari nanti dia dapat menemukan solusi yang tepat untuk dirinya sendiri, tanpa harus mengorbankan kebahagiaan dan harga dirinya lebih jauh.
Di sisi lain Bima sedang menyiapkan dokumen yang menunjukkan bisnis ilegal Adrian dan keterlibatan Maya serta Siska.
Bima memutuskan untuk menemui salah satu anggota mafia yang dapat membantunya menekan keluarga Wijaya. Dia menyadari bahwa menggunakan informasi ini dengan tepat bisa menjadi kunci untuk membantu Laras.
Bima mengemudikan mobilnya menuju kawasan bisnis gelap di kota. Malam itu, udara terasa dingin dan suram, mencerminkan suasana hati Bima. Dia telah membuat janji dengan salah satu kontaknya di dunia bawah tanah, seorang pengacara yang dikenal karena kemampuannya dalam menangani kasus-kasus sensitif.
Saat mobilnya berhenti di depan gedung tua yang hampir tidak terlihat di bawah cahaya lampu jalan, Bima keluar dan menuju ke pintu belakang. Dia mengetuk dengan cara yang telah disepakati sebelumnya, dan pintu terbuka dengan lembut. Pengacara, seorang pria paruh baya dengan wajah keras, menyambutnya.
“Bima,” sapanya dengan nada formal. “Masuk.”
Bima mengikuti pengacara ke dalam ruang bawah tanah yang dingin dan tidak nyaman. Mereka duduk di meja kecil yang dipenuhi dengan dokumen dan berkas.
“Aku punya beberapa informasi yang mungkin sangat berharga untukmu,” kata Bima sambil menyodorkan dokumen-dokumen mengenai bisnis ilegal Adrian serta keterlibatan Maya dan Siska dalam kejahatan keuangan.
Pengacara itu memeriksa dokumen-dokumen tersebut dengan seksama. “Ini sangat menarik,” katanya setelah membaca dokumen itu.
“Aku ingin memastikan bahwa Laras tidak menjadi korban dari semua ini,” jawab Bima dengan tegas. “Keluarga Wijaya harus membayar untuk semua yang telah mereka lakukan, tetapi aku tidak ingin Laras terluka lebih jauh.”
Pengacara itu mengangguk, mengerti betul kekhawatiran Bima. “Baik. Aku akan memulai penyelidikan ini dan mempersiapkan langkah-langkah yang perlu diambil. Kamu akan mendapatkan hasilnya dalam waktu dekat.”
Setelah pertemuan itu, Bima kembali ke apartemennya, merasa sedikit lega karena ada langkah kecil yang diambil untuk melawan keluarga Wijaya. Namun, dia masih memikirkan Laras dan bagaimana dia bisa membantu tanpa membuat situasi semakin buruk.
Di ruang rapat kantor hukum , cuma meja panjang sama kursi-kursi yang keliatan. Bima duduk paling ujung, mukanya serius kayak lagi nyusun rencananya. Di sekelilingnya ada pengacara dan anak buahnya."Mantap banget infonya, Bim,"kata si pengacara, sambil ngelirik-lirik kertas. "Sekarang kita harus merencanakan langkah awal untuk mengatasi keluarga Wijaya."Bima mengangguk. "Yang pertama, kita hancurin dulu bisnis mereka. Kalau duitnya habis, mereka pasti kalang kabut."Rafi, si ahli komputer yang dari tadi diem aja, tiba-tiba nyambung, "Gimana kalau kita retas sistem mereka? Kita sebarin gosip bohong biar klien-kliennya kabur semua.""Bima mengerutkan kening. "Rafi, lo yakin bisa ngelabuin sistem keamanan mereka?""Tenang aja, bos," jawab Rafi dengan percaya diri. "Saya udah punya beberapa trik."Bima mengetuk-ngetuk meja dengan jari, matanya fokus pada tumpukan dokumen di depannya. "Kita mulai dari bisnis utamanya, Adrian. Kalau kita bisa buktiin ada yang enggak beres di perusahaan-pe
Pada malam hari cahaya api yang menari-nari menerangi wajah Bima yang dingin. Gudang besar itu kini hanya tinggal rangka hangus, asap hitam mengepul tebal ke langit malam. Bau hangus menyengat memenuhi udara, menjadi saksi bisu atas keberhasilan misi mereka. Rafi, tangan kanannya, mendekat, wajahnya penuh dengan kekaguman. "Bos, kita berhasil hancurin semuanya. Nggak ada satupun barang yang selamat," lapornya.Bima menatap api dengan dingin. “Bagus. Ini baru langkah awal. Kita harus memastikan bahwa kerusakan ini menyebabkan dampak yang signifikan.”katanya dengan nada mengancam. "Bikin Adrian tambah panik. Dia harus merasakan penderitaan Laras" Tambahnya dengan suara yang sangat dingin Rafi mengangguk. “Kami sudah menyebarkan berita tentang kebakaran ini ke media lokal. Ini akan menambah tekanan pada Adrian dan membuatnya semakin khawatir.”Bima memerintahkan timnya untuk meninggalkan lokasi dengan cepat, menghindari terdeteksi oleh pihak berwenang atau media. “Kita harus tetap menj
Laras merasa semakin tertekan. Ia berdiri di jendela kamarnya, memandang ke luar, memikirkan situasinya. Kepalanya terasa berat karena banyaknya beban yang harus dia tanggung. Menghadapi kesulitan dalam pernikahannya dan ketegangan di rumah membuatnya merasa seperti berada di tepi jurang.Di ruang makan, Maya dan Siska berbicara dengan nada yang penuh sindiran. Maya, sambil menyajikan teh, mengatakan, “Siska, apakah kamu sudah mendengar tentang masalah baru Adrian? Sepertinya dia benar-benar tidak beruntung akhir-akhir ini.”Siska menambahkan, “Ya, dan kita semua tahu betapa rentannya posisinya sekarang. Sepertinya banyak masalah yang datang bersamaan.”Laras mendengarkan percakapan mereka dari jarak jauh, merasa terasing. Dia tahu bahwa Maya dan Siska bukan hanya memperhatikan situasi dari jauh tetapi juga mungkin mencoba untuk mengambil keuntungan dari kekacauan tersebut.Laras merasa semakin terjepit di tengah situasi yang tidak pernah dia bayangkan. Setiap hari, dia berusaha berad
Laras mulai merasa ada sesuatu yang salah di rumahnya dan dalam kehidupan sehari-harinya. Seiring dengan kerugian yang dialami keluarga Wijaya dan ketegangan yang terus meningkat, dia merasakan ada pola yang tidak bisa dia abaikan. Beberapa minggu terakhir, dia merasa semakin terasing, dan kecemasan menyelimuti pikirannya.Saat Laras duduk sendirian di ruang tamu, dia mulai memeriksa berbagai berita dan laporan tentang bisnis keluarga Wijaya. Di tangan Laras ada beberapa potongan kertas yang dia kumpulkan, yang menunjukkan pola kerusakan yang terus berulang dan terkoordinasi.“Kenapa ini semua terjadi?” gumam Laras sambil membaca laporan terbaru. “Ada yang tidak beres di sini.”Laras mulai merasa ada sesuatu yang salah di rumahnya dan dalam kehidupan sehari-harinya. Seiring dengan kerugian yang dialami keluarga Wijaya dan ketegangan yang terus meningkat, dia merasakan ada pola yang tidak bisa dia abaikan. Beberapa minggu terakhir, dia merasa semakin terasing, dan kecemasan menyelimuti
Bima duduk di dalam mobil hitam yang diparkir di tepi jalan, mengawasi rumah Adrian dari kejauhan. Malam itu, hujan turun deras, memantulkan cahaya lampu jalan di aspal basah. Hatinya berdebar tak karuan, pikirannya dipenuhi oleh pertentangan. Selama ini, dia telah fokus pada rencananya untuk menghancurkan keluarga Wijaya demi membebaskan Laras dari penderitaan. Namun, dia mulai merasakan keraguan yang mengganggu tekadnya.Di sebuah gudang terpencil, Bima bertemu dengan beberapa anak buahnya. Mereka melaporkan kemajuan sabotase terhadap bisnis Adrian.“Semuanya berjalan sesuai rencana, Bos. Keluarga Wijaya mulai merasakan tekanan. Tidak lama lagi mereka akan jatuh,” lapor salah satu anak buahnya dengan nada yakin.Bima mendengarkan dengan seksama, tetapi pikirannya melayang ke arah Laras. Dia teringat betapa rapuhnya kakaknya saat terakhir kali mereka berbicara. Meski niatnya adalah melindungi Laras, Bima kini bertanya-tanya apakah tindakan yang diambilnya justru akan membawa lebih ba
Laras tidak bisa mengabaikan firasat buruk yang terus menghantuinya. Ada sesuatu yang tidak beres, dan dia semakin yakin bahwa Bima terlibat dalam kekacauan yang kini sedang melanda kehidupan Adrian.Suatu hari, ketika sedang membereskan barang-barang di ruang kerja Adrian, Laras menemukan dokumen-dokumen yang mencurigakan. Ada beberapa transaksi besar yang tidak pernah dia dengar sebelumnya, dan sebagian besar terkait dengan bisnis-bisnis yang tidak pernah disebutkan Adrian di hadapannya. Ada juga nama-nama perusahaan yang tidak asing baginya, dan salah satunya ternyata terkait dengan salah satu kontak Bima."Kenapa nama ini muncul di sini?" Laras bergumam dengan kening berkerut. Sebuah petunjuk yang tak disengaja membawa pikirannya kembali pada Bima. Perasaannya semakin tidak tenang.Laras mulai menyelidiki lebih lanjut, menghubungi beberapa orang yang dia kenal untuk mencari tahu lebih banyak tentang bisnis Adrian yang mencurigakan. Dia juga mulai mengumpulkan informasi tentang pe
Selama beberapa hari terakhir, Laras terus mencoba menghubungi Bima, namun selalu tidak ada balasan. Ia merasakan ada yang tidak beres, dan nalurinya mendorongnya untuk mencari tahu lebih dalam.Laras memutuskan untuk bergerak. Tidak mungkin dia hanya duduk diam sementara kekhawatiran terus menghantui pikirannya. Dia tahu bahwa Bima memiliki beberapa teman dekat di kota ini, orang-orang yang mungkin bisa memberinya petunjuk tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dengan niat bulat, Laras mengambil kunci mobilnya dan meninggalkan rumah Adrian, menuju ke tempat yang mungkin menyimpan jawaban yang dia cari.Di sebuah kafe kecil yang biasa dikunjungi Bima, Laras bertemu dengan Toni, seorang teman lama Bima yang pernah dia temui beberapa kali. Toni terlihat gugup saat melihat Laras mendekatinya. Mereka berbasa-basi sejenak sebelum Laras langsung menanyakan tentang Bima.“Sudah lama aku tidak melihat Bima,” kata Laras hati-hati. “Dia akhir-akhir ini sulit dihubungi. Kamu tahu dia sibuk dengan
Setelah pertemuan yang emosional dengan Bima, Laras pulang ke rumah dengan perasaan hancur. Dia merasa dunia yang dia kenal perlahan runtuh, dan kini, bahkan adik yang paling ia percayai ternyata menyimpan rahasia besar darinya. Setibanya di rumah, Laras duduk di ruang tamu yang sepi. Pikirannya terus berputar, mencoba memahami apa yang harus dia lakukan selanjutnya.Maya dan Siska, seperti biasa, terlihat sibuk dengan aktivitas mereka sendiri. Namun, keheningan Laras tidak luput dari perhatian mereka. Maya menatap Laras dengan mata yang penuh dengan rasa ingin tahu, sementara Siska hanya tersenyum tipis, seolah menikmati kegelisahan yang jelas terlihat di wajah Laras.“Laras, kamu terlihat pucat sekali. Ada apa? Jangan bilang kamu punya masalah baru?” Maya bertanya dengan nada sinis.Siska menimpali, “Oh, jangan-jangan dia bertengkar dengan adiknya lagi. Kasihan sekali, begitu banyak beban yang harus ditanggung.”Laras hanya diam, tidak memiliki tenaga untuk merespon sindiran mereka.