Share

Bab 7

Di ruang rapat kantor hukum , cuma meja panjang sama kursi-kursi yang keliatan. Bima duduk paling ujung, mukanya serius kayak lagi nyusun rencananya. Di sekelilingnya ada pengacara dan anak buahnya.

"Mantap banget infonya, Bim,"kata si pengacara, sambil ngelirik-lirik kertas. "Sekarang kita harus merencanakan langkah awal untuk mengatasi keluarga Wijaya."

Bima mengangguk. "Yang pertama, kita hancurin dulu bisnis mereka. Kalau duitnya habis, mereka pasti kalang kabut."

Rafi, si ahli komputer yang dari tadi diem aja, tiba-tiba nyambung, "Gimana kalau kita retas sistem mereka? Kita sebarin gosip bohong biar klien-kliennya kabur semua."

"Bima mengerutkan kening. "Rafi, lo yakin bisa ngelabuin sistem keamanan mereka?"

"Tenang aja, bos," jawab Rafi dengan percaya diri. "Saya udah punya beberapa trik."

Bima mengetuk-ngetuk meja dengan jari, matanya fokus pada tumpukan dokumen di depannya. "Kita mulai dari bisnis utamanya, Adrian. Kalau kita bisa buktiin ada yang enggak beres di perusahaan-perusahaan itu, mereka pasti panik. Kita bikin mereka mundur selangkah demi selangkah."

Pengacara mengangguk, pulpennya menari-nari di atas kertas. "Oke, kita mulai audit internal. Cari semua bukti yang bisa kita temukan. Dan Rafi, pastikan serangan digital kita tepat sasaran. Kita harus bikin mereka kalang kabut."

Rafi menyeringai, "Tenang aja, Bos. Saya udah siapkan beberapa skenario. Dijamin mereka bakal kewalahan ngurusin masalah ini."

Bima mengangguk. "Oke, kita mulai besok. Tapi ingat, kita harus hati-hati. Keluarga Wijaya pasti punya banyak mata-mata."

Pengacara nyautin, sambil tersenyum penuh arti, "Kita harus pintar-pintar juga, ya. Jangan sampai ketahuan kalau ini ulah kita. Bikin mereka mikir kalau masalahnya dari dalam perusahaan mereka sendiri."

Sembari menatap ke luar jendela, Bima memikirkan konsekuensi dari rencananya. Dia tahu bahwa tindakannya akan membawa banyak kerusakan, tapi dia yakin ini adalah satu-satunya cara untuk membalaskan penderitaan kakanya."

Di kantor Bima, suasana kerja keras masih berlangsung. Setelah rapat dengan pengacara dan bawahannya, Bima kembali ke ruang kerjanya, di mana dia duduk di depan komputer, memeriksa hasil dari serangan digital yang baru dilakukan.

Rafi mengetuk pintu sebelum masuk, membawa laptop dan beberapa berkas. “Bos, kami sudah berhasil mengacaukan beberapa sistem bisnis mereka. Klien-klien besar mulai mengeluh, dan beberapa kontrak mulai dibatalkan.”

Bima mengangguk, tetapi ekspresinya tetap serius. “Bagus. Ini baru permulaan. Kita harus terus memantau situasi dan menyiapkan langkah berikutnya.”

Rafi mengeluarkan dokumen dari tasnya dan menyerahkannya pada Bima. “Ini adalah laporan terbaru tentang transaksi keuangan Adrian. Kami menemukan beberapa transaksi mencurigakan yang bisa jadi petunjuk penting.”

Bima menerima dokumen itu dan mulai memeriksa. “Ini bisa jadi senjata utama kita. Jika kita bisa mengungkapkan keterlibatan Adrian dalam aktivitas ilegal secara publik, itu akan memberi tekanan besar pada keluarganya.”

Rafi menambahkan, “Kami juga sudah memulai pengumpulan bukti tentang kegiatan ilegal Maya dan Siska. Ada beberapa dokumen yang bisa menjadi bukti kuat.”

Bima menatap dokumen-dokumen itu dengan teliti. “Baik. Kita harus merencanakan langkah selanjutnya dengan hati-hati. Semua ini harus berjalan dengan rapi agar kita tidak menarik perhatian.”

Sementara itu di rumah mewah Adrian, tiap hari terasa hampa dan sepi. Ketegangan dan kesepian udah jadi sahabat setianya Laras. Setiap kali dia coba hubungi Bima, rasanya kayak nelpon artis yang sangat sibuk.

Saat sore hari, Laras duduk di sofa ruang tamu, ngeliatin keluar jendela. Hujan rintik-rintik menambah suasana jadi semakin murung. Pikirannya kalut. Dia pengen banget punya teman cerita soal perasaan nggak enaknya ini, tapi gimana? Maya sama Siska itu kayak duri dalam daging. Setiap kata yang keluar dari mulut mereka tuh nyelekit banget. Laras menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata. "Apa yang harus aku lakukan? Aku nggak bisa terus kayak gini," gumamnya dalam hati.

Ketika Adrian masuk ke ruang tamu, Laras langsung berdiri. "Ad, bisa kita ngobrol bentar? Penting." Suaranya terdengar agak gemetar. Adrian ngelirik jam tangannya, tapi akhirnya dia ngangguk. "Oke, apa yang mau kamu omongin?"

Laras duduk di sofa, matanya berkaca-kaca. Dia berusaha keras untuk menahan air matanya. "Aku... Aku merasa semakin sulit untuk berhubungan dengan Bima. Dia sepertinya semakin jauh dariku, dan aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya.”

Adrian menghela napas panjang. "Mungkin dia lagi sibuk nyiapin ujian akhir. Anak kuliahan kan emang sering kayak gitu. Kamu sabar ya, sebentar lagi pasti dia lebih punya waktu buat kamu."

Laras mengangguk pelan, tapi dia tahu dalam hati bahwa masalahnya tidak sesederhana itu.

Di markas rahasia mereka, Bima bersama anak buahnya ngumpul. Wajah mereka serius, matanya berkilau penuh ambisi. "Serangan pertama udah berhasil, tapi ini baru permulaan," kata Bima, suaranya dingin. "Kita harus bikin keluarga Wijaya makin sengsara."

Dimas, anak buahnya yang paling dipercaya, nyeletuk, "Tapi gimana kalau mereka nyadar kalau ini semua ada yang ngatur?"

Bima menyeringai. "Tenang aja. Kita udah siap buat itu. Semua harus keliatan alami, kayak kebetulan aja. Nggak ada satupun yang boleh nyambungin titik-titiknya ke kita."

Laras sendiri ngerasa kayak tenggelam di lautan masalah. Setiap hari, bebannya makin berat. Jadi istri ketiga, terus Bima juga makin nggak ada waktu buat dia... rasanya dia sendirian banget. Di tengah kekacauan ini, Bima jadi satu-satunya harapan yang dia pegang tetapi mala dia tidak ada kabar sama sekali.

Di saat Laras pergi ke meja makan disana ada , Maya sama Siska lagi-lagi ngeluarin kata-kata pedesnya. "Laras, aku dengar Bima lagi sibuk banget ya? Pasti susah buat kamu ya, harus nyesuain diri sama kehidupan baru ini," kata Maya sambil nyengir sinis. Siska ikut nimbrung, "Iya, hidup di sini memang nggak semudah yang kamu bayangkan. Semoga kamu bisa cepet nyaman."

Laras cuma bisa senyum masam. Dalam hati, dia ngerasa kayak lagi diinjak-injak. Kata-kata mereka kayak pisau yang nusuk hatinya. Dia bener-bener capek, pengen kabur dari semua ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status