Di ruang rapat kantor hukum , cuma meja panjang sama kursi-kursi yang keliatan. Bima duduk paling ujung, mukanya serius kayak lagi nyusun rencananya. Di sekelilingnya ada pengacara dan anak buahnya.
"Mantap banget infonya, Bim,"kata si pengacara, sambil ngelirik-lirik kertas. "Sekarang kita harus merencanakan langkah awal untuk mengatasi keluarga Wijaya."
Bima mengangguk. "Yang pertama, kita hancurin dulu bisnis mereka. Kalau duitnya habis, mereka pasti kalang kabut."
Rafi, si ahli komputer yang dari tadi diem aja, tiba-tiba nyambung, "Gimana kalau kita retas sistem mereka? Kita sebarin gosip bohong biar klien-kliennya kabur semua."
"Bima mengerutkan kening. "Rafi, lo yakin bisa ngelabuin sistem keamanan mereka?"
"Tenang aja, bos," jawab Rafi dengan percaya diri. "Saya udah punya beberapa trik."
Bima mengetuk-ngetuk meja dengan jari, matanya fokus pada tumpukan dokumen di depannya. "Kita mulai dari bisnis utamanya, Adrian. Kalau kita bisa buktiin ada yang enggak beres di perusahaan-perusahaan itu, mereka pasti panik. Kita bikin mereka mundur selangkah demi selangkah."
Pengacara mengangguk, pulpennya menari-nari di atas kertas. "Oke, kita mulai audit internal. Cari semua bukti yang bisa kita temukan. Dan Rafi, pastikan serangan digital kita tepat sasaran. Kita harus bikin mereka kalang kabut."
Rafi menyeringai, "Tenang aja, Bos. Saya udah siapkan beberapa skenario. Dijamin mereka bakal kewalahan ngurusin masalah ini."
Bima mengangguk. "Oke, kita mulai besok. Tapi ingat, kita harus hati-hati. Keluarga Wijaya pasti punya banyak mata-mata."
Pengacara nyautin, sambil tersenyum penuh arti, "Kita harus pintar-pintar juga, ya. Jangan sampai ketahuan kalau ini ulah kita. Bikin mereka mikir kalau masalahnya dari dalam perusahaan mereka sendiri."
Sembari menatap ke luar jendela, Bima memikirkan konsekuensi dari rencananya. Dia tahu bahwa tindakannya akan membawa banyak kerusakan, tapi dia yakin ini adalah satu-satunya cara untuk membalaskan penderitaan kakanya."
Di kantor Bima, suasana kerja keras masih berlangsung. Setelah rapat dengan pengacara dan bawahannya, Bima kembali ke ruang kerjanya, di mana dia duduk di depan komputer, memeriksa hasil dari serangan digital yang baru dilakukan.
Rafi mengetuk pintu sebelum masuk, membawa laptop dan beberapa berkas. “Bos, kami sudah berhasil mengacaukan beberapa sistem bisnis mereka. Klien-klien besar mulai mengeluh, dan beberapa kontrak mulai dibatalkan.”
Bima mengangguk, tetapi ekspresinya tetap serius. “Bagus. Ini baru permulaan. Kita harus terus memantau situasi dan menyiapkan langkah berikutnya.”
Rafi mengeluarkan dokumen dari tasnya dan menyerahkannya pada Bima. “Ini adalah laporan terbaru tentang transaksi keuangan Adrian. Kami menemukan beberapa transaksi mencurigakan yang bisa jadi petunjuk penting.”
Bima menerima dokumen itu dan mulai memeriksa. “Ini bisa jadi senjata utama kita. Jika kita bisa mengungkapkan keterlibatan Adrian dalam aktivitas ilegal secara publik, itu akan memberi tekanan besar pada keluarganya.”
Rafi menambahkan, “Kami juga sudah memulai pengumpulan bukti tentang kegiatan ilegal Maya dan Siska. Ada beberapa dokumen yang bisa menjadi bukti kuat.”
Bima menatap dokumen-dokumen itu dengan teliti. “Baik. Kita harus merencanakan langkah selanjutnya dengan hati-hati. Semua ini harus berjalan dengan rapi agar kita tidak menarik perhatian.”
Sementara itu di rumah mewah Adrian, tiap hari terasa hampa dan sepi. Ketegangan dan kesepian udah jadi sahabat setianya Laras. Setiap kali dia coba hubungi Bima, rasanya kayak nelpon artis yang sangat sibuk.
Saat sore hari, Laras duduk di sofa ruang tamu, ngeliatin keluar jendela. Hujan rintik-rintik menambah suasana jadi semakin murung. Pikirannya kalut. Dia pengen banget punya teman cerita soal perasaan nggak enaknya ini, tapi gimana? Maya sama Siska itu kayak duri dalam daging. Setiap kata yang keluar dari mulut mereka tuh nyelekit banget. Laras menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata. "Apa yang harus aku lakukan? Aku nggak bisa terus kayak gini," gumamnya dalam hati.
Ketika Adrian masuk ke ruang tamu, Laras langsung berdiri. "Ad, bisa kita ngobrol bentar? Penting." Suaranya terdengar agak gemetar. Adrian ngelirik jam tangannya, tapi akhirnya dia ngangguk. "Oke, apa yang mau kamu omongin?"
Laras duduk di sofa, matanya berkaca-kaca. Dia berusaha keras untuk menahan air matanya. "Aku... Aku merasa semakin sulit untuk berhubungan dengan Bima. Dia sepertinya semakin jauh dariku, dan aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya.”
Adrian menghela napas panjang. "Mungkin dia lagi sibuk nyiapin ujian akhir. Anak kuliahan kan emang sering kayak gitu. Kamu sabar ya, sebentar lagi pasti dia lebih punya waktu buat kamu."
Laras mengangguk pelan, tapi dia tahu dalam hati bahwa masalahnya tidak sesederhana itu.
Di markas rahasia mereka, Bima bersama anak buahnya ngumpul. Wajah mereka serius, matanya berkilau penuh ambisi. "Serangan pertama udah berhasil, tapi ini baru permulaan," kata Bima, suaranya dingin. "Kita harus bikin keluarga Wijaya makin sengsara."
Dimas, anak buahnya yang paling dipercaya, nyeletuk, "Tapi gimana kalau mereka nyadar kalau ini semua ada yang ngatur?"
Bima menyeringai. "Tenang aja. Kita udah siap buat itu. Semua harus keliatan alami, kayak kebetulan aja. Nggak ada satupun yang boleh nyambungin titik-titiknya ke kita."
Laras sendiri ngerasa kayak tenggelam di lautan masalah. Setiap hari, bebannya makin berat. Jadi istri ketiga, terus Bima juga makin nggak ada waktu buat dia... rasanya dia sendirian banget. Di tengah kekacauan ini, Bima jadi satu-satunya harapan yang dia pegang tetapi mala dia tidak ada kabar sama sekali.
Di saat Laras pergi ke meja makan disana ada , Maya sama Siska lagi-lagi ngeluarin kata-kata pedesnya. "Laras, aku dengar Bima lagi sibuk banget ya? Pasti susah buat kamu ya, harus nyesuain diri sama kehidupan baru ini," kata Maya sambil nyengir sinis. Siska ikut nimbrung, "Iya, hidup di sini memang nggak semudah yang kamu bayangkan. Semoga kamu bisa cepet nyaman."
Laras cuma bisa senyum masam. Dalam hati, dia ngerasa kayak lagi diinjak-injak. Kata-kata mereka kayak pisau yang nusuk hatinya. Dia bener-bener capek, pengen kabur dari semua ini.
Pada malam hari cahaya api yang menari-nari menerangi wajah Bima yang dingin. Gudang besar itu kini hanya tinggal rangka hangus, asap hitam mengepul tebal ke langit malam. Bau hangus menyengat memenuhi udara, menjadi saksi bisu atas keberhasilan misi mereka. Rafi, tangan kanannya, mendekat, wajahnya penuh dengan kekaguman. "Bos, kita berhasil hancurin semuanya. Nggak ada satupun barang yang selamat," lapornya.Bima menatap api dengan dingin. “Bagus. Ini baru langkah awal. Kita harus memastikan bahwa kerusakan ini menyebabkan dampak yang signifikan.”katanya dengan nada mengancam. "Bikin Adrian tambah panik. Dia harus merasakan penderitaan Laras" Tambahnya dengan suara yang sangat dingin Rafi mengangguk. “Kami sudah menyebarkan berita tentang kebakaran ini ke media lokal. Ini akan menambah tekanan pada Adrian dan membuatnya semakin khawatir.”Bima memerintahkan timnya untuk meninggalkan lokasi dengan cepat, menghindari terdeteksi oleh pihak berwenang atau media. “Kita harus tetap menj
Laras merasa semakin tertekan. Ia berdiri di jendela kamarnya, memandang ke luar, memikirkan situasinya. Kepalanya terasa berat karena banyaknya beban yang harus dia tanggung. Menghadapi kesulitan dalam pernikahannya dan ketegangan di rumah membuatnya merasa seperti berada di tepi jurang.Di ruang makan, Maya dan Siska berbicara dengan nada yang penuh sindiran. Maya, sambil menyajikan teh, mengatakan, “Siska, apakah kamu sudah mendengar tentang masalah baru Adrian? Sepertinya dia benar-benar tidak beruntung akhir-akhir ini.”Siska menambahkan, “Ya, dan kita semua tahu betapa rentannya posisinya sekarang. Sepertinya banyak masalah yang datang bersamaan.”Laras mendengarkan percakapan mereka dari jarak jauh, merasa terasing. Dia tahu bahwa Maya dan Siska bukan hanya memperhatikan situasi dari jauh tetapi juga mungkin mencoba untuk mengambil keuntungan dari kekacauan tersebut.Laras merasa semakin terjepit di tengah situasi yang tidak pernah dia bayangkan. Setiap hari, dia berusaha berad
Laras mulai merasa ada sesuatu yang salah di rumahnya dan dalam kehidupan sehari-harinya. Seiring dengan kerugian yang dialami keluarga Wijaya dan ketegangan yang terus meningkat, dia merasakan ada pola yang tidak bisa dia abaikan. Beberapa minggu terakhir, dia merasa semakin terasing, dan kecemasan menyelimuti pikirannya.Saat Laras duduk sendirian di ruang tamu, dia mulai memeriksa berbagai berita dan laporan tentang bisnis keluarga Wijaya. Di tangan Laras ada beberapa potongan kertas yang dia kumpulkan, yang menunjukkan pola kerusakan yang terus berulang dan terkoordinasi.“Kenapa ini semua terjadi?” gumam Laras sambil membaca laporan terbaru. “Ada yang tidak beres di sini.”Laras mulai merasa ada sesuatu yang salah di rumahnya dan dalam kehidupan sehari-harinya. Seiring dengan kerugian yang dialami keluarga Wijaya dan ketegangan yang terus meningkat, dia merasakan ada pola yang tidak bisa dia abaikan. Beberapa minggu terakhir, dia merasa semakin terasing, dan kecemasan menyelimuti
Bima duduk di dalam mobil hitam yang diparkir di tepi jalan, mengawasi rumah Adrian dari kejauhan. Malam itu, hujan turun deras, memantulkan cahaya lampu jalan di aspal basah. Hatinya berdebar tak karuan, pikirannya dipenuhi oleh pertentangan. Selama ini, dia telah fokus pada rencananya untuk menghancurkan keluarga Wijaya demi membebaskan Laras dari penderitaan. Namun, dia mulai merasakan keraguan yang mengganggu tekadnya.Di sebuah gudang terpencil, Bima bertemu dengan beberapa anak buahnya. Mereka melaporkan kemajuan sabotase terhadap bisnis Adrian.“Semuanya berjalan sesuai rencana, Bos. Keluarga Wijaya mulai merasakan tekanan. Tidak lama lagi mereka akan jatuh,” lapor salah satu anak buahnya dengan nada yakin.Bima mendengarkan dengan seksama, tetapi pikirannya melayang ke arah Laras. Dia teringat betapa rapuhnya kakaknya saat terakhir kali mereka berbicara. Meski niatnya adalah melindungi Laras, Bima kini bertanya-tanya apakah tindakan yang diambilnya justru akan membawa lebih ba
Laras tidak bisa mengabaikan firasat buruk yang terus menghantuinya. Ada sesuatu yang tidak beres, dan dia semakin yakin bahwa Bima terlibat dalam kekacauan yang kini sedang melanda kehidupan Adrian.Suatu hari, ketika sedang membereskan barang-barang di ruang kerja Adrian, Laras menemukan dokumen-dokumen yang mencurigakan. Ada beberapa transaksi besar yang tidak pernah dia dengar sebelumnya, dan sebagian besar terkait dengan bisnis-bisnis yang tidak pernah disebutkan Adrian di hadapannya. Ada juga nama-nama perusahaan yang tidak asing baginya, dan salah satunya ternyata terkait dengan salah satu kontak Bima."Kenapa nama ini muncul di sini?" Laras bergumam dengan kening berkerut. Sebuah petunjuk yang tak disengaja membawa pikirannya kembali pada Bima. Perasaannya semakin tidak tenang.Laras mulai menyelidiki lebih lanjut, menghubungi beberapa orang yang dia kenal untuk mencari tahu lebih banyak tentang bisnis Adrian yang mencurigakan. Dia juga mulai mengumpulkan informasi tentang pe
Selama beberapa hari terakhir, Laras terus mencoba menghubungi Bima, namun selalu tidak ada balasan. Ia merasakan ada yang tidak beres, dan nalurinya mendorongnya untuk mencari tahu lebih dalam.Laras memutuskan untuk bergerak. Tidak mungkin dia hanya duduk diam sementara kekhawatiran terus menghantui pikirannya. Dia tahu bahwa Bima memiliki beberapa teman dekat di kota ini, orang-orang yang mungkin bisa memberinya petunjuk tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dengan niat bulat, Laras mengambil kunci mobilnya dan meninggalkan rumah Adrian, menuju ke tempat yang mungkin menyimpan jawaban yang dia cari.Di sebuah kafe kecil yang biasa dikunjungi Bima, Laras bertemu dengan Toni, seorang teman lama Bima yang pernah dia temui beberapa kali. Toni terlihat gugup saat melihat Laras mendekatinya. Mereka berbasa-basi sejenak sebelum Laras langsung menanyakan tentang Bima.“Sudah lama aku tidak melihat Bima,” kata Laras hati-hati. “Dia akhir-akhir ini sulit dihubungi. Kamu tahu dia sibuk dengan
Setelah pertemuan yang emosional dengan Bima, Laras pulang ke rumah dengan perasaan hancur. Dia merasa dunia yang dia kenal perlahan runtuh, dan kini, bahkan adik yang paling ia percayai ternyata menyimpan rahasia besar darinya. Setibanya di rumah, Laras duduk di ruang tamu yang sepi. Pikirannya terus berputar, mencoba memahami apa yang harus dia lakukan selanjutnya.Maya dan Siska, seperti biasa, terlihat sibuk dengan aktivitas mereka sendiri. Namun, keheningan Laras tidak luput dari perhatian mereka. Maya menatap Laras dengan mata yang penuh dengan rasa ingin tahu, sementara Siska hanya tersenyum tipis, seolah menikmati kegelisahan yang jelas terlihat di wajah Laras.“Laras, kamu terlihat pucat sekali. Ada apa? Jangan bilang kamu punya masalah baru?” Maya bertanya dengan nada sinis.Siska menimpali, “Oh, jangan-jangan dia bertengkar dengan adiknya lagi. Kasihan sekali, begitu banyak beban yang harus ditanggung.”Laras hanya diam, tidak memiliki tenaga untuk merespon sindiran mereka.
Laras memutuskan untuk menghampiri lagi Bima setelah mengetahui keterlibatan adiknya dalam jaringan kriminal semakin jauh.pada sore hari, Laras mendapati Bima sedang duduk di ruang tamu apartemenya, menatap jendela dengan tatapan kosong. Laras mengambil napas dalam-dalam dan duduk di sebelahnya. “Bima, kita perlu berbicara.”Bima menoleh, matanya menunjukkan kelelahan dan kesedihan. “Apa yang ingin kamu bicarakan, Kak?”“Kenapa kamu tidak memberitahuku tentang semua ini?” Laras bertanya dengan nada yang penuh emosi. “Aku baru saja mengetahui semua keterlibatanmu dalam dunia kriminal. Aku merasa dikhianati.”Bima menghindari tatapan Laras dan menghela napas. “Aku tidak ingin kamu terlibat dalam semua ini. Aku berusaha untuk melindungimu dengan menjauhkanmu dari masalah ini. Aku tahu ini salah, tapi aku hanya ingin melindungimu.Laras merasakan amarah dan kekecewaan yang mendalam, tetapi dia juga berusaha untuk memahami alasan Bima. “Tapi kamu tahu betapa beratnya beban ini bagiku. Aku