Langit pagi di pelabuhan tampak mendung, seolah alam mengetahui bahwa pertempuran akan segera terjadi. Suara deru ombak bercampur dengan suara langkah kaki yang tergesa-gesa, membuat suasana semakin tegang. Di antara deretan kontainer yang menjulang, Bima, Adrian, Reza, dan tim mereka berdiri dengan penuh kewaspadaan.Bima merapatkan jaket hitamnya, tatapannya lurus ke depan. "Ini adalah kesempatan terakhir kita untuk menghancurkan Tanaka sebelum dia sempat menyerang lagi."Adrian, berdiri di samping Bima, menghela napas panjang. Meskipun matanya penuh kelelahan, semangat bertarungnya masih menyala. "Kita harus berhati-hati. Tanaka pasti sudah mempersiapkan pertahanan yang kuat."Reza dan Yusuf memimpin persiapan lapangan. Reza, dengan pengalaman taktisnya, membagi tim menjadi beberapa kelompok kecil. Yusuf, di sisi lain, memantau jaringan komunikasi untuk memastikan bahwa tidak ada kejutan dari pihak Tanaka."Tim satu dan dua akan menyusup dari sisi utara," kata Reza sambil menunjukk
Pagi itu, sinar matahari menelusup melalui celah-celah tirai jendela ruang makan, menerangi meja panjang yang hanya dihuni oleh tiga sosok wanita. Laras duduk diam, matanya tertuju pada cangkir teh di depannya. Di seberang meja, Maya dan Siska, kedua istri Adrian lainnya, sibuk dengan sarapan mereka. Percakapan di antara mereka terdengar singkat dan dingin."Laras," suara Maya memecah keheningan, "kamu tidak pernah keluar dari kamar selain saat sarapan. Apa kau tidak bosan?" Senyuman tipisnya tidak sampai ke mata.Laras mengangkat wajah, memberikan senyum sopan yang terasa dipaksakan. "Aku hanya tidak ingin mengganggu."Siska menyeringai kecil, matanya menilai. "Kau ini terlalu pemalu. Jangan khawatir, kami tidak akan menggigit."Laras menundukkan pandangan, tidak berniat memperpanjang percakapan. Sudah satu tahun ia menjalani kehidupan ini menjadi istri ketiga Adrian Wijaya. Meskipun ia telah mendapatkan keamanan finansial untuk Bima adiknya, pernikahan ini tidak pernah memberikan ke
Mereka tertawa bersama, suara mereka cukup pelan untuk tidak menarik perhatian orang lain, tapi cukup keras untuk Laras mendengar percakapan itu. Hatinya mencelos, namun ia mencoba tetap tenang dan tidak menunjukkan reaksi apa pun. Laras tahu bahwa bisikan-bisikan semacam ini akan selalu ada, tapi tidak pernah mudah untuk diabaikan.Tak jauh dari sana, Maya dan Siska juga mendengar percakapan itu. Maya menukar pandangan cepat dengan Siska, sebuah isyarat yang tak perlu kata-kata. Mereka berdua tahu bahwa gosip ini bisa menjadi senjata yang ampuh untuk menekan Laras di masa mendatang."Lihatlah, Siska," bisik Maya dengan nada licik. "Gosip sudah mulai menyebar. Sepertinya kita tidak perlu repot-repot menciptakan cerita. Orang-orang sudah melakukannya untuk kita."Siska tersenyum tipis. "Ya, tinggal bagaimana kita menggunakannya saja. Ini akan menjadi menarik."Saat Laras berjalan menuju tempat duduk yang telah disiapkan, Siska mendekatinya. "Kau harus lebih sering tampil di acara-acara
Saat malam tiba, Laras duduk sendirian di ruang tamu, menatap jendela yang menghadap ke luar rumah. Pikirannya melayang ke Bima, dan dia merasa semakin kesepian. Teleponnya bergetar, mengingatkannya pada transfer uang yang baru saja dia lakukan untuk Bima.Ia menerima pesan singkat dari Bima: "Terima kasih, Kak. Aku sangat menghargai semua yang kau lakukan. Bagaimana kabarmu?"Laras membalas dengan cepat: "Aku baik-baik saja, hanya sedikit lelah. Aku berharap kau baik-baik saja di sana."Bima membalas dengan pesan singkat namun penuh kasih: "Aku baik, terima kasih. Jangan terlalu membebani dirimu. Aku tahu kau melakukan banyak untukku."Laras menatap layar teleponnya, merasakan air mata menggenang di matanya. Setiap kali dia melihat Bima bahagia dan sukses, dia merasa bangga, namun juga sedih karena harus mengorbankan kebahagiaannya sendiri.Hari berikutnya, tekanan dari Maya dan Siska semakin meningkat. Mereka mulai mengatur pertemuan sosial tanpa melibatkan Laras, mengabaikannya dal
Bima Kusuma menjalani dua kehidupan yang sangat berbeda. Di satu sisi, dia adalah mahasiswa yang rajin, dikenal dengan kepintaran dan ketajaman pikirannya di kampus. Namun, di balik penampilan akademisnya yang rapi, Bima juga menjalani kehidupan sebagai tangan kanan bos mafia terkemuka di kota.Pagi itu, Bima memasuki ruang kuliah dengan senyum tipis. Ia menyusun buku-bukunya dengan rapi, berusaha menyembunyikan lingkaran hitam di bawah matanya. Di kelas, ia aktif berdiskusi, memberikan pendapat yang cerdas, dan menjawab pertanyaan dosen dengan percaya diri.“Bima, kau selalu punya jawaban yang tepat,” puji dosen dalam kuliah Ekonomi. “Apa rahasianya?”Bima tersenyum singkat, “Hanya berusaha untuk memahami materi dengan baik. Terima kasih, Profesor.”Setelah pulang dari kuliah Bima pergi ke suatu tempat di sisi lain kota, suasana di sana sangat berbeda, penuh dengan ketegangan. Bima dikenal karena sikapnya yang dingin dan tegas. Ia sering memimpin operasi-operasi penting dengan sangat
Bima duduk di ruang kerjanya yang tenang, memeriksa dokumen dan laporan dari berbagai operasi mafia. Malam itu, pikirannya tidak sepenuhnya fokus pada pekerjaan. Setiap kali dia memikirkan Laras, hatinya terasa berat. Untuk menjaga jarak dan memastikan keselamatan Laras, Bima baru-baru ini menugaskan salah satu bawahannya untuk memantau situasi dari jauh.Ketika seorang bawahannya, Rizal, memasuki ruangan dengan ekspresi serius, Bima langsung merasakan ada sesuatu yang penting.“Rizal, ada apa?” tanya Bima, menatap bawahannya dengan penuh perhatian.Rizal duduk di depan meja Bima dan mengeluarkan sebuah laporan. “Bos, aku baru saja mendapatkan informasi tentang situasi Laras.”Bima mengerutkan dahi. “Apa yang terjadi?”Rizal mulai menjelaskan. “Aku telah mengawasi Laras dari jarak jauh, seperti yang Anda minta. Aku mendengar percakapan antara Laras dan beberapa anggota keluarga Wijaya. Aku juga mendengar desas-desus tentang bagaimana Adrian menikahi Laras hanya untuk memiliki anak saj
Di ruang kerja Bima yang terletak di apartemennya, Bima melihat berbagai dokumen. Dia membuka dokumen yang berisi informasi mengenai beberapa bisnis ilegal yang dimiliki Adrian.Sambil menyisir data yang ada, Bima menemukan beberapa transaksi mencurigakan dan laporan keuangan yang menunjukkan adanya kegiatan ilegal. Setiap bukti yang dia temukan menambah daftar panjang pelanggaran hukum yang dilakukan Adrian.Bima memindai dokumen-dokumen tersebut dengan seksama. “Jadi, Adrian terlibat dalam lebih banyak hal daripada yang terlihat di permukaan,” gumamnya pada diri sendiri. “Bisnis-bisnis ini bisa membuatnya sangat rentan jika informasi ini jatuh ke tangan yang salah.”Saat Bima melanjutkan pencariannya, dia mulai menemukan informasi tambahan mengenai Maya dan Siska. Ternyata, keduanya memiliki hubungan dengan beberapa perusahaan cuci uang yang juga terhubung dengan jaringan bisnis ilegal Adrian. Rahasia ini bisa menjadi senjata berharga jika digunakan dengan tepat.“Menarik,” kata Bim
Di ruang rapat kantor hukum , cuma meja panjang sama kursi-kursi yang keliatan. Bima duduk paling ujung, mukanya serius kayak lagi nyusun rencananya. Di sekelilingnya ada pengacara dan anak buahnya."Mantap banget infonya, Bim,"kata si pengacara, sambil ngelirik-lirik kertas. "Sekarang kita harus merencanakan langkah awal untuk mengatasi keluarga Wijaya."Bima mengangguk. "Yang pertama, kita hancurin dulu bisnis mereka. Kalau duitnya habis, mereka pasti kalang kabut."Rafi, si ahli komputer yang dari tadi diem aja, tiba-tiba nyambung, "Gimana kalau kita retas sistem mereka? Kita sebarin gosip bohong biar klien-kliennya kabur semua.""Bima mengerutkan kening. "Rafi, lo yakin bisa ngelabuin sistem keamanan mereka?""Tenang aja, bos," jawab Rafi dengan percaya diri. "Saya udah punya beberapa trik."Bima mengetuk-ngetuk meja dengan jari, matanya fokus pada tumpukan dokumen di depannya. "Kita mulai dari bisnis utamanya, Adrian. Kalau kita bisa buktiin ada yang enggak beres di perusahaan-pe