Saat malam tiba, Laras duduk sendirian di ruang tamu, menatap jendela yang menghadap ke luar rumah. Pikirannya melayang ke Bima, dan dia merasa semakin kesepian. Teleponnya bergetar, mengingatkannya pada transfer uang yang baru saja dia lakukan untuk Bima.
Ia menerima pesan singkat dari Bima: "Terima kasih, Kak. Aku sangat menghargai semua yang kau lakukan. Bagaimana kabarmu?"
Laras membalas dengan cepat: "Aku baik-baik saja, hanya sedikit lelah. Aku berharap kau baik-baik saja di sana."
Bima membalas dengan pesan singkat namun penuh kasih: "Aku baik, terima kasih. Jangan terlalu membebani dirimu. Aku tahu kau melakukan banyak untukku."
Laras menatap layar teleponnya, merasakan air mata menggenang di matanya. Setiap kali dia melihat Bima bahagia dan sukses, dia merasa bangga, namun juga sedih karena harus mengorbankan kebahagiaannya sendiri.
Hari berikutnya, tekanan dari Maya dan Siska semakin meningkat. Mereka mulai mengatur pertemuan sosial tanpa melibatkan Laras, mengabaikannya dalam perencanaan dan keputusan yang berkaitan dengan acara keluarga. Laras merasakan perbedaan yang jelas dalam sikap mereka, yang semakin mempertegas posisinya sebagai outsider di rumah itu.
Di ruang tamu, Maya dan Siska sedang berdiskusi tentang acara malam berikutnya saat Laras masuk.
"Kita harus memastikan semua detail acara berjalan dengan sempurna," kata Maya dengan penuh semangat. "Dan Laras, pastikan kau tidak membuat kesalahan."
Siska menambahkan dengan nada sarkastis, "Ya, Laras. Kau harus benar-benar memperhatikan. Kami tidak ingin ada hal yang mencoreng reputasi keluarga."
Laras merasakan lidahnya terasa kering. "Tentu, aku akan pastikan semuanya sesuai dengan yang diharapkan."
Setelah mereka pergi, Laras duduk di sofa dan menutup matanya sejenak. Beban mental dari pengorbanan yang terus dilakukannya semakin terasa. Hidupnya seakan-akan terikat pada harapan dan ekspektasi orang lain, sementara kebahagiaan pribadinya semakin menjauh.
Dalam hatinya, Laras bertanya-tanya berapa lama dia bisa terus seperti ini. Meski setiap harinya dipenuhi dengan tugas dan tanggung jawab, tidak ada satu pun yang memberikan kepuasan atau kebahagiaan sejati. Semua terasa kosong dan suram, meninggalkan Laras dengan rasa kesepian yang mendalam.
Saat malam hari, setelah makan malam, Adrian menghampiri Laras yang sedang duduk sendirian di teras belakang rumah. Laras sedang menatap bintang-bintang dengan tatapan kosong, merasa terasing dalam kesunyian.
"Lar," panggil Adrian lembut, melangkah mendekat. "Bisa kita bicara sebentar?"
Laras terkejut, namun ia mengangguk. "Tentu, Adrian. Ada apa?"
Adrian duduk di samping Laras, mencoba terlihat lebih dekat daripada biasanya. "Aku ingin berbicara tentang kita. Aku merasa kita semakin jauh. Mungkin ada sesuatu yang bisa kita perbaiki."
Laras merasakan hatinya berdebar. "Aku juga merasa ada jarak antara kita. Tapi, apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaikinya?"
Adrian mengambil tangan Laras dengan lembut. "Aku berpikir bahwa mungkin kita bisa mulai lebih sering menghabiskan waktu bersama, seperti yang kita lakukan ketika awal pernikahan."
Laras merasa campur aduk antara harapan dan ketidakpastian. "Itu terdengar bagus. Aku hanya berharap ini bukan sekadar sementara."
Adrian tersenyum tipis. "Aku ingin ini menjadi lebih dari sekadar basa-basi. Aku ingin memastikan kau merasa bahagia di sini."
Namun, kehangatan yang ditunjukkan Adrian tampaknya lebih dari sekadar perbaikan hubungan. Laras mulai merasakan bahwa perhatian ini memiliki tujuan lain. Semakin sering Adrian menunjukkan rasa sayangnya, semakin Laras merasa ada sesuatu yang disembunyikan.
Keesokan harinya, Maya dan Siska mulai memperhatikan perubahan ini dengan cermat. Mereka berkumpul di ruang tamu, berbicara dalam bisikan penuh kepentingan.
"Maya, apakah kau melihat bagaimana Adrian memperlakukan Laras belakangan ini?" tanya Siska, dengan nada penuh kekhawatiran.
Maya mengangguk. "Ya, aku perhatikan. Dia tampaknya sangat fokus pada Laras akhir-akhir ini. Itu membuatku merasa tidak nyaman."
Siska menyeringai tipis. "Jika Laras hamil, itu akan menjadi masalah besar bagi kita. Adrian jelas ingin keturunan dari pernikahan ini, dan jika itu terjadi, posisimu bisa terancam."
Maya mengerutkan kening. "Kita harus berhati-hati. Jangan sampai ada yang salah. Jika Laras hamil, kita harus siap dengan strategi untuk memastikan posisimu tetap aman."
Ketika Laras kembali ke kamarnya, perasaannya semakin kacau. Ia menerima pesan dari seorang teman yang mengatakan bahwa dia mendengar desas-desus tentang alasan di balik pernikahannya dengan Adrian. Temannya mengatakan bahwa Adrian sebenarnya menikahinya hanya untuk mendapatkan keturunan, dan tidak ada rasa cinta di antara mereka.
Laras terkejut dan merasa hatinya hancur. Ia bertanya-tanya seberapa banyak dari apa yang dia alami selama ini adalah kebohongan. Menghadapi kenyataan ini, Laras merasa dihantui oleh rasa pengkhianatan dan ketidakpastian.
Saat malam tiba, Laras menemukan Adrian duduk di ruang tamu, tampak gelisah. Dia mendekati Adrian dengan penuh keberanian.
"Adrian," suara Laras bergetar, "aku... aku mendengar sesuatu yang membuatku bingung. Apakah benar kau menikahiku hanya karena ingin memiliki anak?
Adrian menatap Laras dengan ekspresi terkejut. "Lar, itu bukan apa yang kau pikirkan. Aku....."
"Adrian, aku tidak menyangka kau akan melakukan ini padaku. Aku selalu percaya padamu. Tapi, sekarang aku merasa seperti orang bodoh. Apa selama ini kau hanya berpura-pura mencintaiku?"
Adrian menghela napas panjang. "Sebenarnya, iya. Aku menikahimu karena kebutuhan akan keturunan, tapi itu bukan berarti aku tidak menghargaimu. Aku merasa terjebak dalam situasi ini, tapi aku tidak ingin menyakitimu."
Laras merasakan hatinya hancur mendengar pengakuan itu. "Jadi, semua perhatian ini, hanya untuk mencapai tujuan itu?"
Adrian mengangguk dengan berat hati. "Maaf, Laras. Aku tidak bermaksud membuatmu merasa seperti ini. Aku hanya mencoba melakukan yang terbaik dalam situasi ini."
Laras merasa marah dan kecewa. "Aku merasa ditipu. Aku tidak tahu bagaimana harus merespons. Semua ini membuatku merasa lebih tertekan."
Adrian mencoba mendekat, namun Laras mundur dan berkata dengan air mata yang mulai mengalir di pipinya . "Aku butuh waktu untuk berpikir."
Setelah percakapan yang menyakitkan itu, Laras kembali ke kamarnya dengan perasaan campur aduk. Ketika dia berbaring di ranjangnya, pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan tentang masa depannya dan perasaannya. Terasa semakin jelas bahwa pernikahan ini bukanlah apa yang dia bayangkan, dan dia harus menemukan cara untuk menghadapi kenyataan ini.
Bima Kusuma menjalani dua kehidupan yang sangat berbeda. Di satu sisi, dia adalah mahasiswa yang rajin, dikenal dengan kepintaran dan ketajaman pikirannya di kampus. Namun, di balik penampilan akademisnya yang rapi, Bima juga menjalani kehidupan sebagai tangan kanan bos mafia terkemuka di kota.Pagi itu, Bima memasuki ruang kuliah dengan senyum tipis. Ia menyusun buku-bukunya dengan rapi, berusaha menyembunyikan lingkaran hitam di bawah matanya. Di kelas, ia aktif berdiskusi, memberikan pendapat yang cerdas, dan menjawab pertanyaan dosen dengan percaya diri.“Bima, kau selalu punya jawaban yang tepat,” puji dosen dalam kuliah Ekonomi. “Apa rahasianya?”Bima tersenyum singkat, “Hanya berusaha untuk memahami materi dengan baik. Terima kasih, Profesor.”Setelah pulang dari kuliah Bima pergi ke suatu tempat di sisi lain kota, suasana di sana sangat berbeda, penuh dengan ketegangan. Bima dikenal karena sikapnya yang dingin dan tegas. Ia sering memimpin operasi-operasi penting dengan sangat
Bima duduk di ruang kerjanya yang tenang, memeriksa dokumen dan laporan dari berbagai operasi mafia. Malam itu, pikirannya tidak sepenuhnya fokus pada pekerjaan. Setiap kali dia memikirkan Laras, hatinya terasa berat. Untuk menjaga jarak dan memastikan keselamatan Laras, Bima baru-baru ini menugaskan salah satu bawahannya untuk memantau situasi dari jauh.Ketika seorang bawahannya, Rizal, memasuki ruangan dengan ekspresi serius, Bima langsung merasakan ada sesuatu yang penting.“Rizal, ada apa?” tanya Bima, menatap bawahannya dengan penuh perhatian.Rizal duduk di depan meja Bima dan mengeluarkan sebuah laporan. “Bos, aku baru saja mendapatkan informasi tentang situasi Laras.”Bima mengerutkan dahi. “Apa yang terjadi?”Rizal mulai menjelaskan. “Aku telah mengawasi Laras dari jarak jauh, seperti yang Anda minta. Aku mendengar percakapan antara Laras dan beberapa anggota keluarga Wijaya. Aku juga mendengar desas-desus tentang bagaimana Adrian menikahi Laras hanya untuk memiliki anak saj
Di ruang kerja Bima yang terletak di apartemennya, Bima melihat berbagai dokumen. Dia membuka dokumen yang berisi informasi mengenai beberapa bisnis ilegal yang dimiliki Adrian.Sambil menyisir data yang ada, Bima menemukan beberapa transaksi mencurigakan dan laporan keuangan yang menunjukkan adanya kegiatan ilegal. Setiap bukti yang dia temukan menambah daftar panjang pelanggaran hukum yang dilakukan Adrian.Bima memindai dokumen-dokumen tersebut dengan seksama. “Jadi, Adrian terlibat dalam lebih banyak hal daripada yang terlihat di permukaan,” gumamnya pada diri sendiri. “Bisnis-bisnis ini bisa membuatnya sangat rentan jika informasi ini jatuh ke tangan yang salah.”Saat Bima melanjutkan pencariannya, dia mulai menemukan informasi tambahan mengenai Maya dan Siska. Ternyata, keduanya memiliki hubungan dengan beberapa perusahaan cuci uang yang juga terhubung dengan jaringan bisnis ilegal Adrian. Rahasia ini bisa menjadi senjata berharga jika digunakan dengan tepat.“Menarik,” kata Bim
Di ruang rapat kantor hukum , cuma meja panjang sama kursi-kursi yang keliatan. Bima duduk paling ujung, mukanya serius kayak lagi nyusun rencananya. Di sekelilingnya ada pengacara dan anak buahnya."Mantap banget infonya, Bim,"kata si pengacara, sambil ngelirik-lirik kertas. "Sekarang kita harus merencanakan langkah awal untuk mengatasi keluarga Wijaya."Bima mengangguk. "Yang pertama, kita hancurin dulu bisnis mereka. Kalau duitnya habis, mereka pasti kalang kabut."Rafi, si ahli komputer yang dari tadi diem aja, tiba-tiba nyambung, "Gimana kalau kita retas sistem mereka? Kita sebarin gosip bohong biar klien-kliennya kabur semua.""Bima mengerutkan kening. "Rafi, lo yakin bisa ngelabuin sistem keamanan mereka?""Tenang aja, bos," jawab Rafi dengan percaya diri. "Saya udah punya beberapa trik."Bima mengetuk-ngetuk meja dengan jari, matanya fokus pada tumpukan dokumen di depannya. "Kita mulai dari bisnis utamanya, Adrian. Kalau kita bisa buktiin ada yang enggak beres di perusahaan-pe
Pada malam hari cahaya api yang menari-nari menerangi wajah Bima yang dingin. Gudang besar itu kini hanya tinggal rangka hangus, asap hitam mengepul tebal ke langit malam. Bau hangus menyengat memenuhi udara, menjadi saksi bisu atas keberhasilan misi mereka. Rafi, tangan kanannya, mendekat, wajahnya penuh dengan kekaguman. "Bos, kita berhasil hancurin semuanya. Nggak ada satupun barang yang selamat," lapornya.Bima menatap api dengan dingin. “Bagus. Ini baru langkah awal. Kita harus memastikan bahwa kerusakan ini menyebabkan dampak yang signifikan.”katanya dengan nada mengancam. "Bikin Adrian tambah panik. Dia harus merasakan penderitaan Laras" Tambahnya dengan suara yang sangat dingin Rafi mengangguk. “Kami sudah menyebarkan berita tentang kebakaran ini ke media lokal. Ini akan menambah tekanan pada Adrian dan membuatnya semakin khawatir.”Bima memerintahkan timnya untuk meninggalkan lokasi dengan cepat, menghindari terdeteksi oleh pihak berwenang atau media. “Kita harus tetap menj
Laras merasa semakin tertekan. Ia berdiri di jendela kamarnya, memandang ke luar, memikirkan situasinya. Kepalanya terasa berat karena banyaknya beban yang harus dia tanggung. Menghadapi kesulitan dalam pernikahannya dan ketegangan di rumah membuatnya merasa seperti berada di tepi jurang.Di ruang makan, Maya dan Siska berbicara dengan nada yang penuh sindiran. Maya, sambil menyajikan teh, mengatakan, “Siska, apakah kamu sudah mendengar tentang masalah baru Adrian? Sepertinya dia benar-benar tidak beruntung akhir-akhir ini.”Siska menambahkan, “Ya, dan kita semua tahu betapa rentannya posisinya sekarang. Sepertinya banyak masalah yang datang bersamaan.”Laras mendengarkan percakapan mereka dari jarak jauh, merasa terasing. Dia tahu bahwa Maya dan Siska bukan hanya memperhatikan situasi dari jauh tetapi juga mungkin mencoba untuk mengambil keuntungan dari kekacauan tersebut.Laras merasa semakin terjepit di tengah situasi yang tidak pernah dia bayangkan. Setiap hari, dia berusaha berad
Laras mulai merasa ada sesuatu yang salah di rumahnya dan dalam kehidupan sehari-harinya. Seiring dengan kerugian yang dialami keluarga Wijaya dan ketegangan yang terus meningkat, dia merasakan ada pola yang tidak bisa dia abaikan. Beberapa minggu terakhir, dia merasa semakin terasing, dan kecemasan menyelimuti pikirannya.Saat Laras duduk sendirian di ruang tamu, dia mulai memeriksa berbagai berita dan laporan tentang bisnis keluarga Wijaya. Di tangan Laras ada beberapa potongan kertas yang dia kumpulkan, yang menunjukkan pola kerusakan yang terus berulang dan terkoordinasi.“Kenapa ini semua terjadi?” gumam Laras sambil membaca laporan terbaru. “Ada yang tidak beres di sini.”Laras mulai merasa ada sesuatu yang salah di rumahnya dan dalam kehidupan sehari-harinya. Seiring dengan kerugian yang dialami keluarga Wijaya dan ketegangan yang terus meningkat, dia merasakan ada pola yang tidak bisa dia abaikan. Beberapa minggu terakhir, dia merasa semakin terasing, dan kecemasan menyelimuti
Bima duduk di dalam mobil hitam yang diparkir di tepi jalan, mengawasi rumah Adrian dari kejauhan. Malam itu, hujan turun deras, memantulkan cahaya lampu jalan di aspal basah. Hatinya berdebar tak karuan, pikirannya dipenuhi oleh pertentangan. Selama ini, dia telah fokus pada rencananya untuk menghancurkan keluarga Wijaya demi membebaskan Laras dari penderitaan. Namun, dia mulai merasakan keraguan yang mengganggu tekadnya.Di sebuah gudang terpencil, Bima bertemu dengan beberapa anak buahnya. Mereka melaporkan kemajuan sabotase terhadap bisnis Adrian.“Semuanya berjalan sesuai rencana, Bos. Keluarga Wijaya mulai merasakan tekanan. Tidak lama lagi mereka akan jatuh,” lapor salah satu anak buahnya dengan nada yakin.Bima mendengarkan dengan seksama, tetapi pikirannya melayang ke arah Laras. Dia teringat betapa rapuhnya kakaknya saat terakhir kali mereka berbicara. Meski niatnya adalah melindungi Laras, Bima kini bertanya-tanya apakah tindakan yang diambilnya justru akan membawa lebih ba