Share

Bab 3

Saat malam tiba, Laras duduk sendirian di ruang tamu, menatap jendela yang menghadap ke luar rumah. Pikirannya melayang ke Bima, dan dia merasa semakin kesepian. Teleponnya bergetar, mengingatkannya pada transfer uang yang baru saja dia lakukan untuk Bima.

Ia menerima pesan singkat dari Bima: "Terima kasih, Kak. Aku sangat menghargai semua yang kau lakukan. Bagaimana kabarmu?"

Laras membalas dengan cepat: "Aku baik-baik saja, hanya sedikit lelah. Aku berharap kau baik-baik saja di sana."

Bima membalas dengan pesan singkat namun penuh kasih: "Aku baik, terima kasih. Jangan terlalu membebani dirimu. Aku tahu kau melakukan banyak untukku."

Laras menatap layar teleponnya, merasakan air mata menggenang di matanya. Setiap kali dia melihat Bima bahagia dan sukses, dia merasa bangga, namun juga sedih karena harus mengorbankan kebahagiaannya sendiri.

Hari berikutnya, tekanan dari Maya dan Siska semakin meningkat. Mereka mulai mengatur pertemuan sosial tanpa melibatkan Laras, mengabaikannya dalam perencanaan dan keputusan yang berkaitan dengan acara keluarga. Laras merasakan perbedaan yang jelas dalam sikap mereka, yang semakin mempertegas posisinya sebagai outsider di rumah itu.

Di ruang tamu, Maya dan Siska sedang berdiskusi tentang acara malam berikutnya saat Laras masuk.

"Kita harus memastikan semua detail acara berjalan dengan sempurna," kata Maya dengan penuh semangat. "Dan Laras, pastikan kau tidak membuat kesalahan."

Siska menambahkan dengan nada sarkastis, "Ya, Laras. Kau harus benar-benar memperhatikan. Kami tidak ingin ada hal yang mencoreng reputasi keluarga."

Laras merasakan lidahnya terasa kering. "Tentu, aku akan pastikan semuanya sesuai dengan yang diharapkan."

Setelah mereka pergi, Laras duduk di sofa dan menutup matanya sejenak. Beban mental dari pengorbanan yang terus dilakukannya semakin terasa. Hidupnya seakan-akan terikat pada harapan dan ekspektasi orang lain, sementara kebahagiaan pribadinya semakin menjauh.

Dalam hatinya, Laras bertanya-tanya berapa lama dia bisa terus seperti ini. Meski setiap harinya dipenuhi dengan tugas dan tanggung jawab, tidak ada satu pun yang memberikan kepuasan atau kebahagiaan sejati. Semua terasa kosong dan suram, meninggalkan Laras dengan rasa kesepian yang mendalam.

Saat malam hari, setelah makan malam, Adrian menghampiri Laras yang sedang duduk sendirian di teras belakang rumah. Laras sedang menatap bintang-bintang dengan tatapan kosong, merasa terasing dalam kesunyian.

"Lar," panggil Adrian lembut, melangkah mendekat. "Bisa kita bicara sebentar?"

Laras terkejut, namun ia mengangguk. "Tentu, Adrian. Ada apa?"

Adrian duduk di samping Laras, mencoba terlihat lebih dekat daripada biasanya. "Aku ingin berbicara tentang kita. Aku merasa kita semakin jauh. Mungkin ada sesuatu yang bisa kita perbaiki."

Laras merasakan hatinya berdebar. "Aku juga merasa ada jarak antara kita. Tapi, apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaikinya?"

Adrian mengambil tangan Laras dengan lembut. "Aku berpikir bahwa mungkin kita bisa mulai lebih sering menghabiskan waktu bersama, seperti yang kita lakukan ketika awal pernikahan."

Laras merasa campur aduk antara harapan dan ketidakpastian. "Itu terdengar bagus. Aku hanya berharap ini bukan sekadar sementara."

Adrian tersenyum tipis. "Aku ingin ini menjadi lebih dari sekadar basa-basi. Aku ingin memastikan kau merasa bahagia di sini."

Namun, kehangatan yang ditunjukkan Adrian tampaknya lebih dari sekadar perbaikan hubungan. Laras mulai merasakan bahwa perhatian ini memiliki tujuan lain. Semakin sering Adrian menunjukkan rasa sayangnya, semakin Laras merasa ada sesuatu yang disembunyikan.

Keesokan harinya, Maya dan Siska mulai memperhatikan perubahan ini dengan cermat. Mereka berkumpul di ruang tamu, berbicara dalam bisikan penuh kepentingan.

"Maya, apakah kau melihat bagaimana Adrian memperlakukan Laras belakangan ini?" tanya Siska, dengan nada penuh kekhawatiran.

Maya mengangguk. "Ya, aku perhatikan. Dia tampaknya sangat fokus pada Laras akhir-akhir ini. Itu membuatku merasa tidak nyaman."

Siska menyeringai tipis. "Jika Laras hamil, itu akan menjadi masalah besar bagi kita. Adrian jelas ingin keturunan dari pernikahan ini, dan jika itu terjadi, posisimu bisa terancam."

Maya mengerutkan kening. "Kita harus berhati-hati. Jangan sampai ada yang salah. Jika Laras hamil, kita harus siap dengan strategi untuk memastikan posisimu tetap aman."

Ketika Laras kembali ke kamarnya, perasaannya semakin kacau. Ia menerima pesan dari seorang teman yang mengatakan bahwa dia mendengar desas-desus tentang alasan di balik pernikahannya dengan Adrian. Temannya mengatakan bahwa Adrian sebenarnya menikahinya hanya untuk mendapatkan keturunan, dan tidak ada rasa cinta di antara mereka.

Laras terkejut dan merasa hatinya hancur. Ia bertanya-tanya seberapa banyak dari apa yang dia alami selama ini adalah kebohongan. Menghadapi kenyataan ini, Laras merasa dihantui oleh rasa pengkhianatan dan ketidakpastian.

Saat malam tiba, Laras menemukan Adrian duduk di ruang tamu, tampak gelisah. Dia mendekati Adrian dengan penuh keberanian.

"Adrian," suara Laras bergetar, "aku... aku mendengar sesuatu yang membuatku bingung. Apakah benar kau menikahiku hanya karena ingin memiliki anak?

Adrian menatap Laras dengan ekspresi terkejut. "Lar, itu bukan apa yang kau pikirkan. Aku....."

"Adrian, aku tidak menyangka kau akan melakukan ini padaku. Aku selalu percaya padamu. Tapi, sekarang aku merasa seperti orang bodoh. Apa selama ini kau hanya berpura-pura mencintaiku?"

Adrian menghela napas panjang. "Sebenarnya, iya. Aku menikahimu karena kebutuhan akan keturunan, tapi itu bukan berarti aku tidak menghargaimu. Aku merasa terjebak dalam situasi ini, tapi aku tidak ingin menyakitimu."

Laras merasakan hatinya hancur mendengar pengakuan itu. "Jadi, semua perhatian ini, hanya untuk mencapai tujuan itu?"

Adrian mengangguk dengan berat hati. "Maaf, Laras. Aku tidak bermaksud membuatmu merasa seperti ini. Aku hanya mencoba melakukan yang terbaik dalam situasi ini."

Laras merasa marah dan kecewa. "Aku merasa ditipu. Aku tidak tahu bagaimana harus merespons. Semua ini membuatku merasa lebih tertekan."

Adrian mencoba mendekat, namun Laras mundur dan berkata dengan air mata yang mulai mengalir di pipinya . "Aku butuh waktu untuk berpikir."

Setelah percakapan yang menyakitkan itu, Laras kembali ke kamarnya dengan perasaan campur aduk. Ketika dia berbaring di ranjangnya, pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan tentang masa depannya dan perasaannya. Terasa semakin jelas bahwa pernikahan ini bukanlah apa yang dia bayangkan, dan dia harus menemukan cara untuk menghadapi kenyataan ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status