Bima duduk di ruang kerjanya yang tenang, memeriksa dokumen dan laporan dari berbagai operasi mafia. Malam itu, pikirannya tidak sepenuhnya fokus pada pekerjaan. Setiap kali dia memikirkan Laras, hatinya terasa berat. Untuk menjaga jarak dan memastikan keselamatan Laras, Bima baru-baru ini menugaskan salah satu bawahannya untuk memantau situasi dari jauh.
Ketika seorang bawahannya, Rizal, memasuki ruangan dengan ekspresi serius, Bima langsung merasakan ada sesuatu yang penting.
“Rizal, ada apa?” tanya Bima, menatap bawahannya dengan penuh perhatian.
Rizal duduk di depan meja Bima dan mengeluarkan sebuah laporan. “Bos, aku baru saja mendapatkan informasi tentang situasi Laras.”
Bima mengerutkan dahi. “Apa yang terjadi?”
Rizal mulai menjelaskan. “Aku telah mengawasi Laras dari jarak jauh, seperti yang Anda minta. Aku mendengar percakapan antara Laras dan beberapa anggota keluarga Wijaya. Aku juga mendengar desas-desus tentang bagaimana Adrian menikahi Laras hanya untuk memiliki anak saja.
Rizal melanjutkan perkataanya dengan suara rendah dan sedikit takut, Aku juga mendengar kalau Laras sangat tertekan di disana karena kedua istri Adrian selalu memojokan Laras.
Bima terkejut. “Kau yakin tentang semua ini?”
“Ya, Bos. Jawab Rizal dengan suara yang sedikit takut, karena dia tau orang di depanya ini walaupun masih muda tetapi memiliki kemampuan yang sangat di takuti.
Kata-kata Rizal seakan mengiris hati Bima. Dia merasa amarah dan rasa bersalah menguasai dirinya. “Kenapa kau baru memberitahuku sekarang?”
Rizal menjawab dengan gemetar, “Aku hanya mengikuti instruksi untuk menjaga jarak. dan juga aku harus memastikanya sendiri, setekah memastikanya aku baru memberitahukan anda.
Bima berdiri dari kursinya dengan tiba-tiba, tangannya mengepal erat. Wajahnya memerah menahan amarah.
Bima "Aku tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut. Jika apa yang kau katakan benar, aku harus melakukan sesuatu untuk membantu Laras."
"Tapi, Bos, kita harus berhati-hati. Adrian tidak akan tinggal diam. Dia punya banyak pengaruh," ujar Rizal mengingatkan.
Bima: "Rizal, aku tidak akan tinggal diam. Aku akan menggunakan semua yang aku punya untuk membebaskan Laras dari penderitaan ini. Aku tidak akan membiarkan dia terus menderita tanpa aku melakukan sesuatu."
Bima menunjuk ke arah jendela, matanya berkobar amarah. Suaranya meninggi.
Bima "Aku akan pastikan Adrian mendapat balasan setimpal atas perbuatannya!"
Sementara itu, Laras merasa semakin terasing dalam rumah besar Adrian. Dia duduk sendirian di ruang tamu, merenung tentang hidupnya yang semakin berat. Laras merindukan adiknya, Bima, dan berharap dia bisa mendapat dukungan dari seseorang.
Dia meraih telepon dan mencoba menelepon Bima, tetapi hanya mendapatkan mesin penjawab. Laras merasa frustrasi dan bingung. “Kenapa kau tidak menjawab, Bima?” bisiknya, meneteskan air mata.
Di malam yang sama, Bima di kantornya melihat foto Laras di mejanya. Dia merasa dorongan mendalam untuk melindungi kakaknya. Bima memutuskan untuk segera bertindak.
Dia merancang rencana dengan cermat. Dia tahu langkah pertama adalah mengungkap bisnis ilegal keluarga Wijaya secara publik. Namun, dia juga menyadari bahwa dia harus melakukannya dengan hati-hati untuk melindungi Laras dan tidak menarik perhatian yang tidak diinginkan.
Di malam yang tenang, Bima kembali ke apartemennya setelah seharian sibuk. Dia membuka laptopnya dan mulai menyusun rencana yang akan mengungkapkan kejahatan keluarga Wijaya secara bertahap.
Sementara itu, Laras merasa semakin tertekan. Dia duduk di ruang tamu, mengamati foto-foto keluarga di dinding, dan merasa bahwa hidupnya semakin jauh dari kebahagiaan. Setiap kali dia mencoba menelepon Bima, hanya suara mesin penjawab yang dia dengar.
Dalam keputusasaan, Laras memutuskan untuk mencari cara lain untuk mengatasi tekanan yang dia alami. Dia mulai mengunjungi tempat-tempat yang dulu dia cintai, berharap menemukan kembali sedikit dari dirinya yang hilang. Salah satu tempat favoritnya adalah taman kecil di ujung jalan, tempat di mana dia biasa pergi untuk berpikir dan merenung.
Sementara Laras mencoba mencari ketenangan di luar rumah, Bima melanjutkan rencananya. Dia menghubungi beberapa kontak untuk menyusun bukti-bukti kuat tentang kegiatan ilegal keluarga Wijaya. Dalam pertemuan berikutnya dengan Amir, mereka membahas langkah-langkah strategis yang harus diambil.
Laras merasa mulai kehilangan arah. Dia memutuskan untuk menulis di jurnalnya, sesuatu yang dulu sering dia lakukan untuk mengekspresikan perasaannya. Dia menulis tentang bagaimana dia merasa terjebak dalam situasi yang tidak dia inginkan, dan bagaimana dia sangat merindukan dukungan Bima.
“Kenapa semuanya harus begitu sulit?” tulis Laras dengan penuh emosi. “Aku merasa terjebak dalam rutinitas yang tidak pernah aku pilih. Aku hanya berharap Bima bisa merasakan kesulitan yang aku alami dan datang untuk membantuku.”
Di dalam kamar Laras, dia merasa sedikit tenang setelah menulis di jurnalnya. Meskipun dia masih merasa tertekan, dia mulai merasa sedikit lebih baik setelah mencurahkan perasaannya. Namun, dia masih merindukan kehadiran Bima dan berharap adiknya bisa segera datang untuk membantunya.
Keesokan paginya Laras berdiri di dapur, melihat ke luar jendela dengan perasaan kosong. Udara pagi masuk melalui jendela terbuka, tetapi ia tidak merasa segar. Ponselnya bergetar di meja, dan saat melihat layarnya, hatinya sedikit melonjak. Namun, ketika dia melihat bahwa itu hanya notifikasi berita, rasa kecewa kembali menyelimuti dirinya.
Dengan perasaan yang campur aduk, Laras memutuskan untuk menelepon Bima lagi. Dia mengangkat ponselnya, mengetikkan nomor yang sudah dihafal di luar kepala, dan menunggu dengan harapan yang kian menipis. Suara operator terdengar seperti biasanya.
“Bima, ini Laras. Aku… aku sangat merindukanmu. Tolong hubungi aku. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Setiap kali aku menelepon, tetapi kamu tindak pernah menjawabnya. Aku hanya ingin tahu bagaimana kabarmu. Aku benar-benar butuh berbicara denganmu,” Laras meninggalkan pesan dengan nada penuh harapan.
Dia meletakkan ponsel di meja dengan rasa frustasi. Hati Laras terasa semakin berat setiap kali Bima tidak menjawab teleponnya. Dia merasa terasing dan sendirian, meskipun dia berada di rumah besar bersama Maya dan Siska.
Laras memutuskan untuk meninggalkan rumah dan pergi ke taman kecil yang sering dia kunjungi. Di sana, dia bisa merasa sedikit lebih tenang, meskipun suasana yang cerah di luar tidak bisa menghapus kesedihannya.
Di taman, Laras duduk di bangku yang sering dia kunjungi, menatap langit dengan tatapan kosong. Anak-anak bermain di sekitar, dan pasangan-pasangan tampak bahagia, namun semua itu tidak mampu meringankan rasa kesepian yang mendalam.
“Kenapa Bima tidak menjawabku?” Laras berbicara pada dirinya sendiri, suara hatinya penuh dengan rasa sakit. “Aku hanya ingin dia tahu betapa sulitnya aku tanpa kehadirannya.”
Kembali di rumah, Laras mencoba mengalihkan pikirannya dengan melakukan pekerjaan rumah tangga, tetapi pikirannya selalu kembali ke Bima. Dia mencoba memfokuskan diri pada kegiatan-kegiatan kecil, tetapi merasa bahwa semuanya terasa sia-sia.
Setiap kali dia berusaha menelepon Bima, selalu berakhir dengan operator yang menjawab. Laras merasa semakin frustrasi dan tertekan. Hubungan mereka yang semakin renggang hanya menambah beban emosionalnya.
Dia kembali menulis di jurnalnya, sebagai cara untuk mengekspresikan perasaannya. Laras menulis dengan penuh emosi, mencurahkan segala kesedihan dan keputusasaannya.
“Aku merasa terasing dari adikku sendiri,” tulis Laras dengan air mata di pipinya. “Setiap kali aku mencoba menghubunginya, aku selalu mendapatkan jawaban yang sama. Aku merasa seperti dinding yang tak tertembus antara kita. Aku hanya ingin dia tahu betapa sulitnya aku di sini tanpa kehadirannya.”
Laras merasa hatinya semakin berat setelah setiap panggilan telepon yang tidak terjawab dari Bima. Pagi itu, dia berusaha untuk melupakan kepedihan dengan membersihkan ruang tamu. Namun, tatapan kosongnya sering berpindah ke ponsel yang tergeletak di meja, berharap ada kabar dari adiknya.
Maya dan Siska, yang sedang duduk di ruang makan dengan sarapan mereka, berbicara dengan nada yang keras namun seolah tidak terarah. Laras tidak bisa menghindari mendengar percakapan mereka yang penuh sindiran.
“Laras, kamu sepertinya semakin sering keluar rumah akhir-akhir ini,” Maya mulai, sambil meneguk kopi dengan sinis. “Mungkin kamu butuh lebih banyak udara segar, ya?”
Siska menambahkan, “Atau mungkin kamu sedang mencari cara baru untuk mengisi waktu yang kosong.”
Siska melanjutkan, “Kamu tahu, Laras, hidup di sini sebenarnya bisa sangat menyenangkan jika kamu tahu caranya. Sayangnya, sepertinya kamu lebih suka mengingat masa lalu yang penuh kesederhanaan.”
Maya tertawa kecil, “Mungkin kamu merasa lebih nyaman di desa. Mungkin kamu terlalu cepat menganggap bahwa hidup di sini akan sama dengan apa yang kamu harapkan.”
Laras menelan rasa pahit di tenggorokannya dan berusaha untuk tidak membiarkan kata-kata mereka mempengaruhi dirinya lebih jauh. Dia melanjutkan pekerjaannya dengan perasaan yang semakin tertekan. Setiap sindiran dari Maya dan Siska hanya menambah beban emosionalnya.
Sementara itu, dia terus mencoba menghubungi Bima, berharap dia akan menjawab. Dia menulis pesan lagi dengan nada penuh harapan dan keputusasaan, “Bima, aku benar-benar butuh berbicara denganmu. Semua ini semakin berat bagiku. Tolong hubungi aku ketika kamu bisa.”
Dengan perasaan yang semakin mendalam, Laras berdoa agar dia bisa mendapatkan kesempatan untuk berbicara dengan Bima dan memahami apa yang sedang terjadi. Dia berharap agar hubungan mereka bisa kembali seperti dulu, dan dia bisa menemukan cara untuk mengatasi beban emosional yang semakin besar.
Di ruang kerja Bima yang terletak di apartemennya, Bima melihat berbagai dokumen. Dia membuka dokumen yang berisi informasi mengenai beberapa bisnis ilegal yang dimiliki Adrian.Sambil menyisir data yang ada, Bima menemukan beberapa transaksi mencurigakan dan laporan keuangan yang menunjukkan adanya kegiatan ilegal. Setiap bukti yang dia temukan menambah daftar panjang pelanggaran hukum yang dilakukan Adrian.Bima memindai dokumen-dokumen tersebut dengan seksama. “Jadi, Adrian terlibat dalam lebih banyak hal daripada yang terlihat di permukaan,” gumamnya pada diri sendiri. “Bisnis-bisnis ini bisa membuatnya sangat rentan jika informasi ini jatuh ke tangan yang salah.”Saat Bima melanjutkan pencariannya, dia mulai menemukan informasi tambahan mengenai Maya dan Siska. Ternyata, keduanya memiliki hubungan dengan beberapa perusahaan cuci uang yang juga terhubung dengan jaringan bisnis ilegal Adrian. Rahasia ini bisa menjadi senjata berharga jika digunakan dengan tepat.“Menarik,” kata Bim
Di ruang rapat kantor hukum , cuma meja panjang sama kursi-kursi yang keliatan. Bima duduk paling ujung, mukanya serius kayak lagi nyusun rencananya. Di sekelilingnya ada pengacara dan anak buahnya."Mantap banget infonya, Bim,"kata si pengacara, sambil ngelirik-lirik kertas. "Sekarang kita harus merencanakan langkah awal untuk mengatasi keluarga Wijaya."Bima mengangguk. "Yang pertama, kita hancurin dulu bisnis mereka. Kalau duitnya habis, mereka pasti kalang kabut."Rafi, si ahli komputer yang dari tadi diem aja, tiba-tiba nyambung, "Gimana kalau kita retas sistem mereka? Kita sebarin gosip bohong biar klien-kliennya kabur semua.""Bima mengerutkan kening. "Rafi, lo yakin bisa ngelabuin sistem keamanan mereka?""Tenang aja, bos," jawab Rafi dengan percaya diri. "Saya udah punya beberapa trik."Bima mengetuk-ngetuk meja dengan jari, matanya fokus pada tumpukan dokumen di depannya. "Kita mulai dari bisnis utamanya, Adrian. Kalau kita bisa buktiin ada yang enggak beres di perusahaan-pe
Pada malam hari cahaya api yang menari-nari menerangi wajah Bima yang dingin. Gudang besar itu kini hanya tinggal rangka hangus, asap hitam mengepul tebal ke langit malam. Bau hangus menyengat memenuhi udara, menjadi saksi bisu atas keberhasilan misi mereka. Rafi, tangan kanannya, mendekat, wajahnya penuh dengan kekaguman. "Bos, kita berhasil hancurin semuanya. Nggak ada satupun barang yang selamat," lapornya.Bima menatap api dengan dingin. “Bagus. Ini baru langkah awal. Kita harus memastikan bahwa kerusakan ini menyebabkan dampak yang signifikan.”katanya dengan nada mengancam. "Bikin Adrian tambah panik. Dia harus merasakan penderitaan Laras" Tambahnya dengan suara yang sangat dingin Rafi mengangguk. “Kami sudah menyebarkan berita tentang kebakaran ini ke media lokal. Ini akan menambah tekanan pada Adrian dan membuatnya semakin khawatir.”Bima memerintahkan timnya untuk meninggalkan lokasi dengan cepat, menghindari terdeteksi oleh pihak berwenang atau media. “Kita harus tetap menj
Laras merasa semakin tertekan. Ia berdiri di jendela kamarnya, memandang ke luar, memikirkan situasinya. Kepalanya terasa berat karena banyaknya beban yang harus dia tanggung. Menghadapi kesulitan dalam pernikahannya dan ketegangan di rumah membuatnya merasa seperti berada di tepi jurang.Di ruang makan, Maya dan Siska berbicara dengan nada yang penuh sindiran. Maya, sambil menyajikan teh, mengatakan, “Siska, apakah kamu sudah mendengar tentang masalah baru Adrian? Sepertinya dia benar-benar tidak beruntung akhir-akhir ini.”Siska menambahkan, “Ya, dan kita semua tahu betapa rentannya posisinya sekarang. Sepertinya banyak masalah yang datang bersamaan.”Laras mendengarkan percakapan mereka dari jarak jauh, merasa terasing. Dia tahu bahwa Maya dan Siska bukan hanya memperhatikan situasi dari jauh tetapi juga mungkin mencoba untuk mengambil keuntungan dari kekacauan tersebut.Laras merasa semakin terjepit di tengah situasi yang tidak pernah dia bayangkan. Setiap hari, dia berusaha berad
Laras mulai merasa ada sesuatu yang salah di rumahnya dan dalam kehidupan sehari-harinya. Seiring dengan kerugian yang dialami keluarga Wijaya dan ketegangan yang terus meningkat, dia merasakan ada pola yang tidak bisa dia abaikan. Beberapa minggu terakhir, dia merasa semakin terasing, dan kecemasan menyelimuti pikirannya.Saat Laras duduk sendirian di ruang tamu, dia mulai memeriksa berbagai berita dan laporan tentang bisnis keluarga Wijaya. Di tangan Laras ada beberapa potongan kertas yang dia kumpulkan, yang menunjukkan pola kerusakan yang terus berulang dan terkoordinasi.“Kenapa ini semua terjadi?” gumam Laras sambil membaca laporan terbaru. “Ada yang tidak beres di sini.”Laras mulai merasa ada sesuatu yang salah di rumahnya dan dalam kehidupan sehari-harinya. Seiring dengan kerugian yang dialami keluarga Wijaya dan ketegangan yang terus meningkat, dia merasakan ada pola yang tidak bisa dia abaikan. Beberapa minggu terakhir, dia merasa semakin terasing, dan kecemasan menyelimuti
Bima duduk di dalam mobil hitam yang diparkir di tepi jalan, mengawasi rumah Adrian dari kejauhan. Malam itu, hujan turun deras, memantulkan cahaya lampu jalan di aspal basah. Hatinya berdebar tak karuan, pikirannya dipenuhi oleh pertentangan. Selama ini, dia telah fokus pada rencananya untuk menghancurkan keluarga Wijaya demi membebaskan Laras dari penderitaan. Namun, dia mulai merasakan keraguan yang mengganggu tekadnya.Di sebuah gudang terpencil, Bima bertemu dengan beberapa anak buahnya. Mereka melaporkan kemajuan sabotase terhadap bisnis Adrian.“Semuanya berjalan sesuai rencana, Bos. Keluarga Wijaya mulai merasakan tekanan. Tidak lama lagi mereka akan jatuh,” lapor salah satu anak buahnya dengan nada yakin.Bima mendengarkan dengan seksama, tetapi pikirannya melayang ke arah Laras. Dia teringat betapa rapuhnya kakaknya saat terakhir kali mereka berbicara. Meski niatnya adalah melindungi Laras, Bima kini bertanya-tanya apakah tindakan yang diambilnya justru akan membawa lebih ba
Laras tidak bisa mengabaikan firasat buruk yang terus menghantuinya. Ada sesuatu yang tidak beres, dan dia semakin yakin bahwa Bima terlibat dalam kekacauan yang kini sedang melanda kehidupan Adrian.Suatu hari, ketika sedang membereskan barang-barang di ruang kerja Adrian, Laras menemukan dokumen-dokumen yang mencurigakan. Ada beberapa transaksi besar yang tidak pernah dia dengar sebelumnya, dan sebagian besar terkait dengan bisnis-bisnis yang tidak pernah disebutkan Adrian di hadapannya. Ada juga nama-nama perusahaan yang tidak asing baginya, dan salah satunya ternyata terkait dengan salah satu kontak Bima."Kenapa nama ini muncul di sini?" Laras bergumam dengan kening berkerut. Sebuah petunjuk yang tak disengaja membawa pikirannya kembali pada Bima. Perasaannya semakin tidak tenang.Laras mulai menyelidiki lebih lanjut, menghubungi beberapa orang yang dia kenal untuk mencari tahu lebih banyak tentang bisnis Adrian yang mencurigakan. Dia juga mulai mengumpulkan informasi tentang pe
Selama beberapa hari terakhir, Laras terus mencoba menghubungi Bima, namun selalu tidak ada balasan. Ia merasakan ada yang tidak beres, dan nalurinya mendorongnya untuk mencari tahu lebih dalam.Laras memutuskan untuk bergerak. Tidak mungkin dia hanya duduk diam sementara kekhawatiran terus menghantui pikirannya. Dia tahu bahwa Bima memiliki beberapa teman dekat di kota ini, orang-orang yang mungkin bisa memberinya petunjuk tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dengan niat bulat, Laras mengambil kunci mobilnya dan meninggalkan rumah Adrian, menuju ke tempat yang mungkin menyimpan jawaban yang dia cari.Di sebuah kafe kecil yang biasa dikunjungi Bima, Laras bertemu dengan Toni, seorang teman lama Bima yang pernah dia temui beberapa kali. Toni terlihat gugup saat melihat Laras mendekatinya. Mereka berbasa-basi sejenak sebelum Laras langsung menanyakan tentang Bima.“Sudah lama aku tidak melihat Bima,” kata Laras hati-hati. “Dia akhir-akhir ini sulit dihubungi. Kamu tahu dia sibuk dengan
Langit pagi di pelabuhan tampak mendung, seolah alam mengetahui bahwa pertempuran akan segera terjadi. Suara deru ombak bercampur dengan suara langkah kaki yang tergesa-gesa, membuat suasana semakin tegang. Di antara deretan kontainer yang menjulang, Bima, Adrian, Reza, dan tim mereka berdiri dengan penuh kewaspadaan.Bima merapatkan jaket hitamnya, tatapannya lurus ke depan. "Ini adalah kesempatan terakhir kita untuk menghancurkan Tanaka sebelum dia sempat menyerang lagi."Adrian, berdiri di samping Bima, menghela napas panjang. Meskipun matanya penuh kelelahan, semangat bertarungnya masih menyala. "Kita harus berhati-hati. Tanaka pasti sudah mempersiapkan pertahanan yang kuat."Reza dan Yusuf memimpin persiapan lapangan. Reza, dengan pengalaman taktisnya, membagi tim menjadi beberapa kelompok kecil. Yusuf, di sisi lain, memantau jaringan komunikasi untuk memastikan bahwa tidak ada kejutan dari pihak Tanaka."Tim satu dan dua akan menyusup dari sisi utara," kata Reza sambil menunjukk
Malam masih sunyi, tapi ketegangan meliputi suasana markas Bima. Adrian tengah duduk di meja besar yang penuh dengan peta dan dokumen. Di depannya, Bima berdiri dengan tangan terlipat, matanya tajam memandangi rencana yang sudah mereka buat untuk menyerang Mr. Tanaka. Setelah insiden pengkhianatan Darto, semua orang semakin berhati-hati."Semua sudah siap," ujar Bima, suaranya tenang namun penuh kewaspadaan. "Kita hanya tinggal menunggu waktu yang tepat."Adrian mengangguk, meskipun ekspresinya sedikit tegang. "Tapi kita tidak bisa santai. Tanaka pasti sedang menyusun balasan."Sementara mereka berdiskusi, beberapa karakter pendukung yang relevan mulai berdatangan. Ada Yusuf, ahli teknologi yang membantu Bima dan Adrian dalam mengawasi komunikasi digital Mr. Tanaka. Yusuf sudah berada di belakang layar sejak awal, namun keahliannya menjadi semakin vital setelah pengkhianatan Darto. Di samping Yusuf, ada Reza, pemimpin tim lapangan yang mengatur orang-orang Bima untuk serangan langsung
Bima duduk di ruangannya, memeriksa berkas-berkas rahasia yang berkaitan dengan rencana serangan mereka terhadap Mr. Tanaka. Semuanya terlihat sempurna di atas kertas, tetapi perasaan gelisah terus merayap dalam dirinya. Ada sesuatu yang salah—terlalu banyak kebetulan yang tak bisa ia abaikan. Serangan balik Tanaka datang terlalu cepat, seolah-olah dia sudah tahu rencana mereka.Bima memandang Adrian yang berada di seberang meja. "Aku merasa ada yang bocor," katanya pelan, tapi tegas.Adrian menatapnya dalam diam, menyadari betapa seriusnya situasi ini. "Kau pikir ada pengkhianat di tim kita?" tanya Adrian akhirnya."Lebih dari itu," jawab Bima dengan suara rendah. "Aku yakin seseorang telah menjual kita ke Tanaka."Penyelidikan segera dimulai. Bima menginstruksikan beberapa orang kepercayaannya untuk menyelidiki tiap anggota tim. Dia tahu betul bahwa siapa pun yang berkhianat pada mereka harus ditemukan sebelum lebih banyak kerusakan terjadi. Adrian ikut serta, menginterogasi beberap
Ruangan itu dipenuhi aroma kopi yang baru diseduh. Namun, suasana di dalamnya jauh dari hangat. Di seberang meja, Bima duduk tegak, tatapannya tajam, mengamati Adrian yang sibuk membolak-balik dokumen di hadapannya. Mereka sekarang adalah sekutu tak terduga, bersatu oleh tujuan yang sama—menghancurkan Mr. Tanaka.Adrian meletakkan dokumen itu, menghela napas berat. "Aku sudah mempelajari semua ini," katanya, suaranya rendah. "Mr. Tanaka bukan orang yang mudah dihadapi. Dia punya jaringan yang luas dan kuat. Kita butuh strategi yang lebih matang."Bima menatap Adrian tanpa ekspresi, matanya meneliti setiap gerakan pria yang kini menjadi sekutunya. "Aku sudah tahu itu. Aku tidak perlu kau menjelaskan betapa berbahayanya dia."Adrian terdiam sejenak, menyadari bahwa Bima memang sudah lama mempersiapkan ini. “Baiklah, apa rencanamu?” tanyanya, menyadari bahwa taktik terbaik saat ini adalah membiarkan Bima memimpin.Bima mencondongkan tubuh ke depan, membuka map di hadapannya. "Kita serang
Suasana di rumah Adrian terasa semakin suram. Ketegangan menumpuk seiring waktu, terutama setelah serangkaian serangan yang mengguncang kerajaan bisnis keluarga Wijaya. Adrian, yang dulu tampak tak tergoyahkan, kini terlihat rapuh. Hari itu, Adrian akhirnya mengetahui kebenaran yang menghancurkannya: Bima, adik iparnya sendiri, adalah dalang di balik semua serangan.Adrian duduk di ruang kerjanya, tangannya bergetar saat memegang laporan terakhir yang diantarkan oleh orang kepercayaannya. "Bima..." gumamnya lirih, suaranya serak.Langkah kaki terdengar dari luar pintu. Bima masuk dengan tenang, tanpa ekspresi, dan duduk di kursi di seberang Adrian. Mereka saling menatap, ketegangan memenuhi ruangan.“Aku tahu kau akan segera mengetahuinya,” kata Bima tanpa basa-basi. “Aku sudah menunggu waktu ini.”Adrian terdiam sejenak, tidak tahu harus berkata apa. Amarahnya bergolak, namun juga ada rasa keterkejutan yang sulit dijelaskan. “Kenapa? Kenapa kau lakukan ini?” tanya Adrian, suaranya be
Di kantor, Adrian terus menerima telepon dari rekan-rekannya. Suara marah dan penuh kekecewaan datang dari berbagai pihak. Beberapa mitra bisnisnya memutuskan hubungan, investor menarik diri, dan kontrak-kontrak besar dibatalkan."Kami tidak bisa melanjutkan kerja sama ini, Adrian. Reputasimu sudah rusak. Ini akan menghancurkan kita juga."Adrian membanting teleponnya ke meja, wajahnya merah karena marah dan frustrasi. Semua yang dia bangun selama bertahun-tahun kini hancur dalam sekejap.Di sudut ruangan, Maya berdiri dengan tangan terlipat di dada, memperhatikan suaminya dengan tatapan datar. "Ini sudah di luar kendali, Adrian. Kau harus melakukan sesuatu."Adrian mendongak, menatap Maya dengan mata yang penuh amarah. "Kau pikir aku tidak mencoba? Setiap hari aku mencoba memperbaiki ini, tapi serangannya datang dari segala arah. Aku bahkan tidak tahu siapa yang ada di balik semua ini."Maya mendekat, tatapannya tajam. "Kau perlu bertindak cepat, Adrian. Jika tidak, aku tidak akan iku
Bima dengan tenang mulai menjalankan rencananya. Langkah awalnya adalah menargetkan bisnis-bisnis ilegal Adrian yang paling rentan. Dengan bantuan pengacaranya dan timnya, Bima memanfaatkan setiap celah yang ada. Dalam waktu singkat, salah satu jaringan bisnis Adrian mengalami kebangkrutan tiba-tiba. Informasi tersebar dengan cepat di kalangan pengusaha, membuat reputasi Adrian mulai terguncang."Satu langkah lagi, dan dia akan jatuh lebih dalam," bisik Bima pada dirinya sendiri sambil menatap layar komputer yang menampilkan laporan keuangan Adrian yang hancur.Serangan demi serangan menghantam, menyebabkan kerugian besar bagi Adrian dan membuatnya kehilangan aset berharga. Rekan-rekan bisnis yang sebelumnya setia kini mulai meragukan kemampuannya.Di tengah badai bisnis yang menghantam Adrian, Maya dan Siska semakin mendesak Laras. Mereka mulai menyalahkannya atas kemerosotan bisnis Adrian."Kau memang pembawa sial! Sejak kau masuk ke sini, Adrian mulai kehilangan semuanya," bentak M
Bima mulai ngelakuin rencana buat ngeruntuhin Adrian, ia langsung ngincar bisnis-bisnis gelap Adrian yang paling gampang diserang, ia langsung nembak titik lemah Adrian yang selama ini gak lihat oleh orang banyak. Satu per satu bisnis gelap Adrian ambruk."Senyum penuh kemenangan terlihat di bibir Bima. Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu telah tiba. Dengan hati penuh dendam, dia mulai menjalankan rencananya. Satu per satu, bisnis kotor Adrian runtuh di hadapannya. Bima merasa puas melihat orang yang mebuat kakaknya sangat tertekan, merasakan juga apa itu menderita."Bima terus menargetkan bisnis-bisnis Adrian, kali ini menghantam jaringan distribusi ilegalnya. Dalam pertemuan singkat dengan salah satu anak buahnya, Bima memberikan instruksi terakhir."Pastikan tidak ada yang mencurigai kita," ujar Bima tegas. "Semua harus terlihat seperti ulah pesaing Adrian."Anak buahnya mengangguk, "Tenang, Bos. Semua sudah diatur. Mereka akan kehilangan banyak malam ini."Bima menjalankan misinya
Bima duduk di ruang kerjanya di bawah lampu meja yang hanya menerangi beberapa berkas penting. Ia mengamati catatan dan laporan yang disusun rapi di atas meja, tetapi pikirannya melayang jauh dari pekerjaannya. Setelah pertemuan dengan Mr. Tanaka dan Surya beberapa waktu lalu, Bima mulai merasakan sesuatu yang tidak beres.Saat itu, dia baru saja menerima laporan dari salah satu anak buahnya yang menunjukkan bahwa Mr. Tanaka mulai mendekati Laras, dengan janji-janji yang tampak terlalu menggiurkan untuk dipercaya. Rasa cemas merayapi dirinya. Bima mulai khawatir bahwa bos mafianya tidak sekadar ingin menggunakan Laras sebagai alat untuk balas dendam terhadap keluarga Wijaya, tetapi juga untuk kepentingan pribadi yang lebih gelap.Bima akhirnya memutuskan untuk menelepon salah satu pengacara yang ia percayai. Suara pengacara yang sudah akrab di telinganya muncul dari ujung telepon."Bima, ada yang bisa saya bantu?" tanya pengacara dengan nada profesional namun ramah.Bima menghela napa