Share

Bab 5

Bima duduk di ruang kerjanya yang tenang, memeriksa dokumen dan laporan dari berbagai operasi mafia. Malam itu, pikirannya tidak sepenuhnya fokus pada pekerjaan. Setiap kali dia memikirkan Laras, hatinya terasa berat. Untuk menjaga jarak dan memastikan keselamatan Laras, Bima baru-baru ini menugaskan salah satu bawahannya untuk memantau situasi dari jauh.

Ketika seorang bawahannya, Rizal, memasuki ruangan dengan ekspresi serius, Bima langsung merasakan ada sesuatu yang penting.

“Rizal, ada apa?” tanya Bima, menatap bawahannya dengan penuh perhatian.

Rizal duduk di depan meja Bima dan mengeluarkan sebuah laporan. “Bos, aku baru saja mendapatkan informasi tentang situasi Laras.”

Bima mengerutkan dahi. “Apa yang terjadi?”

Rizal mulai menjelaskan. “Aku telah mengawasi Laras dari jarak jauh, seperti yang Anda minta. Aku mendengar percakapan antara Laras dan beberapa anggota keluarga Wijaya. Aku juga mendengar desas-desus tentang bagaimana Adrian menikahi Laras hanya untuk memiliki anak saja. 

Rizal melanjutkan perkataanya dengan suara rendah dan sedikit takut, Aku juga mendengar kalau Laras sangat tertekan di disana karena kedua istri Adrian selalu memojokan Laras.

Bima terkejut. “Kau yakin tentang semua ini?”

“Ya, Bos. Jawab Rizal dengan suara yang sedikit takut, karena dia tau orang di depanya ini walaupun masih muda tetapi memiliki kemampuan yang sangat di takuti.

Kata-kata Rizal seakan mengiris hati Bima. Dia merasa amarah dan rasa bersalah menguasai dirinya. “Kenapa kau baru memberitahuku sekarang?”

Rizal menjawab dengan gemetar, “Aku hanya mengikuti instruksi untuk menjaga jarak. dan juga aku harus  memastikanya sendiri, setekah memastikanya aku baru memberitahukan anda.

Bima berdiri dari kursinya dengan tiba-tiba, tangannya mengepal erat. Wajahnya memerah menahan amarah.

Bima "Aku tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut. Jika apa yang kau katakan benar, aku harus melakukan sesuatu untuk membantu Laras."

"Tapi, Bos, kita harus berhati-hati. Adrian tidak akan tinggal diam. Dia punya banyak pengaruh," ujar Rizal mengingatkan.

Bima: "Rizal, aku tidak akan tinggal diam. Aku akan menggunakan semua yang aku punya untuk membebaskan Laras dari penderitaan ini. Aku tidak akan membiarkan dia terus menderita tanpa aku melakukan sesuatu."

Bima menunjuk ke arah jendela, matanya berkobar amarah. Suaranya meninggi.

Bima "Aku akan pastikan Adrian mendapat balasan setimpal atas perbuatannya!"

Sementara itu, Laras merasa semakin terasing dalam rumah besar Adrian. Dia duduk sendirian di ruang tamu, merenung tentang hidupnya yang semakin berat. Laras merindukan adiknya, Bima, dan berharap dia bisa mendapat dukungan dari seseorang.

Dia meraih telepon dan mencoba menelepon Bima, tetapi hanya mendapatkan mesin penjawab. Laras merasa frustrasi dan bingung. “Kenapa kau tidak menjawab, Bima?” bisiknya, meneteskan air mata.

Di malam yang sama, Bima di kantornya melihat foto Laras di mejanya. Dia merasa dorongan mendalam untuk melindungi kakaknya. Bima memutuskan untuk segera bertindak.

Dia merancang rencana dengan cermat. Dia tahu langkah pertama adalah mengungkap bisnis ilegal keluarga Wijaya secara publik. Namun, dia juga menyadari bahwa dia harus melakukannya dengan hati-hati untuk melindungi Laras dan tidak menarik perhatian yang tidak diinginkan.

Di malam yang tenang, Bima kembali ke apartemennya setelah seharian sibuk. Dia membuka laptopnya dan mulai menyusun rencana yang akan mengungkapkan kejahatan keluarga Wijaya secara bertahap.

Sementara itu, Laras merasa semakin tertekan. Dia duduk di ruang tamu, mengamati foto-foto keluarga di dinding, dan merasa bahwa hidupnya semakin jauh dari kebahagiaan. Setiap kali dia mencoba menelepon Bima, hanya suara mesin penjawab yang dia dengar.

Dalam keputusasaan, Laras memutuskan untuk mencari cara lain untuk mengatasi tekanan yang dia alami. Dia mulai mengunjungi tempat-tempat yang dulu dia cintai, berharap menemukan kembali sedikit dari dirinya yang hilang. Salah satu tempat favoritnya adalah taman kecil di ujung jalan, tempat di mana dia biasa pergi untuk berpikir dan merenung.

Sementara Laras mencoba mencari ketenangan di luar rumah, Bima melanjutkan rencananya. Dia menghubungi beberapa kontak untuk menyusun bukti-bukti kuat tentang kegiatan ilegal keluarga Wijaya. Dalam pertemuan berikutnya dengan Amir, mereka membahas langkah-langkah strategis yang harus diambil.

Laras merasa mulai kehilangan arah. Dia memutuskan untuk menulis di jurnalnya, sesuatu yang dulu sering dia lakukan untuk mengekspresikan perasaannya. Dia menulis tentang bagaimana dia merasa terjebak dalam situasi yang tidak dia inginkan, dan bagaimana dia sangat merindukan dukungan Bima.

“Kenapa semuanya harus begitu sulit?” tulis Laras dengan penuh emosi. “Aku merasa terjebak dalam rutinitas yang tidak pernah aku pilih. Aku hanya berharap Bima bisa merasakan kesulitan yang aku alami dan datang untuk membantuku.”

Di dalam kamar Laras, dia merasa sedikit tenang setelah menulis di jurnalnya. Meskipun dia masih merasa tertekan, dia mulai merasa sedikit lebih baik setelah mencurahkan perasaannya. Namun, dia masih merindukan kehadiran Bima dan berharap adiknya bisa segera datang untuk membantunya.

Keesokan paginya Laras berdiri di dapur, melihat ke luar jendela dengan perasaan kosong. Udara pagi masuk melalui jendela terbuka, tetapi ia tidak merasa segar. Ponselnya bergetar di meja, dan saat melihat layarnya, hatinya sedikit melonjak. Namun, ketika dia melihat bahwa itu hanya notifikasi berita, rasa kecewa kembali menyelimuti dirinya.

Dengan perasaan yang campur aduk, Laras memutuskan untuk menelepon Bima lagi. Dia mengangkat ponselnya, mengetikkan nomor yang sudah dihafal di luar kepala, dan menunggu dengan harapan yang kian menipis. Suara operator terdengar seperti biasanya.

“Bima, ini Laras. Aku… aku sangat merindukanmu. Tolong hubungi aku. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Setiap kali aku menelepon, tetapi kamu tindak pernah menjawabnya. Aku hanya ingin tahu bagaimana kabarmu. Aku benar-benar butuh berbicara denganmu,” Laras meninggalkan pesan dengan nada penuh harapan.

Dia meletakkan ponsel di meja dengan rasa frustasi. Hati Laras terasa semakin berat setiap kali Bima tidak menjawab teleponnya. Dia merasa terasing dan sendirian, meskipun dia berada di rumah besar bersama Maya dan Siska.

Laras memutuskan untuk meninggalkan rumah dan pergi ke taman kecil yang sering dia kunjungi. Di sana, dia bisa merasa sedikit lebih tenang, meskipun suasana yang cerah di luar tidak bisa menghapus kesedihannya.

Di taman, Laras duduk di bangku yang sering dia kunjungi, menatap langit dengan tatapan kosong. Anak-anak bermain di sekitar, dan pasangan-pasangan tampak bahagia, namun semua itu tidak mampu meringankan rasa kesepian yang mendalam.

“Kenapa Bima tidak menjawabku?” Laras berbicara pada dirinya sendiri, suara hatinya penuh dengan rasa sakit. “Aku hanya ingin dia tahu betapa sulitnya aku tanpa kehadirannya.”

Kembali di rumah, Laras mencoba mengalihkan pikirannya dengan melakukan pekerjaan rumah tangga, tetapi pikirannya selalu kembali ke Bima. Dia mencoba memfokuskan diri pada kegiatan-kegiatan kecil, tetapi merasa bahwa semuanya terasa sia-sia.

Setiap kali dia berusaha menelepon Bima, selalu berakhir dengan operator yang menjawab. Laras merasa semakin frustrasi dan tertekan. Hubungan mereka yang semakin renggang hanya menambah beban emosionalnya.

Dia kembali menulis di jurnalnya, sebagai cara untuk mengekspresikan perasaannya. Laras menulis dengan penuh emosi, mencurahkan segala kesedihan dan keputusasaannya.

“Aku merasa terasing dari adikku sendiri,” tulis Laras dengan air mata di pipinya. “Setiap kali aku mencoba menghubunginya, aku selalu mendapatkan jawaban yang sama. Aku merasa seperti dinding yang tak tertembus antara kita. Aku hanya ingin dia tahu betapa sulitnya aku di sini tanpa kehadirannya.”

Laras merasa hatinya semakin berat setelah setiap panggilan telepon yang tidak terjawab dari Bima. Pagi itu, dia berusaha untuk melupakan kepedihan dengan membersihkan ruang tamu. Namun, tatapan kosongnya sering berpindah ke ponsel yang tergeletak di meja, berharap ada kabar dari adiknya.

Maya dan Siska, yang sedang duduk di ruang makan dengan sarapan mereka, berbicara dengan nada yang keras namun seolah tidak terarah. Laras tidak bisa menghindari mendengar percakapan mereka yang penuh sindiran.

“Laras, kamu sepertinya semakin sering keluar rumah akhir-akhir ini,” Maya mulai, sambil meneguk kopi dengan sinis. “Mungkin kamu butuh lebih banyak udara segar, ya?”

Siska menambahkan, “Atau mungkin kamu sedang mencari cara baru untuk mengisi waktu yang kosong.”

Siska melanjutkan, “Kamu tahu, Laras, hidup di sini sebenarnya bisa sangat menyenangkan jika kamu tahu caranya. Sayangnya, sepertinya kamu lebih suka mengingat masa lalu yang penuh kesederhanaan.”

Maya tertawa kecil, “Mungkin kamu merasa lebih nyaman di desa. Mungkin kamu terlalu cepat menganggap bahwa hidup di sini akan sama dengan apa yang kamu harapkan.”

Laras menelan rasa pahit di tenggorokannya dan berusaha untuk tidak membiarkan kata-kata mereka mempengaruhi dirinya lebih jauh. Dia melanjutkan pekerjaannya dengan perasaan yang semakin tertekan. Setiap sindiran dari Maya dan Siska hanya menambah beban emosionalnya.

Sementara itu, dia terus mencoba menghubungi Bima, berharap dia akan menjawab. Dia menulis pesan lagi dengan nada penuh harapan dan keputusasaan, “Bima, aku benar-benar butuh berbicara denganmu. Semua ini semakin berat bagiku. Tolong hubungi aku ketika kamu bisa.”

Dengan perasaan yang semakin mendalam, Laras berdoa agar dia bisa mendapatkan kesempatan untuk berbicara dengan Bima dan memahami apa yang sedang terjadi. Dia berharap agar hubungan mereka bisa kembali seperti dulu, dan dia bisa menemukan cara untuk mengatasi beban emosional yang semakin besar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status