Bima mulai ngelakuin rencana buat ngeruntuhin Adrian, ia langsung ngincar bisnis-bisnis gelap Adrian yang paling gampang diserang, ia langsung nembak titik lemah Adrian yang selama ini gak lihat oleh orang banyak. Satu per satu bisnis gelap Adrian ambruk."Senyum penuh kemenangan terlihat di bibir Bima. Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu telah tiba. Dengan hati penuh dendam, dia mulai menjalankan rencananya. Satu per satu, bisnis kotor Adrian runtuh di hadapannya. Bima merasa puas melihat orang yang mebuat kakaknya sangat tertekan, merasakan juga apa itu menderita."Bima terus menargetkan bisnis-bisnis Adrian, kali ini menghantam jaringan distribusi ilegalnya. Dalam pertemuan singkat dengan salah satu anak buahnya, Bima memberikan instruksi terakhir."Pastikan tidak ada yang mencurigai kita," ujar Bima tegas. "Semua harus terlihat seperti ulah pesaing Adrian."Anak buahnya mengangguk, "Tenang, Bos. Semua sudah diatur. Mereka akan kehilangan banyak malam ini."Bima menjalankan misinya
Bima dengan tenang mulai menjalankan rencananya. Langkah awalnya adalah menargetkan bisnis-bisnis ilegal Adrian yang paling rentan. Dengan bantuan pengacaranya dan timnya, Bima memanfaatkan setiap celah yang ada. Dalam waktu singkat, salah satu jaringan bisnis Adrian mengalami kebangkrutan tiba-tiba. Informasi tersebar dengan cepat di kalangan pengusaha, membuat reputasi Adrian mulai terguncang."Satu langkah lagi, dan dia akan jatuh lebih dalam," bisik Bima pada dirinya sendiri sambil menatap layar komputer yang menampilkan laporan keuangan Adrian yang hancur.Serangan demi serangan menghantam, menyebabkan kerugian besar bagi Adrian dan membuatnya kehilangan aset berharga. Rekan-rekan bisnis yang sebelumnya setia kini mulai meragukan kemampuannya.Di tengah badai bisnis yang menghantam Adrian, Maya dan Siska semakin mendesak Laras. Mereka mulai menyalahkannya atas kemerosotan bisnis Adrian."Kau memang pembawa sial! Sejak kau masuk ke sini, Adrian mulai kehilangan semuanya," bentak M
Di kantor, Adrian terus menerima telepon dari rekan-rekannya. Suara marah dan penuh kekecewaan datang dari berbagai pihak. Beberapa mitra bisnisnya memutuskan hubungan, investor menarik diri, dan kontrak-kontrak besar dibatalkan."Kami tidak bisa melanjutkan kerja sama ini, Adrian. Reputasimu sudah rusak. Ini akan menghancurkan kita juga."Adrian membanting teleponnya ke meja, wajahnya merah karena marah dan frustrasi. Semua yang dia bangun selama bertahun-tahun kini hancur dalam sekejap.Di sudut ruangan, Maya berdiri dengan tangan terlipat di dada, memperhatikan suaminya dengan tatapan datar. "Ini sudah di luar kendali, Adrian. Kau harus melakukan sesuatu."Adrian mendongak, menatap Maya dengan mata yang penuh amarah. "Kau pikir aku tidak mencoba? Setiap hari aku mencoba memperbaiki ini, tapi serangannya datang dari segala arah. Aku bahkan tidak tahu siapa yang ada di balik semua ini."Maya mendekat, tatapannya tajam. "Kau perlu bertindak cepat, Adrian. Jika tidak, aku tidak akan iku
Suasana di rumah Adrian terasa semakin suram. Ketegangan menumpuk seiring waktu, terutama setelah serangkaian serangan yang mengguncang kerajaan bisnis keluarga Wijaya. Adrian, yang dulu tampak tak tergoyahkan, kini terlihat rapuh. Hari itu, Adrian akhirnya mengetahui kebenaran yang menghancurkannya: Bima, adik iparnya sendiri, adalah dalang di balik semua serangan.Adrian duduk di ruang kerjanya, tangannya bergetar saat memegang laporan terakhir yang diantarkan oleh orang kepercayaannya. "Bima..." gumamnya lirih, suaranya serak.Langkah kaki terdengar dari luar pintu. Bima masuk dengan tenang, tanpa ekspresi, dan duduk di kursi di seberang Adrian. Mereka saling menatap, ketegangan memenuhi ruangan.“Aku tahu kau akan segera mengetahuinya,” kata Bima tanpa basa-basi. “Aku sudah menunggu waktu ini.”Adrian terdiam sejenak, tidak tahu harus berkata apa. Amarahnya bergolak, namun juga ada rasa keterkejutan yang sulit dijelaskan. “Kenapa? Kenapa kau lakukan ini?” tanya Adrian, suaranya be
Ruangan itu dipenuhi aroma kopi yang baru diseduh. Namun, suasana di dalamnya jauh dari hangat. Di seberang meja, Bima duduk tegak, tatapannya tajam, mengamati Adrian yang sibuk membolak-balik dokumen di hadapannya. Mereka sekarang adalah sekutu tak terduga, bersatu oleh tujuan yang sama—menghancurkan Mr. Tanaka.Adrian meletakkan dokumen itu, menghela napas berat. "Aku sudah mempelajari semua ini," katanya, suaranya rendah. "Mr. Tanaka bukan orang yang mudah dihadapi. Dia punya jaringan yang luas dan kuat. Kita butuh strategi yang lebih matang."Bima menatap Adrian tanpa ekspresi, matanya meneliti setiap gerakan pria yang kini menjadi sekutunya. "Aku sudah tahu itu. Aku tidak perlu kau menjelaskan betapa berbahayanya dia."Adrian terdiam sejenak, menyadari bahwa Bima memang sudah lama mempersiapkan ini. “Baiklah, apa rencanamu?” tanyanya, menyadari bahwa taktik terbaik saat ini adalah membiarkan Bima memimpin.Bima mencondongkan tubuh ke depan, membuka map di hadapannya. "Kita serang
Bima duduk di ruangannya, memeriksa berkas-berkas rahasia yang berkaitan dengan rencana serangan mereka terhadap Mr. Tanaka. Semuanya terlihat sempurna di atas kertas, tetapi perasaan gelisah terus merayap dalam dirinya. Ada sesuatu yang salah—terlalu banyak kebetulan yang tak bisa ia abaikan. Serangan balik Tanaka datang terlalu cepat, seolah-olah dia sudah tahu rencana mereka.Bima memandang Adrian yang berada di seberang meja. "Aku merasa ada yang bocor," katanya pelan, tapi tegas.Adrian menatapnya dalam diam, menyadari betapa seriusnya situasi ini. "Kau pikir ada pengkhianat di tim kita?" tanya Adrian akhirnya."Lebih dari itu," jawab Bima dengan suara rendah. "Aku yakin seseorang telah menjual kita ke Tanaka."Penyelidikan segera dimulai. Bima menginstruksikan beberapa orang kepercayaannya untuk menyelidiki tiap anggota tim. Dia tahu betul bahwa siapa pun yang berkhianat pada mereka harus ditemukan sebelum lebih banyak kerusakan terjadi. Adrian ikut serta, menginterogasi beberap
Malam masih sunyi, tapi ketegangan meliputi suasana markas Bima. Adrian tengah duduk di meja besar yang penuh dengan peta dan dokumen. Di depannya, Bima berdiri dengan tangan terlipat, matanya tajam memandangi rencana yang sudah mereka buat untuk menyerang Mr. Tanaka. Setelah insiden pengkhianatan Darto, semua orang semakin berhati-hati."Semua sudah siap," ujar Bima, suaranya tenang namun penuh kewaspadaan. "Kita hanya tinggal menunggu waktu yang tepat."Adrian mengangguk, meskipun ekspresinya sedikit tegang. "Tapi kita tidak bisa santai. Tanaka pasti sedang menyusun balasan."Sementara mereka berdiskusi, beberapa karakter pendukung yang relevan mulai berdatangan. Ada Yusuf, ahli teknologi yang membantu Bima dan Adrian dalam mengawasi komunikasi digital Mr. Tanaka. Yusuf sudah berada di belakang layar sejak awal, namun keahliannya menjadi semakin vital setelah pengkhianatan Darto. Di samping Yusuf, ada Reza, pemimpin tim lapangan yang mengatur orang-orang Bima untuk serangan langsung
Langit pagi di pelabuhan tampak mendung, seolah alam mengetahui bahwa pertempuran akan segera terjadi. Suara deru ombak bercampur dengan suara langkah kaki yang tergesa-gesa, membuat suasana semakin tegang. Di antara deretan kontainer yang menjulang, Bima, Adrian, Reza, dan tim mereka berdiri dengan penuh kewaspadaan.Bima merapatkan jaket hitamnya, tatapannya lurus ke depan. "Ini adalah kesempatan terakhir kita untuk menghancurkan Tanaka sebelum dia sempat menyerang lagi."Adrian, berdiri di samping Bima, menghela napas panjang. Meskipun matanya penuh kelelahan, semangat bertarungnya masih menyala. "Kita harus berhati-hati. Tanaka pasti sudah mempersiapkan pertahanan yang kuat."Reza dan Yusuf memimpin persiapan lapangan. Reza, dengan pengalaman taktisnya, membagi tim menjadi beberapa kelompok kecil. Yusuf, di sisi lain, memantau jaringan komunikasi untuk memastikan bahwa tidak ada kejutan dari pihak Tanaka."Tim satu dan dua akan menyusup dari sisi utara," kata Reza sambil menunjukk