Pagi itu, sinar matahari menelusup melalui celah-celah tirai jendela ruang makan, menerangi meja panjang yang hanya dihuni oleh tiga sosok wanita. Laras duduk diam, matanya tertuju pada cangkir teh di depannya. Di seberang meja, Maya dan Siska, kedua istri Adrian lainnya, sibuk dengan sarapan mereka. Percakapan di antara mereka terdengar singkat dan dingin.
"Laras," suara Maya memecah keheningan, "kamu tidak pernah keluar dari kamar selain saat sarapan. Apa kau tidak bosan?" Senyuman tipisnya tidak sampai ke mata.
Laras mengangkat wajah, memberikan senyum sopan yang terasa dipaksakan. "Aku hanya tidak ingin mengganggu."
Siska menyeringai kecil, matanya menilai. "Kau ini terlalu pemalu. Jangan khawatir, kami tidak akan menggigit."
Laras menundukkan pandangan, tidak berniat memperpanjang percakapan. Sudah satu tahun ia menjalani kehidupan ini menjadi istri ketiga Adrian Wijaya. Meskipun ia telah mendapatkan keamanan finansial untuk Bima adiknya, pernikahan ini tidak pernah memberikan kebahagiaan yang diharapkannya. Di rumah besar ini, dia hanya bayangan di antara dua wanita lain yang lebih lama berada di sisi Adrian.
Adrian muncul di pintu, mengenakan jas hitam rapi. Tanpa menyapa, ia berjalan menuju meja, sekilas melihat ketiga istrinya. "Ada hal yang perlu aku bahas dengan Laras," ucapnya singkat, sebelum melangkah keluar, memberi isyarat pada Laras untuk mengikutinya.
Laras berdiri dan mengikuti Adrian ke ruang kerjanya yang besar dan mewah, namun terasa lebih seperti ruang negosiasi daripada tempat yang nyaman. Adrian menatapnya dengan mata tajam, tanpa ekspresi hangat.
"Aku ingin kita mulai mempertimbangkan memiliki anak," katanya to the point, tanpa basa-basi.
Laras tercekat, tidak menyangka langsung dibawa ke topik ini. "Apakah itu yang benar-benar kamu inginkan?" tanyanya dengan suara pelan.
"Aku sudah menikahimu untuk itu, Laras," jawab Adrian, seolah itu adalah hal yang seharusnya sudah jelas. "Aku butuh penerus, dan Maya serta Siska tidak bisa memberikannya."
Jawaban itu menusuk hati Laras. Di balik wajah tenangnya, ada gejolak perasaan yang semakin sulit disembunyikan. Ia merasa semakin jauh dari Adrian, dari dirinya sendiri, dan dari kehidupan yang pernah ia impikan.
"Baik," ucap Laras akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. Ia tahu, apapun yang terjadi, ia tidak bisa menolak. Pernikahan ini adalah harga yang harus ia bayar untuk Bima, dan Adrian tidak pernah benar-benar menganggapnya lebih dari sekadar alat untuk mencapai tujuan.
Adrian mengangguk singkat, lalu kembali menekuni dokumen di mejanya. "Itu saja. Kamu boleh pergi."
Laras keluar dari ruang kerja dengan langkah ringan namun hati yang berat. Di luar, Maya dan Siska berdiri di ujung koridor, menatapnya dengan mata penuh kecurigaan dan ketidakpercayaan. Laras hanya bisa melewati mereka, mengabaikan tatapan tajam yang terasa seperti tusukan.
Saat duduk kembali di kamarnya, Laras merasakan betapa kecilnya dirinya di tengah-tengah kehidupan yang tidak pernah ia pilih. Bima telah berhasil mencapai impiannya, tapi Laras mulai meragukan apakah pengorbanannya sepadan. Dalam sunyi, Laras menyadari, ia telah kehilangan lebih dari yang pernah ia bayangkan.
Malam itu, Laras duduk di kursi depan cermin, menyisir rambutnya yang panjang dengan gerakan lambat. Kamar yang besar dan mewah di rumah ini tidak memberikan kenyamanan. Suara tawa dari lorong luar terdengar samar Maya dan Siska, berbicara pelan sambil tertawa kecil. Mereka selalu membuat Laras merasa seperti orang luar, meskipun mereka adalah 'keluarga' dalam pandangan Adrian.
Saat pintu kamar terbuka, Laras langsung mengenali langkah kaki Adrian. Pria itu masuk tanpa mengetuk, seperti biasa. "Kau belum tidur?" tanyanya tanpa melihat ke arah Laras, suaranya datar.
Laras berhenti menyisir dan meletakkan sisirnya di meja rias. "Belum. Ada yang ingin dibicarakan?"
Adrian menatap cermin, matanya bertemu dengan bayangan Laras. "Aku hanya ingin memastikan semuanya berjalan sesuai rencana," ucapnya singkat.
Laras hanya mengangguk, tidak ada kata yang bisa mengubah situasi ini. Ia menyadari, bagi Adrian, semuanya adalah rencana termasuk pernikahan mereka.
Adrian beranjak menuju pintu, sejenak berhenti, dan berkata, "Besok aku ada Acara penting. Pastikan kau datang ke acara amal bersama Maya dan Siska. Itu akan menjaga citra keluarga."
Setelah Adrian keluar, Laras menghela napas panjang. Acara amal, rapat, pertemuan bisnis semuanya tentang penampilan, tanpa ada ruang untuk perasaan. Ia memandang cermin sekali lagi, bertanya-tanya kapan terakhir kali ia melihat dirinya tersenyum tulus.
Pikirannya melayang pada Bima. Ia sering mengirim pesan singkat, menanyakan kabar adiknya, tapi balasan Bima selalu singkat dan terburu-buru. Meskipun Bima kini menjalani kehidupannya di universitas, Laras merasakan jarak yang semakin jauh di antara mereka. Padahal dulu, mereka selalu saling mengandalkan.
Laras mendekati jendela, matanya menatap taman belakang yang terbenam dalam kegelapan. rumah mewah yang terasa kosong, dan adiknya yang semakin jauh membuatnya bertanya-tanya, sampai kapan ia harus bertahan dalam kepalsuan ini.
Besok akan ada acara amal, sebuah kewajiban lain dalam daftar panjang yang harus dijalani. Laras tahu bahwa dirinya harus kuat, tapi setiap hari yang berlalu membuatnya semakin sulit menemukan alasan untuk bertahan.
Keesokan harinya, Laras harus memilih satu dari sekian banyak gaun mewah pilihan Adrian. Setiap gaun adalah sebuah pernyataan, sebuah gambaran diri yang diinginkan Adrian. Tak ada ruang untuk ekspresi pribadi. Dengan pasrah, Laras memilih gaun krem lembut. Warna yang aman, sesuai dengan skrip yang sudah dituliskan Adrian untuknya.
Saat dia tengah memasang anting-anting, pintu kamar terbuka, dan Maya masuk tanpa mengetuk. Maya menatap Laras dari ujung kepala hingga kaki, seolah menilai apakah penampilannya sudah sesuai standar.
"Laras, kau sudah siap?" tanya Maya dengan nada yang terdengar ramah, namun di baliknya ada sedikit nada menyindir. "Kita tidak ingin terlambat, bukan?"
Laras mengangguk pelan, mengatur nada suaranya agar terdengar sopan. "Aku hampir selesai. Hanya tinggal memakai sepatu."
Maya melirik gaun yang dikenakan Laras dan tersenyum kecil. "Gaun yang bagus. Adrian memilihnya, kan? Dia memang punya selera yang bagus."
"Ya, Adrian yang memilihnya," jawab Laras singkat. Ia tahu betul bahwa Maya sedang berusaha menekankan posisi Laras yang seolah-olah hanyalah pelengkap bagi Adrian.
Maya tertawa kecil. "Well, kita semua tahu apa yang diinginkan Adrian. Kau hanya perlu mengikutinya, dan semuanya akan berjalan lancar."
Setelah Maya keluar, Laras memandang cermin sekali lagi. Ia merasa seperti boneka yang dipajang, tanpa kebebasan untuk memilih apa pun dalam hidupnya. Tapi tak ada waktu untuk merenung lebih lama. Acara amal menunggunya, dan Laras harus siap menghadapi hari yang panjang.
Laras pergi dengan sopir yang sudah di sediakan Adrian, setelah 30 menit perjalanan Laras telah sampai di lokasi. Acara amal berlangsung di ballroom hotel yang megah, dipenuhi oleh orang-orang penting.
Maya dan Siska sudah berada di sana lebih dulu, sibuk berbincang dengan para tamu. Ketika Laras tiba, mereka hanya memberikan senyum tipis, seolah menandakan bahwa Laras hanyalah pelengkap dalam acara ini.
Tidak jauh dari tempat Laras berdiri, sekelompok wanita berkumpul sambil memandangi dia dengan mata yang penuh rasa ingin tahu. Salah satu dari mereka, seorang wanita paruh baya dengan perhiasan mencolok, mencondongkan tubuhnya ke arah temannya dan mulai berbisik.
"Jadi, itu Laras? Istri ketiga Adrian Wijaya?" bisik wanita itu sambil melirik Laras dengan tatapan meremehkan.
"Ya, benar. Kabarnya dia berasal dari desa," jawab temannya, dengan nada setengah mengejek. "Aku dengar Adrian menikahinya karena sesuatu yang mendesak. Mungkin saja karena ingin memiliki keturunan yang dia tidak dapatkan dari dua istri sebelumnya."
"Apa? Dari desa?" Wanita lain di kelompok itu mengerutkan alis, seolah tidak percaya. "Dan dia bisa masuk ke keluarga sebesar Wijaya? Sungguh luar biasa keberuntungan wanita itu."
Wanita paruh baya itu tertawa kecil, suaranya penuh dengan cemoohan. "Keberuntungan atau tidak, yang jelas dia pasti merasa terasing di sini. Lihat saja cara dia berdiri, seperti ikan keluar dari air."
Mereka tertawa bersama, suara mereka cukup pelan untuk tidak menarik perhatian orang lain, tapi cukup keras untuk Laras mendengar percakapan itu. Hatinya mencelos, namun ia mencoba tetap tenang dan tidak menunjukkan reaksi apa pun. Laras tahu bahwa bisikan-bisikan semacam ini akan selalu ada, tapi tidak pernah mudah untuk diabaikan.Tak jauh dari sana, Maya dan Siska juga mendengar percakapan itu. Maya menukar pandangan cepat dengan Siska, sebuah isyarat yang tak perlu kata-kata. Mereka berdua tahu bahwa gosip ini bisa menjadi senjata yang ampuh untuk menekan Laras di masa mendatang."Lihatlah, Siska," bisik Maya dengan nada licik. "Gosip sudah mulai menyebar. Sepertinya kita tidak perlu repot-repot menciptakan cerita. Orang-orang sudah melakukannya untuk kita."Siska tersenyum tipis. "Ya, tinggal bagaimana kita menggunakannya saja. Ini akan menjadi menarik."Saat Laras berjalan menuju tempat duduk yang telah disiapkan, Siska mendekatinya. "Kau harus lebih sering tampil di acara-acara
Saat malam tiba, Laras duduk sendirian di ruang tamu, menatap jendela yang menghadap ke luar rumah. Pikirannya melayang ke Bima, dan dia merasa semakin kesepian. Teleponnya bergetar, mengingatkannya pada transfer uang yang baru saja dia lakukan untuk Bima.Ia menerima pesan singkat dari Bima: "Terima kasih, Kak. Aku sangat menghargai semua yang kau lakukan. Bagaimana kabarmu?"Laras membalas dengan cepat: "Aku baik-baik saja, hanya sedikit lelah. Aku berharap kau baik-baik saja di sana."Bima membalas dengan pesan singkat namun penuh kasih: "Aku baik, terima kasih. Jangan terlalu membebani dirimu. Aku tahu kau melakukan banyak untukku."Laras menatap layar teleponnya, merasakan air mata menggenang di matanya. Setiap kali dia melihat Bima bahagia dan sukses, dia merasa bangga, namun juga sedih karena harus mengorbankan kebahagiaannya sendiri.Hari berikutnya, tekanan dari Maya dan Siska semakin meningkat. Mereka mulai mengatur pertemuan sosial tanpa melibatkan Laras, mengabaikannya dal
Bima Kusuma menjalani dua kehidupan yang sangat berbeda. Di satu sisi, dia adalah mahasiswa yang rajin, dikenal dengan kepintaran dan ketajaman pikirannya di kampus. Namun, di balik penampilan akademisnya yang rapi, Bima juga menjalani kehidupan sebagai tangan kanan bos mafia terkemuka di kota.Pagi itu, Bima memasuki ruang kuliah dengan senyum tipis. Ia menyusun buku-bukunya dengan rapi, berusaha menyembunyikan lingkaran hitam di bawah matanya. Di kelas, ia aktif berdiskusi, memberikan pendapat yang cerdas, dan menjawab pertanyaan dosen dengan percaya diri.“Bima, kau selalu punya jawaban yang tepat,” puji dosen dalam kuliah Ekonomi. “Apa rahasianya?”Bima tersenyum singkat, “Hanya berusaha untuk memahami materi dengan baik. Terima kasih, Profesor.”Setelah pulang dari kuliah Bima pergi ke suatu tempat di sisi lain kota, suasana di sana sangat berbeda, penuh dengan ketegangan. Bima dikenal karena sikapnya yang dingin dan tegas. Ia sering memimpin operasi-operasi penting dengan sangat
Bima duduk di ruang kerjanya yang tenang, memeriksa dokumen dan laporan dari berbagai operasi mafia. Malam itu, pikirannya tidak sepenuhnya fokus pada pekerjaan. Setiap kali dia memikirkan Laras, hatinya terasa berat. Untuk menjaga jarak dan memastikan keselamatan Laras, Bima baru-baru ini menugaskan salah satu bawahannya untuk memantau situasi dari jauh.Ketika seorang bawahannya, Rizal, memasuki ruangan dengan ekspresi serius, Bima langsung merasakan ada sesuatu yang penting.“Rizal, ada apa?” tanya Bima, menatap bawahannya dengan penuh perhatian.Rizal duduk di depan meja Bima dan mengeluarkan sebuah laporan. “Bos, aku baru saja mendapatkan informasi tentang situasi Laras.”Bima mengerutkan dahi. “Apa yang terjadi?”Rizal mulai menjelaskan. “Aku telah mengawasi Laras dari jarak jauh, seperti yang Anda minta. Aku mendengar percakapan antara Laras dan beberapa anggota keluarga Wijaya. Aku juga mendengar desas-desus tentang bagaimana Adrian menikahi Laras hanya untuk memiliki anak saj
Di ruang kerja Bima yang terletak di apartemennya, Bima melihat berbagai dokumen. Dia membuka dokumen yang berisi informasi mengenai beberapa bisnis ilegal yang dimiliki Adrian.Sambil menyisir data yang ada, Bima menemukan beberapa transaksi mencurigakan dan laporan keuangan yang menunjukkan adanya kegiatan ilegal. Setiap bukti yang dia temukan menambah daftar panjang pelanggaran hukum yang dilakukan Adrian.Bima memindai dokumen-dokumen tersebut dengan seksama. “Jadi, Adrian terlibat dalam lebih banyak hal daripada yang terlihat di permukaan,” gumamnya pada diri sendiri. “Bisnis-bisnis ini bisa membuatnya sangat rentan jika informasi ini jatuh ke tangan yang salah.”Saat Bima melanjutkan pencariannya, dia mulai menemukan informasi tambahan mengenai Maya dan Siska. Ternyata, keduanya memiliki hubungan dengan beberapa perusahaan cuci uang yang juga terhubung dengan jaringan bisnis ilegal Adrian. Rahasia ini bisa menjadi senjata berharga jika digunakan dengan tepat.“Menarik,” kata Bim
Di ruang rapat kantor hukum , cuma meja panjang sama kursi-kursi yang keliatan. Bima duduk paling ujung, mukanya serius kayak lagi nyusun rencananya. Di sekelilingnya ada pengacara dan anak buahnya."Mantap banget infonya, Bim,"kata si pengacara, sambil ngelirik-lirik kertas. "Sekarang kita harus merencanakan langkah awal untuk mengatasi keluarga Wijaya."Bima mengangguk. "Yang pertama, kita hancurin dulu bisnis mereka. Kalau duitnya habis, mereka pasti kalang kabut."Rafi, si ahli komputer yang dari tadi diem aja, tiba-tiba nyambung, "Gimana kalau kita retas sistem mereka? Kita sebarin gosip bohong biar klien-kliennya kabur semua.""Bima mengerutkan kening. "Rafi, lo yakin bisa ngelabuin sistem keamanan mereka?""Tenang aja, bos," jawab Rafi dengan percaya diri. "Saya udah punya beberapa trik."Bima mengetuk-ngetuk meja dengan jari, matanya fokus pada tumpukan dokumen di depannya. "Kita mulai dari bisnis utamanya, Adrian. Kalau kita bisa buktiin ada yang enggak beres di perusahaan-pe
Pada malam hari cahaya api yang menari-nari menerangi wajah Bima yang dingin. Gudang besar itu kini hanya tinggal rangka hangus, asap hitam mengepul tebal ke langit malam. Bau hangus menyengat memenuhi udara, menjadi saksi bisu atas keberhasilan misi mereka. Rafi, tangan kanannya, mendekat, wajahnya penuh dengan kekaguman. "Bos, kita berhasil hancurin semuanya. Nggak ada satupun barang yang selamat," lapornya.Bima menatap api dengan dingin. “Bagus. Ini baru langkah awal. Kita harus memastikan bahwa kerusakan ini menyebabkan dampak yang signifikan.”katanya dengan nada mengancam. "Bikin Adrian tambah panik. Dia harus merasakan penderitaan Laras" Tambahnya dengan suara yang sangat dingin Rafi mengangguk. “Kami sudah menyebarkan berita tentang kebakaran ini ke media lokal. Ini akan menambah tekanan pada Adrian dan membuatnya semakin khawatir.”Bima memerintahkan timnya untuk meninggalkan lokasi dengan cepat, menghindari terdeteksi oleh pihak berwenang atau media. “Kita harus tetap menj
Laras merasa semakin tertekan. Ia berdiri di jendela kamarnya, memandang ke luar, memikirkan situasinya. Kepalanya terasa berat karena banyaknya beban yang harus dia tanggung. Menghadapi kesulitan dalam pernikahannya dan ketegangan di rumah membuatnya merasa seperti berada di tepi jurang.Di ruang makan, Maya dan Siska berbicara dengan nada yang penuh sindiran. Maya, sambil menyajikan teh, mengatakan, “Siska, apakah kamu sudah mendengar tentang masalah baru Adrian? Sepertinya dia benar-benar tidak beruntung akhir-akhir ini.”Siska menambahkan, “Ya, dan kita semua tahu betapa rentannya posisinya sekarang. Sepertinya banyak masalah yang datang bersamaan.”Laras mendengarkan percakapan mereka dari jarak jauh, merasa terasing. Dia tahu bahwa Maya dan Siska bukan hanya memperhatikan situasi dari jauh tetapi juga mungkin mencoba untuk mengambil keuntungan dari kekacauan tersebut.Laras merasa semakin terjepit di tengah situasi yang tidak pernah dia bayangkan. Setiap hari, dia berusaha berad