"Aku harus bagaimana?" tanya Juli pada udara di kamarnya.
Sudah setengah jam Juli duduk di kursi sambil menggigit ujung kukunya. Ia galau segalau-galaunya. Pikirannya buntu. Ia berusaha mengumpulkan jumlah uangnya di beberapa bank. Cukup sih, namun tinggal sisa sedikit.
"Aku harus bagaimana?" tanyanya ulang.
Kepalanya berdenyut mendengar penjelasan dari Amel tadi, ketika Juli menelepon Amel sesuai janjinya semalam.
"Kak, bapak kecelakaan pas pulang dari pasar. Kaki kanannya patah dan harus di operasi. Karena pas kecelakaan kondisi kaki bapak mengkhawatirkan, dibawalah sama orang-orang sekitar sana ke Rumah Sakit tedekat yang ternyata biayanya mahal," sesekali terdengar isak tangis dari Amel.
Juli mau menghela nafas, namun takut terdengar Amel.
"Biayanya berapa Mel?" tanya Juli langsung, dengan nada yang lembut.
"27 juta kak. Amel ada tabungan 2 juta, Bapak 6 juta. Tapi masih kurang 19 juta. Amel sudah tanya apa bisa diringankan, tapi di sana standart-nya segitu, soalnya pakai metode apalah itu Amel nggak paham. Katanya penyembuhannya bisa lebih cepat."
Amel, gadis berusia 18 tahun yang merupakan anak sulung dari Karmin. Perbedaan usia yang hanya 4 tahun dari Juli, membuat Juli menganggap anak manis itu sebagai adik. Ia tidak pernah meminta apapun meski sejak kecil akrab dengan Juli dan ia tahu bahwa keluarga Juli kaya raya.
"Ya sudah coba kirim nomer rekeningnya, nanti aku transfer 20 juta ya, sejutanya untuk jaga-jaga."
"Terima kasih ya Kak. Nanti kalau Amel sudah dapat kerja part time, Amel bayar cicilannya ke kakak."
Alih-alih meminta, Amel justru meminjam uang itu pada Juli. Ah, betapa Juli sayang sekali pada anak ini. "Iya, nanti kalau Amel kuliahnya sudah stabil, sudah bisa cari kerja part time, Amel boleh cicil."
"Iya kak, sekarang Amel berangkat jalan ke rumah sakit dulu ya. Kakak hati-hati di Kota, jangan lupa makan sama minum vitamin. Dah Kakak."
"Bye," Juli menutup sambungan teleponnya. Lalu masuklah satu pesan dari Amel.
Tanpa pikir panjang, Juli mentransfer sejumlah uang sesuai janjinya. Supaya Amel bisa segera laporan ke pihak rumah sakit.
Heumn, tinggal 20 juta. Ini kenapa Ayah cuma kasih uang sedikit sih buat aku? Terus perhiasanya juga nggak tahu surat-suratnya ada dimana, jadinya nggak bisa aku jual.
Pikiran Juli masih berkelana. Karena masalah ini sudah selesai, Juli beranjak dari kursi menuju ranjang. Meski perutnya lapar, tapi ia enggan keluar dari kamar. Mood makannya tidak ada pagi ini.
Mengambil botol air mineral di meja kecil, Juli menenggaknya untuk menyegarkan tenggorokan. Lalu ada satu panggilan masuk dari Bi Inah.
"Iya Bi," jawab Juli.
Terdengar isakan tangis di seberang telepon. Juli melongo. Oh, ada apa lagi ini? Jika seorang Bi Inah sudah menangis, pasti dunia sedang tidak baik-baik saja.
"Kenapa Bi?"
"Anu Non, bibi belum bisa pulang. Cucu bibi masih dirawat, katanya ada kelainan jantung. Tapi sampai sekarang belum ditangani, soalnya kalau mau pakai gratis dari pemerintah anak ini nggak punya Kartu Keluarga. Bapaknya anak ini kabur Non, kurang ajar memang itu orang! Kalau bayar sendiri bibi bingung, biayanya bisa ratusan juta, huwaaaaa..." akhirnya tangisan Inah pecah.
Sepertinya beban selama 2 hari ini menguap dan sudah tidak mampu Inah bendung. Namun Juli benar-benar paham kenapa Inah baru melapor sekarang. Di satu sisi ia ingin pinjam uang pada Juli, namun di sisi lain ia tahu bahwa Juli sudah tidak sekaya dulu.
Juli meremas rambutnya, merasa tidak berguna. Harta yang kini ia miliki hanya perhiasan mendiang Ibunya tanpa surat-surat, serta mobil yang mereka gunakan. Semuanya benda yang tidak bisa Juli jual dengan berbagai pertimbangan.
"Paling lama kapan Bi operasinya?" tanya Juli pada akhirnya.
"Minggu ini Non, tapi... Bibi tau ini bukan tanggung jawab Non. Bibi cuma curhat Non, mau ijin karena belum bisa pulang," kata Inah pada akhirnya.
"Iya Bi, Juli paham."
Dan Juli membenturkan kepalanya pada headboard ranjang setelah menutup telepon.
Juli bodoh, sok pahlawan! Ibuuu, Juli harus bagaimana?
Hingga akhirnya Juli tertidur karena menangis sepagian ini.
Matahari sudah meninggi, Juli membuka kedua matanya yang terasa lengket karena kotoran bekas menangis. Bukannya lebih segar, ia malah semakin galau karena masalah baru yang menimpa Bi Inah.
Akhirnya Juli membuka sosmed untuk sekedar membunuh waktu. Dan di saat ia melihat wallpaper ponsel yang berisi foto Juli, Ibu dan Ayah itulah, ia teringat akan satu kartu nama yang Inah berikan saat masuk mobil di pagi buta itu. Kartu nama dari Ayah Juli yang di belakangnya terdapat satu pesan.
Oktaviano Sastrawan, CEO of Sastrawan Group.
Kalau suatu saat kamu kesulitan uang, coba hubungi orang ini.
Begitulah pesan dari Ayah. Entahlah, meski Juli pernah ikut Ayah ke berbagai acara, namun ia tidak mengenal kolega-kolega Ayah secara dekat. Paling hanya sekilas. Apakah orang ini juga salah satu dari yang pernah Juli temui?
Jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi.
Tidak ingin buang waktu, Juli mandi dan make up tipis-tipis serta memakai Slit Dress berwarna putih polos yang membuat tubuh mungilnya terlihat lebih jenjang (dress yang niatnya malam ini ia pakai ke klub lagi). Tidak lupa sepatu kulit hitam, serta shoulder bag dan jam tangan dengan merk dan warna hitam senada.
Rambut ikal yang ketika terkena cahaya matahari akan berwarna cokelat alami sebawah bahu dikeringkan sebentar, lalu disemprot hair mist agar saat kering terasa lembut.
"Siang Neng, mau saya pesankan taksi?" tawar security saat melihat penampakan bidadari menjelang siang.
"Boleh Pak," jawab Juli.
Memasuki taksi berwarna biru, Juli menyebutkan alamat yang ada di kartu nama. Sebuah gedung tinggi dengan desain kekinian yang pernah Juli lewati beberapa kali.
Tanpa ada obrolan dengan pengemudi, suasana taksi terasa senyap meskipun di luar deru klakson bersahutan karena ini masih jam kantor. Perjalanan selama 20 menit pun terasa begitu cepat karena Juli sibuk dengan skenario yang akan ia katakan pada CEO bernama Okta itu.
"Permisi mbak, kita sudah sampai di lobi."
Juli tidak menyahut.
"Mbak," tegur pengemudi sekali lagi.
"Eh, iya."
Juli terlonjak kaget. Sekilas ia melihat jumlah argo, lalu menyerahkan selembar uang seratus ribuan kepada pengemudi. "Kembalinya untuk Bapak saja, terima kasih."
"Makasih banyak ya Mbak, semoga sehat selalu."
Juli hanya tersenyum ramah bintang 5. Senyuman Juli itu tetap bertahan sampai sepasang mata bulatnya melihat security di pintu masuk.
"Selamat siang Bu, ada yang bisa dibantu?" tanya security ramah.
"Siang Pak, saya mau bertemu dengan Bapak Oktaviano bisa?"
"Dengan Ibu siapa, dari perusahaan mana? Apa sebelumnya sudah ada janji?"
"Saya belum ada janji sih," ujar Juli ragu.
Security tersebut ikut ragu. Agak mencurigakan, tapi sepertinya wanita baik-baik. Ia jadi tidak tega dan menawarkan opsi lain. "Biasanya yang bertemu dengan Pak Okta sudah ada janji," kata security ber-name tag Rojali. "Tapi kalau memang penting, coba saya tanyakan dulu ke resepsionis ya Bu," lanjutnya kemudian.
"Baik, Pak. Nama saya Juliana Prameswari, dari Universitas Pelita Negeri."
Mati kamu Jul! Gimana ini, apa balik pulang aja?
Beberapa butir keringat mulai muncul di kening Juli. Pembicaraan security dengan respsionis terlihat agak samar dari balik pintu kaca. Kemudian security keluar dan mempersilahkan Juli untuk menghadap resepsionis langsung.
OMG, resepsionisnya aja cantik banget!
Juli memperhatikan resepsionis bertubuh tinggi semampai dan memakai setelan blazer lengan pendek warna baby blue serta make up berwarna bold yang entah kenapa sangat pas membingkai wajah dewasanya.
"Maaf, bisa saya pinjam kartu tanda pengenalnya?" tanya wanita dengan name tag Nina.
"Oh, ini Mbak," Juli mengambil tanda pengenalnya.
Nina mengecek dengan datanya, karena nama Juli tidak masuk dalam blacklist jadi ia meminta Juli untuk menunggu di sofa karena Bosnya sedang dalam perjalanan kembali, dan segera menghubungi asisten bos sesuai dengan peraturan perusahaan.
Terus kalau sudah bertemu Pak Okta, kamu mau ngapain Jul? Pinjam uang gitu sama orang asing? Lihat aja tuh resepsionis mandang kamu kayak sugar baby si Bapak Okta.
Juli semakin kencang meremas tangannya sendiri, lalu ingat untuk mencari informasi tentang lelaki bernama Okta itu.
Wah, masih muda dan single! Beda usia 10 tahun dengan Juli dan terlihat seperti Om-om ganteng. Pantas aja aku kelihatan kayak sugar baby pas cari dia.
Selesai mengintip wajah dan informasi tentang Okta, Juli lanjut bermain sosmed dan membuka meme serta komik online lucu yang membuatnya sesekali tertawa.
Kriuuukkkkk
Perut Juli berbunyi, sedikit nyeri dan keringat dingin muncul. Jam sudah menunjukkan pukul 12 siang. Pantas ia merasa sangat lapar. Masalah pagi ini membuatnya belum sempat mengunyah makanan apapun dan perutnya hanya terisi sebotol air mineral.
Juli memandang sekitar, kemudian berjalan ke resepsionis, berniat untuk ijin keluar sebentar mencari makanan jika Bosnya masih lama tiba.
"Permisi Mbak, mau tanya apa Pak Oktanya masih lama? Kalau masih lama apa saya boleh ke..."
"Eh itu dia Pak Okta datang," potong resepsionis ketika melihat penampakan Pak Okta dan Asistennya memasuki lobi.
Wajah Juli memelas. Tuhan, aku lapar!
"Siang Nina, jadi siapa yang mau bertemu dengan Pak Okta?" sapa lelaki berkacamata dan hidung mancung yang kelihatan tampan di mata Juli dari radius sekian meter.
"Siang Pak August, ini yang mau bertemu dengan Pak Okta," ujar Nina sambil menunjuk Juli dengan jempolnya, sopan.
Ih ganteng tapi namanya Agus. Mas Agus gitu? Bhahahaha, tapi so sweet juga kalau manggilnya Mas Agus, Mas Agus.
Juli terkikik dari balik rambutnya, sebelum menengok ke arah dua lelaki itu, Juli membenarkan ekspresi wajahnya terlebih dahulu.
"Siang Pak, perkenalkan nama saya Juli."
Degh, sepasang mata Juli menatap lelaki di sebelah August. Yang memiliki tubuh tinggi, rambut tebal hitam pekat dan mata berwarna hazel. Dialah Oktviano Sastrawan.
Mati kamu Jul! Aslinya ganteng banget woy!
August memperhatikan kedua orang tersebut, kemudian menyela. "Baik, kami tunggu di ruangan Pak Okta sekarang juga." Dengan maksud agar Juli naik lift yang berbeda atau bergantian setelah mereka berdua.
Juli terdiam, perutnya semakin melilit.
"Tidak usah, ajak naik lift langsung saja biar cepat!" sahut Okta dengan suaranya yang terdengar berat di telinga Juli dan bahasa baku yang cocok dengan karakternya.
Nina keluar dari area kerjanya, kemudian menuntun Juli untuk berjalan di belakang Okta dan August, lalu menekan lift menuju ruangan Okta.
"Silahkan Mbak Juli."
"Baik, terima kasih mbak," Juli segera masuk ke dalam lift agar ia berada di posisi belakang.
Okta menatap Juli dari pantulan cermin full dalam lift, yang sejak masuk tadi menundukkan pandangan. Ia menilai penampilan Juli siang ini yang terlihat simpel namun cukup elegan untuk anak seusianya. Meski bukan barang yang mahal sekali, namun outfit Juli masih bernilai jutaan.
Ting!
August keluar lift sambil menahannya hingga Okta dan Juli keluar. Lalu menggiring mereka untuk memasuki ruangan yang betuliskan 'CEO'.
"Silahkan duduk," August mempersilahkan Juli duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan kursi Okta.
"Permisi," Juli merapikan posisi duduknya.
Okta berjalan ke arah kulkas mini di sudut ruangan, lalu mengambil air mineral dengan botol beling berwarna hijau.
Juli yang sedang gelisah hanya bisa menenggak liurnya ketika melihat buliran embun yang menetes di botol air mineral. Ya, air mineral untuk Okta sendiri, Juli tidak dibagi.
"Jadi ada kepentingan apa anda datang ke sini?" tanya Okta tanpa tedeng aling-aling.
"Hemn," Juli berdehem sebentar.
August berdiri di sebelah Okta, menunggu apakah akan ada adegan berdarah diantara mereka berdua.
"Begini Pak Okta. Saya kurang tahu sih Ayah saya kenal atau enggak sama bapak, tapi sebelum Ayah dibawa pergi, Ayah meninggalkan kartu nama bapak dan bilang kalau suatu saat saya butuh bantuan masalah uang, saya bisa meminjam ke bapak," Juli berusaha menjelaskan secara singkat dan diberi kata-kata tambahan agar meyakinkan. "Dan sekarang saya sedang butuh..."
Okta membuka mulutnya dan terpampang barisan giginya yang rapi, menertawakan si beban anak istri. Lelaki tua itu benar-benar tahu kelemahan Okta.
"Pak," August mengingatkan.
"Begini ya Juli, lelaki itu hanya memberi uang ke 4 wanita. Ibunya, Istrinya, Anaknya dan Selingkuhannya. Berhubung saya belum nikah dan tidak bisa selingkuh, memang kamu mau jadi istri saya? Berani-beraninya kamu minta uang ke sini!" sindir Okta tajam.
Oke, kali ini kening Juli juga berdenyut menghadapi lelaki yang ganteng tapi tidak nyambung ini. Dimana korelasi antara meminjam uang dan jadi istri? Huft.
"Pinjam pak, bukan minta," Juli berusaha meluruskan arah pembicaraan mereka.
"Bukannya meminta ya namanya, kalau tidak bisa bayar?" Okta selalu menikam Juli dengan kata-katanya yang tajam namun kenyataan.
Ditengah suasana hati yang buruk, ego Juli tercambuk. Siang ini ia datang dengan kerendahan hati dan berharap mendapat sambutan yang baik. Dengan naif Juli berpikir bahwa Okta adalah teman Ayahnya. Namun ini semua diluar prediksinya dan membuat Juli kesal ditengah rasa lapar.
Ya sudahlah nggak jadi hutang! Biar saja itu mobil aku jual, daripada kesal!
Teriakan itu menggema di kepala Juli. Tapi kalau jual mobil tidak bisa cepat, ah Juli kembali galau.
Okta memajukan wajahnya lurus ke wajah Juli. Meski mereka dibatasi meja, Juli dapat mendengar deru nafas Okta yang agak tesengal menahan emosi. Entah emosi karena apa. Orang kaya kalau berhubungan dengan uang jadi lebih sensitif ya.
"Juli, kamu nggak kenal saya?" pada akhirnya mulut Okta tidak mampu menahan pertanyaan itu. Padahal sejak di dalam mobil tadi August sudah mengingatkan agar tidak gegabah.
Mata Juli berputar, berusaha mengingat sesuatu namun nihil. Masalahnya kolega Ayah kan memang ganteng-ganteng semua khas orang kaya, jadi Juli mana ingat.
"Maaf, tapi saya nggak inget pak."
Okta bangkit dan berdiri di sebelah tempat duduk Juli.
August memasang status waspada.
Juli mematung.
"Coba diingat, saya ini siapa?" tanya Okta dengan amarah yang coba ia tahan.
Juli kembali menggeleng.
Tring
Suara botol air mineral yang membentur meja marmer ketika diangkat oleh Okta menggema di ruangan. Okta mengarahkan botol ke kepala Juli dengan gerakan cepat, namun ia menghentikannya dalam jarak 10 centi dari kepala Juli.
"Aaaaaa!!!" jerit Juli histeris dengan wajah pucat dan mata memerah, kemudian ia pingsan sambil menutup kepalanya yang kini menunduk di atas meja.
"Pak, saya kan sudah mengingatkan jangan sampai terpancing sama Juli," protes August dari balik kemudi sambil melirik Okta yang sedang merangkul lengan Juli di kursi belakang. "Saya nggak sengaja!" sahut Okta emosi. "Kamu kan tahu sendiri gimana anak ini mukul kepala saya pakai botol beling, gimana saya nggak emosi kalau lihat wajahnya." August terkikik. Bosnya si paling emosian ini memang sulit menahan diri. Kalau dia bilang A ya A, B ya B. Maka saat ia bertemu dengan gadis barbar yang tidak menurut seperti Juli, jiwa Okta berontak. "Terus kita bawa kemana Pak? Rumah Sakit?" tanya August tidak yakin. Takutnya dikira mereka berdua habis melakukan kejahatan pada Juli. Krauukkkkk, perut Juli kembali berbunyi. Okta mendelik. Mungkin alasan gadis ini pingsan bukan hanya takut, tapi karena lapar. Apa sejak kejadian semalam itu dia belum makan ya? "Bawa ke apartemen saya saja Gus, kalau ke rumah sakit takut bikin heboh," jawab Okta enteng. Juli yang sebenarnya hanya lemas dan tidak pi
"Tapi sekarang kita jadi makan kan, Pak?" tanya Juli polos, karena sejak tadi Okta hanya bicara tanpa memesan satu menu pun. "Jul, saya serius." Juli meringis, "Tapi aku laparnya juga serius, Pak." Okta mendengus. Segera ia memesan makanan dengan porsi yang cukup banyak untuk mereka berdua. Sambil menunggu pesanan datang, Okta meng-scroll tab khusus untuk kantor untuk cek email yang masuk. Hingga ada satu pesan singkat dari anak buah yang ia minta untuk mengawal kasus Surya Tama. "Ayah kamu dapat jadwal sidang 2 minggu lagi. Kemungkinan setelah itu akan dipindahkan ke rumah tahanan," ujar Okta setelah membaca laporan dari Doni. "Tapi Ayah benar melakukannya?" tanya Juli memastikan. Okta hanya mengangkat bahu dengan wajah tengil miliknya, membuat Juli harus mengelus dada dengan perut yang lapar. "Selamat siang Bapak Ibu," sapa server sambil menaruh makanan dan minuman di meja. Setelah semuanya tertata rapi, server tersebut pamit kembali. "Silahkan, selamat menikmati.""Terima ka
"Okta itu... gimana ya, menurut Oma sih terlalu menyibukkan diri, jarang main dan nongkrong. Hidupnya cuma kerja, kerja dan kerja. Mungkin teman paling akrab ya asisten-nya. Udah gitu galaknya, ampun! Oma ketahuan belanja sebulan 6 kali aja langsung marah-marah dia," Oma memberikan fun fact sambil menyiapkan makanan untuk Okta. "Apa jangan-jangan dari lahir udah galak ya Oma?" tanya Juli dengan memasang wajah kaget yang dibuat-buat. Oma menaruh sepiring makanan di hadapan Okta, kemudian menutup mulutnya dengan gerakan berlebihan. "Wah... Oma kok nggak kepikiran ya. Dulu Oma lupa nanya sih ke Mamahnya Okta, pas baru lahir dia itu nangis apa langsung ngomel-ngomel." Juli terkikik geli. Oma ini memiliki vibes seperti Bi Inah. Lucu dan menyenangkan. Oh iya, bagaimana keadaan Bi Inah ya? "Oma, Juli ke sini bukan buat dengerin Oma stand up comedy," ujar Okta yang sebenarnya mau ikut melawak, namun wajahnya yang dingin tidak membuat kalimatnya terdengar lucu. Juli dan Oma menengok ke ar
"Masuk ke dalam sini, Non?" tanya Karmin sambil menghentikan mobilnya di depan gerbang berwarna hitam yang masih terbuka lebar. "Iya, tadi kata Ibu nama tempatnya ini." 2 tahun yang lalu, Juli datang ke sebuah Resto & Bar untuk menjemput Ayahnya yang sedang mabuk. Tidak, Ayah bukan seorang peminum. Hanya saja hari itu Ayah sedang mengadakan entertain untuk investor baru di perusahaan tempat Ayah bekerja. Dan sekitar 20 menit yang lalu, ada satu panggilan dari Ayah yang minta dijemput, suaranya kurang jelas dan sesekali tertawa kencang. Menandakan Ayahnya sedang mabuk. Ibu yang panik langsung membangunkan Juli dan memintanya untuk menjemput Ayah diantar oleh Karmin sang supir keluarga yang memang tinggal di rumah mereka. Tidak ada suara dentuman musik karena jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga dini hari. Dengan merapatkan sweaternya, Juli berjalan beriringan dengan Karmin yang tadi pagi hanya mengantar Ayah sampai ke kantor. Menurut petugas bar, Ayah dan 2 orang lainnya berada
"Sudah mau sampai, Non." Juli yang sejak masuk ke mobil tadi menutup mata, kini membukanya perlahan. Ada Inah dan Karmin, serta Ibunya dipelukan. Juli pikir ketika ia membuka mata keadaannya akan berubah, namun tetap sama. Ternyata ini semua bukan mimpi. Perjalanan terasa sangat lama, terutama jika kau sedang menunggu sesuatu. 20 menit setelah keluar dari rumah, mobil berhenti di depan Rumah Sakit swasta terbesar di kota. Security yang melihat wajah kacau Juli datang membawa tandu, segera mereka membawa tubuh wanita cantik itu ke dalam ruang ICU. Lutut Juli lemas, dirinya terduduk di lantai depan ruang ICU yang terasa dingin menusuk betisnya. 10 menit selanjutnya jadi moment terberat dalam hidup Juli. Dunianya seketika hancur, air mata sudah tidak mampu menetes. Hanya deru nafasnya yang terasa sesak. Inah membekap tubuh Juli erat. Tangisnya meraung memenuhi lorong. Juli melangkahkan kakinya yang lemas ke dalam ruang ICU. Di atas ranjang, tubuh Ibunya berbaring dengan tenang. Waja
"Bi, nasib Ayah gimana ya? Apa kita nggak apa-apa ninggalin Ayah begini?" "Bibi juga nggak tahu Non, tapi semoga Bapak sabar. Seperti selama ini Bapak mengurus Non, hehehe," Inah mengajak bercanda. Perjalanan dimulai dengan suasana yang cukup santai karena lawakan Inah dan Karmin. Juli tidak dapat membayangkan hidupnya tanpa kedua orang ini. Jam sudah menunjukkan pukul enam pagi ketika Karmin menghentikan mobil di sebuah bangunan yang tampak masih baru dan terlihat mungil namun asri. Dari layar ponsel memperlihatkan bahwa mereka berada di wilayah dataran tinggi dan berjarak 2 jam dari Kota. "Ini Non kuncinya," Inah menyerahkan sebuah kunci kepada Juli. Betapa berbinarnya wajah Juli ketika masuk ke dalam rumah tersebut, yang didominasi oleh warna cokelat nan estetik. Tidak seluas rumah lama mereka memang, namun sepertinya Juli akan nyaman tinggal di sini sementara waktu. Ayahnya sangat ahli memberi kejutan. Karena tidak tingkat, Juli menempati kamar utama yang berada di dekat ruan