"Masuk ke dalam sini, Non?" tanya Karmin sambil menghentikan mobilnya di depan gerbang berwarna hitam yang masih terbuka lebar.
"Iya, tadi kata Ibu nama tempatnya ini."
2 tahun yang lalu, Juli datang ke sebuah Resto & Bar untuk menjemput Ayahnya yang sedang mabuk. Tidak, Ayah bukan seorang peminum. Hanya saja hari itu Ayah sedang mengadakan entertain untuk investor baru di perusahaan tempat Ayah bekerja. Dan sekitar 20 menit yang lalu, ada satu panggilan dari Ayah yang minta dijemput, suaranya kurang jelas dan sesekali tertawa kencang. Menandakan Ayahnya sedang mabuk. Ibu yang panik langsung membangunkan Juli dan memintanya untuk menjemput Ayah diantar oleh Karmin sang supir keluarga yang memang tinggal di rumah mereka.
Tidak ada suara dentuman musik karena jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga dini hari. Dengan merapatkan sweaternya, Juli berjalan beriringan dengan Karmin yang tadi pagi hanya mengantar Ayah sampai ke kantor. Menurut petugas bar, Ayah dan 2 orang lainnya berada di ruangan 21.
Juli membuka pintu sedikit, kepalanya melongok dan berkata pelan... "Permisi."
Suasana senyap, ada 3 orang yang menundukkan wajah di meja. Mata Juli yang minus 1,5 harus memincing untuk mencari dimana sosok Ayah.
"Ayah?" panggil Juli.
Kepala Ayahnya menegak. "Di sini, di sini, Ayah di sini Jul," Ayah melambaikan tangan dengan ceria. Matanya yang merah tersenyum hangat pada Juli.
Dengan berjingkat Juli berjalan ke arah Ayah, sedangkan Karmin ia minta menunggu di luar ruangan. "Ayo Yah, pulang," Juli bersiap membopong Ayah, sampai ada satu sosok bertubuh tinggi yang berdiri menghadang Juli.
"Kamu siapa?" tanya lelaki yang sepertinya berwajah tampan meskipun dicahaya remang.
"Juli," jawab Juli singkat. Kata Ayah, siapapun yang kenal dengan Ayah harus diwaspadai. Namun jika ada yang bertanya, tetap harus dijawab sebagai bentuk hormat.
"Mau minum?" tanyanya lagi.
Juli melirik ke arah Ayah, namun sulit mengartikan tatapan matanya. Semacam ada peringatan 'jangan', namun juga 'ya sudah dicoba saja sedikit agar lelaki itu tidak marah.'
"Boleh, tapi sedikit saja."
Lelaki itu menuangkan setengah gelas wine dengan kadar alkohol rendah dan memberikannya pada Juli.
"Aku minum ya Pak," ijin Juli dengan sopan.
Melihat wajah Juli yang memerah, lelaki itu terdiam. Seorang gadis dengan wajah polos tanpa riasan, memakai piyama bermotif bunga hitam putih berbalut sweater dan rambut hitam panjang ikal dikuncir kuda.
"Enak?"
Tanpa sadar Juli mengangguk. Untuk pertama kalinya Juli mencoba minuman untuk orang dewasa. Ada semacam rasa yang membakar lidahnya. Aneh, namun sangat cocok dipadukan dengan suasana yang remang ini. Membuat pikirannya menjadi kosong untuk sesaat.
Lelaki itu menundukkan tubuh, bibirnya mendekat ke telinga Juli, lalu ia berbisik... "Saya Okta, senang berkenalan dengan kamu."
Bulu kuduk Juli meremang. Meski wajahnya tidak jelas, namun suaranya yang agak berat terdengar berwibawa dan maskulin. Saat sekolah dulu Juli pernah dekat dengan lelaki, namun usianya sepantaran. Berbeda dengan lelaki ini, yang sepertinya sudah terlalu dewasa. Membuat ada perasaan aneh dan debar bersamaan.
Ayah Juli terdiam melihat lelaki itu mendekati anaknya, dadanya terasa agak sesak. Bukan rahasia umum jika lelaki yang sejak semalam ia temani minum-minum setelah menandatangani kontrak kerjasama adalah seorang casanova. Mungkin beratus wanita pernah menemaninya, dan Ayah Juli tidak ingin anaknya menjadi salah satu dari daftar wanita-wanita tersebut.
Dengan gerakan cepat Ayah berdiri di depan tubuh Juli. "Maaf Pak, tapi anak saya ini baru 20 tahun dan masih dibawah umur," ucap Ayah yang bingung kenapa memilih kalimat tersebut untuk menghalangi Okta.
Okta menatap tajam dan sedikit menyeringai.
Sedangkan Juli terdiam, menunggu akan ada adegan apa lagi diantara mereka bertiga.
Di dunia Okta yang gemerlap, sulit menemukan gadis yang berhasil membuatnya tertarik pada pandangan pertama. Semuanya memiliki topeng yang sama, membuat sikap mereka terlihat palsu di hadapan Okta. Namun Juli berbeda, gadis mungil di hadapannya ini terlihat begitu polos dan berani. Mungkin karena gadis ini tidak mengenal siapa Okta sebenarnya.
"Permisi Pak, ini sudah selesai belum?" tanya lelaki satunya lagi, sang asisten Okta yang sebenarnya sejak Juli masuk tadi sudah tersadar dan melihat serangkaian tingkah laku Bosnya yang terkadang implusif.
Okta menoleh dan berdehem singkat.
"Sudah, kita pulang sekarang!" ujar Okta masih dengan menatap wajah Juli tajam.
"Terima kasih Pak, hati-hati di jalan," sahut Ayah Juli.
Juli menunduk sampai mereka berdua keluar dari ruangan. Dan seketika oksigen yang ia hirup kembali utuh. Tadi, saat ada lelaki itu udaranya begitu pengap membuat dada Juli sedikit sesak.
"Dia itu siapa Yah?" tanya Juli saat melihat kedua orang tadi sudah menghilang di belokan.
Ayah menghembuskan nafas berat, kesadarannya sudah pulih 100% sejak melihat tatapan Okta pada Juli. "Sudah lah Jul, belum waktunya kamu tahu siapa orang itu."
Meski bingung, Juli menganggukkan kepalanya. Dengan menggandeng lengan Ayah, Juli berkata... "Ayok Yah pulang, Ibu pasti nggak tidur lagi karena nunggu kita di rumah."
Sejak malam itu, Okta mencatat Juli dalam hidupnya. Sedangkan Juli tidak pernah lagi melihat sosok lelaki yang bahkan dalam hitungan hari sudah ia lupakan, baik wajah maupun namanya. Namun, sejak pertama kali mencicip wine, Juli menganggap minuman itu sebagai sahabatnya dikala penat.
***
DUK, DUK, DUK...
Suara gaduh dari lantai atas terdengar memekakan telinga dan membuat Juli membuka mata perlahan. Kepalanya terasa berat, matanya terasa lengket, lambat laun ia sadar bahwa dirinya tertidur di ruang tamu saat pulang dari klub semalam. Kini, ia semakin berteman dengan minuman dikala menjelang akhir pekan. Tidak rutin, hanya sebulan sekali atau saat kepala Juli terasa penat. Seperti minggu ini, dimana gosip mengenai penyelundupan dana yang Ayahnya lakukan semakin santer di berita. Membuat dirinya harus menahan diri karena sang Ayah belum memberi penjelasan apapun. Sedangkan Ibu? Entah lah. Pasti Ibu sudah tahu, namun memilih diam agar Juli tidak panik.
"NON! NON JULI!!!" jerit Inah sang asisten rumah tangga dari arah kamar Ibu.
Ini baru jam tujuh pagi kan? Kenapa sudah heboh sih?
"Hemn," Juli terduduk, mencerna kira-kira ada kejadian apa dari atas sana.
Dengan langkah perlahan Juli menaiki anak tangga. Dari kamar ujung sebelah kanan, pintu terbuka lebar. Hal yang tidak pernah terjadi karena Ibunya sangat anti kamarnya dimasuki oleh orang lain kecuali pada jam bersih-bersih.
Ibu?
Juli menyeret kakinya yang masih lemas, air matanya mulai mengalir turun, begitu sampai di depan kamar...
"IBUUU..." jerit Juli histeris.
Ia berlari dan memeluk tubuh Ibunya yang telah lunglai dengan mata terpejam di atas karpet berbulu dan di hadapan Inah.
“INI IBU KENAPA?” jerit Juli histeris.
“Nggak tahu Non, justru bibi kaget lihat pintu kamar Ibu terbuka. Jadinya bibi masuk, dan…” Inah tidak sanggup melanjutkan bicaranya.
Juli berusaha menyadarkan Ibunya, namun nihil. Seketika ia berlari ke arah tangga menuju pos security untuk mencari Karmin.
“PAK, PAK, TOLONG IBU PAK!” jerit Juli.
Karmin yang sedang bersiap menyiram taman terlonjak kaget dan melempar selang air yang masih tergulung. Ia ikut berlari mengikuti Juli menuju lantai atas.
“Ibu kenapa Non?” tanya Karmin disela-sela berlarinya.
“Nggak tahu, nggak tahu, aku nggak tahu Ibu kenapa.”
Inah masih memeluk Ibu Juli dan menatap Juli serta Karmin dengan wajah pias. “Ibu belum bergerak juga Non.”
Juli menelan saliva.
"PAK, ANGKAT IBU DAN BAWA KE RUMAH SAKIT!" perintah Juli yang berusaha mengangkat tubuh Ibunya bagian atas.
Dengan sigap Karmin mengangkat kaki Nyonya-nya. Dengan hati-hati mereka bertiga turun ke lantai bawah dan masuk ke dalam sedan yang terparkir di depan teras rumah.
Juli masuk sebentar ke dalam rumah untuk mengambil sling bag dan long coat yang tergantung di ruang ganti, mengingat pakaiannya semalam agak minim.
Tubuh Ibu masih hangat, namun denyut nadinya entahlah… Juli bingung. Di pergelangan tangan kirinya ada bekas goresan yang samar dan tidak dalam meski ada darah segar.
Juli melihat wajah Ibunya yang pucat, berkali-kali ia mencium tangan Ibunya dengan air mata berurai. Di kursi depan, Inah dan Karmin berdo'a agar Tuhan masih berbaik hati pada Nyonya.
Lalu bagaimana keluarga ini akan berdiri jika porosnya sedang diambang hidup dan mati??
"Bu... Juli nggak mau sendiri. Juli takut. Kenapa Ibu begini?" suara Juli terdengar menyayat hati. Membuat Inah dan Karmin ikut meneteskan air mata.
"Sudah mau sampai, Non." Juli yang sejak masuk ke mobil tadi menutup mata, kini membukanya perlahan. Ada Inah dan Karmin, serta Ibunya dipelukan. Juli pikir ketika ia membuka mata keadaannya akan berubah, namun tetap sama. Ternyata ini semua bukan mimpi. Perjalanan terasa sangat lama, terutama jika kau sedang menunggu sesuatu. 20 menit setelah keluar dari rumah, mobil berhenti di depan Rumah Sakit swasta terbesar di kota. Security yang melihat wajah kacau Juli datang membawa tandu, segera mereka membawa tubuh wanita cantik itu ke dalam ruang ICU. Lutut Juli lemas, dirinya terduduk di lantai depan ruang ICU yang terasa dingin menusuk betisnya. 10 menit selanjutnya jadi moment terberat dalam hidup Juli. Dunianya seketika hancur, air mata sudah tidak mampu menetes. Hanya deru nafasnya yang terasa sesak. Inah membekap tubuh Juli erat. Tangisnya meraung memenuhi lorong. Juli melangkahkan kakinya yang lemas ke dalam ruang ICU. Di atas ranjang, tubuh Ibunya berbaring dengan tenang. Waja
"Bi, nasib Ayah gimana ya? Apa kita nggak apa-apa ninggalin Ayah begini?" "Bibi juga nggak tahu Non, tapi semoga Bapak sabar. Seperti selama ini Bapak mengurus Non, hehehe," Inah mengajak bercanda. Perjalanan dimulai dengan suasana yang cukup santai karena lawakan Inah dan Karmin. Juli tidak dapat membayangkan hidupnya tanpa kedua orang ini. Jam sudah menunjukkan pukul enam pagi ketika Karmin menghentikan mobil di sebuah bangunan yang tampak masih baru dan terlihat mungil namun asri. Dari layar ponsel memperlihatkan bahwa mereka berada di wilayah dataran tinggi dan berjarak 2 jam dari Kota. "Ini Non kuncinya," Inah menyerahkan sebuah kunci kepada Juli. Betapa berbinarnya wajah Juli ketika masuk ke dalam rumah tersebut, yang didominasi oleh warna cokelat nan estetik. Tidak seluas rumah lama mereka memang, namun sepertinya Juli akan nyaman tinggal di sini sementara waktu. Ayahnya sangat ahli memberi kejutan. Karena tidak tingkat, Juli menempati kamar utama yang berada di dekat ruan
"Aku harus bagaimana?" tanya Juli pada udara di kamarnya. Sudah setengah jam Juli duduk di kursi sambil menggigit ujung kukunya. Ia galau segalau-galaunya. Pikirannya buntu. Ia berusaha mengumpulkan jumlah uangnya di beberapa bank. Cukup sih, namun tinggal sisa sedikit. "Aku harus bagaimana?" tanyanya ulang. Kepalanya berdenyut mendengar penjelasan dari Amel tadi, ketika Juli menelepon Amel sesuai janjinya semalam. "Kak, bapak kecelakaan pas pulang dari pasar. Kaki kanannya patah dan harus di operasi. Karena pas kecelakaan kondisi kaki bapak mengkhawatirkan, dibawalah sama orang-orang sekitar sana ke Rumah Sakit tedekat yang ternyata biayanya mahal," sesekali terdengar isak tangis dari Amel. Juli mau menghela nafas, namun takut terdengar Amel. "Biayanya berapa Mel?" tanya Juli langsung, dengan nada yang lembut. "27 juta kak. Amel ada tabungan 2 juta, Bapak 6 juta. Tapi masih kurang 19 juta. Amel sudah tanya apa bisa diringankan, tapi di sana standart-nya segitu, soalnya pakai me
"Pak, saya kan sudah mengingatkan jangan sampai terpancing sama Juli," protes August dari balik kemudi sambil melirik Okta yang sedang merangkul lengan Juli di kursi belakang. "Saya nggak sengaja!" sahut Okta emosi. "Kamu kan tahu sendiri gimana anak ini mukul kepala saya pakai botol beling, gimana saya nggak emosi kalau lihat wajahnya." August terkikik. Bosnya si paling emosian ini memang sulit menahan diri. Kalau dia bilang A ya A, B ya B. Maka saat ia bertemu dengan gadis barbar yang tidak menurut seperti Juli, jiwa Okta berontak. "Terus kita bawa kemana Pak? Rumah Sakit?" tanya August tidak yakin. Takutnya dikira mereka berdua habis melakukan kejahatan pada Juli. Krauukkkkk, perut Juli kembali berbunyi. Okta mendelik. Mungkin alasan gadis ini pingsan bukan hanya takut, tapi karena lapar. Apa sejak kejadian semalam itu dia belum makan ya? "Bawa ke apartemen saya saja Gus, kalau ke rumah sakit takut bikin heboh," jawab Okta enteng. Juli yang sebenarnya hanya lemas dan tidak pi
"Tapi sekarang kita jadi makan kan, Pak?" tanya Juli polos, karena sejak tadi Okta hanya bicara tanpa memesan satu menu pun. "Jul, saya serius." Juli meringis, "Tapi aku laparnya juga serius, Pak." Okta mendengus. Segera ia memesan makanan dengan porsi yang cukup banyak untuk mereka berdua. Sambil menunggu pesanan datang, Okta meng-scroll tab khusus untuk kantor untuk cek email yang masuk. Hingga ada satu pesan singkat dari anak buah yang ia minta untuk mengawal kasus Surya Tama. "Ayah kamu dapat jadwal sidang 2 minggu lagi. Kemungkinan setelah itu akan dipindahkan ke rumah tahanan," ujar Okta setelah membaca laporan dari Doni. "Tapi Ayah benar melakukannya?" tanya Juli memastikan. Okta hanya mengangkat bahu dengan wajah tengil miliknya, membuat Juli harus mengelus dada dengan perut yang lapar. "Selamat siang Bapak Ibu," sapa server sambil menaruh makanan dan minuman di meja. Setelah semuanya tertata rapi, server tersebut pamit kembali. "Silahkan, selamat menikmati.""Terima ka
"Okta itu... gimana ya, menurut Oma sih terlalu menyibukkan diri, jarang main dan nongkrong. Hidupnya cuma kerja, kerja dan kerja. Mungkin teman paling akrab ya asisten-nya. Udah gitu galaknya, ampun! Oma ketahuan belanja sebulan 6 kali aja langsung marah-marah dia," Oma memberikan fun fact sambil menyiapkan makanan untuk Okta. "Apa jangan-jangan dari lahir udah galak ya Oma?" tanya Juli dengan memasang wajah kaget yang dibuat-buat. Oma menaruh sepiring makanan di hadapan Okta, kemudian menutup mulutnya dengan gerakan berlebihan. "Wah... Oma kok nggak kepikiran ya. Dulu Oma lupa nanya sih ke Mamahnya Okta, pas baru lahir dia itu nangis apa langsung ngomel-ngomel." Juli terkikik geli. Oma ini memiliki vibes seperti Bi Inah. Lucu dan menyenangkan. Oh iya, bagaimana keadaan Bi Inah ya? "Oma, Juli ke sini bukan buat dengerin Oma stand up comedy," ujar Okta yang sebenarnya mau ikut melawak, namun wajahnya yang dingin tidak membuat kalimatnya terdengar lucu. Juli dan Oma menengok ke ar