"Okta itu... gimana ya, menurut Oma sih terlalu menyibukkan diri, jarang main dan nongkrong. Hidupnya cuma kerja, kerja dan kerja. Mungkin teman paling akrab ya asisten-nya. Udah gitu galaknya, ampun! Oma ketahuan belanja sebulan 6 kali aja langsung marah-marah dia," Oma memberikan fun fact sambil menyiapkan makanan untuk Okta.
"Apa jangan-jangan dari lahir udah galak ya Oma?" tanya Juli dengan memasang wajah kaget yang dibuat-buat.
Oma menaruh sepiring makanan di hadapan Okta, kemudian menutup mulutnya dengan gerakan berlebihan. "Wah... Oma kok nggak kepikiran ya. Dulu Oma lupa nanya sih ke Mamahnya Okta, pas baru lahir dia itu nangis apa langsung ngomel-ngomel."
Juli terkikik geli. Oma ini memiliki vibes seperti Bi Inah. Lucu dan menyenangkan. Oh iya, bagaimana keadaan Bi Inah ya?
"Oma, Juli ke sini bukan buat dengerin Oma stand up comedy," ujar Okta yang sebenarnya mau ikut melawak, namun wajahnya yang dingin tidak membuat kalimatnya terdengar lucu.
Juli dan Oma menengok ke arah Okta yang secara bersamaan.
Oma memajukan wajahnya ke arah Juli, dan dengan sigap Juli memberikan telinganya untuk Oma. "Jul, lihat sendiri kan. Dia mau ngelawak aja nggak becus, tetap kaku," bisik Oma yang masih bisa didengar Okta.
Juli tertawa geli sambil sesekali memandang ke arah wajah Okta yang memerah.
"Udah Oma, jangan diledek lagi. Nanti nyawa Juli jadi taruhannya nih," Julis balas berbisik ke telinga Oma.
"Oke, baiklah."
Okta ingat terakhir kali ia makan malam bersama orang lain dengan hangat itu sekitar 2 bulan lalu. Harusnya sebulan sekali jadwal ia makan bersama dengan Om Januar dan Oma Juni, namun bulan lalu jadwalnya benar-benar padat. Jadilah waktunya habis di kantor dan apartemen.
Kini melihat Oma dan Juli saling berbincang dan sesekali tertawa, membuat hatinya sedikit lega. Mungkin karena selama ini pun Oma selalu mengurusi anak laki-laki, sehingga berbincang dengan anak perempuan menjadisesuatu yang baru baginya.
Selesai makan, Juli membantu Oma untuk menumpuk piring kotor di tengah agar para ART bisa dengan mudah membawanya.
Oma melirik jam tangan yang berwarna rosegold, harusnya setengah jam cukup untuk mengajak Juli mengobrol. Oma pun memberikan kedipan mata kepada Okta dari balik punggung Juli.
"Hemn, saya masih mau urus beberapa kerjaan. Kamu ngobrol sama Oma dulu bisa kan?" Okta berbisik di telinga Juli.
"Oke."
Ekor mata Juli mengikuti tubuh Okta yang berjalan ke lorong dan berbelok ke sebuah ruangan yang di tutupi tirai separuh. Sedangkan Oma menggandeng lengannya menuju tangga, naik dua lantai dan menuju bagian rumah paling atas yang ternyata terdapat rooftop dengan taman mini.
"Ini... cantik banget loh Oma," Juli excited melihat pemandangan di hadapannya.
Rooftop yang lantainya terbuat dari kayu, 2 buah sofa bentuk bulat dengan beberapa bantalan, sebuah meja kecil, dan di langitnya terdapat kanopi yang terbuat dari kaca bening. Turun satu undakan ada rumput asli memenuhi lahan sampai batas tembok ujung. Sepanjang tembok sebelah kanan ada pot besar yang terdapat beberapa tanaman dengan fungsi untuk menyerap air hujan.
Kaki Juli menyentuh rerumputan, membuat dirinya berlarian seperti anak kecil.
Dari batas tembok ujung yang tingginya se-ketiak Juli, terdapat pemandangan khas wilayah Selatan yang dipenuhi perumahan megah dengan lampu temaram dan beberapa taman yang hanya terlihat siluet pohonnya.
"Sini Jul," Oma menepuk sofa yang bentuknya lebih kecil untuk Juli duduk.
Dengan wajah sumringah Juli mengangguk dan duduk di sebelah Oma.
Oma kembali melirik jam tangannya, pukul setengah sepuluh malam. "Oke, berhubung ini udah malam dan Oma nggak tega kalau kamu sampai kemaleman, jadi kita coba bahas yang intinya dulu aja ya."
Juli mengangguk patuh.
"Pertama kita bicara tentang Okta. Okta itu sejak sekolah tinggal sama Oma dan Om Januar, tepatnya setelah Mama Okta meninggal. Setelah itu Papanya menikah lagi sama seseorang yang bisa dibilang kurang akrab dengan Okta, sampai detik ini. Dan sewaktu-waktu mereka berdua bisa saling menyakiti hingga tetes darah terakhir. Okta juga orang yang galak, egois, punya beberapa musuh dan dikelilingi banyak perempuan. Oma nggak tahu sejauh apa hubungan kalian berdua, tapi... kalau kamu dengan Okta, apa kamu siap?"
Juli berani bersumpah bahwa tatapan Oma bukanlah tatapan merendahkan Juli dan seolah berkata... 'Apa kamu merasa pantas buat cucu saya?'
Tidak, bukan seperti itu. Seolah perkataan Oma adalah penjelasan singkat tentang Okta. Dan ia benar-benar khawatir apakah seorang Juli mau menerima Okta apa adanya.
"Sekarang gantian Juli ya Oma," Juli menarik nafas, kemudian menghembuskannya perlahan. Ia harus bicara apa adanya sama seperti Oma.
"Pelan-pelan aja sayang," Oma menenangkan Juli dan mengusap tangannya.
"Hidup Juli bisa dibilang berkecukupan, beberapa waktu lalu. Karir Ayah bagus, Ibu juga seorang Ibu Rumah Tangga yang punya beberapa aktivitas dan bahagia, biarpun anak tunggal tapi Juli nggak pernah merasa kesepian. Tapi dalam waktu seminggu ini, semuanya kayak lenyap. Berawal dari gosip tentang penyelundupan dana perusahaan oleh Ayah, sepertinya Ibu tahu dan jadi kepikiran. Sampai gong-nya Ibu ditemukan meninggal di dalam kamar pagi itu, Juli sama Bi Inah dan Pak Karmin bawa Ibu ke rumah sakit tapi sia-sia. Kami menunggu Ayah pulang dari luar kota untuk pemakaman Ibu. Besoknya, kami bertiga diminta Ayah untuk pergi dari rumah karena rumah itu digeledah oleh aparat."
Juli merasa tangannya sedikit diremas oleh Oma.
"Sekarang Juli sewa kos di dekat kampus untuk mengurus beberapa hal yang tertunda. Bi Inah dan Pak Karmin mengurus keperluan pribadi mereka di kampung. Nah yang bikin Juli merasa nggak mampu, saat ini Bi Inah lagi ada masalah penting yang membutuhkan biaya besar. Sedangkan uang Juli udah Juli kasih untuk operasi kaki Pak Karmin. Sebenarnya Juli menghadap Okta untuk pinjam uang, cuma itu Oma. Jadi Juli juga nggak paham kenapa Okta jadi ngenalin Juli ke Oma, terus malah nawarin pernikahan?" wajah Juli yang bingung membuat Oma tertawa kencang.
"Emang kamu dapat inspirasi darimana sampai kepikiran pinjam uang ke Okta? Ayolah Jul, pengusaha itu bukan cuma Okta," ujar Oma dengan tawanya yang kencang.
Juli menggaruk kepalanya. " Sebelum Juli pergi, Ayah kasih kartu nama Okta. Ayah bilang kalau suatu saat Juli terlibat masalah yang berhubungan dengan uang, Juli bisa menemui Okta. Tapi Juli juga nggak tahu ada hubungan apa antara Ayah dan Okta."
Oma mengangguk paham, ia menarik kesimpulan jika Okta yang lebih dulu mengenal keluarga Juli. Pasti Okta sama dengan pria kebanyakan, tertarik dengan paras Juli. Makanya Ayah Juli berani bertaruh hanya dengan sebuah kartu nama.
"Kalau begitu, keputusannya ada di kamu dan Okta. Apapun yang terbaik, Oma dukung!"
Juli semakin resah. "Tapi apapun akhirnya, Oma tetap mau jadi teman Juli kan? Masalahnya Juli udah senang banget nih sama Oma," ucap Juli malu-malu dengan mata sedikit berair. Dirinya yang tidak pernah bertemu dengan Nenek maupun Kakek sejak lahir menjadi terhibur sejak bertemu Oma kurang dari satu jam yang lalu.
Oma mengusap rambut Juli dan menaruhnya di belakang telinga. "Iya sayang, Oma akan jadi teman kamu."
"Hemn," sapa Okta dari pintu. Ia sengaja muncul setelah Juli dan Oma selesai berbicara karena tidak mau menguping. Baginya lebih menyenangkan mendengar cerita itu langsung dari mulut Juli maupun Oma.
Oma mendesis. "Iya, iya, udah malam. Kamu pulang dulu ya, kapan-kapan kita ketemu lagi."
Juli bangkit dari duduknya.
"Kamu nggak nginep di sini aja?" tanya Okta dengan gerakan membegal Juli.
Juli menggeleng meski agak ragu. "Kata Ibu, kalau belum nikah nggak boleh nginep-nginep di rumah laki, hehehe."
"Anak pintar! Seorang gadis itu emang harus mempunyai sikap. Ibu kamu pasti bangga banget deh sama kamu. Lagian kalau kamu nginep di sini, Oma yakin bakalan ada nyamuk raksasa yang gigit kamu," sindir Oma pada Okta.
Juli tersenyum, dan teringat kalau Oma mempunyai supir di bawah. "Oh iya, Juli bisa minta antar driver Oma nggak untuk pulang?"
Oma bersiap menjawab tapi disela oleh Okta.
"Ck, kenapa jadi Pak Yanto sih? Saya kan bisa antar kamu pulang."
Dengan gerakan cepat Okta memegang kedua bahu Juli dan menuntunnya dari belakang untuk berjalan menuju tangga.
"Tapi kan..." Juli mengelak, ia justu takut kalau di perjalanan nanti tiba-tiba Okta membelokkan mobilnya menuju tempat lain.
"Ssssttt!" tangan Okta menjulur untuk membekap mulut Juli. Kenapa Juli sangat bawel saat berhadapan dengan Oma maupun August.
Setelah memastikan tas, sepatu dan pakaiannya lengkap, Juli masuk ke dalam mobil yang sejak tadi siang mereka gunakan. Dan Oma benar-benar menunggu mereka berdua dari teras rumah.
"Hati-hati, jangan ngebut, jangan emosian, jangan belokin mobil ke hotel. Awas aja kalau Juli nggak sampai kosan dengan selamat!" Oma mewanti-wanti karena tahu kalau cucunya itu terkadang mindblowing.
"Iya Oma, beres." Okta mengacungkan jempol tanda setuju. Sebeum ia bertanya tentang obrolan kedua orang tadi dan pengalaman dipukul pakai botol beling, mana berani Okta membawa Juli ke hotel.
"Dadah Oma," Juli melambaikan kedua tangannya dari dalam mobil.
Okta memperhatikan kedua orang yang saling melambaikan tangan. Mata berbinar keduanya membuat Okta menaruh ekspektasi tinggi akan masa depan yang sedang ia rencanakan.
"Jul, jadi gimana tawaran saya?"
Setelah mobil berjalan sepuluh menit dan kini berhenti di lampu merah, Okta kembali mempertanyakan hal yang paling membuat Juli resah.
Juli menghembuskan nafas dengan sedikit berat. "Pak Okta sendiri maunya gimana?"
"Masuk ke dalam sini, Non?" tanya Karmin sambil menghentikan mobilnya di depan gerbang berwarna hitam yang masih terbuka lebar. "Iya, tadi kata Ibu nama tempatnya ini." 2 tahun yang lalu, Juli datang ke sebuah Resto & Bar untuk menjemput Ayahnya yang sedang mabuk. Tidak, Ayah bukan seorang peminum. Hanya saja hari itu Ayah sedang mengadakan entertain untuk investor baru di perusahaan tempat Ayah bekerja. Dan sekitar 20 menit yang lalu, ada satu panggilan dari Ayah yang minta dijemput, suaranya kurang jelas dan sesekali tertawa kencang. Menandakan Ayahnya sedang mabuk. Ibu yang panik langsung membangunkan Juli dan memintanya untuk menjemput Ayah diantar oleh Karmin sang supir keluarga yang memang tinggal di rumah mereka. Tidak ada suara dentuman musik karena jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga dini hari. Dengan merapatkan sweaternya, Juli berjalan beriringan dengan Karmin yang tadi pagi hanya mengantar Ayah sampai ke kantor. Menurut petugas bar, Ayah dan 2 orang lainnya berada
"Sudah mau sampai, Non." Juli yang sejak masuk ke mobil tadi menutup mata, kini membukanya perlahan. Ada Inah dan Karmin, serta Ibunya dipelukan. Juli pikir ketika ia membuka mata keadaannya akan berubah, namun tetap sama. Ternyata ini semua bukan mimpi. Perjalanan terasa sangat lama, terutama jika kau sedang menunggu sesuatu. 20 menit setelah keluar dari rumah, mobil berhenti di depan Rumah Sakit swasta terbesar di kota. Security yang melihat wajah kacau Juli datang membawa tandu, segera mereka membawa tubuh wanita cantik itu ke dalam ruang ICU. Lutut Juli lemas, dirinya terduduk di lantai depan ruang ICU yang terasa dingin menusuk betisnya. 10 menit selanjutnya jadi moment terberat dalam hidup Juli. Dunianya seketika hancur, air mata sudah tidak mampu menetes. Hanya deru nafasnya yang terasa sesak. Inah membekap tubuh Juli erat. Tangisnya meraung memenuhi lorong. Juli melangkahkan kakinya yang lemas ke dalam ruang ICU. Di atas ranjang, tubuh Ibunya berbaring dengan tenang. Waja
"Bi, nasib Ayah gimana ya? Apa kita nggak apa-apa ninggalin Ayah begini?" "Bibi juga nggak tahu Non, tapi semoga Bapak sabar. Seperti selama ini Bapak mengurus Non, hehehe," Inah mengajak bercanda. Perjalanan dimulai dengan suasana yang cukup santai karena lawakan Inah dan Karmin. Juli tidak dapat membayangkan hidupnya tanpa kedua orang ini. Jam sudah menunjukkan pukul enam pagi ketika Karmin menghentikan mobil di sebuah bangunan yang tampak masih baru dan terlihat mungil namun asri. Dari layar ponsel memperlihatkan bahwa mereka berada di wilayah dataran tinggi dan berjarak 2 jam dari Kota. "Ini Non kuncinya," Inah menyerahkan sebuah kunci kepada Juli. Betapa berbinarnya wajah Juli ketika masuk ke dalam rumah tersebut, yang didominasi oleh warna cokelat nan estetik. Tidak seluas rumah lama mereka memang, namun sepertinya Juli akan nyaman tinggal di sini sementara waktu. Ayahnya sangat ahli memberi kejutan. Karena tidak tingkat, Juli menempati kamar utama yang berada di dekat ruan
"Aku harus bagaimana?" tanya Juli pada udara di kamarnya. Sudah setengah jam Juli duduk di kursi sambil menggigit ujung kukunya. Ia galau segalau-galaunya. Pikirannya buntu. Ia berusaha mengumpulkan jumlah uangnya di beberapa bank. Cukup sih, namun tinggal sisa sedikit. "Aku harus bagaimana?" tanyanya ulang. Kepalanya berdenyut mendengar penjelasan dari Amel tadi, ketika Juli menelepon Amel sesuai janjinya semalam. "Kak, bapak kecelakaan pas pulang dari pasar. Kaki kanannya patah dan harus di operasi. Karena pas kecelakaan kondisi kaki bapak mengkhawatirkan, dibawalah sama orang-orang sekitar sana ke Rumah Sakit tedekat yang ternyata biayanya mahal," sesekali terdengar isak tangis dari Amel. Juli mau menghela nafas, namun takut terdengar Amel. "Biayanya berapa Mel?" tanya Juli langsung, dengan nada yang lembut. "27 juta kak. Amel ada tabungan 2 juta, Bapak 6 juta. Tapi masih kurang 19 juta. Amel sudah tanya apa bisa diringankan, tapi di sana standart-nya segitu, soalnya pakai me
"Pak, saya kan sudah mengingatkan jangan sampai terpancing sama Juli," protes August dari balik kemudi sambil melirik Okta yang sedang merangkul lengan Juli di kursi belakang. "Saya nggak sengaja!" sahut Okta emosi. "Kamu kan tahu sendiri gimana anak ini mukul kepala saya pakai botol beling, gimana saya nggak emosi kalau lihat wajahnya." August terkikik. Bosnya si paling emosian ini memang sulit menahan diri. Kalau dia bilang A ya A, B ya B. Maka saat ia bertemu dengan gadis barbar yang tidak menurut seperti Juli, jiwa Okta berontak. "Terus kita bawa kemana Pak? Rumah Sakit?" tanya August tidak yakin. Takutnya dikira mereka berdua habis melakukan kejahatan pada Juli. Krauukkkkk, perut Juli kembali berbunyi. Okta mendelik. Mungkin alasan gadis ini pingsan bukan hanya takut, tapi karena lapar. Apa sejak kejadian semalam itu dia belum makan ya? "Bawa ke apartemen saya saja Gus, kalau ke rumah sakit takut bikin heboh," jawab Okta enteng. Juli yang sebenarnya hanya lemas dan tidak pi
"Tapi sekarang kita jadi makan kan, Pak?" tanya Juli polos, karena sejak tadi Okta hanya bicara tanpa memesan satu menu pun. "Jul, saya serius." Juli meringis, "Tapi aku laparnya juga serius, Pak." Okta mendengus. Segera ia memesan makanan dengan porsi yang cukup banyak untuk mereka berdua. Sambil menunggu pesanan datang, Okta meng-scroll tab khusus untuk kantor untuk cek email yang masuk. Hingga ada satu pesan singkat dari anak buah yang ia minta untuk mengawal kasus Surya Tama. "Ayah kamu dapat jadwal sidang 2 minggu lagi. Kemungkinan setelah itu akan dipindahkan ke rumah tahanan," ujar Okta setelah membaca laporan dari Doni. "Tapi Ayah benar melakukannya?" tanya Juli memastikan. Okta hanya mengangkat bahu dengan wajah tengil miliknya, membuat Juli harus mengelus dada dengan perut yang lapar. "Selamat siang Bapak Ibu," sapa server sambil menaruh makanan dan minuman di meja. Setelah semuanya tertata rapi, server tersebut pamit kembali. "Silahkan, selamat menikmati.""Terima ka