"Sudah mau sampai, Non."
Juli yang sejak masuk ke mobil tadi menutup mata, kini membukanya perlahan. Ada Inah dan Karmin, serta Ibunya dipelukan. Juli pikir ketika ia membuka mata keadaannya akan berubah, namun tetap sama. Ternyata ini semua bukan mimpi.
Perjalanan terasa sangat lama, terutama jika kau sedang menunggu sesuatu.
20 menit setelah keluar dari rumah, mobil berhenti di depan Rumah Sakit swasta terbesar di kota. Security yang melihat wajah kacau Juli datang membawa tandu, segera mereka membawa tubuh wanita cantik itu ke dalam ruang ICU.
Lutut Juli lemas, dirinya terduduk di lantai depan ruang ICU yang terasa dingin menusuk betisnya.
10 menit selanjutnya jadi moment terberat dalam hidup Juli. Dunianya seketika hancur, air mata sudah tidak mampu menetes. Hanya deru nafasnya yang terasa sesak. Inah membekap tubuh Juli erat. Tangisnya meraung memenuhi lorong.
Juli melangkahkan kakinya yang lemas ke dalam ruang ICU. Di atas ranjang, tubuh Ibunya berbaring dengan tenang. Wajahnya yang pucat terlihat terpejam namun ada semburat kelegaan. Lengan Juli menjutai. Diusapnya kepala Ibu dan mengecupnya lama. Dengan mata terpejam, tanpa air mata, hanya ada do'a yang ia panjatkan kepada Sang Pencipta.
Ibu... bagimana ini? Apa dengan begini beban Ibu terasa berkurang? Semoga Tuhan mengampuni Ibu. Maaf Juli belum bisa bahagiain Ibu selama ini.
"Non, sabar ya."
"Iya Bi," jawab Juli dengan suara bergetar.
Kejadian pagi ini begitu cepat. Sampai Juli merasa seperti bom waktu. Ia merasa kalut, sedih, bingung. Mungkin orang lain melihat Juli begitu tegar, tapi tidak. Juli hanya merasa bahwa air mata tidak dapat mewakili betapa ia merasa sangat kehilangan Ibunya. Seorang wanita yang dengan segenap jiwa raga membawanya lahir ke dunia. Memberikan seluruh cinta selama 22 tahun hidup Juli. Apapun alasan Ibunya, Juli yakin bahwa Ibunya telah berjuang selama ini.
TIK, TIK, TIK
Suara gerimis ikut mengantarkan jasad Ibu ke pembaringan terakhir. Mata Juli terpejam, dirinya sedari tadi memeluk lengan Ayah dan merapalkan do'a-do'a. Perjalanan dari Rumah Sakit menuju pemakaman yang cukup elit pun terasa sangat singkat, karena Juli merasa tidak ada yang bisa ia tunggu lagi. Ayahnya datang 2 jam setelah Karmin menelepon, di saat proses administrasi di Rumah Sakit telah selesai.
"Ibu bukan bundir, saya pastikan penyebab meninggalnya Ibu bukan karena bundir. Ibu meninggal karena serangan jantung, sepertinya setelah ia menyayat pergelangan tangannya."
Juli mengingat jelas perkataan dokter yang menangani Ibunya tadi pagi. Hatinya terasa jauh lebih lega dan lapang. Bahwa sampai detik terakhir, Ibunya tetap berjuang bagi keluarga mereka. Meski akhir-akhir ini ada beberapa masalah yang menimpa.
Bu, tenang di sana ya. Semoga Juli punya hati yang lapang seperti Ibu, suatu saat Juli bisa bahagiain anak Juli seperti Ibu yang selama ini bahagiain Juli. Juli sayang Ibu...
Juli menabur bunga yang aromanya semerbak di atas pusara Ibu. Tanpa ia sadari bahwa sejak tadi, ada sepasang mata tajam yang menatapnya lekat. Seorang lelaki yang bertubuh tinggi, berwajah tegas, bermata hazel yang menawan dan duduk di deretan kursi VIP.
Lelaki yang saat ini sedang mengutuk pikirannya karena bisa-bisanya ia berfantasi saat melihat sosok Juli yang mengenakan dress hitam polos di atas mata kaki berbalut blazer warna senada, rambut sebawah bahu yang tergerai ikal dan wajah yang polos tanpa riasan.
"Kita pergi sekarang, Pak?" tanya seorang lelaki yang tampak lebih muda darinya.
Lelaki itu menoleh, bersyukur karena asistennya berhasil menghentikan pikiran lelaki itu yang semakin tidak terkontrol. Ia tahu bahwa tempat ini merupakan tempat yang sakral. "Iya," jawabnya singkat.
Lelaki itu meninggalkan area pemakaman. Sebelum mobilnya melaju, dirinya masih menatap Juli dengan pandangan yang sulit diartikan karena hari ini dirinya merasa terlambat. Ia sudah tidak dapat merayu Juli lewat Ibunya yang baru saja tiada. Maka dari itu sebagai penghormatan dan rayuan terakhir, lelaki itu membawa sebuket besar bunga mawar putih yang tidak diberi nama. Berharap jika roh Ibunya masih ada, ia akan merestui jika suatu saat ada takdir yang mengikat lelaki itu dan Juli.
***
Upacara pemakaman telah selesai. Juli, Ayah, Inah dan Karmin kembali ke rumah menggunakan satu mobil.
Ayah berkali-kali menatap ke arah luar gerbang. Seakan menunggu sesuatu yang pasti datang menghampirinya. Wajah lelaki tampan yang kini terlihat menua itu sangat lelah. Mungkin karena perjalanan dari luar kota yang harus segera ia tempuh agar dapat melihat upacara pemakanan istri tercintanya. Ataupun tetang kasusnya yang sebentar lagi pasti naik ke permukaan.
"Jul..." ujar Ayah perlahan.
"Iya Yah," jawab Juli singkat. Kini tangannya telah sibuk merapikan bunga mawar putih yang ia bawa beberapa tangkai dari pemakaman dan rencananya akan ia taruh dalam vas bunga di kamar Ibunya. Entah siapa yang memberikan sebuket besar bunga mawar putih tadi.
Ayah terlihat duduk santai sambil membuka lembaran koran. Mataya menatap koran namun bicaranya pada Juli. "Ayah mau bicara serius, tapi kamu jangan menoleh ke Ayah. Kamu cukup dengarkan, dan berbicara sambil mainin bunga itu. Paham?"
"I-iya, Yah."
Jika Ayah memberikan kode seperti itu, kemungkinan karena ada masalah yang berhubungan dengan CCTV rumah mereka.
"Nanti malam kamu berbenah, nanti pagi sebelum menyalakan semua lampu, masukin koper yang penting bagi kamu ke dalam mobil Karmin. Perhiasan punya Ibu dan kunci rumah baru sudah Ayah titipkan ke Inah, nanti kalian bertiga tinggal menuju ke sana."
"Maksudnya gimana Yah?" Juli menatap nanar pada mawar itu.
"Demi cinta Ayah dan Ibu, Ayah bersumpah nggak pernah melakukan apapun itu yang orang bilang. Tapi kondisi Ayah benar-benar sulit. Yang harus kamu tahu apapun keputusan terakhir Ayah, ini semua demi melindungi kalian bertiga, harta Ayah saat ini."
"Jul... Juli mau taruh bunga ini dulu di atas."
"Iya."
Dengan sedikit berlari, Juli menaiki tangga menuju kamar Ibunya yang telah bersih.
Maksud Ayah bagaimana? Jadi kami harus pergi dari rumah ini? Kenapa?
Juli berniat merebahkan tubuhnya, namun ia ingat kalau harus membereskan barang bawaan. Dengan secepat kilat Juli menyiapkan dua buah koper dan hanya ia isi dengan yang penting-penting saja. Yang sekiranya bisa Juli manfaatkan ketika suatu hari ia tidak memiliki uang.
Memastikan ulang semuanya telah masuk ke dalam koper, kemudian memasang alarm pukul empat pagi dan Juli mulai memejamkan matanya yang terasa berat.
"Non, Non, ayok kita bawa kopernya ke mobil."
Setengah tersadar, Juli duduk di atas ranjang. Inah bahkan membangunkannya sebelum alarm berbunyi.
Dengan langkah terpogoh dan mengerejapkan mata berkali-kali karena minimnya cahaya, Juli menuruni tangga dengan membawa satu koper besar berwarna maroon. Sedangkan Inah ia minta membawa koper ukuran sedang berwarna hijau.
Karmin sudah menunggu di teras yang sama remangnya. Ia memasukkan 2 koper itu dan sedikit mengecek kembali barang bawaan mereka.
"15 menit lagi kita berangkat ya Non, sekarang Non siap-siap dulu. Pakaiannya nggak usah yang terlalu tebal Non, soalnya AC mobil Pak Karmin sedang rusak," ujar Inah yang terlihat sudah berganti pakaian.
"Oke," jawab Juli singkat.
Di cahaya yang remang depan kamar Juli, Ayah menunggu sambil tersenyum hangat.
Sedikit berlari Juli memeluk tubuh Ayahnya, ia ingin menangis tapi takut hal itu akan menjadi beban bagi Ayah.
"Ayah... apapun itu semoga Ayah diberi kesehatan dan kekuatan untuk menyelesaikan ini semua. Juli sayang banget sama Ayah, janji secepatnya kita ketemu lagi ya Yah," suara Juli sedikit bergetar.
"Terima kasih ya Nak, sudah tumbuh bahagia dan kuat. Ayah janji akan menyelesaikan ini semua semaksimal mungkin. Semoga ada kesempatan supaya kita bisa berkumpul lagi."
Juli mengangguk dalam pelukan Ayah.
"Sudah sana siap-siap, nanti kamu langsung masuk mobil saja ya."
Surya mengusap ingus yang mengalir dari hidung Juli dengan kaos lengan panjangnya. Salah satu kebiasaan Juli sejak kecil.
15 menit kemudian Juli membuka pintu mobil bagian belakang. Meski ada rasa khawatir dengan tindakan apa yang akan Ayahnya lakukan, namun ia berusaha tenang. Juli hanya dapat pasrah dan berdo'a dengan setulus-tulusnya.
"Bi, nasib Ayah gimana ya? Apa kita nggak apa-apa ninggalin Ayah begini?"
"Bibi juga nggak tahu Non, tapi semoga Bapak sabar. Seperti selama ini Bapak mengurus Non, hehehe," Inah mengajak bercanda.
"Bi, nasib Ayah gimana ya? Apa kita nggak apa-apa ninggalin Ayah begini?" "Bibi juga nggak tahu Non, tapi semoga Bapak sabar. Seperti selama ini Bapak mengurus Non, hehehe," Inah mengajak bercanda. Perjalanan dimulai dengan suasana yang cukup santai karena lawakan Inah dan Karmin. Juli tidak dapat membayangkan hidupnya tanpa kedua orang ini. Jam sudah menunjukkan pukul enam pagi ketika Karmin menghentikan mobil di sebuah bangunan yang tampak masih baru dan terlihat mungil namun asri. Dari layar ponsel memperlihatkan bahwa mereka berada di wilayah dataran tinggi dan berjarak 2 jam dari Kota. "Ini Non kuncinya," Inah menyerahkan sebuah kunci kepada Juli. Betapa berbinarnya wajah Juli ketika masuk ke dalam rumah tersebut, yang didominasi oleh warna cokelat nan estetik. Tidak seluas rumah lama mereka memang, namun sepertinya Juli akan nyaman tinggal di sini sementara waktu. Ayahnya sangat ahli memberi kejutan. Karena tidak tingkat, Juli menempati kamar utama yang berada di dekat ruan
"Aku harus bagaimana?" tanya Juli pada udara di kamarnya. Sudah setengah jam Juli duduk di kursi sambil menggigit ujung kukunya. Ia galau segalau-galaunya. Pikirannya buntu. Ia berusaha mengumpulkan jumlah uangnya di beberapa bank. Cukup sih, namun tinggal sisa sedikit. "Aku harus bagaimana?" tanyanya ulang. Kepalanya berdenyut mendengar penjelasan dari Amel tadi, ketika Juli menelepon Amel sesuai janjinya semalam. "Kak, bapak kecelakaan pas pulang dari pasar. Kaki kanannya patah dan harus di operasi. Karena pas kecelakaan kondisi kaki bapak mengkhawatirkan, dibawalah sama orang-orang sekitar sana ke Rumah Sakit tedekat yang ternyata biayanya mahal," sesekali terdengar isak tangis dari Amel. Juli mau menghela nafas, namun takut terdengar Amel. "Biayanya berapa Mel?" tanya Juli langsung, dengan nada yang lembut. "27 juta kak. Amel ada tabungan 2 juta, Bapak 6 juta. Tapi masih kurang 19 juta. Amel sudah tanya apa bisa diringankan, tapi di sana standart-nya segitu, soalnya pakai me
"Pak, saya kan sudah mengingatkan jangan sampai terpancing sama Juli," protes August dari balik kemudi sambil melirik Okta yang sedang merangkul lengan Juli di kursi belakang. "Saya nggak sengaja!" sahut Okta emosi. "Kamu kan tahu sendiri gimana anak ini mukul kepala saya pakai botol beling, gimana saya nggak emosi kalau lihat wajahnya." August terkikik. Bosnya si paling emosian ini memang sulit menahan diri. Kalau dia bilang A ya A, B ya B. Maka saat ia bertemu dengan gadis barbar yang tidak menurut seperti Juli, jiwa Okta berontak. "Terus kita bawa kemana Pak? Rumah Sakit?" tanya August tidak yakin. Takutnya dikira mereka berdua habis melakukan kejahatan pada Juli. Krauukkkkk, perut Juli kembali berbunyi. Okta mendelik. Mungkin alasan gadis ini pingsan bukan hanya takut, tapi karena lapar. Apa sejak kejadian semalam itu dia belum makan ya? "Bawa ke apartemen saya saja Gus, kalau ke rumah sakit takut bikin heboh," jawab Okta enteng. Juli yang sebenarnya hanya lemas dan tidak pi
"Tapi sekarang kita jadi makan kan, Pak?" tanya Juli polos, karena sejak tadi Okta hanya bicara tanpa memesan satu menu pun. "Jul, saya serius." Juli meringis, "Tapi aku laparnya juga serius, Pak." Okta mendengus. Segera ia memesan makanan dengan porsi yang cukup banyak untuk mereka berdua. Sambil menunggu pesanan datang, Okta meng-scroll tab khusus untuk kantor untuk cek email yang masuk. Hingga ada satu pesan singkat dari anak buah yang ia minta untuk mengawal kasus Surya Tama. "Ayah kamu dapat jadwal sidang 2 minggu lagi. Kemungkinan setelah itu akan dipindahkan ke rumah tahanan," ujar Okta setelah membaca laporan dari Doni. "Tapi Ayah benar melakukannya?" tanya Juli memastikan. Okta hanya mengangkat bahu dengan wajah tengil miliknya, membuat Juli harus mengelus dada dengan perut yang lapar. "Selamat siang Bapak Ibu," sapa server sambil menaruh makanan dan minuman di meja. Setelah semuanya tertata rapi, server tersebut pamit kembali. "Silahkan, selamat menikmati.""Terima ka
"Okta itu... gimana ya, menurut Oma sih terlalu menyibukkan diri, jarang main dan nongkrong. Hidupnya cuma kerja, kerja dan kerja. Mungkin teman paling akrab ya asisten-nya. Udah gitu galaknya, ampun! Oma ketahuan belanja sebulan 6 kali aja langsung marah-marah dia," Oma memberikan fun fact sambil menyiapkan makanan untuk Okta. "Apa jangan-jangan dari lahir udah galak ya Oma?" tanya Juli dengan memasang wajah kaget yang dibuat-buat. Oma menaruh sepiring makanan di hadapan Okta, kemudian menutup mulutnya dengan gerakan berlebihan. "Wah... Oma kok nggak kepikiran ya. Dulu Oma lupa nanya sih ke Mamahnya Okta, pas baru lahir dia itu nangis apa langsung ngomel-ngomel." Juli terkikik geli. Oma ini memiliki vibes seperti Bi Inah. Lucu dan menyenangkan. Oh iya, bagaimana keadaan Bi Inah ya? "Oma, Juli ke sini bukan buat dengerin Oma stand up comedy," ujar Okta yang sebenarnya mau ikut melawak, namun wajahnya yang dingin tidak membuat kalimatnya terdengar lucu. Juli dan Oma menengok ke ar
"Masuk ke dalam sini, Non?" tanya Karmin sambil menghentikan mobilnya di depan gerbang berwarna hitam yang masih terbuka lebar. "Iya, tadi kata Ibu nama tempatnya ini." 2 tahun yang lalu, Juli datang ke sebuah Resto & Bar untuk menjemput Ayahnya yang sedang mabuk. Tidak, Ayah bukan seorang peminum. Hanya saja hari itu Ayah sedang mengadakan entertain untuk investor baru di perusahaan tempat Ayah bekerja. Dan sekitar 20 menit yang lalu, ada satu panggilan dari Ayah yang minta dijemput, suaranya kurang jelas dan sesekali tertawa kencang. Menandakan Ayahnya sedang mabuk. Ibu yang panik langsung membangunkan Juli dan memintanya untuk menjemput Ayah diantar oleh Karmin sang supir keluarga yang memang tinggal di rumah mereka. Tidak ada suara dentuman musik karena jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga dini hari. Dengan merapatkan sweaternya, Juli berjalan beriringan dengan Karmin yang tadi pagi hanya mengantar Ayah sampai ke kantor. Menurut petugas bar, Ayah dan 2 orang lainnya berada