"Bi, nasib Ayah gimana ya? Apa kita nggak apa-apa ninggalin Ayah begini?"
"Bibi juga nggak tahu Non, tapi semoga Bapak sabar. Seperti selama ini Bapak mengurus Non, hehehe," Inah mengajak bercanda.
Perjalanan dimulai dengan suasana yang cukup santai karena lawakan Inah dan Karmin. Juli tidak dapat membayangkan hidupnya tanpa kedua orang ini.
Jam sudah menunjukkan pukul enam pagi ketika Karmin menghentikan mobil di sebuah bangunan yang tampak masih baru dan terlihat mungil namun asri. Dari layar ponsel memperlihatkan bahwa mereka berada di wilayah dataran tinggi dan berjarak 2 jam dari Kota.
"Ini Non kuncinya," Inah menyerahkan sebuah kunci kepada Juli.
Betapa berbinarnya wajah Juli ketika masuk ke dalam rumah tersebut, yang didominasi oleh warna cokelat nan estetik. Tidak seluas rumah lama mereka memang, namun sepertinya Juli akan nyaman tinggal di sini sementara waktu. Ayahnya sangat ahli memberi kejutan.
Karena tidak tingkat, Juli menempati kamar utama yang berada di dekat ruang keluarga. Inah menempati kamar yang ada di dekat pantry, sedangkan Karmin menempati Kamar kecil yang berada di luar rumah. Tugas seorang Pak Karmin bertambah menjadi security untuk rumah mungil ini.
Pukul delapan pagi, Inah sudah selesai membuat sarapan. Mereka bertiga duduk di ruang makan sambil menyalakan TV. Dan disitulah Juli melihat berita yang menampakkan wajah Ayahnya sedang tertunduk. Seorang Surya Tama ditahan atas dugaan penggelapan dana, ia ditangkap di kediamannya seorang diri.
Juli mengatupkan bibirnya rapat. Ayah...
Inah memeluk tubuh Juli yang sedikit bergetar. "Nggak apa-apa Non, semua akan baik-baik saja."
***
Baru 2 hari Juli hidup agak terasing, namun dirinya rindu dengan gemerlap Kota. Ia rindu menari diantara hingar bingar musik meski keesokan harinya ia datang terlambat ke kampus. Di sini, meski tenang namun terasa kurang bagi gadis muda seperti Juli.
Pagi itu pun berlalu seperti biasa, Juli jogging tipis-tipis keliling halaman rumah agar jiwa raganya tetap seimbang walau galau menyerang. Namun baru kali itu ia lihat wajah Inah murung. Pandangannya tidak fokus. Sampah yang ia sapu menggunakan sapu lidi banyak yang terlewat.
"Eh ayam, ayam!" Inah terkejut mendapati satu tepukan di pundaknya.
"Kenapa sih Bi? Galau banget mukanya," sapa Juli dengan nada riang.
Inah terlihat kikuk dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Itu Non, anak Bibi baru melahirkan semalam. Tapi ada sedikit masalah di kampung. Bibi mau bantu ke sana, tapi Bibi juga sadar kalau nggak bisa ninggalin Non sendiri."
Yes, ada celah buat ke Kota! Juli malah asik dengan pemikirannya sendiri.
"Penting banget Bi urusannya?" Juli memastikan.
"Bagi Bibi penting Non, menyangkut nasib cucu Bibi."
Juli khawatir, namun ia juga belum tahu apakah kondisi di Kota sudah kondusif.
"Emn, begini saja deh Bi. Kalau aku di sini sama Pak Karmin nggak mungkin, jadi aku pergi ke Kota saja ya sampai Bibi balik. Nanti aku bisa sewa penginapan mingguan di sana, aku masih ada budget kok. Lagian biarpun Ayah punya kasus, dari kemarin aku pantau nggak ada yang cari informasi tentang aku," ujar Juli santai. Ia berpikir bisa sekaligus mengurus cuti kuliahnya.
"Memang boleh begitu Non?" tanya Inah ragu.
Juli mengangguk mantap.
Sebelum siang mereka bertiga sudah jalan menuju Kota, menggunakan mobil jenis SUV yang terparkir di garasi rumah dan atas nama Juli. Entah kapan Ayahnya membeli mobil itu, yang jelas mempermudah mobilitas mereka bertiga karena mobil Karmin sudah terlalu tua untuk melakukan perjalanan jauh.
Di kota, Juli mendapatkan kost exclusive yang bisa disewa mingguan dekat Kampusnya. Ia hanya membawa koper kecil yang berisi barang-barang berharga dan beberapa pakaian karena kost ini memiliki fasilitas yang cukup lengkap.
Setelah memastikan tidak ada yang mengenali Juli, Inah dan Karmin melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman mereka yang memang bertetangga. Juli meminta Karmin untuk rehat juga dari segala kegaduhan beberapa hari ini.
"Ah, hawa Kota memang beda." Juli bergelung di atas ranjang yang dilapisi bedcover berwarna putih dan tebal.
Karena hari sudah sore, selesai merapikan pakaiannya agar tidak kusut di dalam koper, Juli memutuskan untuk pergi ke sebuah klub malam yang tidak terlalu ramai karena para mahasiswa sedang libur semester. Ia ingin melampiaskan segala kepenatan otaknya. Dan supaya ia bisa berjalan pulang sendiri ketika dirinya mungkin agak mabuk.
Selesai mandi, Juli mengenakan dress vintage lengan panjang di atas lutut dengan motif bunga. Rambutnya yang ikal dibiarkan tergerai, tentunya dengan riasan wajah flawless namun berkesan natural.
Jika ada yang bertanya apakah selama beberapa hari ini tidak ada sahabat Juli yang menghubungi? Jawabannya tidak ada, karena Juli adalah orang yang introvert. Ia menganggap dirinya bisa bertahan seorang diri meski hujan badai menyerang.
"Selamat malam, selamat datang di Lian Club," sapa seorang security yang membukakan pintu ketika lihat Juli berjalan pelan menuju tempat tersebut.
"Malam," jawab Juli singkat.
Ia mengambil posisi duduk di sudut meja namun depan bartender. Ia tidak suka keramaian dan sapaan dari orang asing, jadi ia selalu mengambil posisi itu. Dengan harapan orang lain akan menganggap kalau Juli adalah kekasih sang bartender.
"Mau lagi kak?" tanya sang bartender yang melihat gelas Juli telah kosong.
"Boleh, sama Aglio Olio satu ya," jawab Juli semangat. Meski dipenuhi euforia, ia ingat bahwa terakhir ia makan adalah tadi pagi sebelum berangkat ke Kota.
Juli merasa dirinya belum mabuk, karena sejak awal ia meminta minuman yang kadar alkoholnya rendah. Dengan begitu setelah menenggak 3 gelas dirinya masih bisa pulang sendiri.
"YEAY!!!" jerit Juli memecah keheningan. Musik baru menyala, ia sudah berdiri di tengah lantai dansa dengan wajah memerah dan pandangan sedikit kabur, berniat untuk membakar kalori dari makanan yang telah habis ia santap.
Beberapa meter dari tempat Juli berdiri, ada sepasang mata tajam familiar yang segera bangkit ketika melihat Juli. Ia berdiri, lalu menyandar pada tembok, memperhatikan seberapa kacau tingkah laku Juli ketika mabuk. Meskipun ia sering mendapat laporan dari mata-matanya, namun melihat dengan mata kepala sendiri benar-benar menjadi candu bagi lelaki itu. Maka, lelaki itu putuskan untuk tidak minum sama sekali.
"Eh maaf, maaf, aku nggak sengaja" Juli menangkupkan tangannya di depan lelaki bertubuh besar dan berwajah mesum.
Lelaki asing itu hendak menarik tangan Juli, namun sebuah tangan dari lelaki yang memperhatikan Juli tadi membatalkan niatnya.
"Maaf mas, tunangan saya kalau mabuk memang suka menyebalkan," katanya meminta maaf, tapi dengan wajah datar dan dingin.
Lelaki mesum itu mendengus sebal dan meninggalkan mereka berdua, merasa bahwa tidak ada kesempatan untuk mengelabui Juli.
"Apa, memang kita tunangan?" tanya Juli di telinga lelaki itu.
Sekujur tubuh lelaki itu meremang. Kali ini, ia tidak akan melepas Juli. Entah bagaimana caranya, ia akan memberikan "tanda" agar Juli selalu mengingatnya.
Lelaki itu menggandeng tangan Juli menuju meja kasir untuk melakukan pembayaran terlebih dahulu, lalu memapah Juli menuju parkir untuk memasuki mobilnya.
Tidak bisa menunggu lebih lama, lelaki itu memarkirkan mobinya pada sebuah hotel bintang 4 yang tidak jauh dari klub. Ia kembali memapah tubuh Juli menuju resepsionis untuk memesan kamar VIP. Baru setelah keluar lift, lelaki itu menggendong tubuh Juli menuju kamar yang dimaksud.
"Ini dimana? Aku dimana? Kenapa Om lepas baju?" tanya Juli merancu yang kini terduduk di atas ranjang dengan pakaian lengkap.
Lelaki itu menaikkan tubuh Juli hingga menyandar pada ranjang. Dengan perlahan ia mengecup bibir ranum yang sejak 2 tahun ini ia damba, seraya tangannya meraba dan berusaha melepaskan pakaian Juli.
Namun, Juli tidak sebodoh itu fergusooo.
Dengan sengaja Juli membalas pangutan lelaki yang di penglihatan mabuknya malam itu sangat tampan, ia bahkan menahan kepala lelaki itu dengan tangan kirinya.
Merasa gayung bersambut, lelaki itu lengah dan melonggarkan pegangannya. Tanpa ia sadar bahwa tangan kanan Juli sudah mengambil air mineral berbotol kaca warna hijau yang ada di meja kecil sebelah ranjang.
Dan... Pranggg!
Juli mendorong tubuh tinggi itu dengan susah payah hingga ia bisa menyelinap dan segera melarikan diri dari kamar terkutuk.
"JULI!" bentak lelaki yang terlihat murka. Ia memegang kepala yang meski tidak sampai berdarah namun cukup berdengung.
"KALAU MAU ITU NIKAHIN DULU, HUWO!" jerit Juli sambil berlari.
Juli menekan tombol lift setelah berlari keluar kamar. Jantungnya berdegup kencang, nafasnya agak tersengal, keringat menetes dari kening. Sebelum lift sampai lobi, Juli merapikan pakaian dan wajahnya.
"Terima kasih sudah berkunjung," sapa security di pintu lobi sambil mendekap tangan kanan ke dada.
Juli tersenyum ramah, berusaha bersikap tidak mencurigakan. Saat berada di belokan jalan, ia berlari sekencang mungkin menuju kost dengan jarak yang agak jauh. Takut lelaki gila itu mengikutinya.
Security gerbang kost yang melihat Juli berlari di jam 11 malam terlihat terkejut, namun sebelum ia sempat bertanya, Juli telah mengangkat tangan kanannya dan berkata... "Saya sakit perut, Pak."
"Oh... saya pikir kenapa Neng," katanya kembali duduk, tidak jadi panik.
Saat naik tangga, Juli mengendap karena tidak mau menarik perhatian warga kost yang cukup padat dan terkadang ada yang kepo pada anak baru.
Sesampainya di dalam kamar, Juli duduk di meja belajar sambil menstabilkan jantungnya. Kemudian mengambil beberapa skincare mahalnya untuk membersihkan wajah. Salah satu rahasia kemulusan wajah Juli yang tidak pernah skip double cleansing dan pakai skincare sebelum tidur.
"Jul, Jul, bisa-bisanya ketemu Om seram kayak gitu, ckckck."
Lalu Juli mengerejapkan mata berkali-kali, coba mengingat orang yang baru ia saja beri label 'Om serem'. Eh sepertinya nggak seram-seram amat, kayaknya sih ganteng deh.
Jam sudah lewat tengah malam. Selesai mandi, Juli menyelesaikan rangkaian skincare-nya. Kemudian merebahkan tubuh di atas ranjang sambil meng-scroll ponselnya. Tidak lupa Juli memeriksa pesan di grup baru yang berjudul 'Grup Rahasia' berisikan Juli, Bi Inah, Pak Karmin. Ada pesan dari Inah yang mengatakan kalau ia belum bisa kembali ke Kota dalam beberapa hari. Lalu ada, tunggu... kenapa ada pesan dari Amel anaknya Karmin?
Malam Kak Juli, ini Amel anaknya Pak karmin.
Degh, kenapa Amel mengirim pesan tengah malam? Mau Juli telepon, tapi sudah larut. Kalau kirim pesan, Juli takut jadi penasaran. Akhirnya Juli putuskan untuk menyalakan alarm pukul 7 pagi, agar ia bisa segera menelepon Amel dan menanyakan ada apa.
Juli menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.
"Pasti ada masalah baru, lagi dan lagi," ujar Juli pasrah.
"Aku harus bagaimana?" tanya Juli pada udara di kamarnya. Sudah setengah jam Juli duduk di kursi sambil menggigit ujung kukunya. Ia galau segalau-galaunya. Pikirannya buntu. Ia berusaha mengumpulkan jumlah uangnya di beberapa bank. Cukup sih, namun tinggal sisa sedikit. "Aku harus bagaimana?" tanyanya ulang. Kepalanya berdenyut mendengar penjelasan dari Amel tadi, ketika Juli menelepon Amel sesuai janjinya semalam. "Kak, bapak kecelakaan pas pulang dari pasar. Kaki kanannya patah dan harus di operasi. Karena pas kecelakaan kondisi kaki bapak mengkhawatirkan, dibawalah sama orang-orang sekitar sana ke Rumah Sakit tedekat yang ternyata biayanya mahal," sesekali terdengar isak tangis dari Amel. Juli mau menghela nafas, namun takut terdengar Amel. "Biayanya berapa Mel?" tanya Juli langsung, dengan nada yang lembut. "27 juta kak. Amel ada tabungan 2 juta, Bapak 6 juta. Tapi masih kurang 19 juta. Amel sudah tanya apa bisa diringankan, tapi di sana standart-nya segitu, soalnya pakai me
"Pak, saya kan sudah mengingatkan jangan sampai terpancing sama Juli," protes August dari balik kemudi sambil melirik Okta yang sedang merangkul lengan Juli di kursi belakang. "Saya nggak sengaja!" sahut Okta emosi. "Kamu kan tahu sendiri gimana anak ini mukul kepala saya pakai botol beling, gimana saya nggak emosi kalau lihat wajahnya." August terkikik. Bosnya si paling emosian ini memang sulit menahan diri. Kalau dia bilang A ya A, B ya B. Maka saat ia bertemu dengan gadis barbar yang tidak menurut seperti Juli, jiwa Okta berontak. "Terus kita bawa kemana Pak? Rumah Sakit?" tanya August tidak yakin. Takutnya dikira mereka berdua habis melakukan kejahatan pada Juli. Krauukkkkk, perut Juli kembali berbunyi. Okta mendelik. Mungkin alasan gadis ini pingsan bukan hanya takut, tapi karena lapar. Apa sejak kejadian semalam itu dia belum makan ya? "Bawa ke apartemen saya saja Gus, kalau ke rumah sakit takut bikin heboh," jawab Okta enteng. Juli yang sebenarnya hanya lemas dan tidak pi
"Tapi sekarang kita jadi makan kan, Pak?" tanya Juli polos, karena sejak tadi Okta hanya bicara tanpa memesan satu menu pun. "Jul, saya serius." Juli meringis, "Tapi aku laparnya juga serius, Pak." Okta mendengus. Segera ia memesan makanan dengan porsi yang cukup banyak untuk mereka berdua. Sambil menunggu pesanan datang, Okta meng-scroll tab khusus untuk kantor untuk cek email yang masuk. Hingga ada satu pesan singkat dari anak buah yang ia minta untuk mengawal kasus Surya Tama. "Ayah kamu dapat jadwal sidang 2 minggu lagi. Kemungkinan setelah itu akan dipindahkan ke rumah tahanan," ujar Okta setelah membaca laporan dari Doni. "Tapi Ayah benar melakukannya?" tanya Juli memastikan. Okta hanya mengangkat bahu dengan wajah tengil miliknya, membuat Juli harus mengelus dada dengan perut yang lapar. "Selamat siang Bapak Ibu," sapa server sambil menaruh makanan dan minuman di meja. Setelah semuanya tertata rapi, server tersebut pamit kembali. "Silahkan, selamat menikmati.""Terima ka
"Okta itu... gimana ya, menurut Oma sih terlalu menyibukkan diri, jarang main dan nongkrong. Hidupnya cuma kerja, kerja dan kerja. Mungkin teman paling akrab ya asisten-nya. Udah gitu galaknya, ampun! Oma ketahuan belanja sebulan 6 kali aja langsung marah-marah dia," Oma memberikan fun fact sambil menyiapkan makanan untuk Okta. "Apa jangan-jangan dari lahir udah galak ya Oma?" tanya Juli dengan memasang wajah kaget yang dibuat-buat. Oma menaruh sepiring makanan di hadapan Okta, kemudian menutup mulutnya dengan gerakan berlebihan. "Wah... Oma kok nggak kepikiran ya. Dulu Oma lupa nanya sih ke Mamahnya Okta, pas baru lahir dia itu nangis apa langsung ngomel-ngomel." Juli terkikik geli. Oma ini memiliki vibes seperti Bi Inah. Lucu dan menyenangkan. Oh iya, bagaimana keadaan Bi Inah ya? "Oma, Juli ke sini bukan buat dengerin Oma stand up comedy," ujar Okta yang sebenarnya mau ikut melawak, namun wajahnya yang dingin tidak membuat kalimatnya terdengar lucu. Juli dan Oma menengok ke ar
"Masuk ke dalam sini, Non?" tanya Karmin sambil menghentikan mobilnya di depan gerbang berwarna hitam yang masih terbuka lebar. "Iya, tadi kata Ibu nama tempatnya ini." 2 tahun yang lalu, Juli datang ke sebuah Resto & Bar untuk menjemput Ayahnya yang sedang mabuk. Tidak, Ayah bukan seorang peminum. Hanya saja hari itu Ayah sedang mengadakan entertain untuk investor baru di perusahaan tempat Ayah bekerja. Dan sekitar 20 menit yang lalu, ada satu panggilan dari Ayah yang minta dijemput, suaranya kurang jelas dan sesekali tertawa kencang. Menandakan Ayahnya sedang mabuk. Ibu yang panik langsung membangunkan Juli dan memintanya untuk menjemput Ayah diantar oleh Karmin sang supir keluarga yang memang tinggal di rumah mereka. Tidak ada suara dentuman musik karena jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga dini hari. Dengan merapatkan sweaternya, Juli berjalan beriringan dengan Karmin yang tadi pagi hanya mengantar Ayah sampai ke kantor. Menurut petugas bar, Ayah dan 2 orang lainnya berada
"Sudah mau sampai, Non." Juli yang sejak masuk ke mobil tadi menutup mata, kini membukanya perlahan. Ada Inah dan Karmin, serta Ibunya dipelukan. Juli pikir ketika ia membuka mata keadaannya akan berubah, namun tetap sama. Ternyata ini semua bukan mimpi. Perjalanan terasa sangat lama, terutama jika kau sedang menunggu sesuatu. 20 menit setelah keluar dari rumah, mobil berhenti di depan Rumah Sakit swasta terbesar di kota. Security yang melihat wajah kacau Juli datang membawa tandu, segera mereka membawa tubuh wanita cantik itu ke dalam ruang ICU. Lutut Juli lemas, dirinya terduduk di lantai depan ruang ICU yang terasa dingin menusuk betisnya. 10 menit selanjutnya jadi moment terberat dalam hidup Juli. Dunianya seketika hancur, air mata sudah tidak mampu menetes. Hanya deru nafasnya yang terasa sesak. Inah membekap tubuh Juli erat. Tangisnya meraung memenuhi lorong. Juli melangkahkan kakinya yang lemas ke dalam ruang ICU. Di atas ranjang, tubuh Ibunya berbaring dengan tenang. Waja