"Pak, saya kan sudah mengingatkan jangan sampai terpancing sama Juli," protes August dari balik kemudi sambil melirik Okta yang sedang merangkul lengan Juli di kursi belakang.
"Saya nggak sengaja!" sahut Okta emosi. "Kamu kan tahu sendiri gimana anak ini mukul kepala saya pakai botol beling, gimana saya nggak emosi kalau lihat wajahnya."
August terkikik. Bosnya si paling emosian ini memang sulit menahan diri. Kalau dia bilang A ya A, B ya B. Maka saat ia bertemu dengan gadis barbar yang tidak menurut seperti Juli, jiwa Okta berontak.
"Terus kita bawa kemana Pak? Rumah Sakit?" tanya August tidak yakin. Takutnya dikira mereka berdua habis melakukan kejahatan pada Juli.
Krauukkkkk, perut Juli kembali berbunyi.
Okta mendelik. Mungkin alasan gadis ini pingsan bukan hanya takut, tapi karena lapar. Apa sejak kejadian semalam itu dia belum makan ya?
"Bawa ke apartemen saya saja Gus, kalau ke rumah sakit takut bikin heboh," jawab Okta enteng.
Juli yang sebenarnya hanya lemas dan tidak pingsan mendadak takut. Ia trauma pada kejadian semalam. Dan refleks tangan Juli mencengkeram lengan Okta.
"Uhuk, uhuk," Juli berakting batuk disertai mata yang mulai terbuka. "Ehemn, haus."
Dengan tangan kanan yang sedikit terjulur Okta mengambil botol air mineral dan membukanya untuk Juli.
"Terima kasih, Pak," ujar Juli sopan. Ia mulai beranjak dari dekapan Okta karena risih, dan duduk di sebelah kanannya.
"Jadi kita mau kemana Pak?" ulang August.
"Kamu masih kuat nyetir jauh nggak Gus?" Okta malah balik bertanya.
"Yah pak, jangan remehkan jiwa muda saya. Bapak mau naik mobil sampai Dubai juga saya tidak mampu, xixixi." Selera jokes August memang seperti bapak-bapak.
Juli ikut terkikik. "Ah mas Agus bisa saja."
August memasak wajah serius, ia kurang suka kalau dipanggil Agus. "Tolong diingat kalau pengejaan nama saya itu A-U-G-U-S-T, bukan A-G-U-S."
Juli melongo, oh ternyata bukan Mas Agus.
"Kalau gitu kita ke resto yang biasa. Harusnya kalau jam kerja gini nggak macet. Tapi sebelumnya berhenti dulu di minimarket untuk beli camilan," potong Okta agar Juli dan August tidak terbawa euforia.
"Siap, Pak."
August si Asisten serba bisa berbelanja camilan pedas dan es kopi untuk dirinya sendiri, serta membeli burger, roti isi selai cokelat kacang, camilan, dan kopi susu sesuai request dua penumpangnya yang bawel.
Juli memakan dengan lahap, sambil sesekali memandang jalan di luar mobil. Ia belum bisa membaca akan dibawa kemana. Tapi kalau sampai Juli diculik, ia mau minta Okta untuk memberikan uangnya kepada Bi Inah.
"Oh, arah puncak," Juli bergumam sendiri.
"Nggak apa-apa kan kalau Saya ajak main sedikit lebih jauh, biar kamu nggak bisa kabur!" sindir Okta yang kembali teringat tragedi semalam.
"Iya, terserah bapak saja."
Mungkin karena efek perutnya yang masih sedikit bergejolak, Juli memilih untuk diam dan tidak terpancing. Iseng ia membuka kaca mobil separuh, merasakan hembusan udara sejuk yang mulai terasa sejak August membelokkan mobil menuju jalur atas.
Rambut Juli teracak, membuat dada Okta bergemuruh.
Sky Coffee & Eatery, sebuah hiddem gem di daerah puncak milik sepupunya Okta. Sebuah tempat romantis yang dulu membuat Okta bergidik saat melihatnya, namun sekarang ia malah mengajak Juli ke sana.
"Pak, saya mau tidur di mobil dulu ya," ujar August setelah kedua orang itu keluar mobil.
"Hemn," dehem Okta tanda setuju dan menarik tangan Juli hingga masuk ke dalam resto.
Suasananya hening, hanya ada beberapa ibu-ibu dengan gelang emas berjajar yang duduk di sudut ruangan. Mereka sedang haha hihi membicarakan gopis selebritis. Tunggu, sepenglihatan Juli salah satu diantara mereka ada yang orang terkenal juga.
"Silahkan Pak, Bu," server mempersilahkan Okta dan Juli duduk di sebuah meja yang berada di dekat jendela lantai 2.
Juli menangguk ramah, dan sibuk memperhatikan pemandangan di luar yang menurutnya sangat bisa mengurangi kepusingannya.
Okta masih asik memandang Juli, lalu ia memulai pembicaraan. "Jul, kamu kan sudah nggak punya siapa-siapa..." katanya menggantung.
Okta ini memang ahli membuat kesal. Juli tahu jika ia sudah tidak punya siapa-siapa. Namun mendengarnya langsung dari mulut Okta sungguh terasa menyakitkan.
"... jadi biar saya saja yang jagain kamu," lanjut Okta.
Wajah Juli tersipu malu.
Okta memandang Juli dengan wajah angkuh, sampai Juli merasa bahwa jantungnya dihujam ribuan panah. Jadi Okta ini mau mengutarakan perasaan atau menodong Juli?
"Tapi Pak, aku itu lagi bermasalah. Ayah meninggalkan uang beberapa puluh juta saja, tapi itu udah aku pakai untuk beberapa keperluan dan untuk operasi kakinya Pak Karmin. Sudah uangnya tinggal sedikit, eh ada info kalau cucunya Bi Inah harus segera operasi kelainan jantung. Makanya aku lagi bingung. Perhiasan yang Ayah tinggal nggak ada surat-suratnya, kalau dijual pasti murah dan nggak sebanding dengan kenangannya. Mau jual mobil, nggak mungkin bisa langsung laku. Mobilnya pun sekarang ada di kampung," cecar Juli panjang lebar. Ketika Juli bercerita tentang hidupnya, itu berarti ia sedikit percaya pada Okta.
Mendengar curhatan Juli, Okta jadi ingin memeluk.
"Kalau begitu kita menikah saja," ajak Okta dengan entengnya.
"Pak, aku maunya pinjam uang bukan minta. Bapak harus sadar kalau aku itu sudah miskin dan nggak mungkin diterima oleh lingkungan Bapak," Juli berusaha mengingatkan dengan nada sedikit meningkat, kini ia semakin berbahasa santai pada Okta.
Okta berpikir sejenak. Keluarga? Sejak usia 15 tahun, Okta tinggal dengan Oma Juni dan Om Januar yang jadi Walinya, mereka berdua memiliki sikap santai seperti di pantai. Ibu Okta? Sudah meninggal saat Okta kelas 2 SMP. Ayah Okta? Sudah menikah lagi dan tinggal di luar negeri bersama dengan seorang wanita yang Okta sebut sebagai Nenek Sihir.
"Kalau misal nggak ada yang protes, apa kamu mau nikah sama saya?" tanya Okta pada akhirnya.
Meski ragu, tapi Juli mengangguk. Tidak ada salahnya mencoba sesuatu yang Juli tau besar resikonya.
"Kalau begitu nanti malam kita mampir ke rumah Oma."
"Apa?"
Juli terlihat shock, namun Okta harus mempercepat semuanya sebelum pasukan Nenek Sihir muncul ke permukaan. Dari info yang ia dengar, si Nenek Sihir itu mau membuat anak perusahaannya di negara ini. Apapun bisa ia lakukan, termasuk menjual Okta agar menjadi menantu dari koleganya. Meski Okta bukan anak kecil, namun Ayahnya yang punya kuasa sangat tunduk pada Nenek Sihir itu.
Jadi, moment Okta bertemu kembali dengan Juli adahal satu kunci menuju kebebasan bagi Okta. Dengan ia menikahi gadis yang ia mau, si Nenek Sihir tidak akan bisa menyetir hidupnya. Kurang lebih begitulah perkiraan Okta.
Dan tentu saja sebelum Okta benar-benar menculik Juli.
"Tapi sekarang kita jadi makan kan, Pak?" tanya Juli polos, karena sejak tadi Okta hanya bicara tanpa memesan satu menu pun.
Halo salam kenal, aku Ndin. Selamat membaca novel pertamaku ini.
"Tapi sekarang kita jadi makan kan, Pak?" tanya Juli polos, karena sejak tadi Okta hanya bicara tanpa memesan satu menu pun. "Jul, saya serius." Juli meringis, "Tapi aku laparnya juga serius, Pak." Okta mendengus. Segera ia memesan makanan dengan porsi yang cukup banyak untuk mereka berdua. Sambil menunggu pesanan datang, Okta meng-scroll tab khusus untuk kantor untuk cek email yang masuk. Hingga ada satu pesan singkat dari anak buah yang ia minta untuk mengawal kasus Surya Tama. "Ayah kamu dapat jadwal sidang 2 minggu lagi. Kemungkinan setelah itu akan dipindahkan ke rumah tahanan," ujar Okta setelah membaca laporan dari Doni. "Tapi Ayah benar melakukannya?" tanya Juli memastikan. Okta hanya mengangkat bahu dengan wajah tengil miliknya, membuat Juli harus mengelus dada dengan perut yang lapar. "Selamat siang Bapak Ibu," sapa server sambil menaruh makanan dan minuman di meja. Setelah semuanya tertata rapi, server tersebut pamit kembali. "Silahkan, selamat menikmati.""Terima ka
"Okta itu... gimana ya, menurut Oma sih terlalu menyibukkan diri, jarang main dan nongkrong. Hidupnya cuma kerja, kerja dan kerja. Mungkin teman paling akrab ya asisten-nya. Udah gitu galaknya, ampun! Oma ketahuan belanja sebulan 6 kali aja langsung marah-marah dia," Oma memberikan fun fact sambil menyiapkan makanan untuk Okta. "Apa jangan-jangan dari lahir udah galak ya Oma?" tanya Juli dengan memasang wajah kaget yang dibuat-buat. Oma menaruh sepiring makanan di hadapan Okta, kemudian menutup mulutnya dengan gerakan berlebihan. "Wah... Oma kok nggak kepikiran ya. Dulu Oma lupa nanya sih ke Mamahnya Okta, pas baru lahir dia itu nangis apa langsung ngomel-ngomel." Juli terkikik geli. Oma ini memiliki vibes seperti Bi Inah. Lucu dan menyenangkan. Oh iya, bagaimana keadaan Bi Inah ya? "Oma, Juli ke sini bukan buat dengerin Oma stand up comedy," ujar Okta yang sebenarnya mau ikut melawak, namun wajahnya yang dingin tidak membuat kalimatnya terdengar lucu. Juli dan Oma menengok ke ar
"Masuk ke dalam sini, Non?" tanya Karmin sambil menghentikan mobilnya di depan gerbang berwarna hitam yang masih terbuka lebar. "Iya, tadi kata Ibu nama tempatnya ini." 2 tahun yang lalu, Juli datang ke sebuah Resto & Bar untuk menjemput Ayahnya yang sedang mabuk. Tidak, Ayah bukan seorang peminum. Hanya saja hari itu Ayah sedang mengadakan entertain untuk investor baru di perusahaan tempat Ayah bekerja. Dan sekitar 20 menit yang lalu, ada satu panggilan dari Ayah yang minta dijemput, suaranya kurang jelas dan sesekali tertawa kencang. Menandakan Ayahnya sedang mabuk. Ibu yang panik langsung membangunkan Juli dan memintanya untuk menjemput Ayah diantar oleh Karmin sang supir keluarga yang memang tinggal di rumah mereka. Tidak ada suara dentuman musik karena jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga dini hari. Dengan merapatkan sweaternya, Juli berjalan beriringan dengan Karmin yang tadi pagi hanya mengantar Ayah sampai ke kantor. Menurut petugas bar, Ayah dan 2 orang lainnya berada
"Sudah mau sampai, Non." Juli yang sejak masuk ke mobil tadi menutup mata, kini membukanya perlahan. Ada Inah dan Karmin, serta Ibunya dipelukan. Juli pikir ketika ia membuka mata keadaannya akan berubah, namun tetap sama. Ternyata ini semua bukan mimpi. Perjalanan terasa sangat lama, terutama jika kau sedang menunggu sesuatu. 20 menit setelah keluar dari rumah, mobil berhenti di depan Rumah Sakit swasta terbesar di kota. Security yang melihat wajah kacau Juli datang membawa tandu, segera mereka membawa tubuh wanita cantik itu ke dalam ruang ICU. Lutut Juli lemas, dirinya terduduk di lantai depan ruang ICU yang terasa dingin menusuk betisnya. 10 menit selanjutnya jadi moment terberat dalam hidup Juli. Dunianya seketika hancur, air mata sudah tidak mampu menetes. Hanya deru nafasnya yang terasa sesak. Inah membekap tubuh Juli erat. Tangisnya meraung memenuhi lorong. Juli melangkahkan kakinya yang lemas ke dalam ruang ICU. Di atas ranjang, tubuh Ibunya berbaring dengan tenang. Waja
"Bi, nasib Ayah gimana ya? Apa kita nggak apa-apa ninggalin Ayah begini?" "Bibi juga nggak tahu Non, tapi semoga Bapak sabar. Seperti selama ini Bapak mengurus Non, hehehe," Inah mengajak bercanda. Perjalanan dimulai dengan suasana yang cukup santai karena lawakan Inah dan Karmin. Juli tidak dapat membayangkan hidupnya tanpa kedua orang ini. Jam sudah menunjukkan pukul enam pagi ketika Karmin menghentikan mobil di sebuah bangunan yang tampak masih baru dan terlihat mungil namun asri. Dari layar ponsel memperlihatkan bahwa mereka berada di wilayah dataran tinggi dan berjarak 2 jam dari Kota. "Ini Non kuncinya," Inah menyerahkan sebuah kunci kepada Juli. Betapa berbinarnya wajah Juli ketika masuk ke dalam rumah tersebut, yang didominasi oleh warna cokelat nan estetik. Tidak seluas rumah lama mereka memang, namun sepertinya Juli akan nyaman tinggal di sini sementara waktu. Ayahnya sangat ahli memberi kejutan. Karena tidak tingkat, Juli menempati kamar utama yang berada di dekat ruan
"Aku harus bagaimana?" tanya Juli pada udara di kamarnya. Sudah setengah jam Juli duduk di kursi sambil menggigit ujung kukunya. Ia galau segalau-galaunya. Pikirannya buntu. Ia berusaha mengumpulkan jumlah uangnya di beberapa bank. Cukup sih, namun tinggal sisa sedikit. "Aku harus bagaimana?" tanyanya ulang. Kepalanya berdenyut mendengar penjelasan dari Amel tadi, ketika Juli menelepon Amel sesuai janjinya semalam. "Kak, bapak kecelakaan pas pulang dari pasar. Kaki kanannya patah dan harus di operasi. Karena pas kecelakaan kondisi kaki bapak mengkhawatirkan, dibawalah sama orang-orang sekitar sana ke Rumah Sakit tedekat yang ternyata biayanya mahal," sesekali terdengar isak tangis dari Amel. Juli mau menghela nafas, namun takut terdengar Amel. "Biayanya berapa Mel?" tanya Juli langsung, dengan nada yang lembut. "27 juta kak. Amel ada tabungan 2 juta, Bapak 6 juta. Tapi masih kurang 19 juta. Amel sudah tanya apa bisa diringankan, tapi di sana standart-nya segitu, soalnya pakai me