"Tapi sekarang kita jadi makan kan, Pak?" tanya Juli polos, karena sejak tadi Okta hanya bicara tanpa memesan satu menu pun.
"Jul, saya serius."Juli meringis, "Tapi aku laparnya juga serius, Pak."Okta mendengus. Segera ia memesan makanan dengan porsi yang cukup banyak untuk mereka berdua. Sambil menunggu pesanan datang, Okta meng-scroll tab khusus untuk kantor untuk cek email yang masuk.Hingga ada satu pesan singkat dari anak buah yang ia minta untuk mengawal kasus Surya Tama."Ayah kamu dapat jadwal sidang 2 minggu lagi. Kemungkinan setelah itu akan dipindahkan ke rumah tahanan," ujar Okta setelah membaca laporan dari Doni."Tapi Ayah benar melakukannya?" tanya Juli memastikan.Okta hanya mengangkat bahu dengan wajah tengil miliknya, membuat Juli harus mengelus dada dengan perut yang lapar."Selamat siang Bapak Ibu," sapa server sambil menaruh makanan dan minuman di meja. Setelah semuanya tertata rapi, server tersebut pamit kembali. "Silahkan, selamat menikmati.""Terima kasih Mbak," kata Juli dengan senyum ramah.Makan siang diliputi oleh suasana yang tenang tanpa perkacapan, Okta terbiasa seperti itu. Berbeda dengan Juli yang biasanya banyak bercerita pada Ibunya."Habisin!" cecar Okta yang melihat makanan Juli masih banyak. Ia yang telah selesai makan membersihkan sudut bibirnya dengan gerakan elegan."Iya, iya."Okta masih memasang wajah galak, sedangkan Juli segera menghabiskan makanannya."Ehem," sela August yang ternyata sejak tadi duduk tidak jauh dari kursi Okta dan Juli. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore dan ia tidak siap menerjang kemacetan Ibu Kota jika mereka pulang lebih lama lagi."Ada apa?" tanya Okta tanpa menoleh.August berjalan mendekat kemudian menunduk hormat. "Sudah sore Pak, lebih baik kita pulang sekarang sebelum barisan mobil dan motor bertarung melawan kerasnya Ibu Kota."Alih-alih menyindir Okta yang lama, August malah menggunakan perumpamaan yang membuat Juli terkikik.Melihat Juli dan August yang sedang bercanda, seketika Okta kesal. Ia melempar kartu kreditnya ke arah August dan memintanya untuk menyelesaikan semua transaksi. Sedangkan Okta mengajak Juli untuk pergi ke toilet terlebih dahulu sebelum kembali melakukan perjalanan."Bapak duluan aja, aku berani kok sendiri," tolak Juli secara halus, ia risih ditemani Okta sampai depan pintu toilet."10 menit.""Tapi, Pak...""Mulai dari sekarang."Juli berlari kecil menuju toilet. Ia memaksakan perutnya meski tahu bahwa di sepanjang perjalanan nanti mereka pun akan melewati rest area.Okta menepati janjinya, ia menunggu Juli dengan jarak 5 meter dari label toilet wanita sambil memperhatikan tab miliknya. Wajahnya yang serius membuat Juli salah tingkah. Harus Juli akui jika Okta memiliki wajah yang tampan.
Juli berjalan pelan di belakang Okta menuju mobil. Kakinya yang sejak tadi memakai sepatu model pantofel terasa pegal, ia ingin merebahkan tubuhnya sambil menyandarkan kaki pada dinding. Namun perjalanan hari ini sepertinya masih panjang.
Tadi kan, Okta bilang Juli harus menemui Oma.
"Sayap?" tanya August tiba-tiba, saat Juli dan Okta sudah duduk manis di kursi belakang.
"Sayap?" ulang Juli.
"Sayap = sudah siyap?"
"Ohhh..." Juli manggut-manggut mengerti. "Oke, siap banget!"
Ketika perutnya sudah kenyang dan sempat tidur siang, August menjadi lebih kondusif. Ia bersenandung lagu-lagu cinta yang sengaja ia putar di dalam mobil dengan suara yang tidak terlalu kencang dan menjadi backsound perjalanan mereka.
"Aku bisa membuatmuuuu, jatuh cinta kepadaku meski kau tak cintaaa, kepadakuuu..." (Dewa 19, Risalah Cinta)
Lambat laun, mata Juli yang melihat pemandangan di luar kaca sedikit terpejam. Meski suara August tidak merdu dan kadang putus-putus ketika ia menginjak rem, namun dapat menghibur kegelisahan hati Juli. Bebannya sejak pagi tadi menguap. Setidaknya ia sudah punya satu rencana untuk menyelesaikan masalahnya. Meskipun kesempatannya hanya 50:50.
"Jul, Jul..." panggil satu suara yang membuat Juli merasa nyaman.
Juli membuka mata dan terlihat pandangan matanya gelap berkabut, dahinya pun terasa sakit dan kaku.
"Aduh," Juli mengusap kepalanya yang sakit. Ternyata ia tidur dengan posisi dahi yang menempel pada kaca mobil.
"Makanya kalau saya bilang nyender ke bahu saya aja, kamunya jangan batu!" omel Okta sambil membuka pintu mobil dan membiarkan Juli memijat kepalanya di dalam mobil terlebih dahulu.
"Malam Mas," sapa seorang lelaki cukup sepuh yang sedang bermain catur di pos security.
"Malam, Oma dimana?" tanya Okta yang belum melihat tanda-tanda Oma, padahal jam sudah menunjukkan pukul delapan malam.
Yanto menghentikan permainannya dan berjalan mendekati Okta, ia paham jika Mas bagusnya ini tidak suka berbicara dalam jarak yang jauh. "Tadi sore Nyonya pergi dijemput Bu Neli, dan sampai sekarang belum pulang Mas."
Karena Oma belum ada hilalnya, Okta meminta Yanto untuk mengantar August pulang. Ia tidak mungkin melibatkan August pada pertemuannya malam ini.
"Tolong antar August pulang Pak," perintah Okta. Pandangannya kini beralih ke August yang sedang merengganggkan tubuhnya. "Besok kamu nggak usah datang ke kantor, saya kasih cuti gratis satu hari."
Wajah August sumringah. "Serius Pak?"
"Nggak mau?" tanya Okta dengan ekspresi dingin.
"Oh siap Pak, saya terima cuti gratisnya. Terima kasih Pak, saya pamit pulang." August melarikan diri menuju mobil yang sering dipakai Yanto, sebelum bosnya berubah pikiran.
Juli mendecak dengan tatapan iri. "Kenapa kalau sama orang lain baik, giliran sama aku galak ya?"
Sepeninggal Yanto dan August, Okta melongokkan kepalanya ke dalam mobil. "Kamu mau di situ sampai besok pagi?"
"Eh enggak sih," Juli merapikan berdiri dan merapikan pakaiannya.
Mata Juli dimanjakan oleh pemandangan di hadapannya, dimana terdapat rumah dengan 2 lantai berbentuk khas joglo. Di sisi kanan dan kiri ada pohon ketapang kencana yang yang tidak terlalu besar namun membuat asri, serta beberapa tanaman kecil sebagai penyeimbang taman.
Okta membuka pintu samping yang tidak pernah dikunci kecuali ketika Oma sudah berada di dalam rumah. Entahlah, Oma-nya itu sangat percaya pada seluruh penghuni rumah ini.
"Ganti," Okta menyerahkan sepasang sandal selop berwarna putih bersih yang ukurannya agak kebesaran untuk kaki Juli.
Juli menaruh sepatunya pada rak khusus sepatu yang bahkan ada motif ukirannya dan terbuat dari kayu jati tebal. Khas perabot orang kaya.
"Oma nggak suka aroma pakaian yang terkena debu dan matahari," terang Okta yang kini membelakangi Juli.
"Jadi aku harus ganti baju apa dan dimana, Pak?"
Dari balik Okta tersenyum simpul. Juli cepat belajar. Biasanya seseorang yang baru mengenal Okta akan menjawab dengan terpatah-patah, atau minimal bertanya ulang atas apa yang Okta ucapkan.
"Ikut saya ke lantai atas."
Juli pernah mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari Okta, dan tentu saja itu membuat ia sedikit waspada. Maka setelah ia memutuskan untuk mengikuti Okta, ia masih bisa memprediksi situasi di dalam rumah ini.
Tadi di depan cukup ramai sih, dan rumah ini bukan yang bentuknya tertutup gitu. Kalau aku teriak pasti bisa terdengar kan? Di meja makan tadi ada beberapa ART yang sedang menyiapkan makanan untuk Okta juga. Pasti mereka bakal nolong aku kan?
Okta membuka pintu dan menyalakan saklar lampu. Tampak sebuah kamar yang tidak terlalu luas, namun terlihat bersih dan minim perabotan. Juli menebak ini adalah kamar tamu.
"Ini kunci lemari yang di sebelah kiri. Kamu cari aja peralatan sama apapun yang bisa kamu pakai di sana. Harusnya sih ada." Okta menyerahkan sebuah kunci yang tadi ia ambil dari laci di sebelah ranjang.
"Iya," jawab Juli singkat. Ia masih menunggu Okta yang belum ada tanda-tanda akan meninggalkan kamar ini. Sesekali ia melirik Okta.
Okta balik melirik Juli. Meski ditunggu, tentu saja Juli tidak akan membiarkan Okta berdiam diri di dalam kamar selama ia melakukan apa yang Okta suruh. Gadis ini cukup punya harga diri di hadapan Okta.
"Oke, 20 menit!"
Juli mundur untuk mempersilahkan Okta keluar kamar. Setelah terdengar bunyi klik pada pintu, dan memegang knopnya untuk memastikan sudah terkunci, barulah Juli menuju lemari yang tadi Okta tunjuk.
Dalam lemari terdapat tiga laci besar yang diisi berdasarkan jenis barangnya. Laci pertama ada sikat gigi, hairdryer, skincare dan parfume. Laci kedua ada beberapa pakaian yang sudah berpasangan antara atasan dan bawahan. Laci ketiga ada beberapa handuk dengan berbagai ukuran.
Juli mengambil handuk yang tidak terlalu besar dan handuk kecil untuk rambut, sepertinya ia harus keramas karena rambutnya agak berbau matahari. Serta setelan hoodie berwarna abu muda yang agak kebesaran.
Air yang hangat dan ruangan beraroma lavender dari lilin yang Juli nyalakan di kamar mandi membuat otot-otot Juli sedikit relaks. Hari ini ia sudah berusaha keras dengan mengikuti segala perintah Okta demi meminjam uang yang jumlahnya besar. Dan kini Okta nekat membawa Juli menemui seseorang yang ia panggil Oma.
Setelah selesai mandi, sambil mengeringkan rambut dengan hairdryer Juli berimajinasi tentang sosok Oma. Apakah wanita yang bertubuh tinggi dan berwajah dingin seperti Okta? Atau seperti Oma-oma Jawa bersanggul yang selalu memakai kebaya kutu baru?
Tok, tok!
Tepat 20 menit, Okta mengetuk pintu kamar. Si paling tepat waktu. Juli segera merapikan peralatannya, dan membuka pintu kamar sebelum Okta mendobrak.
"Oma udah nungguin di ruang makan."
Sebenarnya Okta tidak perlu memanggil Juli langsung, ia kan punya banyak asisten. Kalau begini kan, Juli jadi salah tingkah saat membuka pintu dan melihat Okta berdiri di luar kamar dengan menggunakan celana chino berwarna khaki dan kaos oblong berwarna navy dengan rambut yang agak teracak dan sedikit basah. Terlihat tetap tampan dan lebih manusiawi.
Juli mengekor Okta turun, kemudian berjalan pelan ke arah ruang makan. Juli masih penasaran seperti apa wajah Oma yang kini duduk sambil membelakangi mereka berdua.
"Oma, ini Juli."
Suara Okta terdengar santai, berbanding terbalik dengan wajah Juli yang semakin pucat.
Wanita itu menoleh, kemudian memberikan senyum lebar ke arah Juli.
"Hay, cantikkk..." sapa Oma yang kini berdiri dari duduknya dan berjalan ke arah Juli.
Dengan senyum canggung, Juli balas memeluk Oma.
"Hemn," Okta mengingatkan.
"Ganggu aja!" Oma mendelik sambil menatap Okta tajam.
Di luar prediksi Juli, penampilan Oma Juni jauuuhhh dari yang Juli bayangkan. Saat ini di hadapan Juli ada seorang Oma yang bertubuh mungil dan penampilan gaul. Rambut pendek model bob nungging yang di cat cokelat, eyeliner dan maskara warna cokelat juga yang membingkai matanya, hidung yang tidak semancung Okta dan tubuh yang hanya setinggi ketiak Okta. Oma semakin terlihat santai dengan setelan kemeja satin pendek dan celana panjang.
"Kamu kenalan sama Okta dimana? Emang anak itu bisa baik sama perempuan ya? Okta kan dingin, galak, kaku, ih kalau Oma jadi gebetannya sih makan hati mulu pasti. Tapi beneran deh Oma kaget banget, nggak nyangka kalau Okta bakal bawa perempuan untuk nemuin Oma. Mana kamu itu cantik, imut, gemesin. Duh kayak dapat durian runtuh itu si Okta, hahaha."
Dan yang membuat Oma terlihat spesial tidak seperti Oma "orang kaya" pada umumnya atau tidak terlihat seperti Okta adalah... Oma sangat senang berbicara.
"Okta itu... gimana ya, menurut Oma sih terlalu menyibukkan diri, jarang main dan nongkrong. Hidupnya cuma kerja, kerja dan kerja. Mungkin teman paling akrab ya asisten-nya. Udah gitu galaknya, ampun! Oma ketahuan belanja sebulan 6 kali aja langsung marah-marah dia," Oma memberikan fun fact sambil menyiapkan makanan untuk Okta. "Apa jangan-jangan dari lahir udah galak ya Oma?" tanya Juli dengan memasang wajah kaget yang dibuat-buat. Oma menaruh sepiring makanan di hadapan Okta, kemudian menutup mulutnya dengan gerakan berlebihan. "Wah... Oma kok nggak kepikiran ya. Dulu Oma lupa nanya sih ke Mamahnya Okta, pas baru lahir dia itu nangis apa langsung ngomel-ngomel." Juli terkikik geli. Oma ini memiliki vibes seperti Bi Inah. Lucu dan menyenangkan. Oh iya, bagaimana keadaan Bi Inah ya? "Oma, Juli ke sini bukan buat dengerin Oma stand up comedy," ujar Okta yang sebenarnya mau ikut melawak, namun wajahnya yang dingin tidak membuat kalimatnya terdengar lucu. Juli dan Oma menengok ke ar
"Masuk ke dalam sini, Non?" tanya Karmin sambil menghentikan mobilnya di depan gerbang berwarna hitam yang masih terbuka lebar. "Iya, tadi kata Ibu nama tempatnya ini." 2 tahun yang lalu, Juli datang ke sebuah Resto & Bar untuk menjemput Ayahnya yang sedang mabuk. Tidak, Ayah bukan seorang peminum. Hanya saja hari itu Ayah sedang mengadakan entertain untuk investor baru di perusahaan tempat Ayah bekerja. Dan sekitar 20 menit yang lalu, ada satu panggilan dari Ayah yang minta dijemput, suaranya kurang jelas dan sesekali tertawa kencang. Menandakan Ayahnya sedang mabuk. Ibu yang panik langsung membangunkan Juli dan memintanya untuk menjemput Ayah diantar oleh Karmin sang supir keluarga yang memang tinggal di rumah mereka. Tidak ada suara dentuman musik karena jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga dini hari. Dengan merapatkan sweaternya, Juli berjalan beriringan dengan Karmin yang tadi pagi hanya mengantar Ayah sampai ke kantor. Menurut petugas bar, Ayah dan 2 orang lainnya berada
"Sudah mau sampai, Non." Juli yang sejak masuk ke mobil tadi menutup mata, kini membukanya perlahan. Ada Inah dan Karmin, serta Ibunya dipelukan. Juli pikir ketika ia membuka mata keadaannya akan berubah, namun tetap sama. Ternyata ini semua bukan mimpi. Perjalanan terasa sangat lama, terutama jika kau sedang menunggu sesuatu. 20 menit setelah keluar dari rumah, mobil berhenti di depan Rumah Sakit swasta terbesar di kota. Security yang melihat wajah kacau Juli datang membawa tandu, segera mereka membawa tubuh wanita cantik itu ke dalam ruang ICU. Lutut Juli lemas, dirinya terduduk di lantai depan ruang ICU yang terasa dingin menusuk betisnya. 10 menit selanjutnya jadi moment terberat dalam hidup Juli. Dunianya seketika hancur, air mata sudah tidak mampu menetes. Hanya deru nafasnya yang terasa sesak. Inah membekap tubuh Juli erat. Tangisnya meraung memenuhi lorong. Juli melangkahkan kakinya yang lemas ke dalam ruang ICU. Di atas ranjang, tubuh Ibunya berbaring dengan tenang. Waja
"Bi, nasib Ayah gimana ya? Apa kita nggak apa-apa ninggalin Ayah begini?" "Bibi juga nggak tahu Non, tapi semoga Bapak sabar. Seperti selama ini Bapak mengurus Non, hehehe," Inah mengajak bercanda. Perjalanan dimulai dengan suasana yang cukup santai karena lawakan Inah dan Karmin. Juli tidak dapat membayangkan hidupnya tanpa kedua orang ini. Jam sudah menunjukkan pukul enam pagi ketika Karmin menghentikan mobil di sebuah bangunan yang tampak masih baru dan terlihat mungil namun asri. Dari layar ponsel memperlihatkan bahwa mereka berada di wilayah dataran tinggi dan berjarak 2 jam dari Kota. "Ini Non kuncinya," Inah menyerahkan sebuah kunci kepada Juli. Betapa berbinarnya wajah Juli ketika masuk ke dalam rumah tersebut, yang didominasi oleh warna cokelat nan estetik. Tidak seluas rumah lama mereka memang, namun sepertinya Juli akan nyaman tinggal di sini sementara waktu. Ayahnya sangat ahli memberi kejutan. Karena tidak tingkat, Juli menempati kamar utama yang berada di dekat ruan
"Aku harus bagaimana?" tanya Juli pada udara di kamarnya. Sudah setengah jam Juli duduk di kursi sambil menggigit ujung kukunya. Ia galau segalau-galaunya. Pikirannya buntu. Ia berusaha mengumpulkan jumlah uangnya di beberapa bank. Cukup sih, namun tinggal sisa sedikit. "Aku harus bagaimana?" tanyanya ulang. Kepalanya berdenyut mendengar penjelasan dari Amel tadi, ketika Juli menelepon Amel sesuai janjinya semalam. "Kak, bapak kecelakaan pas pulang dari pasar. Kaki kanannya patah dan harus di operasi. Karena pas kecelakaan kondisi kaki bapak mengkhawatirkan, dibawalah sama orang-orang sekitar sana ke Rumah Sakit tedekat yang ternyata biayanya mahal," sesekali terdengar isak tangis dari Amel. Juli mau menghela nafas, namun takut terdengar Amel. "Biayanya berapa Mel?" tanya Juli langsung, dengan nada yang lembut. "27 juta kak. Amel ada tabungan 2 juta, Bapak 6 juta. Tapi masih kurang 19 juta. Amel sudah tanya apa bisa diringankan, tapi di sana standart-nya segitu, soalnya pakai me
"Pak, saya kan sudah mengingatkan jangan sampai terpancing sama Juli," protes August dari balik kemudi sambil melirik Okta yang sedang merangkul lengan Juli di kursi belakang. "Saya nggak sengaja!" sahut Okta emosi. "Kamu kan tahu sendiri gimana anak ini mukul kepala saya pakai botol beling, gimana saya nggak emosi kalau lihat wajahnya." August terkikik. Bosnya si paling emosian ini memang sulit menahan diri. Kalau dia bilang A ya A, B ya B. Maka saat ia bertemu dengan gadis barbar yang tidak menurut seperti Juli, jiwa Okta berontak. "Terus kita bawa kemana Pak? Rumah Sakit?" tanya August tidak yakin. Takutnya dikira mereka berdua habis melakukan kejahatan pada Juli. Krauukkkkk, perut Juli kembali berbunyi. Okta mendelik. Mungkin alasan gadis ini pingsan bukan hanya takut, tapi karena lapar. Apa sejak kejadian semalam itu dia belum makan ya? "Bawa ke apartemen saya saja Gus, kalau ke rumah sakit takut bikin heboh," jawab Okta enteng. Juli yang sebenarnya hanya lemas dan tidak pi