"Cepat kamu tanda tangani dokumen ini!" Ibu dan Ayah mertua Indah menyodorkan sebuah dokumen kepada menantunya itu.
"Dokumen apa ini?" Indah menatap mertuanya bingung. Dengan ragu Indah mengambil dokumen tersebut dari tangan Ibu mertuanya itu.
"Kamu baca saja sendiri, dan tolong cepat kamu tandatangani!" ucap Ibu mertua Indah penuh penekanan.
Indah menatap sampul dokumen tersebut, dari sampulnya saja Indah tahu isi dari dokumen itu. Hati Indah bergetar hebat, matanya mulai memanas. Ia menatap kedua mertuanya, meminta penjelasan atas isi dari dokumen yang harus ia tandatangani.
"Maksudnya ini apa, Bu, Yah?" tanya Indah, air matanya luruh begitu saja.
Indah tidak mengerti mengapa mereka memintanya untuk menandatangani surat perceraian antara ia dan suaminya. Seingatnya selama dua tahun menikah dengan Rio putra mereka, Indah tidak pernah melakukan kesalahan fatal yang begitu sulit untuk dimaafkan hingga harus berujung perceraian.
Lalu mengapa tiba-tiba mereka meminta Indah untuk segera bercerai dengan putranya? Sementara Ia baru saja seminggu yang lalu melahirkan keturunan mereka.
"Seperti yang kamu lihat, itu adalah surat perceraian kamu dan Rio. Kami mau kamu berpisah dengan Rio, dan pergi jauh dari kehidupan kami!" Hati Indah berdenyut ngilu mendengar setiap kata yang diucapkan mertuanya. Air mata mengalir deras di wajahnya.
"Tapi apa salah Indah? Di mana Mas Rio sekarang? Indah mau bicara dulu dengannya...." Indah berucap dengan mulut bergetar, suaranya tercekat di tenggorokan.
Suara tangis bayi Princessa terdengar dari dalam kamar. Dengan cepat Indah berjalan untuk menenangkan putrinya yang menangis semakin kencang. Indah menggendong Cessa menepuk-nepuk pelan punggung putrinya, lalu memberinya ASI. Setelah Cesaa tenang, Indah kembali menemui mertuanya sambil membawa putrinya dalam gendongannya.
"Kamu mau tahu apa kesalahan kamu?" tanya ayah mertua ketika Indah kembali. Indah mengerutkan alisnya, Ia ingin mendengar kesalahan apa yang sudah ia perbuat, sehingga mertuanya menginginkan Indah bercerai dengan putranya.
"Dia!" Indah semakin bingung mengapa mertuanya menunjuk Cessa, apa hubungannya Cessa dengan perceraian? Pikirnya.
"Apa maksud ayah?" tanya Indah, ia menepuk-nepuk pelan Cessa yang hendak menangis karena kaget mendengar suara kakeknya.
"Bukankah kami sudah bilang sebelumnya, yang kami inginkan hanyalah seorang bayi laki-laki. Sementara bayi yang kamu lahirkan, bayi perempuan. Dan kami tidak bisa terima itu!"
Deg,
Bagai tertimpa benda tumpul dan tajam, jantung Indah terasa sesak dan sakit mendengar perkataan mertuanya. Ia tidak menyangka dengan alasan yang membuat mereka meminta Indah untuk segera bercerai dengan Rio, suaminya.
Air mata yang sempat mengering itu tiba-tiba luruh kembali dengan derasnya. Marah, sakit, kecewa bercampur menjadi satu. Apa salahnya dengan bayi perempuan yang ia lahirkan? Bayi ini pun tetap darah daging mereka, ia berhak hidup, berhak dikasihi dan disayangi.
Indah mengira perkataan mertuanya yang menginginkan seorang bayi laki-laki darinya dan Rio tidak lah seserius ini. Apa lagi hingga harus berujung perceraian. Indah ingat betul ketika Rio mengatakan dengan manis bahwa baik bayi laki-laki atau bayi perempuan yang lahir dari rahimnya, ia akan menyayanginya sepenuh hati.
Lalu, di mana Rio saat ini? Apakah benar Rio sudah setuju untuk bercerai karena masalah ini? Pikirnya.
Di mana hati nurani mereka? Menjadikan seorang bayi yang tidak berdosa sebagai alasan perceraian orang tuanya. Bukankah mereka seorang yang berpendidikan? Mereka tahu betul bahwa takdir seorang bayi yang lahir dari rahim ibunya, baik laki-laki atau pun perempuan adalah MUTLAK ketentuan Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat. Dan kita sebagai manusia harus menerima dengan lapang ketentuan tersebut.
"Rio sudah setuju. Anak itu sudah menandatangani surat perceraian kalian! sekarang kamu yang harus tandatangani surat ini," ucap mertua Indah kekeh, ia menyodorkan kembali dokumen perceraian itu kepada Indah.
Dengan derai air mata, Indah menggelengkan kepalanya. Ia menolak untuk menandatangani dokumen tersebut. Ia ingin bertemu dengan suaminya terlebih dulu, ingin meminta penjelasan kepadanya atas semua ini.
"Indah gak bisa ... Indah mau bertemu dulu dengan Mas Rio! Di mana dia sekarang?" Indah berucap dengan air mata yang tak berhenti meleleh membasahi wajahnya sambil memeluk Cessa, putrinya.
"Tidak ada gunanya kamu bertemu dengan suamiku, karena ia sudah setuju untuk menceraikanmu!"
Deg,
Apa lagi, ini? Siapa wanita itu? Dan siapa suami yang dimaksudnya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul dalam pikirannya.
Indah sedikit memiringkan kepalanya untuk melihat ke arah sumber suara. Seorang wanita mengenakan pakaian terbuka, berjalan mendekati mertuanya. Wanita itu juga menggendong seorang anak laki-laki berusia sekitar satu tahun. Mertuanya menyambut kedatangan wanita itu dengan senyum ramah, lalu menggendong anak laki-laki itu dengan penuh kasih sayang.
"Siapa kamu? Siapa yang kamu bilang suamimu?" tanya Indah bingung,
Wanita itu tersenyum mengejek menatap wajah Indah yang menyedihkan.
"Mas Rio adalah suamiku! Dan anak laki-laki ini adalah anakku dan mas Rio."
Deg
Indah terhuyung lemas, hampir saja ia terjatuh ke lantai bila saja ia tidak segera menguatkan dirinya, karena Cessa sedang berada dalam gendongannya. Hatinya benar-benar sakit dan kecewa.
"Gak mungkin! Istri mas Rio itu hanya aku, dan anak mas Rio itu hanya Cessa!" Indah berucap setengah berteriak, ia tidak tahan lagi menahan rasa sakit yang bergejolak di hatinya.
Wanita itu terkekeh puas melihat Indah semakin frustrasi.
"Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa tanyakan kebenarannya kepada Mas Rio. Dia akan segera kemari sebentar lagi," ucap wanita itu.
Tidak berselang lama, lelaki yang ditunggunya untuk dimintai penjelasan tiba di rumahnya. Lelaki itu berjalan tergesa, pandangannya lurus dan datar menatap Indah dan bayi yang berada dalam dekapanannya.
"Mas Rio...." lirih Indah, ia hendak mendekati suaminya namun lengannya dicekal oleh mertuanya. Mereka tidak mengizinkan Indah untuk mendekati suaminya sendiri.
"Sayang! Cepat kamu katakan pada wanita itu, bahwa aku adalah istrimu yang sebenarnya. Dan anak ini adalah anak kita!" titah wanita itu kepada Rio, sementara Rio bergeming menatap Indah.
"Dita, tolong tenanglah! Anakmu ketakutan mendengar teriakanmu," ucap Ibu mertua.
"Rio, cepat selesaikan masalahmu! Ayah sangat muak melihat drama di sini," ucap Ayah mertua,
Indah menatap suaminya, masih menunggu penjelasan darinya atas semua yang dikatakan wanita bernama Dita, yang mengaku sebagai istrinya. Sementara Rio terlihat bingung untuk mengatakan sesuatu kepada Indah. Matanya menyiratkan rasa bersalah atas semua yang telah terjadi.
"Maafkan aku, Ndah...." ucap Rio lirih, ia menunduk sesaat lalu kembali mengangkat kepalanya menatap istri dan putrinya.
Indah mundur beberapa langkah mendengar permintaan maaf dari suaminya. Ucapan itu memperjelas semuanya, derai air mata masih membasahi wajahnya. Hatinya benar-benar terasa sakit dan kecewa.
"Anak ini adalah anakku dan Dita," jelas Rio lirih. Namun terdengar sangat menggelegar di pendengaran Indah, sangat menyakitkan.
"Kamu sudah mendengarnya bukan, jadi segera tandatangani ini!" Dita melemparkan dokumennya kepada Indah.
"Dita, jangan keterlaluan kamu!" ucap Rio marah, Dita mendelik kesal karena Rio berani memarahinya.
Memangnya apa yang salah dengan bayi perempuan? Bukan salah Indah melahirkan seorang bayi lucu nan cantik itu dari rahimnya. Sebagai manusia kita hanya bisa berharap tapi tidak bisa menolak apa pun yang sudah menjadi tetapkanNya. Rencana Tuhan itu jauh lebih besar dibanding rencana manusia.Seharusnya mereka tidak menjadikan hal semacam ini alasan untuk perceraiannya dengan Rio, suaminya. Putrinya bukanlah sebuah kesalahan, ia adalah anugerah terindah yang telah Tuha
Indah ke luar dari kamarnya bersama Cessa dalam gendongannya, sebelah tangannya ia gunakan untuk membawa koper. Ia berjalan gontai melewati mantan suami dan keluarganya.
Aku berdiri menapaki kakiku tepat di depan sebuah bangunan megah dan mewah. Aku sampai dibuat takjub melihatnya, rumah berukuran lebih besar dari pada rumahku di Bandung, memiliki desain model rumah kekinian."Ayah, apa ini rumah baru kita?" tanyaku pada ayah Langit. Aku melihat ayah menganggukkan kepalanya seraya tersenyum padaku.
Seorang pemuda menatap datar pada dua orang manusia berbeda jenis kelamin dan berbeda usia yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri saat ini.Damian Argantara, seorang pemuda bertubuh tinggi tegap, kulit putih dengan rambut berwarna hitam legam, hidung mancung, alisnya yang tebal serta netra mata berwarna hitam. Sungguh ciptaan Tuhan yang sangat sempurna! Pantas saja bila di sekolahnya ia menjadi rebutan para gadis, baik itu seangkatannya ataupun adik kelasnya.
Pagi Hari di kediaman Damian, lelaki itu sudah siap dengan seragam sekolahnya. Berdiri di depan cermin untuk merapikan rambut hitam legamnya. Setelah dirasa cukup, Damian pun berjalan ke luar dari kamarnya menuruni satu per satu anak tangga menuju ke dapur. Di sana keluarganya sudah menunggu untuk sarapan bersama. Ia menghentikan langkahnya sejenak, memperhatikan dua orang wanita berbeda usia yang sedang duduk di kursi meja makan. Wanita itu adalah mama dan juga adi
Siswa siswi SMA Angkasa Raya berhamburan dari dalam kelasnya ketika mendengar bunyi bell istirahat. Tujuan utama yang hendak mereka datangi adalah kantin.Suasana kantin yang semula sepi, seketika riuh dengan suara-suara yang berasal dari celotehan, canda dan tawa para murid. Hampir tak ada meja kosong yang tersisa saking banyaknya yang ke kantin.
Langit berada di ruang kerjanya, ia menatap sendu pada layar komputer lipat yang menyala. Langit sedang memperhatikan foto-foto yang pernah ia ambil beberapa tahun ke belakang.Terdapat banyak foto yang terpajang di sana. Langit mengklik salah satu foto hingga terlihat jelas gambar seorang wanita muda bersama seorang lelaki dan anak perempuan berada di tengah diantara keduanya terlihat sangat bahagia.
"Apa kalian mau makan cup cake?" Tanya Indah kepada Cessa dan Alya, kedua anak itu mengangguk semangat."Mau! Aku mau makan cup cake," jawab Cessa riang.
Cessa membuka pintu ruangan tempat ayahnya dirawat. Bau obat-obatan begitu pekat hinggap di penciumannya. Suasana kamar itu sunyi. Hanya terdengar suara alat pendeteksi detak jantung.Perlahan Cessa mendekat ke arah pria paruh baya yang terbaring lemah di atas ranjang. Matanya tertutup rapat. Di tubuh pria itu terpasang berbagai alat medis."Ayah." Cessa berucap lirih.Napasnya terasa sesak melihat kondisi Langit saat ini. Air mata itu kembali luruh membasahi wajahnya."Bangun, Yah. Jangan lama-lama tidurnya. Cessa takut sendirian."Hening. Tak ada yang menjawab perkataan Cessa. Hanya suara elektrokardiogram yang terdengar nyaring, juga suara isaknya yang tertahan.Seorang dokter muda masuk ditemani seorang perawat. Mereka memeriksa kondisi Langit saat ini."Dokter, apa ayah saya akan bangun? Apa ayah akan sembuh?" tanya Cessa dengan suar
"Cessa masuk dulu, ya, Yah." Gadis manis itu meraih tangan kekar sang ayah dan mendaratkan kecupan pada punggung tangannya.Langit mengangguk, mengusap puncak kepala Cessa lembut sebelum puterinya itu masuk ke dalam sekolahnya. Lamat, manik mata tajam itu menatap wajah sang gadis lembut. "Belajar yang rajin," ucapnya kemudian.
Cessa tertegun beberapa saat ketika tangannya digenggam Damian. Ia bahkan mengerjapkan matanya beberapa kali, ada getaran aneh yang menjalar ke hatinya.Damian mengulum senyumnya melihat ekspresi Cessa saat ini. Ia mengambil alih garpu dari tangan gadis itu, yang masih hanyut dalam pikirannya."Ayo buka mulutmu!" seruan itu menyadarkan Cessa dari pikirannya. Ia menatap heran kepada Damian yang bersiap memasukan makanan ke dalam mulutnya."Aku enggak lapar," tolak Cessa, ia memalingkan wajahnya ke samping membuat lelaki beriris hitam itu berdecak pelan."Jangan menolak! Ayo cepat makan! Atau kamu mau tetap di sini berdua sama aku?" Damian memperlihatkan senyum menyebalkan bagi Cessa. Gadis itu menggeram menahan kekesalannya kepada Damian."Aku bisa makan sendiri, kok!" Cessa hendak mengambil alih garpu dari tangan Damian, tetapi lelaki itu segera menjauhkan tangannya. Ia bersikera
"Hallo, Non Cessa! Maaf bapak tidak bisa jemput Non Cessa ke sekolah. Mobilnya tiba-tiba mogok! Ini sekarang bapak ada di bengkel,"Cessa mendengus pelan mendengar suara pak Tomo yang mengatakan tidak bisa menjemputnya.
Cessa hendak pergi ke toilet. Gadis itu berjalan melewati koridor tanpa ditemani Amel. Temannya itu mungkin saat ini sedang berada di kantin.Dari kejauhan samar-samar Cessa mendengar suara alunan musik yang mulai menarik perhatiannya. Ia menghentikan langkahnya sejenak, lalu berbalik untuk mencari sumber suara. Gadis itu mengurungkan niatnya untuk pergi ke toilet.
Damian tiba di Kafe Melati tempat yang sudah disepakati untuk bertemu dan mengerjakan tugas kelompok fisika bersama anggota yang lainnya. Siapa lagi kalau bukan dua sahabatnya Dimas dan Dika, Amel dan ... Cessa.Sebuah keberuntungan baginya karena kali ini guru fisikanya menjadikan Cessa sebagai salah satu anggota dalam kelompoknya. Waktu tiga bulan terasa cukup lama bagi Damian, agar bisa dekat dengan gadis yang berhasil meruntuhkan gunung es di hatinya.Ya, walau Damian belum mengutarakan perasaannya kepada Cessa.Namun dengan hubungannya lebih akrab dari sebelumnya saja, Damian sudah bersyukur. Bila mengingat begitu acuh dan dinginnya sikap yang diperlihatkan Cessa kepadanya.Damian memicingkan matanya menatap tiga orang yang dikenalinya. Lalu melangkahkan kakinya untuk menghampiri meja mereka. "Di mana Cessa? Kenapa kalian hanya bertiga?" tanya Damian. Ia melihat ke sekeliling mencari gadis yang
Rio terlihat sangat frustrasi, penyesalan tak berujung selalu membayang-bayangi hidupnya. Kebodohannya di masa lalu yang telah membiarkan istri dan putrinya pergi dari rumah dan kehidupannya. Andai ia mengetahui kebenarannya lebih awal, bahwa Indah selamat dari kebakaran waktu itu. Mungkin Rio akan menemuinya untuk memohon maaf pada wanita yang sangat dicintainya itu. Walau Rio tahu, kata maaf saja tak cukup untuk menebus semua kesalahannya.
"Tuan, saya memiliki informasi penting untuk anda. Bisakah kita bertemu hari ini?"
Pagi Hari yang cerah dihiasi mentari yang menyilaukan. Embun-embun perlahan menghilang dari dedaunan. Gemerisik angin menerpa dedaunan yang menggelitik.