Seorang pemuda menatap datar pada dua orang manusia berbeda jenis kelamin dan berbeda usia yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri saat ini.
Damian Argantara, seorang pemuda bertubuh tinggi tegap, kulit putih dengan rambut berwarna hitam legam, hidung mancung, alisnya yang tebal serta netra mata berwarna hitam. Sungguh ciptaan Tuhan yang sangat sempurna! Pantas saja bila di sekolahnya ia menjadi rebutan para gadis, baik itu seangkatannya ataupun adik kelasnya.
Damian terpaksa menjejaki kakinya di mall karena desakan dan rengekan Alesha, adik kesayangannya. Alesha meminta Damian untuk menemaninya, entah apa lagi yang hendak gadis itu beli. Padahal baru saja tiga hari yang lalu Alesha berbelanja banyak barang menghabiskan uang yang diberikan papanya.
Setelah mengitari isi mall, Alesha berhenti di salah satu toko sepatu. Saat Alesha sedang memilih sepatu yang akan ia beli. Mata Damian tidak sengaja melihat keberadaan Langit yang sedang berjongkok memasangkan sepatu pada kaki Cessa.
"Gadis murahan," gumam Damian, ia segera mengalihkan pandangannya ke arah lain. Matanya menangkap Alesha yang sedang berjalan mendekat ke arahnya dengan senyum mengembang di bibirnya.
"Kakak, aku sudah selesai. Ayo, kita pulang," Alesha menghampiri Damian dengan tangan membawa dua buah paperbag. Damian mengangguk lalu berjalan hendak pergi, tetapi langkahnya terhenti saat pendengarannya menangkap sesuatu.
"Ayah, jangan seperti ini... biar aku pakai sendiri saja," ucap Cessa pada ayah Langit yang sedang berjongkok melepas dan memasangkan sepatu lainnya yang belum ia coba.
"Haha... Ayah lupa kalau putri ayah yang cantik ini sudah besar sekarang," Langit berdiri mengusap lembut puncak kepala Cessa. Ia membiarkan putrinya mencoba beberapa sepatu pilihannya.
Damian mendengar dan menyaksikan kejadian itu, ia menjadi merasa bersalah karena sempat menuduh Cessa yang buka-bukan.
"Ayah?"
"Ah, sial. Aku sudah berpikir buruk tentang gadis itu," gumam Damian dalam hati penuh penyesalan. Lalu beberapa saat kemudian kedua sudut bibirnya terangkat sedikit mengukir sebuah senyum tipis.
"Kakak, ayo!" ajakan dari Alesha menyadarkan dari pikirannya tentang Cessa. Alesha menarik lengan Damian mengajaknya untuk segera pergi. Damian membalikan kepalanya untuk melihat Cessa sebelum akhirnya ia keluar dari toko itu.
***
"Ayah sudah daftarkan kamu di sekolah terpavorit. Ayah harap kamu akan menyukai sekolah barumu," ucap Ayah Langit sebelum Cessa pergi ke kamarnya.
"Oh, ya? Kapan Cessa mulai sekolah?" tanya Cessa antusias, baginya di manapun ayahnya akan menyekolahkannya, Cessa akan menyetujui keputusan itu dengan senang hati.
"Mmp, besok. Ayah akan mengantarkanmu ke sekolah barumu. Jadi sekarang kamu segera istirahat, jangan sampai hari pertama sekolah datang terlambat," ucap ayah Langit, Cessa mengangguk mengiyakan lalu berpamitan untuk pergi ke kamarnya.
Di kediaman Damian, lelaki itu merebahkan tubuhnya di atas kasur Kingsize miliknya. Ia menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih. Matanya hendak terpejam, tetapi ingatannya berputar pada gadis yang baru saja dilihatnya saat di mall. Sebuah senyum terukir di bibirnya mengisyaratkan bahwa Damian tertarik dengan gadis itu.
"Cantik," gumam Damian masih mempertahankan senyumnya.
"Siapa yang cantik?" suara itu membuat Damian menghentikan senyumnya lalu segera mengubah posisinya menjadi duduk.
"Kamu ngapain ke sini?" tanya Damian pada Alesha yang tiba-tiba ada si dalam kamarnya.
Alesha mendudukkan tubuhnya di tepi kasur di samping Damian. Ia menatap heran pada Damian yang bersikap aneh setelah pulang dari mall.
"Besok kakak antar aku ke sekolah, mobilku kan masih di bengkel," ucap Alesha, Damian mengangguk mengiyakan permintaan adiknya dengan cepat tanpa berucap sepatah kata pun. Alesha beranjak berdiri hendak pergi dari kamar kakaknya, tetapi berhenti sejenak lalu berbalik untuk melihat Damian.
"Siapa yang kakak bilang cantik, tadi?" tanya Alesha, Damian mengernyitkan alisnya lalu tersenyum pada Alesha.
"Bukan siapa-siapa," jawab Damian, ia tidak ingin bercerita apa pun saat ini kepada Alesha.
"Buk__"
"Ayo cepat kembali ke kamarmu dan segera tidur, besok kakak gak mau terlambat ke sekolah. Sekolah kita kan berbeda arah," Damian memotong perkataan yang hendak diucapkan Alesha. Gadis itu memberenggut kesal namun segera mengangguk dan pergi dari kamar Damian.
***
Ke esokan paginya, Cessa sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah barunya. Setelah menyelesaikan sarapannya, Cessa berangkat diantar oleh ayah Langit. Sepanjang perjalanan Langit terus memperingati putri kesayangannya untuk belajar dengan baik mengejar keterlambatannya, serta mewanti-wanti agar putrinya menceritakan apa pun yang terjadi di sekolah barunya apa lagi menyangkut Bullying.
Cessa terus mengangguk mengiyakan nasihat ayahnya. Sesekali ia tersenyum pada ayahnya, akhir-akhir ini lelaki dewasa di sampingnya ini berubah menjadi ayah yang super cerewet semenjak kepergian mamanya.
"Kenapa ayah menjadi cerewet seperti ini?" tanya Cessa sambil terkekeh, Langit melirik putrinya sekilas lalu fokus kembali mengemudikan mobilnya.
"Ayah takut hal buruk terjadi sama kamu,"
"Kamu putri ayah satu-satunya. Hanya kamu yang ayah miliki saat ini," ucap Langit lirih, Ia tidak ingin kehilangan orang yang sangat Ia sayangi lagi setelah kepergian Indah.
Bukan tidak mungkin hal buruk akan terjadi pada putrinya, mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu seseorang berusaha mencelakai Indah dan Cessa. Orang itu merusak rem mobil yang akan di gunakan Indah hingga terjadi kecelakaan yang membuat Cessa koma, dan Indah terluka parah. Kejadian itu terjadi saat Cessa masih kelas 3 SMP. Bukan hanya sekali, tapi hingga beberapa kali orang itu berniat mencelakai Cessa dan mendiang Indah, istrinya.
Sementara bagi Cessa, siapa yang akan berani membulinya bila mereka tahu siapa ayahnya. Gagah Langit Rahagi, semua orang mengenal ayahnya karena perusahaan yang dikelolanya sukses melejit tinggi menaikkan namanya di dunia bisnis.
"Ayah, Cessa masuk dulu ya," ucap Cessa setelah sampai di sekolahnya. Ia mencium tangan ayahnya lalu ke luar dari dalam mobil di ikuti Langit.
"Belajar yang rajin ya!" Langit mengingatkan putrinya kembali, ia tersenyum seraya mengusap puncak kepala putrinya dengan lembut, Cessa menganggukan kepalanya.
"Siap ayahku sayang," ucap Cessa seraya menaruh telapak tangannya di polipis menandakan hormat, Langit terkekeh dibuatnya. Setelah mengantar putrinya, Langit pun bergegas pergi ke kantornya.
Cessa berdiri di depan bangunan sekolah barunya, banyak siswa dan siswi yang menatap ke arahnya sambil berbisik-bisik. Cessa menghiraukan tatapan dari mereka semua, ia berjalan memasuki gedung itu untuk menemui kepala sekolahnya.
"Eh, dia murid baru ya?"
"Cantik banget,"
"Wah, bakal seru nih kalau Karina tahu ada murid yang lebih cantik darinya,"
"Sempurna...,"
"Beautyfull Girl,"
Dan banyak lagi kata-kata lainnya yang diucapkan siswa siswi yang saat mata mereka melihat Princessa masuk ke sekolahnya.
Bunyi bel terdengar nyaring, semua murid berhambur masuk ke dalam kelasnya masing-masing. Sementara Cessa masih berjalan melewati dan membaca plang yang tertera di atas ruangan satu persatu hingga ia menemukan ruangan yang di carinya yaitu ruangan kepala sekolah.
Pagi Hari di kediaman Damian, lelaki itu sudah siap dengan seragam sekolahnya. Berdiri di depan cermin untuk merapikan rambut hitam legamnya. Setelah dirasa cukup, Damian pun berjalan ke luar dari kamarnya menuruni satu per satu anak tangga menuju ke dapur. Di sana keluarganya sudah menunggu untuk sarapan bersama. Ia menghentikan langkahnya sejenak, memperhatikan dua orang wanita berbeda usia yang sedang duduk di kursi meja makan. Wanita itu adalah mama dan juga adi
Siswa siswi SMA Angkasa Raya berhamburan dari dalam kelasnya ketika mendengar bunyi bell istirahat. Tujuan utama yang hendak mereka datangi adalah kantin.Suasana kantin yang semula sepi, seketika riuh dengan suara-suara yang berasal dari celotehan, canda dan tawa para murid. Hampir tak ada meja kosong yang tersisa saking banyaknya yang ke kantin.
Langit berada di ruang kerjanya, ia menatap sendu pada layar komputer lipat yang menyala. Langit sedang memperhatikan foto-foto yang pernah ia ambil beberapa tahun ke belakang.Terdapat banyak foto yang terpajang di sana. Langit mengklik salah satu foto hingga terlihat jelas gambar seorang wanita muda bersama seorang lelaki dan anak perempuan berada di tengah diantara keduanya terlihat sangat bahagia.
"Apa kalian mau makan cup cake?" Tanya Indah kepada Cessa dan Alya, kedua anak itu mengangguk semangat."Mau! Aku mau makan cup cake," jawab Cessa riang.
Langit dengan tergesa keluar dari kantornya setelah mendapat kabar tentang musibah kebakaran pada toko kue milik istrinya. Padahal saat itu Langit tengah mengadakan rapat bersama kolega bisnisnya. Namun karena mendengar kabar musibah tersebut, para kolega akhirnya dapat mengerti dan mau menunda pertemuannya.Langit masuk ke dalam mobilnya lalu mulai menghidupkan mesinnya. Tak butuh waktu lama pria berumur kepala tiga itu menekan pedal gas, melajukan mobilnya dengan k
"Sayang...," Langit mengusap pelan layar komputer lipatnya yang memperlihatkan gambar keluarga kecilnya.
Cessa berjalan tergesa melewati satu per satu anak tangga, ia masih harus melewati koridor sekolah untuk sampai di kelasnya. Suasana mulai sepi, hanya terlihat beberapa orang saja yang masih berada di luar.Sebagian murid sudah berada di dalam kelasnya masing-masing, karena beberapa menit lagi bel tanda masuk akan berbunyi.
Seorang wanita paruh baya mengenakan kacamata hitam untuk menutupi matanya, berjalan tergesa memasuki salah satu cafe ternama di kotanya.Wanita itu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, mencari seseorang yang hendak ditemuinya.
Cessa membuka pintu ruangan tempat ayahnya dirawat. Bau obat-obatan begitu pekat hinggap di penciumannya. Suasana kamar itu sunyi. Hanya terdengar suara alat pendeteksi detak jantung.Perlahan Cessa mendekat ke arah pria paruh baya yang terbaring lemah di atas ranjang. Matanya tertutup rapat. Di tubuh pria itu terpasang berbagai alat medis."Ayah." Cessa berucap lirih.Napasnya terasa sesak melihat kondisi Langit saat ini. Air mata itu kembali luruh membasahi wajahnya."Bangun, Yah. Jangan lama-lama tidurnya. Cessa takut sendirian."Hening. Tak ada yang menjawab perkataan Cessa. Hanya suara elektrokardiogram yang terdengar nyaring, juga suara isaknya yang tertahan.Seorang dokter muda masuk ditemani seorang perawat. Mereka memeriksa kondisi Langit saat ini."Dokter, apa ayah saya akan bangun? Apa ayah akan sembuh?" tanya Cessa dengan suar
"Cessa masuk dulu, ya, Yah." Gadis manis itu meraih tangan kekar sang ayah dan mendaratkan kecupan pada punggung tangannya.Langit mengangguk, mengusap puncak kepala Cessa lembut sebelum puterinya itu masuk ke dalam sekolahnya. Lamat, manik mata tajam itu menatap wajah sang gadis lembut. "Belajar yang rajin," ucapnya kemudian.
Cessa tertegun beberapa saat ketika tangannya digenggam Damian. Ia bahkan mengerjapkan matanya beberapa kali, ada getaran aneh yang menjalar ke hatinya.Damian mengulum senyumnya melihat ekspresi Cessa saat ini. Ia mengambil alih garpu dari tangan gadis itu, yang masih hanyut dalam pikirannya."Ayo buka mulutmu!" seruan itu menyadarkan Cessa dari pikirannya. Ia menatap heran kepada Damian yang bersiap memasukan makanan ke dalam mulutnya."Aku enggak lapar," tolak Cessa, ia memalingkan wajahnya ke samping membuat lelaki beriris hitam itu berdecak pelan."Jangan menolak! Ayo cepat makan! Atau kamu mau tetap di sini berdua sama aku?" Damian memperlihatkan senyum menyebalkan bagi Cessa. Gadis itu menggeram menahan kekesalannya kepada Damian."Aku bisa makan sendiri, kok!" Cessa hendak mengambil alih garpu dari tangan Damian, tetapi lelaki itu segera menjauhkan tangannya. Ia bersikera
"Hallo, Non Cessa! Maaf bapak tidak bisa jemput Non Cessa ke sekolah. Mobilnya tiba-tiba mogok! Ini sekarang bapak ada di bengkel,"Cessa mendengus pelan mendengar suara pak Tomo yang mengatakan tidak bisa menjemputnya.
Cessa hendak pergi ke toilet. Gadis itu berjalan melewati koridor tanpa ditemani Amel. Temannya itu mungkin saat ini sedang berada di kantin.Dari kejauhan samar-samar Cessa mendengar suara alunan musik yang mulai menarik perhatiannya. Ia menghentikan langkahnya sejenak, lalu berbalik untuk mencari sumber suara. Gadis itu mengurungkan niatnya untuk pergi ke toilet.
Damian tiba di Kafe Melati tempat yang sudah disepakati untuk bertemu dan mengerjakan tugas kelompok fisika bersama anggota yang lainnya. Siapa lagi kalau bukan dua sahabatnya Dimas dan Dika, Amel dan ... Cessa.Sebuah keberuntungan baginya karena kali ini guru fisikanya menjadikan Cessa sebagai salah satu anggota dalam kelompoknya. Waktu tiga bulan terasa cukup lama bagi Damian, agar bisa dekat dengan gadis yang berhasil meruntuhkan gunung es di hatinya.Ya, walau Damian belum mengutarakan perasaannya kepada Cessa.Namun dengan hubungannya lebih akrab dari sebelumnya saja, Damian sudah bersyukur. Bila mengingat begitu acuh dan dinginnya sikap yang diperlihatkan Cessa kepadanya.Damian memicingkan matanya menatap tiga orang yang dikenalinya. Lalu melangkahkan kakinya untuk menghampiri meja mereka. "Di mana Cessa? Kenapa kalian hanya bertiga?" tanya Damian. Ia melihat ke sekeliling mencari gadis yang
Rio terlihat sangat frustrasi, penyesalan tak berujung selalu membayang-bayangi hidupnya. Kebodohannya di masa lalu yang telah membiarkan istri dan putrinya pergi dari rumah dan kehidupannya. Andai ia mengetahui kebenarannya lebih awal, bahwa Indah selamat dari kebakaran waktu itu. Mungkin Rio akan menemuinya untuk memohon maaf pada wanita yang sangat dicintainya itu. Walau Rio tahu, kata maaf saja tak cukup untuk menebus semua kesalahannya.
"Tuan, saya memiliki informasi penting untuk anda. Bisakah kita bertemu hari ini?"
Pagi Hari yang cerah dihiasi mentari yang menyilaukan. Embun-embun perlahan menghilang dari dedaunan. Gemerisik angin menerpa dedaunan yang menggelitik.