Aku berdiri menapaki kakiku tepat di depan sebuah bangunan megah dan mewah. Aku sampai dibuat takjub melihatnya, rumah berukuran lebih besar dari pada rumahku di Bandung, memiliki desain model rumah kekinian.
"Ayah, apa ini rumah baru kita?" tanyaku pada ayah Langit. Aku melihat ayah menganggukkan kepalanya seraya tersenyum padaku.
"Apa kamu suka?" tanyanya, aku membalas mengangguk mengiyakannya.
"Tentu saja aku sangat suka, tapi apakah rumah ini tidak terlalu besar bila hanya ditempati dua orang saja?" tanyaku. Aku melihat ayah tersenyum padaku, ia mengusap lembut kepalaku. Aku sangat suka diperlakukan seperti ini, aku merasa nyaman. Karenanya aku tidak pernah menyangka bahwa aku bukanlah anak kandungnya.
"Ayo kita masuk...," ayah mengajakku untuk memasuki rumah baru kami.
Hari ini aku dan ayah sudah tiba di Jakarta. Kami sudah mempersiapkan kepindahan kami sejak tiga hari yang lalu. Ayah bilang, kami akan memulai hidup baru di Ibu kota ini. Selain karena urusan bisnis ayah, aku juga menyetujui untuk ikut pindah karena suatu alasan yang harus aku selesaikan.
Tentu saja aku ingin mencari tahu tentang keberadaan ayah kandungku. Namun, bukan untuk kembali padanya dan memohon pengakuan darinya. Melainkan untuk membalas atas setiap rasa sakit yang dirasakan oleh mama.
"Bagaimana, apa kamu suka?" Suara ayah menyadarkan dari pikiranku. Aku tersenyum, mengangguk mengiyakannya. Aku melihat sekeliling ruangan, perpaduan warna dekorasi Interior yang sangat cantik dengan barang-barang yang sudah tertata rapi. Sepertinya aku akan betah tinggal di rumah ini, pikirku.
"Ini sangat cantik ayah. Aku suka," ucapku masih melihat-lihat setiap sudut ruangan.
"Nah, yang di atas itu kamar kamu...." Ayah menunjuk kearah sebuah ruangan yang berada di lantai atas. "Coba kamu lihat dulu!" Ayah memerintah agar aku melihat kamar baruku.
Aku berjalan menaiki satu persatu anak tangga hingga tiba di depan pintu ruangan yang akan menjadi kamarku. Menakjubkan, ruangan yang cukup luas tentu saja lebih luas dibandingkan kamarku yang dulu, kamar ini dihias semenarik mungkin dengan cat berwarna pink dan ungu kesukaanku. Ayah benar-benar telah mempersiapkannya untukku.
"Kamu suka?" tanya ayah lagi, aku membalas dengan memeluk ayah mengucapkan terima kasih padanya.
"Terima kasih ayah, aku sayang ayah...," ucapku lirih, tiba-tiba saja air mataku keluar membasahi wajahku. Aku benar-benar terharu dengan semua yang telah ayah berikan padaku, kasih sayang dan perhatiannya dan mama selama ini berikan kepadaku membuat hidupku sangat bahagia.
Terbesit dalam benakku, mengapa ia yang bukan ayah kandungku begitu sangat menyayangiku dengan sepenuh hati. Sedangkan lelaki yang merupakan ayah kandungku justru malah tidak menginginkanku. Jantungku sesak, hatiku berdenyut ngilu memikirkannya. Apa salahku? pikirku.
"Hei, kenapa putri ayah yang cantik ini malah menangis, hmm?" tanya Ayah, ia merenggangkan pelukannya, mengusap jejak air mata di wajahku. "Apa kamu tidak menyukainya?" tanya ayah lag. Aku menggelengkan kepalaku.
"Cessa suka semuanya. Cessa hanya teringat sama Mama," ucapku lirih, ya aku memang teringat pada mendiang mama. Andai mama masih ada, pasti kebahagiaannya sangat lengkap.
"Ayah mengerti perasaanmu, ayah juga sangat merindukan Mama Indah. Tapi kita tidak boleh berlarut dalam kesedihan atas kepergian Mama Indah, kita harus belajar mengikhlaskannya." jelas ayah padaku seraya mengusap lembut puncak kepalaku.
Aki tahu ayah pasti lebih terluka dan bersedih atas kepergian mama, tetapi ayah tidak memperlihatkan kelemahannya dihadapan orang lain terutama di depanku karena tidak ingin membuatku bersedih.
" Ya sudah, sekarang kamu istirahat dulu sebentar, setelah itu lekas mandi. Sebentar lagi kita akan ke luar untuk membeli makanan," ucap Ayah, aku mengangguk mengiyakannya. Ayah pun pergi ke luar dari kamarku tidak lupa menutup pintunya.
Setelah ayah pergi, aku merebahkan tubuhku di atas kasur Kingsize empuk. Aku memejamkan kedua bola mataku sejenak untuk beristirahat, tetapi pikiranku melayang kemana-mana. Aku beranjak dari tempat tidur, membuka tas jinjing milikku lalu mengambil buku catatan Mama.
Aku membuka buku Mama dan yang pertama kali aku lihat adalah sebuah fotonya. Foto seorang lelaki bernama Rio Argantara, laki-laki tampan bertubuh tinggi tegap, tetapi tidak mirip denganku. Hanya bibir tipisnya saja yang mirip denganku. Aku menatap foto itu cukup lama, mengusapnya perlahan. Aku ingin mengingat wajahnya agar apabila bertemu di jalan, aku bisa mengenalinya.
Aku tersenyum getir, bagaimana mungkin laki-laki ini bisa berbuat sejahat itu padaku dan juga mama. Sangat bertolak belakang dengan wajahnya yang tampan dan terlihat tenang. Namun kenyataannya, lelaki dalam foto inilah yang sudah menyakiti Mama. Ayahku, ayah kandungku yang kejam!
Aku membaca kelanjutan tulisan Mama yang belum aku baca. Hatiku sesak sangat sakit mengingat bagaimana perjuangan mama Indah bertahan hidup mencari nafkah untukku seorang diri. Mereka benar-benar jahat, bahkan walau Mama sudah pergi jauh dari hidup mereka, mereka tetap berusaha untuk mencelakai kami.
Reflek aku mengepalkan kedua tanganku membaca kata demi kata yang tertulis dalam buku catatan Mama Indah. "Aku berjanji, aku akan membalas perlakuan mereka. Aku akan membuat lelaki itu menyesal seumur hidupnya,"
Aku menyudahi membaca sebagian tulisan mama, lalu menyimpan buku itu di atas nakas. Aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan badanku yang terasa lengket.
"Kamu sudah siap, sayang?" tanya Ayah, aku mengangguk lalu berjalan mendekati ayah Langit.
"Sudah, kita mau pergi ke mana, yah?" tanyaku seraya berjalan ke luar rumah mengikuti langkah ayah.
"Malam ini kita akan makan di luar. Setelah itu kita ke mall untuk membeli perlengkapan sekolah kamu," jelas Ayah, ia membuka pintu mobil lalu masuk ke dalamnya, dan aku pun ikut masuk ke dalam mobil.
"Perasaan tadi gak ada mobil deh?" tanyaku heran, tadi seingatku tidak ada mobil yang terparkir di halaman rumah ini. Ayah menatapku sekilas lalu tersenyum, lalu mulai menghidupkan mesin mobilnya.
"Tadi sekretaris ayah yang mengantarkannya," jawab ayah, aku hanya mengangguk mengohkan ucapan ayah.
Tiba di salah satu restauran, kami langsung memesan makanan dan menyantapnya hingga habis. Setelah itu kami pun pergi mengunjungi Mall untuk membeli semua keperluan sekolahku.
Aku memperhatikan ayah Langit yang sedari tadi sibuk memilihkan sepatu dan tas untukku sangat lucu sekali, seperti Ibu-ibu yang sedang memilihkan pakaian untuk anak kecil. Ish, sikap Ayah Langit ini terkadang terlalu berlebihan menurutku, tapi aku menyukainya. Ayah yang sangat ideal, pantas saja mama Indah sangat mencintai lelaki ini.
Seorang pemuda menatap datar pada dua orang manusia berbeda jenis kelamin dan berbeda usia yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri saat ini.Damian Argantara, seorang pemuda bertubuh tinggi tegap, kulit putih dengan rambut berwarna hitam legam, hidung mancung, alisnya yang tebal serta netra mata berwarna hitam. Sungguh ciptaan Tuhan yang sangat sempurna! Pantas saja bila di sekolahnya ia menjadi rebutan para gadis, baik itu seangkatannya ataupun adik kelasnya.
Pagi Hari di kediaman Damian, lelaki itu sudah siap dengan seragam sekolahnya. Berdiri di depan cermin untuk merapikan rambut hitam legamnya. Setelah dirasa cukup, Damian pun berjalan ke luar dari kamarnya menuruni satu per satu anak tangga menuju ke dapur. Di sana keluarganya sudah menunggu untuk sarapan bersama. Ia menghentikan langkahnya sejenak, memperhatikan dua orang wanita berbeda usia yang sedang duduk di kursi meja makan. Wanita itu adalah mama dan juga adi
Siswa siswi SMA Angkasa Raya berhamburan dari dalam kelasnya ketika mendengar bunyi bell istirahat. Tujuan utama yang hendak mereka datangi adalah kantin.Suasana kantin yang semula sepi, seketika riuh dengan suara-suara yang berasal dari celotehan, canda dan tawa para murid. Hampir tak ada meja kosong yang tersisa saking banyaknya yang ke kantin.
Langit berada di ruang kerjanya, ia menatap sendu pada layar komputer lipat yang menyala. Langit sedang memperhatikan foto-foto yang pernah ia ambil beberapa tahun ke belakang.Terdapat banyak foto yang terpajang di sana. Langit mengklik salah satu foto hingga terlihat jelas gambar seorang wanita muda bersama seorang lelaki dan anak perempuan berada di tengah diantara keduanya terlihat sangat bahagia.
"Apa kalian mau makan cup cake?" Tanya Indah kepada Cessa dan Alya, kedua anak itu mengangguk semangat."Mau! Aku mau makan cup cake," jawab Cessa riang.
Langit dengan tergesa keluar dari kantornya setelah mendapat kabar tentang musibah kebakaran pada toko kue milik istrinya. Padahal saat itu Langit tengah mengadakan rapat bersama kolega bisnisnya. Namun karena mendengar kabar musibah tersebut, para kolega akhirnya dapat mengerti dan mau menunda pertemuannya.Langit masuk ke dalam mobilnya lalu mulai menghidupkan mesinnya. Tak butuh waktu lama pria berumur kepala tiga itu menekan pedal gas, melajukan mobilnya dengan k
"Sayang...," Langit mengusap pelan layar komputer lipatnya yang memperlihatkan gambar keluarga kecilnya.
Cessa berjalan tergesa melewati satu per satu anak tangga, ia masih harus melewati koridor sekolah untuk sampai di kelasnya. Suasana mulai sepi, hanya terlihat beberapa orang saja yang masih berada di luar.Sebagian murid sudah berada di dalam kelasnya masing-masing, karena beberapa menit lagi bel tanda masuk akan berbunyi.
Cessa membuka pintu ruangan tempat ayahnya dirawat. Bau obat-obatan begitu pekat hinggap di penciumannya. Suasana kamar itu sunyi. Hanya terdengar suara alat pendeteksi detak jantung.Perlahan Cessa mendekat ke arah pria paruh baya yang terbaring lemah di atas ranjang. Matanya tertutup rapat. Di tubuh pria itu terpasang berbagai alat medis."Ayah." Cessa berucap lirih.Napasnya terasa sesak melihat kondisi Langit saat ini. Air mata itu kembali luruh membasahi wajahnya."Bangun, Yah. Jangan lama-lama tidurnya. Cessa takut sendirian."Hening. Tak ada yang menjawab perkataan Cessa. Hanya suara elektrokardiogram yang terdengar nyaring, juga suara isaknya yang tertahan.Seorang dokter muda masuk ditemani seorang perawat. Mereka memeriksa kondisi Langit saat ini."Dokter, apa ayah saya akan bangun? Apa ayah akan sembuh?" tanya Cessa dengan suar
"Cessa masuk dulu, ya, Yah." Gadis manis itu meraih tangan kekar sang ayah dan mendaratkan kecupan pada punggung tangannya.Langit mengangguk, mengusap puncak kepala Cessa lembut sebelum puterinya itu masuk ke dalam sekolahnya. Lamat, manik mata tajam itu menatap wajah sang gadis lembut. "Belajar yang rajin," ucapnya kemudian.
Cessa tertegun beberapa saat ketika tangannya digenggam Damian. Ia bahkan mengerjapkan matanya beberapa kali, ada getaran aneh yang menjalar ke hatinya.Damian mengulum senyumnya melihat ekspresi Cessa saat ini. Ia mengambil alih garpu dari tangan gadis itu, yang masih hanyut dalam pikirannya."Ayo buka mulutmu!" seruan itu menyadarkan Cessa dari pikirannya. Ia menatap heran kepada Damian yang bersiap memasukan makanan ke dalam mulutnya."Aku enggak lapar," tolak Cessa, ia memalingkan wajahnya ke samping membuat lelaki beriris hitam itu berdecak pelan."Jangan menolak! Ayo cepat makan! Atau kamu mau tetap di sini berdua sama aku?" Damian memperlihatkan senyum menyebalkan bagi Cessa. Gadis itu menggeram menahan kekesalannya kepada Damian."Aku bisa makan sendiri, kok!" Cessa hendak mengambil alih garpu dari tangan Damian, tetapi lelaki itu segera menjauhkan tangannya. Ia bersikera
"Hallo, Non Cessa! Maaf bapak tidak bisa jemput Non Cessa ke sekolah. Mobilnya tiba-tiba mogok! Ini sekarang bapak ada di bengkel,"Cessa mendengus pelan mendengar suara pak Tomo yang mengatakan tidak bisa menjemputnya.
Cessa hendak pergi ke toilet. Gadis itu berjalan melewati koridor tanpa ditemani Amel. Temannya itu mungkin saat ini sedang berada di kantin.Dari kejauhan samar-samar Cessa mendengar suara alunan musik yang mulai menarik perhatiannya. Ia menghentikan langkahnya sejenak, lalu berbalik untuk mencari sumber suara. Gadis itu mengurungkan niatnya untuk pergi ke toilet.
Damian tiba di Kafe Melati tempat yang sudah disepakati untuk bertemu dan mengerjakan tugas kelompok fisika bersama anggota yang lainnya. Siapa lagi kalau bukan dua sahabatnya Dimas dan Dika, Amel dan ... Cessa.Sebuah keberuntungan baginya karena kali ini guru fisikanya menjadikan Cessa sebagai salah satu anggota dalam kelompoknya. Waktu tiga bulan terasa cukup lama bagi Damian, agar bisa dekat dengan gadis yang berhasil meruntuhkan gunung es di hatinya.Ya, walau Damian belum mengutarakan perasaannya kepada Cessa.Namun dengan hubungannya lebih akrab dari sebelumnya saja, Damian sudah bersyukur. Bila mengingat begitu acuh dan dinginnya sikap yang diperlihatkan Cessa kepadanya.Damian memicingkan matanya menatap tiga orang yang dikenalinya. Lalu melangkahkan kakinya untuk menghampiri meja mereka. "Di mana Cessa? Kenapa kalian hanya bertiga?" tanya Damian. Ia melihat ke sekeliling mencari gadis yang
Rio terlihat sangat frustrasi, penyesalan tak berujung selalu membayang-bayangi hidupnya. Kebodohannya di masa lalu yang telah membiarkan istri dan putrinya pergi dari rumah dan kehidupannya. Andai ia mengetahui kebenarannya lebih awal, bahwa Indah selamat dari kebakaran waktu itu. Mungkin Rio akan menemuinya untuk memohon maaf pada wanita yang sangat dicintainya itu. Walau Rio tahu, kata maaf saja tak cukup untuk menebus semua kesalahannya.
"Tuan, saya memiliki informasi penting untuk anda. Bisakah kita bertemu hari ini?"
Pagi Hari yang cerah dihiasi mentari yang menyilaukan. Embun-embun perlahan menghilang dari dedaunan. Gemerisik angin menerpa dedaunan yang menggelitik.