Memangnya apa yang salah dengan bayi perempuan? Bukan salah Indah melahirkan seorang bayi lucu nan cantik itu dari rahimnya. Sebagai manusia kita hanya bisa berharap tapi tidak bisa menolak apa pun yang sudah menjadi tetapkanNya. Rencana Tuhan itu jauh lebih besar dibanding rencana manusia.
Seharusnya mereka tidak menjadikan hal semacam ini alasan untuk perceraiannya dengan Rio, suaminya. Putrinya bukanlah sebuah kesalahan, ia adalah anugerah terindah yang telah Tuhan berikan padanya.
Air mata masih menggenang di pelupuk matanya, Indah membaringkan Cessa di atas keranjang ayunan bayi. Ditatapnya bayi kecil mungil nan lucu itu dengan lembut dan penuh kasih sayang. Air matanya terjatuh tepat pada pipi Cessa, dengan lembut ia menghapus cairan bening itu dari wajah putrinya.
"Nak, kamu bukanlah sebuah kesalahan, tetapi anugerah terindah yang diberikan Tuhan kepada Mama," ucap Indah lirih, pandangannya beralih ke arah kasur Kingsize, Ia menghela napas berat menatap dokumen itu.
"Mama sangat menyayangimu." Indah mengecup lembut kening putrinya lalu berjalan ke arah kasur lalu mengambil dokumen perceraian yang diberikan suaminya.
Hatinya kembali berdenyut ngilu, dadanya terasa sesak bagaikan tertimpa ribuan benda berat. Tatapannya kosong menatap isi dokumen itu. Ia enggan untuk menanda tanganinya. Namun apalah daya, Indah tidak sanggup menahan rasa sakit dan kecewanya.
Andai masalahnya hanya karena bayi perempuan yang terlahir, meski harus menahan sakit Indah mungkin akan tetap mempertahankan pernikahannya. Karena Ia percaya, dikemudian hari bila Tuhan mengizinkan, ia bisa melahirkan kembali seorang bayi dan mungkin bayi itu seorang laki-laki seperti yang mereka inginkan.
Namun ternyata masalahnya bukan hanya bayi laki-laki atau perempuan saja. Suaminya memiliki wanita lain, bahkan sudah memiliki seorang anak dari wanita itu. Dan lebih menyakitkan lagi, anak dari wanita itu berusia sekitar satu tahun lebih tua dari Cessa yang baru berumur seminggu, dan itu artinya Rio telah lama mengkhianatinya.
Lagi pula, untuk apa Indah bertahan sedangkan suaminya sendiri tidak mau mempertahankan.
Indah berjalan ke luar dari kamarnya, di tangannya terdapat dokumen yang sudah selesai ia tandatangani. Indah menatap satu persatu wajah mereka, mulai dari Ibu dan Ayah mertuanya, lalu Dita dan Rio juga anak laki-laki yang ada dalam gendongannya. Sebelah tangan Indah mengepal menahan amarah yang sedari tadi sudah naik sampai ke ubun-ubun.
"Saya sudah menandatangani dokumen ini. Apa kalian sudah puas, sekarang?" tanya Indah kepada mereka semua.
Senyum penuh kemenangan terlihat dengan jelas di bibir mertuanya dan juga Dita. Sedangkan Rio, lelaki itu bergeming menatap datar kepadanya. Dengan cepat Dita mengambil dokumen itu dari tangan Indah untuk memeriksanya.
"Bagus! Kenapa tidak sedari tadi saja kamu melakukannya? Buang-buang waktu dan tenaga saja," ucapan dari Ibu mertuanya sukses membuat hatinya berdenyut ngilu, tetapi kali ini Indah tidak mau meneteskan air matanya lagi.
Dita. Wanita itu tersenyum licik menatap Indah. Entah apa yang sedang wanita itu pikirkan. Sementara Rio masih bergeming mendengar perkataan Indah sudah menyetujui untuk bercerai dengannya. Tatapan datar dan tajam tertuju pada Indah, ia tidak berkata sepatah kata pun kepada wanita yang saat ini berstatus "Mantan Istrinya" itu.
"Semuanya sudah selesai seperti yang kalian inginkan. Jadi, sekarang juga kalian harus pergi dari rumah ini!" Indah mengusir mertua dan Rio beserta istri barunya pergi dari rumahnya.
"Bukan kami yang harus ke luar dari rumah ini," ucap Dita tenang tetapi netra matanya menyiratkan kebencian yang luar biasa kepada Indah. Rasanya wanita itu tidak puas hanya dengan membuat hubungan Indah dan Rio berpisah. Dita juga menginginkan Indah pergi jauh dari kehidupannya dan juga Rio, pergi meninggalkan rumah mewah yang Rio belikan untuk Indah.
"Ini rumah mas Rio, jadi seharusnya kamu yang harus ke luar dari rumah ini!" seru Dita tersenyum licik kepada Indah.
Rio membulatkan kedua bola matanya menatap datar wajah Dita dari samping. Mengerti sedang diperhatikan, Dita menoleh kepada Rio memperlihatkan senyum manisnya.
"Ayo cepat kemasi barang-bayangmu, dan segera pergi dari rumah ini!" seru mantan ibu mertua Indah tanpa perasaan, Dita tersenyum puas mendengar perkataan mertuanya itu.
Indah mengepalkan kedua tangannya, menatap mereka satu persatu penuh kebencian. Air mata yang semula mengering, tumpah begitu saja membasahi wajahnya yang sudah sembab akibat menangis sebelumnya.
"Kalian semua benar-benar tidak punya hati nurani!" ucap Indah kesal. Ia memang tidak berniat untuk tinggal lebih lama di rumah ini. Namun ia butuh waktu beberapa hari, sebelum menemukan rumah baru untuk Ia dan Cessa tempati nantinya. Indah tidak menyangka, hari ini ia bercerai dengan suaminya sekaligus diusir dari rumahnya sendiri.
***
"Apa yang kalian lakukan? Mengapa kalian mengusirnya dari rumah ini?" tanya Rio kepada Ibunya dan Dita setelah Indah pergi ke kamarnya. Dita mendelik tidak suka mendengar perkataan Rio.
"Biarkan saja dia pergi! Akan lebih baik jika dia pergi sejauh mungkin," ujar Ibunya tanpa perasaan.
"Lagian ini kan rumah kamu, dan aku sangat ingin tinggal di rumah ini!" ucap Dita memperlihatkan senyum manis kepada Rio.
Rio menyerahkan anak yang sedang di gendongnya kepada Dita. Ia ingin menemui Indah di dalam kamarnya sekaligus meminta maaf secara pribadi kepadanya.
"Aku akan membantunya berkemas," ucap Rio hendak melangkahkan kakinya namun tertahan mendengar perkataan Dita.
"Untuk apa membantunya? Biarkan saja wanita itu mengemasi barang-barangnya sendiri," ucap Dita kesal, Rio mendengus kasar ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mempertahankan Indah dan putrinya.
Di dalam kamarnya Indah telah selesai memasukan pakaiannya dan Cessa ke dalam sebuah koper berukuran sedang. Ia memangku Cessa yang saat itu sudah terbangun lagi dari tidurnya.
Derai air mata masih membasahi wajahnya sambil memeluk Cessa. Bayangan-bayangan masa lalu yang sangat membahagiakan bersama Rio terlintas dalam ingatannya. Indah terkekeh getir mengingat betapa bodohnya dirinya selama ini, mempercayai dan mencintai seorang pembohong sekaligus pengkhianat seperti Rio.
Pernikahannya memanglah karena perjodohan yang dirancang oleh kakek Indah dan kakeknya Rio. Meskipun awalnya tidak ada cinta di hati Indah pada Rio, tetapi Indah ikhlas menjalani pernikahannya. Seiring berputarnya waktu, perlahan Indah jatuh cinta pada Rio yang berstatus sebagai suaminya. Selama berumah tangga dengannya, Rio selalu bersikap baik dan lembut padanya.
Ia tidak menyangka kebaikan dan sikap lembut yang ditunjukkan Rio padanya hanyalah sebuah kebohongan untuk menutupi perselingkuhannya dengan Dita. Ia pikir selama ini rumah tangganya berjalan harmonis, tetapi hari ini ia harus menerima kenyataan menyakitkan.
Tepat seminggu pasca melahirkan darah dagingnya, dengan luka di perut yang masih basah, ia diceraikan bahkan di usir dari rumahnya sendiri. Miris! Bahkan putri kecilnya sama sekali tidak dapat pengakuan dari mereka.
Indah ke luar dari kamarnya bersama Cessa dalam gendongannya, sebelah tangannya ia gunakan untuk membawa koper. Ia berjalan gontai melewati mantan suami dan keluarganya.
Aku berdiri menapaki kakiku tepat di depan sebuah bangunan megah dan mewah. Aku sampai dibuat takjub melihatnya, rumah berukuran lebih besar dari pada rumahku di Bandung, memiliki desain model rumah kekinian."Ayah, apa ini rumah baru kita?" tanyaku pada ayah Langit. Aku melihat ayah menganggukkan kepalanya seraya tersenyum padaku.
Seorang pemuda menatap datar pada dua orang manusia berbeda jenis kelamin dan berbeda usia yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri saat ini.Damian Argantara, seorang pemuda bertubuh tinggi tegap, kulit putih dengan rambut berwarna hitam legam, hidung mancung, alisnya yang tebal serta netra mata berwarna hitam. Sungguh ciptaan Tuhan yang sangat sempurna! Pantas saja bila di sekolahnya ia menjadi rebutan para gadis, baik itu seangkatannya ataupun adik kelasnya.
Pagi Hari di kediaman Damian, lelaki itu sudah siap dengan seragam sekolahnya. Berdiri di depan cermin untuk merapikan rambut hitam legamnya. Setelah dirasa cukup, Damian pun berjalan ke luar dari kamarnya menuruni satu per satu anak tangga menuju ke dapur. Di sana keluarganya sudah menunggu untuk sarapan bersama. Ia menghentikan langkahnya sejenak, memperhatikan dua orang wanita berbeda usia yang sedang duduk di kursi meja makan. Wanita itu adalah mama dan juga adi
Siswa siswi SMA Angkasa Raya berhamburan dari dalam kelasnya ketika mendengar bunyi bell istirahat. Tujuan utama yang hendak mereka datangi adalah kantin.Suasana kantin yang semula sepi, seketika riuh dengan suara-suara yang berasal dari celotehan, canda dan tawa para murid. Hampir tak ada meja kosong yang tersisa saking banyaknya yang ke kantin.
Langit berada di ruang kerjanya, ia menatap sendu pada layar komputer lipat yang menyala. Langit sedang memperhatikan foto-foto yang pernah ia ambil beberapa tahun ke belakang.Terdapat banyak foto yang terpajang di sana. Langit mengklik salah satu foto hingga terlihat jelas gambar seorang wanita muda bersama seorang lelaki dan anak perempuan berada di tengah diantara keduanya terlihat sangat bahagia.
"Apa kalian mau makan cup cake?" Tanya Indah kepada Cessa dan Alya, kedua anak itu mengangguk semangat."Mau! Aku mau makan cup cake," jawab Cessa riang.
Langit dengan tergesa keluar dari kantornya setelah mendapat kabar tentang musibah kebakaran pada toko kue milik istrinya. Padahal saat itu Langit tengah mengadakan rapat bersama kolega bisnisnya. Namun karena mendengar kabar musibah tersebut, para kolega akhirnya dapat mengerti dan mau menunda pertemuannya.Langit masuk ke dalam mobilnya lalu mulai menghidupkan mesinnya. Tak butuh waktu lama pria berumur kepala tiga itu menekan pedal gas, melajukan mobilnya dengan k
Cessa membuka pintu ruangan tempat ayahnya dirawat. Bau obat-obatan begitu pekat hinggap di penciumannya. Suasana kamar itu sunyi. Hanya terdengar suara alat pendeteksi detak jantung.Perlahan Cessa mendekat ke arah pria paruh baya yang terbaring lemah di atas ranjang. Matanya tertutup rapat. Di tubuh pria itu terpasang berbagai alat medis."Ayah." Cessa berucap lirih.Napasnya terasa sesak melihat kondisi Langit saat ini. Air mata itu kembali luruh membasahi wajahnya."Bangun, Yah. Jangan lama-lama tidurnya. Cessa takut sendirian."Hening. Tak ada yang menjawab perkataan Cessa. Hanya suara elektrokardiogram yang terdengar nyaring, juga suara isaknya yang tertahan.Seorang dokter muda masuk ditemani seorang perawat. Mereka memeriksa kondisi Langit saat ini."Dokter, apa ayah saya akan bangun? Apa ayah akan sembuh?" tanya Cessa dengan suar
"Cessa masuk dulu, ya, Yah." Gadis manis itu meraih tangan kekar sang ayah dan mendaratkan kecupan pada punggung tangannya.Langit mengangguk, mengusap puncak kepala Cessa lembut sebelum puterinya itu masuk ke dalam sekolahnya. Lamat, manik mata tajam itu menatap wajah sang gadis lembut. "Belajar yang rajin," ucapnya kemudian.
Cessa tertegun beberapa saat ketika tangannya digenggam Damian. Ia bahkan mengerjapkan matanya beberapa kali, ada getaran aneh yang menjalar ke hatinya.Damian mengulum senyumnya melihat ekspresi Cessa saat ini. Ia mengambil alih garpu dari tangan gadis itu, yang masih hanyut dalam pikirannya."Ayo buka mulutmu!" seruan itu menyadarkan Cessa dari pikirannya. Ia menatap heran kepada Damian yang bersiap memasukan makanan ke dalam mulutnya."Aku enggak lapar," tolak Cessa, ia memalingkan wajahnya ke samping membuat lelaki beriris hitam itu berdecak pelan."Jangan menolak! Ayo cepat makan! Atau kamu mau tetap di sini berdua sama aku?" Damian memperlihatkan senyum menyebalkan bagi Cessa. Gadis itu menggeram menahan kekesalannya kepada Damian."Aku bisa makan sendiri, kok!" Cessa hendak mengambil alih garpu dari tangan Damian, tetapi lelaki itu segera menjauhkan tangannya. Ia bersikera
"Hallo, Non Cessa! Maaf bapak tidak bisa jemput Non Cessa ke sekolah. Mobilnya tiba-tiba mogok! Ini sekarang bapak ada di bengkel,"Cessa mendengus pelan mendengar suara pak Tomo yang mengatakan tidak bisa menjemputnya.
Cessa hendak pergi ke toilet. Gadis itu berjalan melewati koridor tanpa ditemani Amel. Temannya itu mungkin saat ini sedang berada di kantin.Dari kejauhan samar-samar Cessa mendengar suara alunan musik yang mulai menarik perhatiannya. Ia menghentikan langkahnya sejenak, lalu berbalik untuk mencari sumber suara. Gadis itu mengurungkan niatnya untuk pergi ke toilet.
Damian tiba di Kafe Melati tempat yang sudah disepakati untuk bertemu dan mengerjakan tugas kelompok fisika bersama anggota yang lainnya. Siapa lagi kalau bukan dua sahabatnya Dimas dan Dika, Amel dan ... Cessa.Sebuah keberuntungan baginya karena kali ini guru fisikanya menjadikan Cessa sebagai salah satu anggota dalam kelompoknya. Waktu tiga bulan terasa cukup lama bagi Damian, agar bisa dekat dengan gadis yang berhasil meruntuhkan gunung es di hatinya.Ya, walau Damian belum mengutarakan perasaannya kepada Cessa.Namun dengan hubungannya lebih akrab dari sebelumnya saja, Damian sudah bersyukur. Bila mengingat begitu acuh dan dinginnya sikap yang diperlihatkan Cessa kepadanya.Damian memicingkan matanya menatap tiga orang yang dikenalinya. Lalu melangkahkan kakinya untuk menghampiri meja mereka. "Di mana Cessa? Kenapa kalian hanya bertiga?" tanya Damian. Ia melihat ke sekeliling mencari gadis yang
Rio terlihat sangat frustrasi, penyesalan tak berujung selalu membayang-bayangi hidupnya. Kebodohannya di masa lalu yang telah membiarkan istri dan putrinya pergi dari rumah dan kehidupannya. Andai ia mengetahui kebenarannya lebih awal, bahwa Indah selamat dari kebakaran waktu itu. Mungkin Rio akan menemuinya untuk memohon maaf pada wanita yang sangat dicintainya itu. Walau Rio tahu, kata maaf saja tak cukup untuk menebus semua kesalahannya.
"Tuan, saya memiliki informasi penting untuk anda. Bisakah kita bertemu hari ini?"
Pagi Hari yang cerah dihiasi mentari yang menyilaukan. Embun-embun perlahan menghilang dari dedaunan. Gemerisik angin menerpa dedaunan yang menggelitik.