Share

Pria Alfiyah
Pria Alfiyah
Author: Syska Nabila

Aini

Author: Syska Nabila
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Aini menyusuri satu persatu lukisan kakaknya. Lukisan yang selalu mengingatkan pada kematian kakaknya yang begitu tragis. Kakaknya tewas saat ia hendak pergi ke pesantren. Mobil bak tanpa aling-aling yang menabrak kakak Aini hingga tewas. Dari kejadian itu, Aini berfikir bahwa kematian kakaknya disebabkan oleh pesantren. Peraturan pesantren yang membuat kakaknya harus pergi--hingga akhirnya tewas. Aini sekarang sudah lulus sekolah menengah pertama, itu saatnya Aini melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Yap, sekolah menengah atas. Sudah terlalu banyak sindiran orang tuanya tentang pesantren. Kedua orang tuanya menginginkan Aini pergi ke pesantren. Tidak salah lagi, orang tua siapa yang tidak menginginkan putra-putrinya sukses? Ingin putra-putrinya terjerumus pergaulan zaman sekarang? Zaman dimana anak-anak, remaja, bahkan dewasa, melakukan perzinahan, mencopet, bahkan saling membunuh. Itu harga yang mahal sekali. Apakah negara ini berontak? Jawabannya adalah, tidak. Negara terlalu sibuk dengan uang, uang, dan uang. Perkara kecil pun tidak dihukum, apalagi perkara besar. Itulah zaman millenium, remaja tak tahu cara sopan santun pada orang yang lebih tua, dan sebaliknya. Orang tua Aini tidak mau seperti itu, mereka ingin putrinya tumbuh menjadi pemuka agama, pintar dalam berbagai hal. 

Langkah Aini terhenti pada foto berbingkai. Foto Aini bersama kakaknya. 

"Andai kakak masih di sini. Mungkin aku juga akan menuruti apa kata ibu, pergi ke pesantren." Aini tersenyum getir saat menatap kembali kenangan masa lalu.

"Kamu jangan terus bersedih, Nak. Kenapa? Teringat masa lalu lagi?" Ibu Aidah yang baru saja muncul dari balik daun pintu bertanya. 

"Iya, Bu. Jika Ibu akan memaksaku untuk ke pesantren kali ini, aku sudah bilang beberapa kali, aku tidak mau." Aini menjawab pertanyaan Ibu Aidah, kedua kelopak mata Aini masih menatap foto-foto kenangan.

"Kenapa tidak mau? Aini ingin mengecewakan Ibu?"

"Bukannya Aini ingin mengecewakan, Bu. Jika Aini pergi ke pesantren, sama saja dengan Aini membuat luka kembali. Saat Ibu mengatakan pesantren, hatiku teriris, Bu. Kematian kakak, apa Ibu sudah lupa? Apa Ibu ingin aku juga tewas?" Aini mengusap wajahnya, bulir-bulir kecil berjatuhan lewat pipi Aini. 

"Astagfirullah, Nak. Jangan mengatakan seperti itu. Ibu mencoba tersenyum setiap detik, itu bukan berarti Ibu melupakan Ranala. Kamu anak Ibu satu-satunya, Ibu tidak ingin kamu terjerumus pergaulan zaman sekarang."

Ruangan tamu lengang, menyisakan gemercik kolam air di depan teras rumah. Ayah Aini, ikut bersuara, "Ada apa ini?" Pak Amar memegang pundak Ibu Aidah, kemudian melihat Aini yang sedang menangis. 

"Tidak apa-apa, Ayah." Aini yang menjawab. 

"Kenapa menangis?" Pak Amar bertanya kembali.

"Tadi kami sedang memandangi foto-foto Ranala bersama Aini. Tidak disengaja, air mata kami mengalir." Ibu Aidah kali ini yang bersuara.

"Ayah juga tau. Aini menolak kembali untuk pergi ke pesantren, bukan?"

Ruangan tamu kembali lengang. Pertanyaan Pak Amar tergantung di langit-langit ruangan, tidak ada jawaban.

"Aini, sekali lagi Ayah bertanya padamu, Nak. Apakah kamu tidak mau membahagiakan orang tua ini? Kami juga mengerti, rasa sakitmu belum terobati. Namun, obatilah luka-luka itu dengan pergi kesana, ke pesantren. Aini pasti akan mengerti, kenapa Kak Ranala pergi, kenapa Kak Ranala ingin ke pesantren. Hanya sekarang, Aini penuh dengan ego. Aini masih remaja, belum berfikir dewasa. Pergilah, Nak. Bukannya kami tidak menginginkanmu tinggal di sini. Kami akan selalu merindukanmu nanti." Pak Amar mengusap wajahnya, setelah memberikan nasihat pada Aini.

"Ayahmu benar, Nak. Sekarang keputusan ada ditangan Aini. Aini akan menuruti apa kata Ayah, atau Aini akan menuruti hawa nafsu." Ibu Aidah membenarkan ucapan Pak Amar. Memang benar, salah satu yang paling sulit dihindari adalah hawa nafsu. 

"Aini tidak menjanjikan, Ibu, Ayah. Aini akan berfikir dulu. Aini harus menerimanya, walau itu sulit."

      ***

Satu minggu setelah itu, setelah Aini memetakan kembali perasaannya. Aini menyetujui permintaan orang tuanya. 

Semua barang, peralatan, kebutuhan Aini yang akan dibawa ke pesantren disiapkan oleh Ibu Aidah. Persyaratan dan pendaftaran juga sudah dilengkapi Pak Amar. 

Aini meraih buku diary pemberian kakaknya. Buku bersampul unicorn, dengan warna pink kemerahan. Aini akan menceritakan semua kejadian pada kakaknya lewat tulisan. Karena kakaknya gemar dalam dunia literasi, Aini juga memilih jalan yang sama, mencintai dunia literasi. Dulu kakaknya pernah bercerita, 'Kakak ingin menjadi penulis yang terkenal, Dek. Jika nanti kakak tidak kesampaian, kamu harus menjadi penulis. Penulis yang tulisannya bisa dinikmati oleh semua kalangan.' Itu adalah pesan kakaknya sebelum Sang Pencipta merenggut nyawa Ranala. 

Aini memegang bollpoint dengan kuat, hendak menuliskan sesuatu.

"Jika kakak masih ada di sini. Mungkin kita akan pergi bersama-sama ke pesantren. Kita akan merajut kembali kenangan, kita juga akan membuat kedua orang tua kita bahagia karena melihat anak-anaknya yang begitu pintar. Kakak di sana baik-baik aja, kan? Aku di sini sedang tidak baik, Kak. Besok lusa, aku akan pergi ke pesantren. Entahlah seperti apa keadaan di sana, apakah menyenangkan atau menyedihkan. Kakak bahagia tidak jika aku akhirnya pergi ke pesantren? Semoga bahagia, ya. Aku harap begitu. Mungkin sampai sini dulu curahan hatiku ke kakak."

Aini menutup kembali buku diary-nya. Menatap langit-langit kamar yang lengang.

     ***

Bola besar yang mampu menyinari planet bumi baru saja mengudara. Memunculkan sinar hangatnya. Pagi yang sangat sejuk, embun yang menetap di atas dedaunan mulai berjatuhan, memberikan kesegaran jika dihirup. Burung berkicauan di sana-sini menghiasi kala itu. Jadwal Aini pergi ke pesantren adalah hari ini. Semuanya sudah siap, mulai dari alat solat, alat mandi, dan tak lupa buku diary bertemakan unicorn dibawa Aini. Box buku juga sudah tertata rapi di dalam bagasi mobil.

"Semuanya sudah? Pastikan tidak ada yang tertinggal." Pak Amar memerintahkan Aini untuk mengecek kembali.

"Sudah, Ayah." Aini menutup bagasi mobil. Ibu Aidah juga sudah menunggu di dalam mobil.

 Pak Amar, Ibu Aidah, dan Aini, ketiganya sudah menempati bangku masing-masing. Pak Amar mulai menyalakan mesin mobil, dan para penumpang memasang sabuk pengaman.

   *** 

Perjalanan yang sangat mulus. Sekarang mereka telah tiba di pesantren Tebu Ireng--di Jawa Timur. Mereka datang saat matahari membenamkan dirinya--malam hari. Semua aktivitas di sana begitu mengagumkan. Santri-santri yang tengah berjaga pada malam hari, ada yang bergurau, membaca nadzom, satu-dua ada yang tertidur sembarang di pos ronda.

Salah satu satpam menyapa, memberikan salam, "Selamat malam, Pak. Ada yang bisa kami bantu?" 

Pak Amar membukakan kaca jendela, membalas salamnya.

"Selamat malam juga, Pak. Saya calon wali santri baru, hendak mendaftarkan putri saya." Pak Amar tersenyum.

"Ouh, kalau begitu, Bapak masuk saja dulu. Nanti saya bilang dulu ke Rois-nya." Pak satpam 

berkata dengan logat jawanya yang sangat khas, membungkukkan badannya.

Jendela kaca ditutup. Pak Amar kembali menyalakan mesin mobil, melajukannya perlahan. Memilah-milah tempat parkir. 

"Angkat barang-barangnya hati-hati, Nak." Pak Amar memerintahkan pada Aini.

Aini mengangguk.

Salah satu pria, berpakaian santri menghampiri Pak Amar dan keluarga.

"Ada yang bisa saya bantu?" Pria itu berkata, setelah sebelumnya mengucapkan salam.

Pak Amar, Aini, dan Ibu Aidah menoleh, mencari asal suara. 

Related chapters

  • Pria Alfiyah    Siapa Pria Itu?

    "Sudah selesai Pak, apa ada yang bisa Saya bantu lagi?" tutur Pria itu."Selesai, Nak? terima kasih banyak, ya, telah membantu Kami.""Sama-sama Pak. Oh iya, jika ada perlu apa-apa bisa tanya langsung saja sama Saya. Jika Bapak berkehendak, boleh tidak kita saling menyimpan nomor telepon?""Boleh sekali itu," Sambil merogoh benda tipis berukuran segi empat yang disimpan disaku celananya--telephone genggam milik pak Amar. Pria itu menyebutkan angka-angka telephonenya."Nak, nama Kamu siapa? biar nanti Bapak masukan namanya, ternyata dari tadi Kita bertemu belum kenalan toh,""Nama Saya Iklil, Pak." Jawab Pria itu."Saya masukan namanya, ya."Setelah sebelumnya saling menyimpan nomor kontak, Iklil berpamitan untuk ke kantor pesantren karena ada urusan mendadak, Iklil adalah santri yang terbilang sangat sibuk karena Ia sendiri menjabat sebagai Rois 'am atau ketua dari seluruh santri. &nb

  • Pria Alfiyah    Harapan Aini

    Pukul 02.30 WIB, Alarm otomatis yang selalu dipasang Iklil berbunyi, pertanda untuk solat tahajud. Iklil terpaksa membukakan matanya dengan malas. Iklil merasa bahwa dirinya tadi hanyalah sedang berbaring, tidak tidur. Segera Ia bangkit dari posisi telentang ke posisi duduk, lalu membenarkan kopiah yang sedikit miring karena tadi Ia tertidur. Dengan langkah gontai, Iklil berjalan menuju tiang yang disitu terdapat stop kontak untuk menyalakan bel seluruh pesantren, teeeeenggg ... bunyi itu selalu memekakan telinga siapa saja yang mendengarnya. Tapi bagi santri yang sudah kebal, suara bom seperti bom hiroshima nagasaki pun tak akan membangunkannya. Terkecuali jika para santri disiram masal oleh setiap pengurus kamar. Alhasil, setiap santri yang akan melaksanakan solat tahajud tak usah mandi. Karena setiap hari akan dimandikan oleh setiap pengurus kamarnya masing-masing. &n

  • Pria Alfiyah    Resmi menjadi Santri

    Saat tatapan Iklil dan Aini bersitubruk, cepat, Iklil memalingkan wajahnya karena Ia tahu bahwa saling memandang itu perbuatan zina mata. Kalimat istighfar lah yang sekarang Ia rapalkan dalam hati."Kenapa Pak?" tanya Aini yang mana Ia juga memalingkan wajah karena malu. Baru kali ini, Aini menatap mata seorang Pria begitu lama sekali. Entah mengapa, ada percikan-percikan rasa yang membara saat melihat Pria itu, yang tak lain ialah Iklil."Hm... itu... tidak kok, tidak apa-apa." Kata Iklil terbata-bata, menunjukan bahwa Iklil sedang gugup."Kalau sudah, Saya mau ambil kertas kamu," lanjut Iklil."Sudah, Pak," sambil memberikan kertas selembar yang berisikan ujian seleksi CSB."Jangan panggil Bapak, Saya masih 20-an." Kata Iklil sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali."Panggil Saya, Kak Iklil," lanjutnya."Oke Kak, apa kita pernah bertemu sebelum nya?""Mungkin, Kamu, bukannya Kamu Anaknya Pak Amar kah

  • Pria Alfiyah    Hari Pertama

    Seperti biasa, pria berpeci hitam itu menyunggingkan senyumannya. Memberikan keramahan pada setiap orang. Ucapan salam seperti biasa jika bertemu dengan orang sudah menjadi kewajibannya."Eh, ada Nak Iklil. Sudah selesai kah acaranya?" Dari awal, Pak Amar sangat senang terhadap perlakuan Iklil. Cara menyambutnya, saat mengajak ngobrol, memperkenalkan dirinya, Pak Amar sangat suka pada remaja yang seperti itu."Sudah, Pak. Tadi, baru saja ditutup sama rekan Saya."Diseberang sana, ada yang memanggil Iklil, sambil melambaikan tangannya pertanda bahwa orang tersebut memanggil Iklil."Pak, maaf sekali. Saya ada urusan lagi," kata Iklil terburu-buru."Tidak apa-apa, Nak."Iklil segera pergi, menghampiri Zainal, yang memanggilnya tadi. Pak Amar dan Bu Aidah juga pamit ke tempat penginapan sebentar. Aini, sekali lagi, Ia terluka walaupun hanya luka yang kecil. Aini mengira bahwa Iklil akan mengetahui namanya pada saat pertemuan tadi. Hasilnya nihil, s

  • Pria Alfiyah    Gus Rayhan

    Koridor putri lantai dua lengang. Kedua gadis ini masih diam dalam lamunannya, memikirkan laki-laki idamannya. Takut akan takdir, takut jika tidak bisa bersama. Tinggal beberapa langkah lagi, Aini dan Raisya sampai di pintu kamar. Namun, ada yang membuat langkah keduanya terhenti. Diluar kamar, Iklil tengah mengobrol dengan laki-laki yang tadi sempat bertemu di koridor. Aini dan Raisya bertanya-tanya, sedang apa mereka di kamar putri? dan siapa laki-laki itu?ekor mata Iklil menemukan keberadaan Aini,"Hai, Kamu lagi." Sapa Iklil, yang membuat Aini berdegup kencang. Namun Aini tak puas, namanya belum disebutkan, Iklil belum tahu namanya."Hai, juga Kak." Jawab Aini singkat. Aini takut jika perkataannya salah, lebih baik dipersingkat."Oh, iya. Sejak Kita bertemu tadi malam, Saya belum tahu nama Kamu." Ucap Iklil, bukan hanya Aini saja yang ingin diketahui namanya, Iklil pun sama, ingin diketahui juga oleh gadis di depannya."Namaku Aini, Aini Halwa."

  • Pria Alfiyah    Kamar Sibyan

    Setelah mendapatkan perintah dari Kyai Kholil, Iklil mengantar Gus Rayhan ke kamarnya. Hanya ada diam saat mereka menuju kamar Gus Rayhan. Iklil masih larut dalam fikiran-fikiran negatifnya, seolah tak percaya diri karena sekarang saingan perasaannya dengan Gusnya, orang yang harus dita'ati. Dengan menenteng koper milik Gus Rayhan, Iklil mecoba memulai perbincangan,"Ini Gus, kamarnya. Setiap minggu selalu dibersihkan oleh Mbak santri, jadi Gus ndak perlu khawatir. Semuanya sudah rapi, dan siap dipakai." Ujar Iklil."Terima kasih, ya, Kamu boleh melanjutkan aktivitas Kamu. Biar Saya saja yang merapikan kembali barang-barangnya.""Sama-sama Gus, kalau begitu, Saya izin pamit. Kebetulan, urusan dengan santri baru belum selesai." Pamit Iklil. Rasanya, Iklil ingin segera pergi dari ruangan tersebut."Ouh, Aini? santri baru itu kah?" terka Gus Rayhan."Bukan Gus, bukan hanya Aini, tapi ratusan santri lainnya," timpal Iklil."Saya juga ingin ikut

  • Pria Alfiyah    Dear Diary

    "Terima kasih sudah memberi tahu Aini, Kak.""Sama-sama." Ingin sekali Iklil mengucapkan, jangan menangis Aini, aku tak suka jika kamu menangis. Serasa dunia ini hancur, bahkan lebih dari itu. Tapi nihil, Iklil malu mengatakannya."Aku duluan pergi, Kak. Ayo Raisya," ucapnya pamit. Aini menarik tangan Raisya, meninggalkan Iklil. Iklil menatapi punggung Aini yang berlalu pergi ke masjid, Iklil sadar akan lamunannya lalu pergi beranjak ke masjid, mungkin kyai Kholil sudah menunggu di sana.Pujian-pujian terdengar di halaman masjid, di kumandangkan oleh santri putra. Sudah menjadi adat bagi mereka saat menunggu kyai Kholil datang. Iklil yang tengah memasuki pintu khusus putra, mendapati Zainal yang sedang membaca ayat suci Al-Quran. Iklil ingat bahwa dirinya belum memberitahukan perihal koperasi pada Zainal. Terlalu banyak urusan sampai-sampai urusan koperasi yang lebih penting dari segalanya terlupakan. Iklil menghampiri Zainal, hendak memberitahukan."Hey,"

  • Pria Alfiyah    Pulangnya Iklil

    Telepon genggam milik Iklil lengang. Tak ada yang menyahut satu pun, hanya diam. Detak jantung Iklil berdetak dua kali lebih cepat, menunggu jawaban dari abahnya."[Abah? tolong jawab. Mengapa Abah hanya diam,]" desak Iklil."[Umi, Nak. Umi sedang sakit, kanker jantungnya kambuh lagi, tadi sore kami bergegas pergi ke rumah sakit terdekat. Umi selalu mengigau, menyebutkan namamu berulang-ulang. Jika Kamu luang, pulang lah, Nak. Temui Umi,]" pinta Abah. Bagaimana ini, besok ia harus pergi berbelanja koperasi dengan Zainal, kyai kholil juga meminta untuk ditemani ke acara haul. Ah, pulang saja, urusan umi lebih penting dari apapun, batin Iklil berucap."[Hallo, Nak. Bagaimana?]""[Iya Abah, nanti Iklil akan pulang. Diusahakan sebisa mungkin Iklil harus pulang. Nanti jam tujuh pagi, Iklil akan meminta izin pada kyai, semoga saja diberi izin.]""[Bagus kalau begitu, Abah matikan ya, assalamualaikum.]""[Waalaikumsalam.]""Huufft, rintangan

Latest chapter

  • Pria Alfiyah    Perasaan

    Raisya mematung, mengamati tiap kata yang dilontarkan gus Rayhan. Sangat aneh, mengapa banyak sekali pertanyaan yang tertuju pada Aini. Aini juga sama seperti Raisya, merasakan hal yang sama."Kenapa Ustadz? ada yang salah?" Ungkap Raisya dengan beraninya ia mengucapkan itu."Tidak, tidak ada yang salah," sergah gus Rayhan. Sekali lagi, Raisya membatu. Dingin sekali perlakuan lelaki itu pada Raisya, berbanding terbalik dengan perlakuan lelaki itu pada Aini.Aini berbisik pada Raisya, memberikan peringatan, "Sudah, Ra. Dia itu ustadz, Kamu nggak boleh seperti itu, itu namanya tidak ta'dzim. Kamu sendiri kan yang ngajarin Aku harus ta'dzim. Segera Kamu meminta maaf," ucap Aini."Maaf kan Saya, Ustad, karena sudah ceroboh," kata Raisya."Aah, sudahlah lupakan. Maaf semuanya, Saya agak melenceng. Baik, kita lanjutkan kembali materi kita hari ini, materi Bahasa. Karena Iklil akan mengajarkan kalian semua tentang kitab kuning, Saya hanya mengisi kekosongan sa

  • Pria Alfiyah    Kelas Awal

    Suara mesin rumah sakit berbunyi. Menandakan kondisi pasien tengah koma. Umi Hana terdiam, tidak bergerak sama sekali. Iklil panik, begitu juga abahnya. Iklil bergegas keluar, memanggil salah satu suster, memberi tahukan kondisi uminya."Siapa saja, tolong umi ...." teriak Iklil. Satu, dua suster lainnya berlarian, memberikan pertolongan. Wanita berpakaian suster itu sangat sigap, mengecek setiap data yang dikeluarkan oleh mesin itu. Tak henti-henti Iklil merapalkan doa terbaik bagi sang umi."Ya Allah ... bantu kami, berikanlah umi kesembuhan total. Aku tidak mau jika harus terus seperti ini, umi tersiksa, begitupun abah." Iklil begitu memohon pada Sang Pencipta, Sang pemberi keselamatan. Abah Ahmad terkulai, tak sanggup melihat istri tercintanya kesakitan.Suara mesin itu berhenti sejenak, memberikan pertanyaan bagi Iklil. Semua suster berdegup kencang, menentukan hasil kerja mereka, apakah akan selamat? atau berujung pada kematian. Tiba-tiba, gambar pada monitor

  • Pria Alfiyah    Aini menjadi ketua

    Iklil menghampiri perempuan itu, memastikan. Saat didekati, perempuan itu persis sekali seperti Aini. Iklil menyapanya,"Permisi," kata Iklil. Perempuan itu menoleh, ternyata bukan. Mustahil juga jika Aini sekarang berada di rumah sakit. Bukankah Aini sekarang sedang di pesantren?"Iya, Mas?" Tanya perempuan itu, Iklil menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali itu."Hm, maaf Mbak, Saya salah orang.""Ouh tidak apa-apa, Mas. Mas pasti sedang mencari istri Mas, ya?""A--apa? Istri? Saya masih kuliah, Mbak. Belum punya Istri,""Atau, Mas lagi memikirkan pacar, Mas, ya?""Huuss, Mbak ini. Kan di dalam Islam tidak boleh pacaran." Pipi Iklil memerah, mengapa ia malah memikirkan Aini, yang jelas-jelas bukan mahramnya."Aah, si Mas ini, pipi Mas tuh kemerahan. Saya tinggalkan dulu, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," Iklil langsung memegangi pipi-nya. Apakah merah? Aahh lupakan saja, batin Iklil. Iklil terus menyusuri ko

  • Pria Alfiyah    Pulangnya Iklil 2

    "Sekali lagi terima kasih, Ra. Karena sudah memberi tahuku,""Sama-sama, Aini." Aini melamun, kenapa Iklil tidak memberi tahunya? Ahh, dia ingat, Aini bukan siapa-siapanya Iklil. Bagaimana mungkin Iklil akan memberi tahu pada Aini, mencari kabar Aini pun tidak, apalagi harus memberi tahukan apa sebab-sebabnya Iklil pulang."Aini? Hallo? Yeh, malah melamun. Pasti karena Iklil, Aku merasa bersalah karena memberi tahumu.""A--iya? Aduh, ini kenapa ya Allah. Ngga kok, masa memikirkan kak Iklil. Bukannya kalau memikirkan orang yang bukan mahram itu dosa, ya?" Ucap Aini terang-terangan. Padahal, yang sebenarnya terjadi ialah, Aini sedang memikirkan kak Iklil--lelaki yang bukan mahramnya."Aahh, Kamu. Bisa saja mengelaknya, Aku juga tau kok, Kamu sendiri yang dosa tau. Memikirkan kak Iklil kan? mana mungkin sekarang Kamu melamunkan tukang rujak, pastinya melamunkan kak Iklil-mu itu kan?" beberapa pertanyaan Raisya membuat Aini kesal."Astagfirullah

  • Pria Alfiyah    Pulangnya Iklil

    Telepon genggam milik Iklil lengang. Tak ada yang menyahut satu pun, hanya diam. Detak jantung Iklil berdetak dua kali lebih cepat, menunggu jawaban dari abahnya."[Abah? tolong jawab. Mengapa Abah hanya diam,]" desak Iklil."[Umi, Nak. Umi sedang sakit, kanker jantungnya kambuh lagi, tadi sore kami bergegas pergi ke rumah sakit terdekat. Umi selalu mengigau, menyebutkan namamu berulang-ulang. Jika Kamu luang, pulang lah, Nak. Temui Umi,]" pinta Abah. Bagaimana ini, besok ia harus pergi berbelanja koperasi dengan Zainal, kyai kholil juga meminta untuk ditemani ke acara haul. Ah, pulang saja, urusan umi lebih penting dari apapun, batin Iklil berucap."[Hallo, Nak. Bagaimana?]""[Iya Abah, nanti Iklil akan pulang. Diusahakan sebisa mungkin Iklil harus pulang. Nanti jam tujuh pagi, Iklil akan meminta izin pada kyai, semoga saja diberi izin.]""[Bagus kalau begitu, Abah matikan ya, assalamualaikum.]""[Waalaikumsalam.]""Huufft, rintangan

  • Pria Alfiyah    Dear Diary

    "Terima kasih sudah memberi tahu Aini, Kak.""Sama-sama." Ingin sekali Iklil mengucapkan, jangan menangis Aini, aku tak suka jika kamu menangis. Serasa dunia ini hancur, bahkan lebih dari itu. Tapi nihil, Iklil malu mengatakannya."Aku duluan pergi, Kak. Ayo Raisya," ucapnya pamit. Aini menarik tangan Raisya, meninggalkan Iklil. Iklil menatapi punggung Aini yang berlalu pergi ke masjid, Iklil sadar akan lamunannya lalu pergi beranjak ke masjid, mungkin kyai Kholil sudah menunggu di sana.Pujian-pujian terdengar di halaman masjid, di kumandangkan oleh santri putra. Sudah menjadi adat bagi mereka saat menunggu kyai Kholil datang. Iklil yang tengah memasuki pintu khusus putra, mendapati Zainal yang sedang membaca ayat suci Al-Quran. Iklil ingat bahwa dirinya belum memberitahukan perihal koperasi pada Zainal. Terlalu banyak urusan sampai-sampai urusan koperasi yang lebih penting dari segalanya terlupakan. Iklil menghampiri Zainal, hendak memberitahukan."Hey,"

  • Pria Alfiyah    Kamar Sibyan

    Setelah mendapatkan perintah dari Kyai Kholil, Iklil mengantar Gus Rayhan ke kamarnya. Hanya ada diam saat mereka menuju kamar Gus Rayhan. Iklil masih larut dalam fikiran-fikiran negatifnya, seolah tak percaya diri karena sekarang saingan perasaannya dengan Gusnya, orang yang harus dita'ati. Dengan menenteng koper milik Gus Rayhan, Iklil mecoba memulai perbincangan,"Ini Gus, kamarnya. Setiap minggu selalu dibersihkan oleh Mbak santri, jadi Gus ndak perlu khawatir. Semuanya sudah rapi, dan siap dipakai." Ujar Iklil."Terima kasih, ya, Kamu boleh melanjutkan aktivitas Kamu. Biar Saya saja yang merapikan kembali barang-barangnya.""Sama-sama Gus, kalau begitu, Saya izin pamit. Kebetulan, urusan dengan santri baru belum selesai." Pamit Iklil. Rasanya, Iklil ingin segera pergi dari ruangan tersebut."Ouh, Aini? santri baru itu kah?" terka Gus Rayhan."Bukan Gus, bukan hanya Aini, tapi ratusan santri lainnya," timpal Iklil."Saya juga ingin ikut

  • Pria Alfiyah    Gus Rayhan

    Koridor putri lantai dua lengang. Kedua gadis ini masih diam dalam lamunannya, memikirkan laki-laki idamannya. Takut akan takdir, takut jika tidak bisa bersama. Tinggal beberapa langkah lagi, Aini dan Raisya sampai di pintu kamar. Namun, ada yang membuat langkah keduanya terhenti. Diluar kamar, Iklil tengah mengobrol dengan laki-laki yang tadi sempat bertemu di koridor. Aini dan Raisya bertanya-tanya, sedang apa mereka di kamar putri? dan siapa laki-laki itu?ekor mata Iklil menemukan keberadaan Aini,"Hai, Kamu lagi." Sapa Iklil, yang membuat Aini berdegup kencang. Namun Aini tak puas, namanya belum disebutkan, Iklil belum tahu namanya."Hai, juga Kak." Jawab Aini singkat. Aini takut jika perkataannya salah, lebih baik dipersingkat."Oh, iya. Sejak Kita bertemu tadi malam, Saya belum tahu nama Kamu." Ucap Iklil, bukan hanya Aini saja yang ingin diketahui namanya, Iklil pun sama, ingin diketahui juga oleh gadis di depannya."Namaku Aini, Aini Halwa."

  • Pria Alfiyah    Hari Pertama

    Seperti biasa, pria berpeci hitam itu menyunggingkan senyumannya. Memberikan keramahan pada setiap orang. Ucapan salam seperti biasa jika bertemu dengan orang sudah menjadi kewajibannya."Eh, ada Nak Iklil. Sudah selesai kah acaranya?" Dari awal, Pak Amar sangat senang terhadap perlakuan Iklil. Cara menyambutnya, saat mengajak ngobrol, memperkenalkan dirinya, Pak Amar sangat suka pada remaja yang seperti itu."Sudah, Pak. Tadi, baru saja ditutup sama rekan Saya."Diseberang sana, ada yang memanggil Iklil, sambil melambaikan tangannya pertanda bahwa orang tersebut memanggil Iklil."Pak, maaf sekali. Saya ada urusan lagi," kata Iklil terburu-buru."Tidak apa-apa, Nak."Iklil segera pergi, menghampiri Zainal, yang memanggilnya tadi. Pak Amar dan Bu Aidah juga pamit ke tempat penginapan sebentar. Aini, sekali lagi, Ia terluka walaupun hanya luka yang kecil. Aini mengira bahwa Iklil akan mengetahui namanya pada saat pertemuan tadi. Hasilnya nihil, s

DMCA.com Protection Status