Pukul 02.30 WIB, Alarm otomatis yang selalu dipasang Iklil berbunyi, pertanda untuk solat tahajud. Iklil terpaksa membukakan matanya dengan malas. Iklil merasa bahwa dirinya tadi hanyalah sedang berbaring, tidak tidur. Segera Ia bangkit dari posisi telentang ke posisi duduk, lalu membenarkan kopiah yang sedikit miring karena tadi Ia tertidur. Dengan langkah gontai, Iklil berjalan menuju tiang yang disitu terdapat stop kontak untuk menyalakan bel seluruh pesantren, teeeeenggg ... bunyi itu selalu memekakan telinga siapa saja yang mendengarnya. Tapi bagi santri yang sudah kebal, suara bom seperti bom hiroshima nagasaki pun tak akan membangunkannya. Terkecuali jika para santri disiram masal oleh setiap pengurus kamar. Alhasil, setiap santri yang akan melaksanakan solat tahajud tak usah mandi. Karena setiap hari akan dimandikan oleh setiap pengurus kamarnya masing-masing.
***"Banguuun, bangun, semuanya." Teriak setiap pengurus kamar yang mana mereka juga masih mengantuk. Jika mereka tak bangun dan tak membangun kan para santri, maka hukuman dari Iklil lah yang akan menjadi sarapan pagi yang siap disantap oleh setiap pengurus kamar. Lebih parahnya lagi jika ada santri yang malah memarahi sang pengurus,"Apaan si, masih jam sebelas juga. Kaya yang ndak ada pekerjaan saja." ucap sang santri dengan setengah sadar. Dan malah dijawab oleh pengurus dengan gelak tawa, sudah tau sekarang jadwalnya tahajud, masa jam sebelas? dari situlah suka dan duka yang dirasakan dan diciptakan di pesantren."Andi, bagaimana dengan yang lainnya? sudah bangun? kalau sudah, cepat ambil air wudlu dan segera ke masjid utama. Saya tunggu di sana sambil mengecek yang lainnya." Dengan wajah yang masih menunjukkan kelelahan dan sesekali mengeluarkan uap, Iklil memberi perintah kepada pengurus kamar untuk segera mengecek kembali setiap kamar yang di dalamnya terdapat santri-santri yang masih melanjutkan mimpinya.
"Sudah, Mas Iklil, semuanya sudah bangun. Tinggal mengantri untuk mandi saja, setelah itu langsung ke masjid utama. Oh iya Mas Iklil, Saya mau tanya, apakah sekarang jadwal pendaftaran ulang santri, ya? tadi Saya bertemu dengan Pak Amar--kalau tidak salah namanya itu, di koridor bawah, sepertinya wali santri baru. Menanyakan tentang pendaftarannya kapan. Terus Saya jawab tidak tau karena Saya bukan pengurus inti, lalu Saya kasih tau nomor Hp Mas Iklil saja tadi," kata Andi. Salah satu pengurus kamar.
"Oh, Pak Amar. Saya sudah berkenalan tadi malam. Ya Allah ... iya betul, Saya belum kasih tau soal pendaftaran tadi malam. Ya sudah, Saya tinggal dulu." sambil lalu pergi, dan mengecek kembali telephone genggamnya. Dua pesan masuk dari Pak Amar,
"[Assalamualaikum, Nak Iklil.]""[Maaf Bapak kirim pesan jam malam gini, apakah hari ini, nanti pagi, jadwal untuk pendaftaran?]"Dua pesan terpajang dalam telephone genggam Iklil. Iklil lupa untuk menyalakan notifikasinya kembali, seharian kemarin Ia menonaktifkan notifikasinya karena super sibuk mengurusi data-data santri baru. "[Waalaikumsalam, Pak. Iya betul, sekarang jadwal pendaftaran ulang santri. Nanti Bapak harus mendatangi ruangan utama pesantren tepat pada pukul 07.00 pagi. Maaf, Pak, pesannya baru Saya buka sekarang.]" Pesan dari Pak Amar sudah Iklil jawab, sekarang Iklil akan pergi ke masjid untuk melaksanakan solat tahajud bersama Kyai Kholil dan santri lainnya. ***Di ruangan yang cukup megah itu, para santri putra dan putri disatukan dalam satu ruangan, namun terhalang oleh hijab. Semuanya sibuk melakukan kegiatan masing-masing, ada yang membaca qur'an, murojaah kitab kuning, bergurau dengan sesama teman, dan ada pula yang melanjutkan mimpinya. Di sela-sela kesibukan mereka, kyai Kholil datang bersama Iklil. Selain Rois, Iklil juga menjadi khodamnya kyai Kholil. Semua santri bersiap-siap, menertibkan tempatnya, memberikan jalan bagi sang Kyai yang harus mereka ta'dzimi. Sudah menjadi adat bagi para santri saling berebutan untuk mencium punggung tangan Kyai, itu adalah bentuk rasa ta'dzim santri terhadap Kyainya. Setelah sebelumnya mengantri untuk mendapatkan barokah Kyai, sekarang, kyai Kholil sudah berdiri tegap di atas sajadah khusus imam, dengan baju putih khasnya dan di balut dengan sorban silver, sarung berwarna hijau toska yang mencolok, dan kopiah putih yang menandakan kewibawaannya. Kyai Kholil memulai solat tahajud dengan diawali takbiratul ihram, dengan suara yang lantang. Jadwal harian ini selalu di laksanakan dengan tertib. Biasanya, setelah solat tahajud akan dilanjutkan dengan khataman quran dan jika sudah waktu subuh, maka akan dilanjut dengan solat subuh berjamaah, namun kegiatan khataman untuk hari ini diliburkan, karena kyai Kholil akan bepergian.Setelah kegiatan selesai, semua santri keluar dari masjid tanpa harus diberi perintah, mereka akan melanjutkan aktivitasnya mulai dari sarapan pagi, bersiap-siap sekolah dan lainnya. Namun, kyai Kholil masih ada dalam masjid tersebut, belum selesai wiridannya, dan Iklil yang harus menemani kyai Kholil masih menunggu Kyai nya selesai wiridan dengan senang hati. Kyai Kholil membalikkan badannya dan menanyakan seberapa persen persiapan menyambut santri baru pada Iklil,"Iklil, Kamu sudah menyiapkan segalanya?"
"Enggeh Kyai, sudah selesai." jawab Iklil sambil sedikit membungkukan badannya karena ta'dzim.
"Bagus kalau begitu. Setelah ini, Saya akan pergi ke acara di pesantren Adik Saya. Katanya akan ada seleksi santri, jadi beliau membutuhkan Saya untuk membantu jalannya acara. Kamu ndak usah ikut Iklil, biar Kamu di sini saja, nanti pukul 07.00 ada pendaftaran ulang santri kan? Kamu di sini saja untuk mengkoordinirnya, biar Saya dan Bu Nyai saja yang pergi. Masalah siapa nanti yang menyetir, Kamu carikan, ya. Nanti Saya tunggu jam 06.30 di depan rumah. Faham Iklil?" kata Kyai Kholil panjang lebar.
"Enggeh Kyai, Saya faham. Nanti masalah supir akan Saya carikan secepatnya. Maaf Kyai, Saya ingin meminta izin untuk membuka koperasi, untuk menambah penghasilan pesantren," tutur Iklil.
"Koperasi? Ouh, yang sudah lama ditutup itu? Boleh saja, asalkan Kamu harus bertanggung jawab, Saya memberi izin." Kata kyai Kholil.
Setelah memberikan izin, kyai Kholil segera meninggalkan ruang yang megah itu--masjid.
***"[Assalamualaikum, Zainal, Saya butuh bantuan mu. Tolong hubungi pengurus inti bagian Humas, suruh dia segera ke rumah Kyai, suruh ambil alih kemudi. Katanya mau ke pesantren Al-Qur'any, mau ada acara seleksi gitu.]" Ucap Iklil lewat telephone genggam. Zainal, selain dia pengurus inti bagian keuangan, Zainal juga menjadi pengurus yang paling dipercaya oleh Iklil karena pekerjaan Zainal selalu profesional, tidak bertele-tele."[Waalaikumsalam, Iklil, ouh siap. Pengurus Humas kan? nanti Saya infokan secepatnya.]" Jawab Zainal di seberang telephone. Baru saja Zainal akan berbicara kembali, koneksinya sudah di putuskan oleh Iklil. Iklil itu bukan orang yang bertele-tele, kalau masalah sudah tersampaikan maka tak akan ada obrolan omong kosong bagi Iklil.
"Dasar Iklil, kebiasaan banget dia. Saya mau ngomong malah dimatikan," ucap Zainal kesal. Langkah Zainal sekarang adalah menelepon pengurus inti bagian humas, hampir ratusan kontak penting yang tersimpan oleh Zainal termasuk Irsyad, pengurus inti bagian humas.
"[Assalamualaikum, Irsyad.]" suara Zainal di seberang telephone.
"[Waalaikumsalam, Zainal. Kenapa tiba-tiba Kamu telepon Saya, ada masalah kah?" jawab Irsyad dengan kondisi suara yang tidak seperti biasanya, mungkin dia sedang sakit.
"Ini loh, tadi Iklil kasih tau Saya buat nyuruh Kamu jadi supirnya Kyai Kholil, sekarang juga." ucap Zainal dengan intonasi serius.
"Ya Allah, gimana ya, Zainal. Saya sekarang sedang sakit, sekedar sakit pusing biasa tapi Saya ndak bisa kalo keluar ruangan lama-lama. Kayanya kurang darah ini," sambil terbatuk-batuk, Irsyad mencoba menjelaskannya.
"Masya allah, Kamu sakit Irsyad? ya sudah, Saya carikan supir yang lain saja. Sudah di periksakan ke Dokter pesantren belum?"
"Sudah Zainal, katanya suruh istirahat yang cukup. Makanya Saya tidak menerima perintah dari Mas Iklil. Mohon maaf sekali," sebenarnya Irsyad ingin memenuhi perintah Roisnya, namun kesehatan fisiknya tak mendukung, Ia lebih memilih terbaring di ruang UKS.
"Ndak apa-apa toh, jangan memaksakan. Saya tutup ya, Irsyad, mau kasih tau Iklil dulu."
"Iya, Zainal, silakan." Sambungan terputus. Zainal menghubungi Iklil kembali, memberi tahu keadaan fisiknya Irsyad. Setelah sebelumnya memberi tahu Iklil, Zainal memutuskan pengurus inti lainnya yang akan menggantikan Irsyad untuk mengantar Kyai Kholil ke pondok pesantren Al-Qurany.
***Tepat pukul 07.00, ruangan luas sekitar 30 × 40 m itu terisi penuh oleh CSB, atau Calon Santri Baru. Bukan penuh karena ingin mengantri beras sembako, namun ini adalah antrean yang menentukan masa depan sang santri. Iklil masuk ke dalam ruangan dengan membawa beberapa buku dan map penting yang isinya biodata semua CSB. Ruangan itu lengang, menyaksikan Iklil yang sedang menaiki podium, akan memberikan sedikit sambutan."Assalamualaikum, selamat pagi para Calon Santri Baru. Hari ini kalian akan melaksanakan pendaftaran ulang, dan kalian akan di berikan selembar kertas ujian terakhir untuk di seleksi. Jangan ada yang tegang, santai saja namun pastikan jawaban adik-adik betul semua. Karena ini menyangkut masa depan adik-adik semua ..."
"Ya Allah, itukah Pria yang pernah mengobrol dengan Ayahku? Pria yang pernah memberikan senyumannya padaku," ucap Aini saat melihat Pria yang sedang berada di podium. Dari tadi Aini tak mempedulikan sekitar, Ia sedang melamun kan kehidupannya jika Ia terpilih dalam seleksi ini, otomatis Aini sudah menjadi santri di pesantren Nurul Huda.
".... Untuk semua CSB, nah sekarang siapkan alat tulis kalian. Kertas ujian sudah ada di atas meja masing-masing. Jangan lupa berdoa, minta kemudahan ke Allah supaya dilancarkan." Kata Iklil, sambil melafalkan bacaan hadloroh,
"Bi sirril faatihah ..." pembacaan surat Al-fatihah yang di ikuti oleh peserta CSB yang kurang lebih delapan ratus orang, perempuan. Dan sembilan ratus laki-laki. Memang banyak sekali angkatan pada tahun sekarang, semoga semuanya masuk ke daftar santri. Tahun kemarin, daftar calon santri perempuan ada seribu, namun yang terpilih hanya lima ratus. Sungguh ironis, peserta yang terpilih hanyalah setengah dari santri yang ikut mendaftar. Dan santri laki-laki ada sembilan ratus, namun sama ironisnya dengan catatan santri perempuan, yang terpilih hanyalah enam ratus. Banyak sekali yang mengikuti ujian tersebut dengan tak sungguh-sungguh, ada juga yang bersungguh-sungguh namun hati dan fikirannya memikirkan masa depan di pesantren, alhasil ujian pun tak memuaskan.
Aini, Ia mengerjakan ujian itu dengan sangat teliti. Ia berharap bisa terpilih dalam seleksi hari ini, rasa ingin membahagiakan kedua orang tuanya bergejolak, membuat Aini menjadi semangat."Sudah selesai?" tanya Iklil pada perempuan berjilbab ungu lavender, yang tak lain adalah Aini.
"Sudah, Pak." Jawab Aini dengan tidak melihat siapa orang yang bertanya.
"Benarkah? coba Saya lihat," sambung Iklil.
"Ini ,Pak." Saat pandangan Aini dan Iklil bertemu, ada getaran dimasing-masing hatinya, ada rasa yang entah apa, ini aneh. Iklil baru merasakan getaran ini saat melihat perempuan itu, begitu pun Aini.
Aini melihat ada sebuah tatapan pengharapan pada Pria itu, ada setitik harapan untuk bisa mengenal lebih jauh. Namun, apakah Pria itu akan memberikan harapan tersebut pada Aini?Saat tatapan Iklil dan Aini bersitubruk, cepat, Iklil memalingkan wajahnya karena Ia tahu bahwa saling memandang itu perbuatan zina mata. Kalimat istighfar lah yang sekarang Ia rapalkan dalam hati."Kenapa Pak?" tanya Aini yang mana Ia juga memalingkan wajah karena malu. Baru kali ini, Aini menatap mata seorang Pria begitu lama sekali. Entah mengapa, ada percikan-percikan rasa yang membara saat melihat Pria itu, yang tak lain ialah Iklil."Hm... itu... tidak kok, tidak apa-apa." Kata Iklil terbata-bata, menunjukan bahwa Iklil sedang gugup."Kalau sudah, Saya mau ambil kertas kamu," lanjut Iklil."Sudah, Pak," sambil memberikan kertas selembar yang berisikan ujian seleksi CSB."Jangan panggil Bapak, Saya masih 20-an." Kata Iklil sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali."Panggil Saya, Kak Iklil," lanjutnya."Oke Kak, apa kita pernah bertemu sebelum nya?""Mungkin, Kamu, bukannya Kamu Anaknya Pak Amar kah
Seperti biasa, pria berpeci hitam itu menyunggingkan senyumannya. Memberikan keramahan pada setiap orang. Ucapan salam seperti biasa jika bertemu dengan orang sudah menjadi kewajibannya."Eh, ada Nak Iklil. Sudah selesai kah acaranya?" Dari awal, Pak Amar sangat senang terhadap perlakuan Iklil. Cara menyambutnya, saat mengajak ngobrol, memperkenalkan dirinya, Pak Amar sangat suka pada remaja yang seperti itu."Sudah, Pak. Tadi, baru saja ditutup sama rekan Saya."Diseberang sana, ada yang memanggil Iklil, sambil melambaikan tangannya pertanda bahwa orang tersebut memanggil Iklil."Pak, maaf sekali. Saya ada urusan lagi," kata Iklil terburu-buru."Tidak apa-apa, Nak."Iklil segera pergi, menghampiri Zainal, yang memanggilnya tadi. Pak Amar dan Bu Aidah juga pamit ke tempat penginapan sebentar. Aini, sekali lagi, Ia terluka walaupun hanya luka yang kecil. Aini mengira bahwa Iklil akan mengetahui namanya pada saat pertemuan tadi. Hasilnya nihil, s
Koridor putri lantai dua lengang. Kedua gadis ini masih diam dalam lamunannya, memikirkan laki-laki idamannya. Takut akan takdir, takut jika tidak bisa bersama. Tinggal beberapa langkah lagi, Aini dan Raisya sampai di pintu kamar. Namun, ada yang membuat langkah keduanya terhenti. Diluar kamar, Iklil tengah mengobrol dengan laki-laki yang tadi sempat bertemu di koridor. Aini dan Raisya bertanya-tanya, sedang apa mereka di kamar putri? dan siapa laki-laki itu?ekor mata Iklil menemukan keberadaan Aini,"Hai, Kamu lagi." Sapa Iklil, yang membuat Aini berdegup kencang. Namun Aini tak puas, namanya belum disebutkan, Iklil belum tahu namanya."Hai, juga Kak." Jawab Aini singkat. Aini takut jika perkataannya salah, lebih baik dipersingkat."Oh, iya. Sejak Kita bertemu tadi malam, Saya belum tahu nama Kamu." Ucap Iklil, bukan hanya Aini saja yang ingin diketahui namanya, Iklil pun sama, ingin diketahui juga oleh gadis di depannya."Namaku Aini, Aini Halwa."
Setelah mendapatkan perintah dari Kyai Kholil, Iklil mengantar Gus Rayhan ke kamarnya. Hanya ada diam saat mereka menuju kamar Gus Rayhan. Iklil masih larut dalam fikiran-fikiran negatifnya, seolah tak percaya diri karena sekarang saingan perasaannya dengan Gusnya, orang yang harus dita'ati. Dengan menenteng koper milik Gus Rayhan, Iklil mecoba memulai perbincangan,"Ini Gus, kamarnya. Setiap minggu selalu dibersihkan oleh Mbak santri, jadi Gus ndak perlu khawatir. Semuanya sudah rapi, dan siap dipakai." Ujar Iklil."Terima kasih, ya, Kamu boleh melanjutkan aktivitas Kamu. Biar Saya saja yang merapikan kembali barang-barangnya.""Sama-sama Gus, kalau begitu, Saya izin pamit. Kebetulan, urusan dengan santri baru belum selesai." Pamit Iklil. Rasanya, Iklil ingin segera pergi dari ruangan tersebut."Ouh, Aini? santri baru itu kah?" terka Gus Rayhan."Bukan Gus, bukan hanya Aini, tapi ratusan santri lainnya," timpal Iklil."Saya juga ingin ikut
"Terima kasih sudah memberi tahu Aini, Kak.""Sama-sama." Ingin sekali Iklil mengucapkan, jangan menangis Aini, aku tak suka jika kamu menangis. Serasa dunia ini hancur, bahkan lebih dari itu. Tapi nihil, Iklil malu mengatakannya."Aku duluan pergi, Kak. Ayo Raisya," ucapnya pamit. Aini menarik tangan Raisya, meninggalkan Iklil. Iklil menatapi punggung Aini yang berlalu pergi ke masjid, Iklil sadar akan lamunannya lalu pergi beranjak ke masjid, mungkin kyai Kholil sudah menunggu di sana.Pujian-pujian terdengar di halaman masjid, di kumandangkan oleh santri putra. Sudah menjadi adat bagi mereka saat menunggu kyai Kholil datang. Iklil yang tengah memasuki pintu khusus putra, mendapati Zainal yang sedang membaca ayat suci Al-Quran. Iklil ingat bahwa dirinya belum memberitahukan perihal koperasi pada Zainal. Terlalu banyak urusan sampai-sampai urusan koperasi yang lebih penting dari segalanya terlupakan. Iklil menghampiri Zainal, hendak memberitahukan."Hey,"
Telepon genggam milik Iklil lengang. Tak ada yang menyahut satu pun, hanya diam. Detak jantung Iklil berdetak dua kali lebih cepat, menunggu jawaban dari abahnya."[Abah? tolong jawab. Mengapa Abah hanya diam,]" desak Iklil."[Umi, Nak. Umi sedang sakit, kanker jantungnya kambuh lagi, tadi sore kami bergegas pergi ke rumah sakit terdekat. Umi selalu mengigau, menyebutkan namamu berulang-ulang. Jika Kamu luang, pulang lah, Nak. Temui Umi,]" pinta Abah. Bagaimana ini, besok ia harus pergi berbelanja koperasi dengan Zainal, kyai kholil juga meminta untuk ditemani ke acara haul. Ah, pulang saja, urusan umi lebih penting dari apapun, batin Iklil berucap."[Hallo, Nak. Bagaimana?]""[Iya Abah, nanti Iklil akan pulang. Diusahakan sebisa mungkin Iklil harus pulang. Nanti jam tujuh pagi, Iklil akan meminta izin pada kyai, semoga saja diberi izin.]""[Bagus kalau begitu, Abah matikan ya, assalamualaikum.]""[Waalaikumsalam.]""Huufft, rintangan
"Sekali lagi terima kasih, Ra. Karena sudah memberi tahuku,""Sama-sama, Aini." Aini melamun, kenapa Iklil tidak memberi tahunya? Ahh, dia ingat, Aini bukan siapa-siapanya Iklil. Bagaimana mungkin Iklil akan memberi tahu pada Aini, mencari kabar Aini pun tidak, apalagi harus memberi tahukan apa sebab-sebabnya Iklil pulang."Aini? Hallo? Yeh, malah melamun. Pasti karena Iklil, Aku merasa bersalah karena memberi tahumu.""A--iya? Aduh, ini kenapa ya Allah. Ngga kok, masa memikirkan kak Iklil. Bukannya kalau memikirkan orang yang bukan mahram itu dosa, ya?" Ucap Aini terang-terangan. Padahal, yang sebenarnya terjadi ialah, Aini sedang memikirkan kak Iklil--lelaki yang bukan mahramnya."Aahh, Kamu. Bisa saja mengelaknya, Aku juga tau kok, Kamu sendiri yang dosa tau. Memikirkan kak Iklil kan? mana mungkin sekarang Kamu melamunkan tukang rujak, pastinya melamunkan kak Iklil-mu itu kan?" beberapa pertanyaan Raisya membuat Aini kesal."Astagfirullah
Iklil menghampiri perempuan itu, memastikan. Saat didekati, perempuan itu persis sekali seperti Aini. Iklil menyapanya,"Permisi," kata Iklil. Perempuan itu menoleh, ternyata bukan. Mustahil juga jika Aini sekarang berada di rumah sakit. Bukankah Aini sekarang sedang di pesantren?"Iya, Mas?" Tanya perempuan itu, Iklil menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali itu."Hm, maaf Mbak, Saya salah orang.""Ouh tidak apa-apa, Mas. Mas pasti sedang mencari istri Mas, ya?""A--apa? Istri? Saya masih kuliah, Mbak. Belum punya Istri,""Atau, Mas lagi memikirkan pacar, Mas, ya?""Huuss, Mbak ini. Kan di dalam Islam tidak boleh pacaran." Pipi Iklil memerah, mengapa ia malah memikirkan Aini, yang jelas-jelas bukan mahramnya."Aah, si Mas ini, pipi Mas tuh kemerahan. Saya tinggalkan dulu, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," Iklil langsung memegangi pipi-nya. Apakah merah? Aahh lupakan saja, batin Iklil. Iklil terus menyusuri ko
Raisya mematung, mengamati tiap kata yang dilontarkan gus Rayhan. Sangat aneh, mengapa banyak sekali pertanyaan yang tertuju pada Aini. Aini juga sama seperti Raisya, merasakan hal yang sama."Kenapa Ustadz? ada yang salah?" Ungkap Raisya dengan beraninya ia mengucapkan itu."Tidak, tidak ada yang salah," sergah gus Rayhan. Sekali lagi, Raisya membatu. Dingin sekali perlakuan lelaki itu pada Raisya, berbanding terbalik dengan perlakuan lelaki itu pada Aini.Aini berbisik pada Raisya, memberikan peringatan, "Sudah, Ra. Dia itu ustadz, Kamu nggak boleh seperti itu, itu namanya tidak ta'dzim. Kamu sendiri kan yang ngajarin Aku harus ta'dzim. Segera Kamu meminta maaf," ucap Aini."Maaf kan Saya, Ustad, karena sudah ceroboh," kata Raisya."Aah, sudahlah lupakan. Maaf semuanya, Saya agak melenceng. Baik, kita lanjutkan kembali materi kita hari ini, materi Bahasa. Karena Iklil akan mengajarkan kalian semua tentang kitab kuning, Saya hanya mengisi kekosongan sa
Suara mesin rumah sakit berbunyi. Menandakan kondisi pasien tengah koma. Umi Hana terdiam, tidak bergerak sama sekali. Iklil panik, begitu juga abahnya. Iklil bergegas keluar, memanggil salah satu suster, memberi tahukan kondisi uminya."Siapa saja, tolong umi ...." teriak Iklil. Satu, dua suster lainnya berlarian, memberikan pertolongan. Wanita berpakaian suster itu sangat sigap, mengecek setiap data yang dikeluarkan oleh mesin itu. Tak henti-henti Iklil merapalkan doa terbaik bagi sang umi."Ya Allah ... bantu kami, berikanlah umi kesembuhan total. Aku tidak mau jika harus terus seperti ini, umi tersiksa, begitupun abah." Iklil begitu memohon pada Sang Pencipta, Sang pemberi keselamatan. Abah Ahmad terkulai, tak sanggup melihat istri tercintanya kesakitan.Suara mesin itu berhenti sejenak, memberikan pertanyaan bagi Iklil. Semua suster berdegup kencang, menentukan hasil kerja mereka, apakah akan selamat? atau berujung pada kematian. Tiba-tiba, gambar pada monitor
Iklil menghampiri perempuan itu, memastikan. Saat didekati, perempuan itu persis sekali seperti Aini. Iklil menyapanya,"Permisi," kata Iklil. Perempuan itu menoleh, ternyata bukan. Mustahil juga jika Aini sekarang berada di rumah sakit. Bukankah Aini sekarang sedang di pesantren?"Iya, Mas?" Tanya perempuan itu, Iklil menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali itu."Hm, maaf Mbak, Saya salah orang.""Ouh tidak apa-apa, Mas. Mas pasti sedang mencari istri Mas, ya?""A--apa? Istri? Saya masih kuliah, Mbak. Belum punya Istri,""Atau, Mas lagi memikirkan pacar, Mas, ya?""Huuss, Mbak ini. Kan di dalam Islam tidak boleh pacaran." Pipi Iklil memerah, mengapa ia malah memikirkan Aini, yang jelas-jelas bukan mahramnya."Aah, si Mas ini, pipi Mas tuh kemerahan. Saya tinggalkan dulu, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," Iklil langsung memegangi pipi-nya. Apakah merah? Aahh lupakan saja, batin Iklil. Iklil terus menyusuri ko
"Sekali lagi terima kasih, Ra. Karena sudah memberi tahuku,""Sama-sama, Aini." Aini melamun, kenapa Iklil tidak memberi tahunya? Ahh, dia ingat, Aini bukan siapa-siapanya Iklil. Bagaimana mungkin Iklil akan memberi tahu pada Aini, mencari kabar Aini pun tidak, apalagi harus memberi tahukan apa sebab-sebabnya Iklil pulang."Aini? Hallo? Yeh, malah melamun. Pasti karena Iklil, Aku merasa bersalah karena memberi tahumu.""A--iya? Aduh, ini kenapa ya Allah. Ngga kok, masa memikirkan kak Iklil. Bukannya kalau memikirkan orang yang bukan mahram itu dosa, ya?" Ucap Aini terang-terangan. Padahal, yang sebenarnya terjadi ialah, Aini sedang memikirkan kak Iklil--lelaki yang bukan mahramnya."Aahh, Kamu. Bisa saja mengelaknya, Aku juga tau kok, Kamu sendiri yang dosa tau. Memikirkan kak Iklil kan? mana mungkin sekarang Kamu melamunkan tukang rujak, pastinya melamunkan kak Iklil-mu itu kan?" beberapa pertanyaan Raisya membuat Aini kesal."Astagfirullah
Telepon genggam milik Iklil lengang. Tak ada yang menyahut satu pun, hanya diam. Detak jantung Iklil berdetak dua kali lebih cepat, menunggu jawaban dari abahnya."[Abah? tolong jawab. Mengapa Abah hanya diam,]" desak Iklil."[Umi, Nak. Umi sedang sakit, kanker jantungnya kambuh lagi, tadi sore kami bergegas pergi ke rumah sakit terdekat. Umi selalu mengigau, menyebutkan namamu berulang-ulang. Jika Kamu luang, pulang lah, Nak. Temui Umi,]" pinta Abah. Bagaimana ini, besok ia harus pergi berbelanja koperasi dengan Zainal, kyai kholil juga meminta untuk ditemani ke acara haul. Ah, pulang saja, urusan umi lebih penting dari apapun, batin Iklil berucap."[Hallo, Nak. Bagaimana?]""[Iya Abah, nanti Iklil akan pulang. Diusahakan sebisa mungkin Iklil harus pulang. Nanti jam tujuh pagi, Iklil akan meminta izin pada kyai, semoga saja diberi izin.]""[Bagus kalau begitu, Abah matikan ya, assalamualaikum.]""[Waalaikumsalam.]""Huufft, rintangan
"Terima kasih sudah memberi tahu Aini, Kak.""Sama-sama." Ingin sekali Iklil mengucapkan, jangan menangis Aini, aku tak suka jika kamu menangis. Serasa dunia ini hancur, bahkan lebih dari itu. Tapi nihil, Iklil malu mengatakannya."Aku duluan pergi, Kak. Ayo Raisya," ucapnya pamit. Aini menarik tangan Raisya, meninggalkan Iklil. Iklil menatapi punggung Aini yang berlalu pergi ke masjid, Iklil sadar akan lamunannya lalu pergi beranjak ke masjid, mungkin kyai Kholil sudah menunggu di sana.Pujian-pujian terdengar di halaman masjid, di kumandangkan oleh santri putra. Sudah menjadi adat bagi mereka saat menunggu kyai Kholil datang. Iklil yang tengah memasuki pintu khusus putra, mendapati Zainal yang sedang membaca ayat suci Al-Quran. Iklil ingat bahwa dirinya belum memberitahukan perihal koperasi pada Zainal. Terlalu banyak urusan sampai-sampai urusan koperasi yang lebih penting dari segalanya terlupakan. Iklil menghampiri Zainal, hendak memberitahukan."Hey,"
Setelah mendapatkan perintah dari Kyai Kholil, Iklil mengantar Gus Rayhan ke kamarnya. Hanya ada diam saat mereka menuju kamar Gus Rayhan. Iklil masih larut dalam fikiran-fikiran negatifnya, seolah tak percaya diri karena sekarang saingan perasaannya dengan Gusnya, orang yang harus dita'ati. Dengan menenteng koper milik Gus Rayhan, Iklil mecoba memulai perbincangan,"Ini Gus, kamarnya. Setiap minggu selalu dibersihkan oleh Mbak santri, jadi Gus ndak perlu khawatir. Semuanya sudah rapi, dan siap dipakai." Ujar Iklil."Terima kasih, ya, Kamu boleh melanjutkan aktivitas Kamu. Biar Saya saja yang merapikan kembali barang-barangnya.""Sama-sama Gus, kalau begitu, Saya izin pamit. Kebetulan, urusan dengan santri baru belum selesai." Pamit Iklil. Rasanya, Iklil ingin segera pergi dari ruangan tersebut."Ouh, Aini? santri baru itu kah?" terka Gus Rayhan."Bukan Gus, bukan hanya Aini, tapi ratusan santri lainnya," timpal Iklil."Saya juga ingin ikut
Koridor putri lantai dua lengang. Kedua gadis ini masih diam dalam lamunannya, memikirkan laki-laki idamannya. Takut akan takdir, takut jika tidak bisa bersama. Tinggal beberapa langkah lagi, Aini dan Raisya sampai di pintu kamar. Namun, ada yang membuat langkah keduanya terhenti. Diluar kamar, Iklil tengah mengobrol dengan laki-laki yang tadi sempat bertemu di koridor. Aini dan Raisya bertanya-tanya, sedang apa mereka di kamar putri? dan siapa laki-laki itu?ekor mata Iklil menemukan keberadaan Aini,"Hai, Kamu lagi." Sapa Iklil, yang membuat Aini berdegup kencang. Namun Aini tak puas, namanya belum disebutkan, Iklil belum tahu namanya."Hai, juga Kak." Jawab Aini singkat. Aini takut jika perkataannya salah, lebih baik dipersingkat."Oh, iya. Sejak Kita bertemu tadi malam, Saya belum tahu nama Kamu." Ucap Iklil, bukan hanya Aini saja yang ingin diketahui namanya, Iklil pun sama, ingin diketahui juga oleh gadis di depannya."Namaku Aini, Aini Halwa."
Seperti biasa, pria berpeci hitam itu menyunggingkan senyumannya. Memberikan keramahan pada setiap orang. Ucapan salam seperti biasa jika bertemu dengan orang sudah menjadi kewajibannya."Eh, ada Nak Iklil. Sudah selesai kah acaranya?" Dari awal, Pak Amar sangat senang terhadap perlakuan Iklil. Cara menyambutnya, saat mengajak ngobrol, memperkenalkan dirinya, Pak Amar sangat suka pada remaja yang seperti itu."Sudah, Pak. Tadi, baru saja ditutup sama rekan Saya."Diseberang sana, ada yang memanggil Iklil, sambil melambaikan tangannya pertanda bahwa orang tersebut memanggil Iklil."Pak, maaf sekali. Saya ada urusan lagi," kata Iklil terburu-buru."Tidak apa-apa, Nak."Iklil segera pergi, menghampiri Zainal, yang memanggilnya tadi. Pak Amar dan Bu Aidah juga pamit ke tempat penginapan sebentar. Aini, sekali lagi, Ia terluka walaupun hanya luka yang kecil. Aini mengira bahwa Iklil akan mengetahui namanya pada saat pertemuan tadi. Hasilnya nihil, s