Beranda / Romansa / Pria Alfiyah / Siapa Pria Itu?

Share

Siapa Pria Itu?

Penulis: Syska Nabila
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Sudah selesai Pak, apa ada yang bisa Saya bantu lagi?" tutur Pria itu.

"Selesai, Nak? terima kasih banyak, ya, telah membantu Kami."

"Sama-sama Pak. Oh iya, jika ada perlu apa-apa bisa tanya langsung saja sama Saya. Jika Bapak berkehendak, boleh tidak kita saling menyimpan nomor telepon?"

"Boleh sekali itu," Sambil merogoh benda tipis berukuran segi empat yang disimpan disaku celananya--telephone genggam milik pak Amar. Pria itu menyebutkan angka-angka telephonenya.

"Nak, nama Kamu siapa? biar nanti Bapak masukan namanya, ternyata dari tadi Kita bertemu belum kenalan toh,"

"Nama Saya Iklil, Pak." Jawab Pria itu.

"Saya masukan namanya, ya." 

Setelah sebelumnya saling menyimpan nomor kontak, Iklil berpamitan untuk ke kantor pesantren karena ada urusan mendadak, Iklil adalah santri yang terbilang sangat sibuk karena Ia sendiri menjabat sebagai Rois 'am atau ketua dari seluruh santri.

                      ***

"Ada apa lagi Zainal? Kamu memberitahu Saya selalu dalam keadan mendesak, tapi nyatanya hanya masalah sepele. Sekiranya jika masalah itu kecil, urus saja sama Kamu." Zainal adalah pengurus pesantren bagian keuangan, kecerdasan dan keterampilannya membuat Ia di rekrut langsung oleh pak Kyai saat pemilihan Pengurus.

"Anu, itu loh masalah keuangan," kata Zainal sambil menggigit bibirnya, Zainal takut jika nantinya Iklil marah besar, satu jam sebelum Iklil pergi ke tempat parkiran ada orang yang tidak bertanggung jawab yang mengambil sebagian aset pesantren.

"Kenapa dengan uang? ada pemasukan lagi?" jawab Iklil dengan tenang.

"Bukan, bahkan bukan pengeluaran."

"Terus apa masalahnya?"

"Satu jam sebelum Kamu ke tempat parkiran, ada yang mencuri sebagian uang pesantren. Maaf kan Saya Iklil, Saya ceroboh." jawab Zainal dengan tubuh yang sedikit gemeteran karena takut.

"Haaaah??? dicuri? kenapa bisa begitu. Apakah sistem keamanan di pesantren kurang banyak? kenapa kalian tidak memperhatikan sekitar, Ya Allah... cobaan apalagi ini, berapa besar dana yang di curi?"

"Setelah Saya menghitung, dana yang tercuri sekitar lima juta,"

"Banyak sekali! bagaiamana jika Kyai Kholil mengetahuinya? masya Allah, bagaimana ini. Saya sangat memohon  ke Kamu Zainal, Kamu jangan memberi tahukan kepada siapa pun, kecuali pada pengurus inti pesantren. Mungkin mereka akan membantu Kita." Ucap Iklil dengan penuh amarah, baru kali ini Zainal, partner sekaligus sahabat Iklil melihat amarah Iklil yang begitu meluap tak bisa ditahan. 

"Siap Iklil, Saya akan coba kasih tau pengurus inti yang lainnya. Langkah selanjutnya, apa yang akan Kamu perbuat?" tanya Zainal hati - hati, takut emosi Iklil muncul kembali.

"Kita akan berbisnis, kita akan membuat koperasi kecil-kecilan," Iklil adalah santri yang cerdas, bisa menyelesaikan masalah. Di pesantren itu, sudah tak ada lagi koperasi yang berjalan karena tidak ada yang mengurusnya, jika ada santri yang ingin membeli keperluan juga harus menitip kepada pengurus bidang humas, hal ini bisa menjadi kesempatan bagi Iklil.

"Itu ide yang bagus Iklil, Saya sangat setuju. Kapan koperasi itu akan dimulai?"

"Secepatnya, dan masalah perizinan tentang dibukanya kembali koperasi kepada Kyai Kholil akan di ijinkan oleh Saya." Jawab Iklil dengan nada semangat, amarahnya sudah reda saat Ia memikirkan tentang koperasi yang akan menghasilkan uang dengan cepat.

"Mungkin, Saya akan meminta izin kepada Kyai Kholil besok pagi, pagi - pagi sekali. Dan jika Kyai sudah memberikan izin, Saya akan segera menghubungi Kamu dan staff pengurus inti lainnya untuk berbelanja kebutuhan yang akan ada di koperasi nanti, Kamu faham Zainal?"

"Saya lebih dari faham, Iklil." Jawab Zainal mantap.

"Segera Kamu memberitahukan kasus pencurian dua jam yang lalu pada pengurus inti lainnya, malam ini juga." perintah Iklil pada Zainal.

"Siap laksanakan, semoga rencana kita berjalan dengan baik, dan bisa menggantikan seluruh uang yang telah dicuri,"

"Aamiin." 

"Ya, sudah, Saya pamit Zainal. Saya akan mengurus santri baru yang tadi tak sengaja bertemu di parkiran," 

"Santri baru? laki-laki?" tanya Zainal penasaran.

"Santri putri, soalnya tadi Saya hanya bertemu dengan anak perempuan saja, tidak ada laki-laki. Masih muda, kisaran 15 tahun," jawab Iklil.

"Ouh, segera Kamu temui walinya. Takut nanti mereka tak tahu harus kemana arah kamar santri, takut nantinya malah masuk ke asrama putra, hahaha..." gurau Zainal yang dibalas oleh gelak tawa Iklil.

"Huus, jangan begitu. Saya jadi teringat santri putra yang tahun kemaren. Santri baru, malah masuk ke asrama putri. Kamu tahu kan santri putri itu gimana kalo rempong, Kyai Kholil sama Nyai Fatimah juga ikut keluar gara-gara penasaran.  Haduh, ada-ada saja nih, dari tadi Aku pamit tapi ndak pergi-pergi. Saya tinggalkan dulu, Assalamualaikum."

"Dasar Iklil, ketularan perempuan nih. Ngobrolnya sambil gosip, ya, sudah sana. Waalaikumsalam."

Iklil pun meninggalkan kantor pesantren segera, Ia melirik benda yang melingkar di pergelangan tangannya, pukul 22.00 WIB, sudah malam. Ya Allah, Ia malah meninggalkan santri baru tadi. Pasti sekarang mereka masih diparkiran, tak tahu harus kemana. Ponsel cerdas milik Iklil berdering, telefon dari Pak Amar. Wali santri yang tadi sempat berbincang-bincang di tempat parkir.

"[Assalamualaikum, Nak.]" Sapaan pertama yang didengar lewat telephone genggam milik Iklil.

"[Waalaikumsalam, ada yang bisa Saya bantu Pak Amar? mohon maaf tadi Saya tinggalkan sebentar karena ada urusan mendesak,]" jawab Iklil dengan rasa bersalah.

"[Tidak apa-apa, Nak, Bapak hanya ingin menanyakan pendaftaran ulang dan mungkin di sini ada penginapan khusus Wali Santri tidak? jika ada, Bapak ingin segera kesana. Maklum, perjalanan dari rumah kesini membutuhkan waktu seharian, jadi, Kami sangat lelah, butuh tempat untuk beristirahat.]" tutur pak Amar.

"[Ouh boleh, Pak, apakah Bapak masih di area parkir? kalau iya, Saya akan segera kesana.]"

"[Bukan, Nak, sekarang Bapak ada di depan Ruang besuk santri, tadi sekalian lihat-lihat koridor juga. Sekarang Bapak dan keluarga nggak tau harus kemana lagi, pesantrennya terlalu luas,]" gurau pak Amar.

"[Memang luas Pak, namun jika sudah terbiasa jarak dari ruangan ke ruangan lainnya hanya berasa satu meter,]" Iklil menjawab gurauan pak Amar, mereka berdua tertawa bersama lewat telephone genggam. Baru dua jam yang lalu mereka bertemu, namun seperti sudah kenal lama, Iklil adalah tipe orang yang cepat mengenal seseorang dan bisa membuat lawan bicara nyaman bila diajak mengobrol dengannya.

"[Saya akan segera kesana, Pak, 10 menit lagi Saya sampai.]" Ucap Iklil.

"[Ok, Nak Iklil, Bapak tunggu.]"

                     ***

Setelah waktu berlalu 10 menit, Iklil datang dan menghampiri Keluarga Pak Amar tepat waktu.

Iklil juga termasuk orang yang selalu ontime, jika ada rekan kepengurusan yang telat sepersekian detik saja, maka Iklil tidak segan-segan untuk tidak memberikan izin masuk rapat pada pengurus itu sampai rapat selesai.

"Selamat malam, Pak, maaf nunggu lama." sapa Iklil.

"Selamat malam juga, Nak, tidak kok. Malahan Kamu tepat waktu sekali, Bapak paling suka pada orang yang selalu tepat waktu." Pak Amar juga adalah salah satu pekerja yang jenius dan selalu ontime tentunya.

"Oh iya, Pak, masalah penginapan Wali Santri sudah Saya siapkan. Bapak dan keluarga bisa langsung beristirahat, biar kami para santri yang membereskan semua barang-barangnya," ujar Iklil.

"Waah, terima kasih banyak, Nak Iklil, baik sekali."

"Sama-sama, Pak, mari Saya antar."

Sejak tadi, Aini menguping pembicaraan antara Ayahnya dan Pria itu. Iklil, ya, nama Pria itu adalah Iklil, sekarang Aini sudah tahu namanya. Aini senang jika Ia sudah mengenal nama Pria itu, namun Ia tak suka dengan caranya. Terlalu singkat, tapi tak apalah. Setidaknya, malam ini Aini jadi salah satu perempuan yang beruntung karena telah bertemu dengan Iklil.

Beberapa menit kemudian, Keluarga pak Amar dan Iklil sudah sampai pada ruangan penginapan khusus Wali Santri, cukup sepi. Karena jika hari-hari biasa jarang ada Wali Santri, paling ramai kalau ada acara semisal Imtihan, Muludan, atau acara lain yang di selenggarakan oleh pihak pesantren maupun alumnus.

"Nah, kamar Bapak dan keluarga disini. Semoga nyaman dengan fasilitas Kami, Pak." Seperti biasa, Iklil selalu ramah, dan menyunggingkan senyumannya kembali.

"Sangat nyaman, Nak, terima kasih banyak. Nak Iklil sudah membantu Kami dari pertama Kami datang," ucap pak Amar sangat senang.

"Sama-sama Pak, sudah menjadi kewajiban Kami untuk membantu para tamu dan wali santri untuk memberikan kenyamanan saat sudah memasuki area pesantren sampai keluar pesantren," tutur Iklil.

Kelopak mata Iklil sudah tak bisa di ajak kompromi lagi, Iklil pun menyegerakan pamit pada keluarga Pak Amar.

"Kalau begitu, Saya pamit pergi, Pak. Ada urusan lagi," Iklil berbohong, sebenarnya tidak ada urusan atau masalah mendesak, hanya saja Ia mengantuk. Tapi Ia malu jika mengatakan yang sebenarnya.

"Silakan, Nak, sepertinya Kamu itu orang penting dan super sibuk, ya. Setiap jamnya pasti saja, urusan, urusan, dan selalu saja ada urusan," gurau pak Amar.

                       ***

Iklil meninggalkan Pak Amar dan keluarganya. Dan segera ke kamar putra khusus pengurus inti untuk segera memejamkan kelopak matanya. Pukul 00.00 WIB, batin Iklil. Ia kesal, setiap harinya tak pernah mendapatkan istirahat yang cukup, pupil matanya yang memerah dan kantung mata yang menghitam seperti mata panda, menyiratkan pertanda bahwa Pria itu tak pernah istirahat yang cukup. Tapi alhamdulillah, Iklil sangat bersyukur karena Ia tak pernah sakit atau kelelahan saat menjalaninya, biar lah waktu berlalu dan mengalir dengan apa adanya, itulah yang selalu ia ucapkan dalam hati saat Ia menjalaninya.

Mengambil air wudlu saat sebelum tidur adalah menjadi kewajiban bagi Iklil. Baginya jika tidak berwudlu saat sebelum tidur itu kurang afdhol, dan Iklil juga sudah terbiasa sejak kecil diajarkan oleh orang tuanya untuk selalu berwudlu saat batal. 

Perlahan, Iklil terlelap. Setelah sebelumnya membacakan doa pengantar tidur dan wiridan khusus Iklil. Saatnya si orang sibuk itu beristirahat sejenak walaupun hanya beberapa jam, karena Iklil harus bangun lagi pada jam 02.30 dini hari untuk rutinitas tahajud seluruh santri.

                                    ***

"Ayah?" Aini memastikan Ayahnya belum hendak tidur.

"Iya Sayang? Kamu kenapa belum tidur, sudah malam loh. Pukul 00.00 WIB, nanti kan harus bangun untuk tahajud," perintah Ayahnya, pak Amar juga sudah mengantuk. Namun saat Anaknya menghampiri, pak Amar tak jadi untuk memejamkan matanya. Ibunya--bu Aidah sudah sejak saat Iklil mengantar ke ruangan penginapan langsung beristirahat.

"Aini sedang bahagia, Ayah," sambil memberikan senyum simpul. Aini tak pernah jika Ia tak menceritakan hal-hal apa saja pada Ayahnya, mengenai hal percintaan juga Aini ceritakan. 

"Anak Ayah, kenapa malam-malam gini sangat bahagia?" 

"Aini menyukai senyuman sekaligus  orangnya juga Ayah," Kata Aini penuh dengan intonasi bahagia.

"Boleh kah Aini memilikinya Ayah? apakah Aini tidak terlalu egois pada diri Aini?" Lanjut Aini.

"Siapa yang Kamu maksud senyuman dan orang? siapa orangnya?" tanya Pak Amar penasaran.

Bukannya menjawab pertanyaan Ayahnya, Aini tak sedikit pun menggubris pertanyaan yang diberikan Ayahnya. Aini hanya tersenyum dan kembali ke tempat tidurnya dan menyisakan rasa penasaran bagi Ayahnya.​

Bab terkait

  • Pria Alfiyah    Harapan Aini

    Pukul 02.30 WIB, Alarm otomatis yang selalu dipasang Iklil berbunyi, pertanda untuk solat tahajud. Iklil terpaksa membukakan matanya dengan malas. Iklil merasa bahwa dirinya tadi hanyalah sedang berbaring, tidak tidur. Segera Ia bangkit dari posisi telentang ke posisi duduk, lalu membenarkan kopiah yang sedikit miring karena tadi Ia tertidur. Dengan langkah gontai, Iklil berjalan menuju tiang yang disitu terdapat stop kontak untuk menyalakan bel seluruh pesantren, teeeeenggg ... bunyi itu selalu memekakan telinga siapa saja yang mendengarnya. Tapi bagi santri yang sudah kebal, suara bom seperti bom hiroshima nagasaki pun tak akan membangunkannya. Terkecuali jika para santri disiram masal oleh setiap pengurus kamar. Alhasil, setiap santri yang akan melaksanakan solat tahajud tak usah mandi. Karena setiap hari akan dimandikan oleh setiap pengurus kamarnya masing-masing. &n

  • Pria Alfiyah    Resmi menjadi Santri

    Saat tatapan Iklil dan Aini bersitubruk, cepat, Iklil memalingkan wajahnya karena Ia tahu bahwa saling memandang itu perbuatan zina mata. Kalimat istighfar lah yang sekarang Ia rapalkan dalam hati."Kenapa Pak?" tanya Aini yang mana Ia juga memalingkan wajah karena malu. Baru kali ini, Aini menatap mata seorang Pria begitu lama sekali. Entah mengapa, ada percikan-percikan rasa yang membara saat melihat Pria itu, yang tak lain ialah Iklil."Hm... itu... tidak kok, tidak apa-apa." Kata Iklil terbata-bata, menunjukan bahwa Iklil sedang gugup."Kalau sudah, Saya mau ambil kertas kamu," lanjut Iklil."Sudah, Pak," sambil memberikan kertas selembar yang berisikan ujian seleksi CSB."Jangan panggil Bapak, Saya masih 20-an." Kata Iklil sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali."Panggil Saya, Kak Iklil," lanjutnya."Oke Kak, apa kita pernah bertemu sebelum nya?""Mungkin, Kamu, bukannya Kamu Anaknya Pak Amar kah

  • Pria Alfiyah    Hari Pertama

    Seperti biasa, pria berpeci hitam itu menyunggingkan senyumannya. Memberikan keramahan pada setiap orang. Ucapan salam seperti biasa jika bertemu dengan orang sudah menjadi kewajibannya."Eh, ada Nak Iklil. Sudah selesai kah acaranya?" Dari awal, Pak Amar sangat senang terhadap perlakuan Iklil. Cara menyambutnya, saat mengajak ngobrol, memperkenalkan dirinya, Pak Amar sangat suka pada remaja yang seperti itu."Sudah, Pak. Tadi, baru saja ditutup sama rekan Saya."Diseberang sana, ada yang memanggil Iklil, sambil melambaikan tangannya pertanda bahwa orang tersebut memanggil Iklil."Pak, maaf sekali. Saya ada urusan lagi," kata Iklil terburu-buru."Tidak apa-apa, Nak."Iklil segera pergi, menghampiri Zainal, yang memanggilnya tadi. Pak Amar dan Bu Aidah juga pamit ke tempat penginapan sebentar. Aini, sekali lagi, Ia terluka walaupun hanya luka yang kecil. Aini mengira bahwa Iklil akan mengetahui namanya pada saat pertemuan tadi. Hasilnya nihil, s

  • Pria Alfiyah    Gus Rayhan

    Koridor putri lantai dua lengang. Kedua gadis ini masih diam dalam lamunannya, memikirkan laki-laki idamannya. Takut akan takdir, takut jika tidak bisa bersama. Tinggal beberapa langkah lagi, Aini dan Raisya sampai di pintu kamar. Namun, ada yang membuat langkah keduanya terhenti. Diluar kamar, Iklil tengah mengobrol dengan laki-laki yang tadi sempat bertemu di koridor. Aini dan Raisya bertanya-tanya, sedang apa mereka di kamar putri? dan siapa laki-laki itu?ekor mata Iklil menemukan keberadaan Aini,"Hai, Kamu lagi." Sapa Iklil, yang membuat Aini berdegup kencang. Namun Aini tak puas, namanya belum disebutkan, Iklil belum tahu namanya."Hai, juga Kak." Jawab Aini singkat. Aini takut jika perkataannya salah, lebih baik dipersingkat."Oh, iya. Sejak Kita bertemu tadi malam, Saya belum tahu nama Kamu." Ucap Iklil, bukan hanya Aini saja yang ingin diketahui namanya, Iklil pun sama, ingin diketahui juga oleh gadis di depannya."Namaku Aini, Aini Halwa."

  • Pria Alfiyah    Kamar Sibyan

    Setelah mendapatkan perintah dari Kyai Kholil, Iklil mengantar Gus Rayhan ke kamarnya. Hanya ada diam saat mereka menuju kamar Gus Rayhan. Iklil masih larut dalam fikiran-fikiran negatifnya, seolah tak percaya diri karena sekarang saingan perasaannya dengan Gusnya, orang yang harus dita'ati. Dengan menenteng koper milik Gus Rayhan, Iklil mecoba memulai perbincangan,"Ini Gus, kamarnya. Setiap minggu selalu dibersihkan oleh Mbak santri, jadi Gus ndak perlu khawatir. Semuanya sudah rapi, dan siap dipakai." Ujar Iklil."Terima kasih, ya, Kamu boleh melanjutkan aktivitas Kamu. Biar Saya saja yang merapikan kembali barang-barangnya.""Sama-sama Gus, kalau begitu, Saya izin pamit. Kebetulan, urusan dengan santri baru belum selesai." Pamit Iklil. Rasanya, Iklil ingin segera pergi dari ruangan tersebut."Ouh, Aini? santri baru itu kah?" terka Gus Rayhan."Bukan Gus, bukan hanya Aini, tapi ratusan santri lainnya," timpal Iklil."Saya juga ingin ikut

  • Pria Alfiyah    Dear Diary

    "Terima kasih sudah memberi tahu Aini, Kak.""Sama-sama." Ingin sekali Iklil mengucapkan, jangan menangis Aini, aku tak suka jika kamu menangis. Serasa dunia ini hancur, bahkan lebih dari itu. Tapi nihil, Iklil malu mengatakannya."Aku duluan pergi, Kak. Ayo Raisya," ucapnya pamit. Aini menarik tangan Raisya, meninggalkan Iklil. Iklil menatapi punggung Aini yang berlalu pergi ke masjid, Iklil sadar akan lamunannya lalu pergi beranjak ke masjid, mungkin kyai Kholil sudah menunggu di sana.Pujian-pujian terdengar di halaman masjid, di kumandangkan oleh santri putra. Sudah menjadi adat bagi mereka saat menunggu kyai Kholil datang. Iklil yang tengah memasuki pintu khusus putra, mendapati Zainal yang sedang membaca ayat suci Al-Quran. Iklil ingat bahwa dirinya belum memberitahukan perihal koperasi pada Zainal. Terlalu banyak urusan sampai-sampai urusan koperasi yang lebih penting dari segalanya terlupakan. Iklil menghampiri Zainal, hendak memberitahukan."Hey,"

  • Pria Alfiyah    Pulangnya Iklil

    Telepon genggam milik Iklil lengang. Tak ada yang menyahut satu pun, hanya diam. Detak jantung Iklil berdetak dua kali lebih cepat, menunggu jawaban dari abahnya."[Abah? tolong jawab. Mengapa Abah hanya diam,]" desak Iklil."[Umi, Nak. Umi sedang sakit, kanker jantungnya kambuh lagi, tadi sore kami bergegas pergi ke rumah sakit terdekat. Umi selalu mengigau, menyebutkan namamu berulang-ulang. Jika Kamu luang, pulang lah, Nak. Temui Umi,]" pinta Abah. Bagaimana ini, besok ia harus pergi berbelanja koperasi dengan Zainal, kyai kholil juga meminta untuk ditemani ke acara haul. Ah, pulang saja, urusan umi lebih penting dari apapun, batin Iklil berucap."[Hallo, Nak. Bagaimana?]""[Iya Abah, nanti Iklil akan pulang. Diusahakan sebisa mungkin Iklil harus pulang. Nanti jam tujuh pagi, Iklil akan meminta izin pada kyai, semoga saja diberi izin.]""[Bagus kalau begitu, Abah matikan ya, assalamualaikum.]""[Waalaikumsalam.]""Huufft, rintangan

  • Pria Alfiyah    Pulangnya Iklil 2

    "Sekali lagi terima kasih, Ra. Karena sudah memberi tahuku,""Sama-sama, Aini." Aini melamun, kenapa Iklil tidak memberi tahunya? Ahh, dia ingat, Aini bukan siapa-siapanya Iklil. Bagaimana mungkin Iklil akan memberi tahu pada Aini, mencari kabar Aini pun tidak, apalagi harus memberi tahukan apa sebab-sebabnya Iklil pulang."Aini? Hallo? Yeh, malah melamun. Pasti karena Iklil, Aku merasa bersalah karena memberi tahumu.""A--iya? Aduh, ini kenapa ya Allah. Ngga kok, masa memikirkan kak Iklil. Bukannya kalau memikirkan orang yang bukan mahram itu dosa, ya?" Ucap Aini terang-terangan. Padahal, yang sebenarnya terjadi ialah, Aini sedang memikirkan kak Iklil--lelaki yang bukan mahramnya."Aahh, Kamu. Bisa saja mengelaknya, Aku juga tau kok, Kamu sendiri yang dosa tau. Memikirkan kak Iklil kan? mana mungkin sekarang Kamu melamunkan tukang rujak, pastinya melamunkan kak Iklil-mu itu kan?" beberapa pertanyaan Raisya membuat Aini kesal."Astagfirullah

Bab terbaru

  • Pria Alfiyah    Perasaan

    Raisya mematung, mengamati tiap kata yang dilontarkan gus Rayhan. Sangat aneh, mengapa banyak sekali pertanyaan yang tertuju pada Aini. Aini juga sama seperti Raisya, merasakan hal yang sama."Kenapa Ustadz? ada yang salah?" Ungkap Raisya dengan beraninya ia mengucapkan itu."Tidak, tidak ada yang salah," sergah gus Rayhan. Sekali lagi, Raisya membatu. Dingin sekali perlakuan lelaki itu pada Raisya, berbanding terbalik dengan perlakuan lelaki itu pada Aini.Aini berbisik pada Raisya, memberikan peringatan, "Sudah, Ra. Dia itu ustadz, Kamu nggak boleh seperti itu, itu namanya tidak ta'dzim. Kamu sendiri kan yang ngajarin Aku harus ta'dzim. Segera Kamu meminta maaf," ucap Aini."Maaf kan Saya, Ustad, karena sudah ceroboh," kata Raisya."Aah, sudahlah lupakan. Maaf semuanya, Saya agak melenceng. Baik, kita lanjutkan kembali materi kita hari ini, materi Bahasa. Karena Iklil akan mengajarkan kalian semua tentang kitab kuning, Saya hanya mengisi kekosongan sa

  • Pria Alfiyah    Kelas Awal

    Suara mesin rumah sakit berbunyi. Menandakan kondisi pasien tengah koma. Umi Hana terdiam, tidak bergerak sama sekali. Iklil panik, begitu juga abahnya. Iklil bergegas keluar, memanggil salah satu suster, memberi tahukan kondisi uminya."Siapa saja, tolong umi ...." teriak Iklil. Satu, dua suster lainnya berlarian, memberikan pertolongan. Wanita berpakaian suster itu sangat sigap, mengecek setiap data yang dikeluarkan oleh mesin itu. Tak henti-henti Iklil merapalkan doa terbaik bagi sang umi."Ya Allah ... bantu kami, berikanlah umi kesembuhan total. Aku tidak mau jika harus terus seperti ini, umi tersiksa, begitupun abah." Iklil begitu memohon pada Sang Pencipta, Sang pemberi keselamatan. Abah Ahmad terkulai, tak sanggup melihat istri tercintanya kesakitan.Suara mesin itu berhenti sejenak, memberikan pertanyaan bagi Iklil. Semua suster berdegup kencang, menentukan hasil kerja mereka, apakah akan selamat? atau berujung pada kematian. Tiba-tiba, gambar pada monitor

  • Pria Alfiyah    Aini menjadi ketua

    Iklil menghampiri perempuan itu, memastikan. Saat didekati, perempuan itu persis sekali seperti Aini. Iklil menyapanya,"Permisi," kata Iklil. Perempuan itu menoleh, ternyata bukan. Mustahil juga jika Aini sekarang berada di rumah sakit. Bukankah Aini sekarang sedang di pesantren?"Iya, Mas?" Tanya perempuan itu, Iklil menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali itu."Hm, maaf Mbak, Saya salah orang.""Ouh tidak apa-apa, Mas. Mas pasti sedang mencari istri Mas, ya?""A--apa? Istri? Saya masih kuliah, Mbak. Belum punya Istri,""Atau, Mas lagi memikirkan pacar, Mas, ya?""Huuss, Mbak ini. Kan di dalam Islam tidak boleh pacaran." Pipi Iklil memerah, mengapa ia malah memikirkan Aini, yang jelas-jelas bukan mahramnya."Aah, si Mas ini, pipi Mas tuh kemerahan. Saya tinggalkan dulu, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," Iklil langsung memegangi pipi-nya. Apakah merah? Aahh lupakan saja, batin Iklil. Iklil terus menyusuri ko

  • Pria Alfiyah    Pulangnya Iklil 2

    "Sekali lagi terima kasih, Ra. Karena sudah memberi tahuku,""Sama-sama, Aini." Aini melamun, kenapa Iklil tidak memberi tahunya? Ahh, dia ingat, Aini bukan siapa-siapanya Iklil. Bagaimana mungkin Iklil akan memberi tahu pada Aini, mencari kabar Aini pun tidak, apalagi harus memberi tahukan apa sebab-sebabnya Iklil pulang."Aini? Hallo? Yeh, malah melamun. Pasti karena Iklil, Aku merasa bersalah karena memberi tahumu.""A--iya? Aduh, ini kenapa ya Allah. Ngga kok, masa memikirkan kak Iklil. Bukannya kalau memikirkan orang yang bukan mahram itu dosa, ya?" Ucap Aini terang-terangan. Padahal, yang sebenarnya terjadi ialah, Aini sedang memikirkan kak Iklil--lelaki yang bukan mahramnya."Aahh, Kamu. Bisa saja mengelaknya, Aku juga tau kok, Kamu sendiri yang dosa tau. Memikirkan kak Iklil kan? mana mungkin sekarang Kamu melamunkan tukang rujak, pastinya melamunkan kak Iklil-mu itu kan?" beberapa pertanyaan Raisya membuat Aini kesal."Astagfirullah

  • Pria Alfiyah    Pulangnya Iklil

    Telepon genggam milik Iklil lengang. Tak ada yang menyahut satu pun, hanya diam. Detak jantung Iklil berdetak dua kali lebih cepat, menunggu jawaban dari abahnya."[Abah? tolong jawab. Mengapa Abah hanya diam,]" desak Iklil."[Umi, Nak. Umi sedang sakit, kanker jantungnya kambuh lagi, tadi sore kami bergegas pergi ke rumah sakit terdekat. Umi selalu mengigau, menyebutkan namamu berulang-ulang. Jika Kamu luang, pulang lah, Nak. Temui Umi,]" pinta Abah. Bagaimana ini, besok ia harus pergi berbelanja koperasi dengan Zainal, kyai kholil juga meminta untuk ditemani ke acara haul. Ah, pulang saja, urusan umi lebih penting dari apapun, batin Iklil berucap."[Hallo, Nak. Bagaimana?]""[Iya Abah, nanti Iklil akan pulang. Diusahakan sebisa mungkin Iklil harus pulang. Nanti jam tujuh pagi, Iklil akan meminta izin pada kyai, semoga saja diberi izin.]""[Bagus kalau begitu, Abah matikan ya, assalamualaikum.]""[Waalaikumsalam.]""Huufft, rintangan

  • Pria Alfiyah    Dear Diary

    "Terima kasih sudah memberi tahu Aini, Kak.""Sama-sama." Ingin sekali Iklil mengucapkan, jangan menangis Aini, aku tak suka jika kamu menangis. Serasa dunia ini hancur, bahkan lebih dari itu. Tapi nihil, Iklil malu mengatakannya."Aku duluan pergi, Kak. Ayo Raisya," ucapnya pamit. Aini menarik tangan Raisya, meninggalkan Iklil. Iklil menatapi punggung Aini yang berlalu pergi ke masjid, Iklil sadar akan lamunannya lalu pergi beranjak ke masjid, mungkin kyai Kholil sudah menunggu di sana.Pujian-pujian terdengar di halaman masjid, di kumandangkan oleh santri putra. Sudah menjadi adat bagi mereka saat menunggu kyai Kholil datang. Iklil yang tengah memasuki pintu khusus putra, mendapati Zainal yang sedang membaca ayat suci Al-Quran. Iklil ingat bahwa dirinya belum memberitahukan perihal koperasi pada Zainal. Terlalu banyak urusan sampai-sampai urusan koperasi yang lebih penting dari segalanya terlupakan. Iklil menghampiri Zainal, hendak memberitahukan."Hey,"

  • Pria Alfiyah    Kamar Sibyan

    Setelah mendapatkan perintah dari Kyai Kholil, Iklil mengantar Gus Rayhan ke kamarnya. Hanya ada diam saat mereka menuju kamar Gus Rayhan. Iklil masih larut dalam fikiran-fikiran negatifnya, seolah tak percaya diri karena sekarang saingan perasaannya dengan Gusnya, orang yang harus dita'ati. Dengan menenteng koper milik Gus Rayhan, Iklil mecoba memulai perbincangan,"Ini Gus, kamarnya. Setiap minggu selalu dibersihkan oleh Mbak santri, jadi Gus ndak perlu khawatir. Semuanya sudah rapi, dan siap dipakai." Ujar Iklil."Terima kasih, ya, Kamu boleh melanjutkan aktivitas Kamu. Biar Saya saja yang merapikan kembali barang-barangnya.""Sama-sama Gus, kalau begitu, Saya izin pamit. Kebetulan, urusan dengan santri baru belum selesai." Pamit Iklil. Rasanya, Iklil ingin segera pergi dari ruangan tersebut."Ouh, Aini? santri baru itu kah?" terka Gus Rayhan."Bukan Gus, bukan hanya Aini, tapi ratusan santri lainnya," timpal Iklil."Saya juga ingin ikut

  • Pria Alfiyah    Gus Rayhan

    Koridor putri lantai dua lengang. Kedua gadis ini masih diam dalam lamunannya, memikirkan laki-laki idamannya. Takut akan takdir, takut jika tidak bisa bersama. Tinggal beberapa langkah lagi, Aini dan Raisya sampai di pintu kamar. Namun, ada yang membuat langkah keduanya terhenti. Diluar kamar, Iklil tengah mengobrol dengan laki-laki yang tadi sempat bertemu di koridor. Aini dan Raisya bertanya-tanya, sedang apa mereka di kamar putri? dan siapa laki-laki itu?ekor mata Iklil menemukan keberadaan Aini,"Hai, Kamu lagi." Sapa Iklil, yang membuat Aini berdegup kencang. Namun Aini tak puas, namanya belum disebutkan, Iklil belum tahu namanya."Hai, juga Kak." Jawab Aini singkat. Aini takut jika perkataannya salah, lebih baik dipersingkat."Oh, iya. Sejak Kita bertemu tadi malam, Saya belum tahu nama Kamu." Ucap Iklil, bukan hanya Aini saja yang ingin diketahui namanya, Iklil pun sama, ingin diketahui juga oleh gadis di depannya."Namaku Aini, Aini Halwa."

  • Pria Alfiyah    Hari Pertama

    Seperti biasa, pria berpeci hitam itu menyunggingkan senyumannya. Memberikan keramahan pada setiap orang. Ucapan salam seperti biasa jika bertemu dengan orang sudah menjadi kewajibannya."Eh, ada Nak Iklil. Sudah selesai kah acaranya?" Dari awal, Pak Amar sangat senang terhadap perlakuan Iklil. Cara menyambutnya, saat mengajak ngobrol, memperkenalkan dirinya, Pak Amar sangat suka pada remaja yang seperti itu."Sudah, Pak. Tadi, baru saja ditutup sama rekan Saya."Diseberang sana, ada yang memanggil Iklil, sambil melambaikan tangannya pertanda bahwa orang tersebut memanggil Iklil."Pak, maaf sekali. Saya ada urusan lagi," kata Iklil terburu-buru."Tidak apa-apa, Nak."Iklil segera pergi, menghampiri Zainal, yang memanggilnya tadi. Pak Amar dan Bu Aidah juga pamit ke tempat penginapan sebentar. Aini, sekali lagi, Ia terluka walaupun hanya luka yang kecil. Aini mengira bahwa Iklil akan mengetahui namanya pada saat pertemuan tadi. Hasilnya nihil, s

DMCA.com Protection Status