"Terima kasih sudah memberi tahu Aini, Kak."
"Sama-sama." Ingin sekali Iklil mengucapkan, jangan menangis Aini, aku tak suka jika kamu menangis. Serasa dunia ini hancur, bahkan lebih dari itu. Tapi nihil, Iklil malu mengatakannya.
"Aku duluan pergi, Kak. Ayo Raisya," ucapnya pamit. Aini menarik tangan Raisya, meninggalkan Iklil. Iklil menatapi punggung Aini yang berlalu pergi ke masjid, Iklil sadar akan lamunannya lalu pergi beranjak ke masjid, mungkin kyai Kholil sudah menunggu di sana.
Pujian-pujian terdengar di halaman masjid, di kumandangkan oleh santri putra. Sudah menjadi adat bagi mereka saat menunggu kyai Kholil datang. Iklil yang tengah memasuki pintu khusus putra, mendapati Zainal yang sedang membaca ayat suci Al-Quran. Iklil ingat bahwa dirinya belum memberitahukan perihal koperasi pada Zainal. Terlalu banyak urusan sampai-sampai urusan koperasi yang lebih penting dari segalanya terlupakan. Iklil menghampiri Zainal, hendak memberitahukan."Hey," ucap Iklil membuat Zainal terlonjak.
"Astagfirullah, Kamu ini bukannya salam toh, malah mengagetkan. Ada apa?"
"Saya belum kasih tau perihal koperasi, ya?"
"Iya, Kamu belum ngasih tau Saya. Eh, gimana, diizinkan tidak? sudah bicara belum? Terus kata kyai bagaimana?" tanya Zainal yang membuat Iklil pusing,
"Lah, satu-satu kalau ngasih pertanyaan, pusing Saya. Jadi gini, kata kyai, kita di ijinkan. Asalkan--kita bisa tanggung jawab."
"Alhamdulillah ... kalau begitu, kapan belanjanya? biar Saya jadwalkan," Ucapan syukur tak henti-henti di ucapkan oleh Zainal. Ini kabar gembira, otomatis mereka bisa menggantikan uang yang di rampok dua hari yang lalu.
"Insya allah besok. Eh, kyai sudah datang tuh. Saya tinggalkan dulu," buru-buru Iklil menjemput kyai Kholil, harusnya dia menemani dari rumah kyai sampai ke masjid. Tapi, karena sudah ada Gus Rayhan, Iklil tak usah repot-repot untuk menjemput kyai dari rumah. Kyai Kholil didampingi oleh Gus Rayhan sore ini, seluruh santri yang belum mengenal Gus pasti sedang bertanya-tanya, siapa laki-laki tampan yang sekarang berada di belakang kyai Kholil. Semua tatapan tertuju pada Gus Rayhan, Iklil menghampiri kyai-nya dan mencium punggung tangan kyai beserta Gus-nya.
"Kamu kemana saja, Iklil." Tanya kyai Kholil
"Anu, Kyai. Tadi, Saya mengurusi koperasi. Jadi ndak sempat menjemput." Kata Iklil.
"Ouh, ya sudah, ndak apa-apa. Masalah koperasi, Kamu ajak Rayhan, ya. Kenalkan dia tentang pesantren ini."
"Enggeh, Kyai."
Kyai Kholil, gus Rayhan, dan Iklil, ketiganya memasuki masjid dengan disambut santri putra yang berebut mencium punggung tangan kyai-nya. Kyai Kholil memerintahkan Iklil untuk iqomah."Allahu akbar, allahu akbar, asyhadu anlaa ilaaha illallah ...,"
Kedua kalinya, Aini tersenyum oleh suara yang dihasilkan Iklil. Begitu merdu."Ra, Aku suka sekali saat mendengar suaranya," ucap Aini.
"Suara siapa? kak Iklil? udah lah jangan melamun terus, cepat pakai mukena, sudah qomat."
"Ish, gitu amat si jadi temen. Iya-iya Aku pakai," imbuh Aini. Aini masih tersenyum, membayangkan wajah Iklil.
***Malam hari saat semua santri baru berbincang-bincang, merapikan pakaian ke loker, tiduran dan lain sebagainya. Aini, Ia sendiri sibuk dengan buku diary-nya yang bersampulkan animasi unicorn. Menuliskan kejadian-kejadian indah yang dialaminya sejak masuk pesantren.Dear Diary
Jumat, 15 Juli 2016 hari dimana aku memasuki dunia pesantren. Sedikit aneh menurutku saat mengamati sekitaran pesantren, karena aku baru pertama kali datang ke tempat ini. Ouh iya, untuk kakak-ku, aku sangat bahagia saat aku bisa menjadi peserta terbaik di angkatan tahun ini. Jika saja kakak ada di sini, melihatku, aku sangat bahagia sekali. Satu lagi kak, aku sedang dilanda asmara loh. Kalau kakak tahu, pasti sekarang kakak akan mengejekku. Nama pria yang sedang aku cintai yaitu Iklil. Sangat bagus bukan? Hm, andai kakak di sini, aku akan memelukmu, menceritakan semua kejadian yang aku alami.
Satu tetes air mata keluar tanpa di perintah Aini. Ia menutup buku diary-nya dan mendekap dalam-dalam. Begitu rindunya Ia kepada kakak tercinta. Aini tengah menangis, menangis dalam kesunyian, menandakan betapa pedihnya Ia ditinggalkan sang kakak. Saat itu, Raisya datang dengan membawa dua kotak nasi dengan beberapa makanan dan minuman--waktunya makan.
"Hey, kok malah nangis. Aini? ini makan dulu, sengaja Aku ngga ngajak Kamu tadi, biar Kamu cepat merapikan lemarinya." Raisya menyodorkan satu kotak nasi--Aini menerimanya.
"Terima kasih, Ra. Kamu memang sahabat terbaik Aku." Kata Aini sambil menahan isak tangisnya.
"Dimakan dulu nasinya, jangan nangis. Sudah besar kok nangis,"
"Aku ingin pulang, Ra. Rindu sapaan ibu, dongeng dari ayah. Aku rindu semuanya," Aini melanjutkan tangisannya, kali ini Ia berbohong, sebab Aini menangis karena kakaknya. Raisya tak tega jika harus melihat sahabatnya itu menangis. Raisya mendekap Aini, meredakan tangisnya.
"Kalau Kamu punya masalah, jangan sungkan-sungkan buat cerita ke Aku, ya, kan Aku sahabatmu. Jangan ada yang saling dipendam, Kamu harus ingat itu Aini." Ucap Raisya, karena ia tahu kebohongan Aini sekarang. Mana mungkin Aini menangis karena ayah atau ibunya saja, pasti ada masalah lain.
"Ada masalah lagi kan? Jangan bohong padaku, Aini." Imbuh Raisya. Raisya melepaskan dekapannya, memberi ruang untuk Aini berbicara.
"Aku sedang menangisi kakakku." Isak Aini.
"Lanjutkan,"
"Hari itu, hari dimana kakakku pergi ke pesantren. Harusnya tiga hari kemudian, karena ada urusan pengurus ... jadi dia berangkat hari itu juga, ngga bisa diundur. Saat kakakku diperjalanan, ada orang yang tidak bertanggung jawab menabraknya hingga tewas ...." Aini tak kuat jika harus melanjutkan ceritanya, Raisya hanya menyimak, karena sekarang Raisya juga ikut bersedih.
"Kamu kenapa ikut menangis, Ra. Cerita hidup Aku menyedihkan, ya? maaf," ungkap Aini.
"Tidak, kok. Cerita hidup Aku lebih menyakitkan Aini, Kamu harus bersyukur masih punya orang tua ...." Kalimat Raisya terpotong.
"Lalu kenapa? orang tuamu?"
"Orang tuaku meninggal saat usiaku delapan tahun. Sekarang Aku tinggal bersama pamanku, pamanku juga sendirian. Istri dan anaknya tewas bersama orang tuaku saat menaiki pesawat. Huft ... itu adalah peristiwa yang sangat mengenaskan, kabarnya tersebar diberbagai media sosial. Sudahlah, lupakan. Ayo Aini, kita harus bangkit, jangan terlena oleh masa lalu. Masa depan sudah menanti kita sukses." Raisya menyunggingkan senyumannya, menghapus sungai kecil yang mengalir dipipinya.
"Iya, Ra. Kamu benar, seharusnya Aku jangan menangis. Aku harus terlihat bahagia oleh semua orang, Kamu yang sabar ya, Ra. Ouh iya, ini nasi kotak punya kita belum dimakan, keburu dingin."
***Malam yang sama dengan Aini, Iklil--dia juga pandai membuat puisi, membuat cerita pendek ataupun kata-kata bijak. Malam ini, Iklil enggan memejamkan matanya walaupun sebenarnya ia mengantuk. Kelopak matanya juga sudah menghitam, menandakan orang pekerja keras. Iklil lebih memilih duduk di teras depan kamar, melamun, merangkai kata, dibandingkan merebahkan badannya."Hai, bidadari kecilku. Apakah kamu tau jika aku jatuh hati padamu saat pertama kita bertemu? apakah kamu tau, aku terpanah oleh tingkahmu yang menggemaskan itu. Mungkin jika aku berhak memilikimu, sekarang juga aku ingin mencubit pipimu yang tembam itu. Sangat lucu. Ah, astagfirullah, membayangkan orang yang bukan mahram itu dosa, ya allah maafkan hambamu yang selalu khilaf." Iklil bangkit dari duduknya, mencari buku diary. Setiap kejadian yang Iklil alami pasti akan ditulis, cerita se-pendek apapun ia tulis. Buku diary bernuansa biru itu dibuka, Iklil mengambil bolpoin hendak menggoreskan tintanya pada lembaran-lembaran buku.
Tebu Ireng, 15 Juli 2016
Saat aku mendapati kamu sedang mengerjakan soal-soal ujian itu, aku terpancing untuk mendekatimu dan bertanya. Aku tidak tahu mengapa bisa begitu, seharusnya aku tidak boleh menyapa atau yang lebih parahnya, kita mengobrol. Menanyakan nama kita masing-masing. Kita itu santri, terikat peraturan. Apalagi aku? sekarang aku rois di pesantren ini. Mana mungkin aku melanggar, itu sangat lucu. Tapi kenapa, sejak aku bertemu denganmu, pagi itu, aku tidak takut hukuman. Biarkan orang berkata apa, tapi yang aku inginkan adalah bersamamu, berbincang-bincang singkat, menyapamu, aahh entahlah. Aini Halwa. Namamu sangat bagus, yap, sekarang kamu jadi peran dalam cerita singkatku kali ini, Aini."Mas Iklil belum tidur? kenapa mesem-mesem gitu, aneh ih malam-malam loh, mas." ucap Zainal datang tiba-tiba.
"Ish Kamu itu Zainal, mengagetkan saja. Ini biasa, bikin cerita. Udahlah, sana tidur, ganggu Saya saja."
"Kamu yang harus tidur cepat, besok kan kita belanja keperluan koperasi." Kata Zainal mengingatkan
"Astagfirullah, iya betul." Iklil mengecek jam yang terpasang dipergelangan tangannya. Jam 12 malam.
"Sudah jam 12 loh, aahh, jika tidur juga percuma. Kan, nanti jam dua bangun, kalau begitu Saya ngga akan tidur. Lebih baik membuat cerita, atau baca-baca kitab."
"Bener nih ngga akan tidur? yasudah, Saya duluan mas." Zainal berpamitan, karena dia sudah merasakan kantuk. Iklil merogoh benda tipis berukuran segi empat itu dari saku celananya, mengecek pesan masuk dan panggilan tak terjawab. Disaat itu, mendadak, ada panggilan dari kampung halamannya. Tertera nama Abah di sana.
[Hallo, assalamualaikum, Nak.]"
"[Waalaikumsalam, Abah? kenapa malam-malam gini telepon Iklil? emang Abah ngga tidur? uminya mana Abah, Iklil ingin bicara, Abah ... Abah?]" Iklil cemas, mengapa abahnya tidak menjawab pertanyaannya. Hanya diam dan ada isakan samar diseberang telepon.
Telepon genggam milik Iklil lengang. Tak ada yang menyahut satu pun, hanya diam. Detak jantung Iklil berdetak dua kali lebih cepat, menunggu jawaban dari abahnya."[Abah? tolong jawab. Mengapa Abah hanya diam,]" desak Iklil."[Umi, Nak. Umi sedang sakit, kanker jantungnya kambuh lagi, tadi sore kami bergegas pergi ke rumah sakit terdekat. Umi selalu mengigau, menyebutkan namamu berulang-ulang. Jika Kamu luang, pulang lah, Nak. Temui Umi,]" pinta Abah. Bagaimana ini, besok ia harus pergi berbelanja koperasi dengan Zainal, kyai kholil juga meminta untuk ditemani ke acara haul. Ah, pulang saja, urusan umi lebih penting dari apapun, batin Iklil berucap."[Hallo, Nak. Bagaimana?]""[Iya Abah, nanti Iklil akan pulang. Diusahakan sebisa mungkin Iklil harus pulang. Nanti jam tujuh pagi, Iklil akan meminta izin pada kyai, semoga saja diberi izin.]""[Bagus kalau begitu, Abah matikan ya, assalamualaikum.]""[Waalaikumsalam.]""Huufft, rintangan
"Sekali lagi terima kasih, Ra. Karena sudah memberi tahuku,""Sama-sama, Aini." Aini melamun, kenapa Iklil tidak memberi tahunya? Ahh, dia ingat, Aini bukan siapa-siapanya Iklil. Bagaimana mungkin Iklil akan memberi tahu pada Aini, mencari kabar Aini pun tidak, apalagi harus memberi tahukan apa sebab-sebabnya Iklil pulang."Aini? Hallo? Yeh, malah melamun. Pasti karena Iklil, Aku merasa bersalah karena memberi tahumu.""A--iya? Aduh, ini kenapa ya Allah. Ngga kok, masa memikirkan kak Iklil. Bukannya kalau memikirkan orang yang bukan mahram itu dosa, ya?" Ucap Aini terang-terangan. Padahal, yang sebenarnya terjadi ialah, Aini sedang memikirkan kak Iklil--lelaki yang bukan mahramnya."Aahh, Kamu. Bisa saja mengelaknya, Aku juga tau kok, Kamu sendiri yang dosa tau. Memikirkan kak Iklil kan? mana mungkin sekarang Kamu melamunkan tukang rujak, pastinya melamunkan kak Iklil-mu itu kan?" beberapa pertanyaan Raisya membuat Aini kesal."Astagfirullah
Iklil menghampiri perempuan itu, memastikan. Saat didekati, perempuan itu persis sekali seperti Aini. Iklil menyapanya,"Permisi," kata Iklil. Perempuan itu menoleh, ternyata bukan. Mustahil juga jika Aini sekarang berada di rumah sakit. Bukankah Aini sekarang sedang di pesantren?"Iya, Mas?" Tanya perempuan itu, Iklil menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali itu."Hm, maaf Mbak, Saya salah orang.""Ouh tidak apa-apa, Mas. Mas pasti sedang mencari istri Mas, ya?""A--apa? Istri? Saya masih kuliah, Mbak. Belum punya Istri,""Atau, Mas lagi memikirkan pacar, Mas, ya?""Huuss, Mbak ini. Kan di dalam Islam tidak boleh pacaran." Pipi Iklil memerah, mengapa ia malah memikirkan Aini, yang jelas-jelas bukan mahramnya."Aah, si Mas ini, pipi Mas tuh kemerahan. Saya tinggalkan dulu, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," Iklil langsung memegangi pipi-nya. Apakah merah? Aahh lupakan saja, batin Iklil. Iklil terus menyusuri ko
Suara mesin rumah sakit berbunyi. Menandakan kondisi pasien tengah koma. Umi Hana terdiam, tidak bergerak sama sekali. Iklil panik, begitu juga abahnya. Iklil bergegas keluar, memanggil salah satu suster, memberi tahukan kondisi uminya."Siapa saja, tolong umi ...." teriak Iklil. Satu, dua suster lainnya berlarian, memberikan pertolongan. Wanita berpakaian suster itu sangat sigap, mengecek setiap data yang dikeluarkan oleh mesin itu. Tak henti-henti Iklil merapalkan doa terbaik bagi sang umi."Ya Allah ... bantu kami, berikanlah umi kesembuhan total. Aku tidak mau jika harus terus seperti ini, umi tersiksa, begitupun abah." Iklil begitu memohon pada Sang Pencipta, Sang pemberi keselamatan. Abah Ahmad terkulai, tak sanggup melihat istri tercintanya kesakitan.Suara mesin itu berhenti sejenak, memberikan pertanyaan bagi Iklil. Semua suster berdegup kencang, menentukan hasil kerja mereka, apakah akan selamat? atau berujung pada kematian. Tiba-tiba, gambar pada monitor
Raisya mematung, mengamati tiap kata yang dilontarkan gus Rayhan. Sangat aneh, mengapa banyak sekali pertanyaan yang tertuju pada Aini. Aini juga sama seperti Raisya, merasakan hal yang sama."Kenapa Ustadz? ada yang salah?" Ungkap Raisya dengan beraninya ia mengucapkan itu."Tidak, tidak ada yang salah," sergah gus Rayhan. Sekali lagi, Raisya membatu. Dingin sekali perlakuan lelaki itu pada Raisya, berbanding terbalik dengan perlakuan lelaki itu pada Aini.Aini berbisik pada Raisya, memberikan peringatan, "Sudah, Ra. Dia itu ustadz, Kamu nggak boleh seperti itu, itu namanya tidak ta'dzim. Kamu sendiri kan yang ngajarin Aku harus ta'dzim. Segera Kamu meminta maaf," ucap Aini."Maaf kan Saya, Ustad, karena sudah ceroboh," kata Raisya."Aah, sudahlah lupakan. Maaf semuanya, Saya agak melenceng. Baik, kita lanjutkan kembali materi kita hari ini, materi Bahasa. Karena Iklil akan mengajarkan kalian semua tentang kitab kuning, Saya hanya mengisi kekosongan sa
Aini menyusuri satu persatu lukisan kakaknya. Lukisan yang selalu mengingatkan pada kematian kakaknya yang begitu tragis. Kakaknya tewas saat ia hendak pergi ke pesantren. Mobil bak tanpa aling-aling yang menabrak kakak Aini hingga tewas. Dari kejadian itu, Aini berfikir bahwa kematian kakaknya disebabkan oleh pesantren. Peraturan pesantren yang membuat kakaknya harus pergi--hingga akhirnya tewas. Aini sekarang sudah lulus sekolah menengah pertama, itu saatnya Aini melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Yap, sekolah menengah atas. Sudah terlalu banyak sindiran orang tuanya tentang pesantren. Kedua orang tuanya menginginkan Aini pergi ke pesantren. Tidak salah lagi, orang tua siapa yang tidak menginginkan putra-putrinya sukses? Ingin putra-putrinya terjerumus pergaulan zaman sekarang? Zaman dimana anak-anak, remaja, bahkan dewasa, melakukan perzinahan, mencopet, bahkan saling membunuh. Itu harga yang mahal sekali. Apakah negara ini berontak? Jawabannya adalah, tidak. Negara terlal
"Sudah selesai Pak, apa ada yang bisa Saya bantu lagi?" tutur Pria itu."Selesai, Nak? terima kasih banyak, ya, telah membantu Kami.""Sama-sama Pak. Oh iya, jika ada perlu apa-apa bisa tanya langsung saja sama Saya. Jika Bapak berkehendak, boleh tidak kita saling menyimpan nomor telepon?""Boleh sekali itu," Sambil merogoh benda tipis berukuran segi empat yang disimpan disaku celananya--telephone genggam milik pak Amar. Pria itu menyebutkan angka-angka telephonenya."Nak, nama Kamu siapa? biar nanti Bapak masukan namanya, ternyata dari tadi Kita bertemu belum kenalan toh,""Nama Saya Iklil, Pak." Jawab Pria itu."Saya masukan namanya, ya."Setelah sebelumnya saling menyimpan nomor kontak, Iklil berpamitan untuk ke kantor pesantren karena ada urusan mendadak, Iklil adalah santri yang terbilang sangat sibuk karena Ia sendiri menjabat sebagai Rois 'am atau ketua dari seluruh santri. &nb
Pukul 02.30 WIB, Alarm otomatis yang selalu dipasang Iklil berbunyi, pertanda untuk solat tahajud. Iklil terpaksa membukakan matanya dengan malas. Iklil merasa bahwa dirinya tadi hanyalah sedang berbaring, tidak tidur. Segera Ia bangkit dari posisi telentang ke posisi duduk, lalu membenarkan kopiah yang sedikit miring karena tadi Ia tertidur. Dengan langkah gontai, Iklil berjalan menuju tiang yang disitu terdapat stop kontak untuk menyalakan bel seluruh pesantren, teeeeenggg ... bunyi itu selalu memekakan telinga siapa saja yang mendengarnya. Tapi bagi santri yang sudah kebal, suara bom seperti bom hiroshima nagasaki pun tak akan membangunkannya. Terkecuali jika para santri disiram masal oleh setiap pengurus kamar. Alhasil, setiap santri yang akan melaksanakan solat tahajud tak usah mandi. Karena setiap hari akan dimandikan oleh setiap pengurus kamarnya masing-masing. &n
Raisya mematung, mengamati tiap kata yang dilontarkan gus Rayhan. Sangat aneh, mengapa banyak sekali pertanyaan yang tertuju pada Aini. Aini juga sama seperti Raisya, merasakan hal yang sama."Kenapa Ustadz? ada yang salah?" Ungkap Raisya dengan beraninya ia mengucapkan itu."Tidak, tidak ada yang salah," sergah gus Rayhan. Sekali lagi, Raisya membatu. Dingin sekali perlakuan lelaki itu pada Raisya, berbanding terbalik dengan perlakuan lelaki itu pada Aini.Aini berbisik pada Raisya, memberikan peringatan, "Sudah, Ra. Dia itu ustadz, Kamu nggak boleh seperti itu, itu namanya tidak ta'dzim. Kamu sendiri kan yang ngajarin Aku harus ta'dzim. Segera Kamu meminta maaf," ucap Aini."Maaf kan Saya, Ustad, karena sudah ceroboh," kata Raisya."Aah, sudahlah lupakan. Maaf semuanya, Saya agak melenceng. Baik, kita lanjutkan kembali materi kita hari ini, materi Bahasa. Karena Iklil akan mengajarkan kalian semua tentang kitab kuning, Saya hanya mengisi kekosongan sa
Suara mesin rumah sakit berbunyi. Menandakan kondisi pasien tengah koma. Umi Hana terdiam, tidak bergerak sama sekali. Iklil panik, begitu juga abahnya. Iklil bergegas keluar, memanggil salah satu suster, memberi tahukan kondisi uminya."Siapa saja, tolong umi ...." teriak Iklil. Satu, dua suster lainnya berlarian, memberikan pertolongan. Wanita berpakaian suster itu sangat sigap, mengecek setiap data yang dikeluarkan oleh mesin itu. Tak henti-henti Iklil merapalkan doa terbaik bagi sang umi."Ya Allah ... bantu kami, berikanlah umi kesembuhan total. Aku tidak mau jika harus terus seperti ini, umi tersiksa, begitupun abah." Iklil begitu memohon pada Sang Pencipta, Sang pemberi keselamatan. Abah Ahmad terkulai, tak sanggup melihat istri tercintanya kesakitan.Suara mesin itu berhenti sejenak, memberikan pertanyaan bagi Iklil. Semua suster berdegup kencang, menentukan hasil kerja mereka, apakah akan selamat? atau berujung pada kematian. Tiba-tiba, gambar pada monitor
Iklil menghampiri perempuan itu, memastikan. Saat didekati, perempuan itu persis sekali seperti Aini. Iklil menyapanya,"Permisi," kata Iklil. Perempuan itu menoleh, ternyata bukan. Mustahil juga jika Aini sekarang berada di rumah sakit. Bukankah Aini sekarang sedang di pesantren?"Iya, Mas?" Tanya perempuan itu, Iklil menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali itu."Hm, maaf Mbak, Saya salah orang.""Ouh tidak apa-apa, Mas. Mas pasti sedang mencari istri Mas, ya?""A--apa? Istri? Saya masih kuliah, Mbak. Belum punya Istri,""Atau, Mas lagi memikirkan pacar, Mas, ya?""Huuss, Mbak ini. Kan di dalam Islam tidak boleh pacaran." Pipi Iklil memerah, mengapa ia malah memikirkan Aini, yang jelas-jelas bukan mahramnya."Aah, si Mas ini, pipi Mas tuh kemerahan. Saya tinggalkan dulu, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," Iklil langsung memegangi pipi-nya. Apakah merah? Aahh lupakan saja, batin Iklil. Iklil terus menyusuri ko
"Sekali lagi terima kasih, Ra. Karena sudah memberi tahuku,""Sama-sama, Aini." Aini melamun, kenapa Iklil tidak memberi tahunya? Ahh, dia ingat, Aini bukan siapa-siapanya Iklil. Bagaimana mungkin Iklil akan memberi tahu pada Aini, mencari kabar Aini pun tidak, apalagi harus memberi tahukan apa sebab-sebabnya Iklil pulang."Aini? Hallo? Yeh, malah melamun. Pasti karena Iklil, Aku merasa bersalah karena memberi tahumu.""A--iya? Aduh, ini kenapa ya Allah. Ngga kok, masa memikirkan kak Iklil. Bukannya kalau memikirkan orang yang bukan mahram itu dosa, ya?" Ucap Aini terang-terangan. Padahal, yang sebenarnya terjadi ialah, Aini sedang memikirkan kak Iklil--lelaki yang bukan mahramnya."Aahh, Kamu. Bisa saja mengelaknya, Aku juga tau kok, Kamu sendiri yang dosa tau. Memikirkan kak Iklil kan? mana mungkin sekarang Kamu melamunkan tukang rujak, pastinya melamunkan kak Iklil-mu itu kan?" beberapa pertanyaan Raisya membuat Aini kesal."Astagfirullah
Telepon genggam milik Iklil lengang. Tak ada yang menyahut satu pun, hanya diam. Detak jantung Iklil berdetak dua kali lebih cepat, menunggu jawaban dari abahnya."[Abah? tolong jawab. Mengapa Abah hanya diam,]" desak Iklil."[Umi, Nak. Umi sedang sakit, kanker jantungnya kambuh lagi, tadi sore kami bergegas pergi ke rumah sakit terdekat. Umi selalu mengigau, menyebutkan namamu berulang-ulang. Jika Kamu luang, pulang lah, Nak. Temui Umi,]" pinta Abah. Bagaimana ini, besok ia harus pergi berbelanja koperasi dengan Zainal, kyai kholil juga meminta untuk ditemani ke acara haul. Ah, pulang saja, urusan umi lebih penting dari apapun, batin Iklil berucap."[Hallo, Nak. Bagaimana?]""[Iya Abah, nanti Iklil akan pulang. Diusahakan sebisa mungkin Iklil harus pulang. Nanti jam tujuh pagi, Iklil akan meminta izin pada kyai, semoga saja diberi izin.]""[Bagus kalau begitu, Abah matikan ya, assalamualaikum.]""[Waalaikumsalam.]""Huufft, rintangan
"Terima kasih sudah memberi tahu Aini, Kak.""Sama-sama." Ingin sekali Iklil mengucapkan, jangan menangis Aini, aku tak suka jika kamu menangis. Serasa dunia ini hancur, bahkan lebih dari itu. Tapi nihil, Iklil malu mengatakannya."Aku duluan pergi, Kak. Ayo Raisya," ucapnya pamit. Aini menarik tangan Raisya, meninggalkan Iklil. Iklil menatapi punggung Aini yang berlalu pergi ke masjid, Iklil sadar akan lamunannya lalu pergi beranjak ke masjid, mungkin kyai Kholil sudah menunggu di sana.Pujian-pujian terdengar di halaman masjid, di kumandangkan oleh santri putra. Sudah menjadi adat bagi mereka saat menunggu kyai Kholil datang. Iklil yang tengah memasuki pintu khusus putra, mendapati Zainal yang sedang membaca ayat suci Al-Quran. Iklil ingat bahwa dirinya belum memberitahukan perihal koperasi pada Zainal. Terlalu banyak urusan sampai-sampai urusan koperasi yang lebih penting dari segalanya terlupakan. Iklil menghampiri Zainal, hendak memberitahukan."Hey,"
Setelah mendapatkan perintah dari Kyai Kholil, Iklil mengantar Gus Rayhan ke kamarnya. Hanya ada diam saat mereka menuju kamar Gus Rayhan. Iklil masih larut dalam fikiran-fikiran negatifnya, seolah tak percaya diri karena sekarang saingan perasaannya dengan Gusnya, orang yang harus dita'ati. Dengan menenteng koper milik Gus Rayhan, Iklil mecoba memulai perbincangan,"Ini Gus, kamarnya. Setiap minggu selalu dibersihkan oleh Mbak santri, jadi Gus ndak perlu khawatir. Semuanya sudah rapi, dan siap dipakai." Ujar Iklil."Terima kasih, ya, Kamu boleh melanjutkan aktivitas Kamu. Biar Saya saja yang merapikan kembali barang-barangnya.""Sama-sama Gus, kalau begitu, Saya izin pamit. Kebetulan, urusan dengan santri baru belum selesai." Pamit Iklil. Rasanya, Iklil ingin segera pergi dari ruangan tersebut."Ouh, Aini? santri baru itu kah?" terka Gus Rayhan."Bukan Gus, bukan hanya Aini, tapi ratusan santri lainnya," timpal Iklil."Saya juga ingin ikut
Koridor putri lantai dua lengang. Kedua gadis ini masih diam dalam lamunannya, memikirkan laki-laki idamannya. Takut akan takdir, takut jika tidak bisa bersama. Tinggal beberapa langkah lagi, Aini dan Raisya sampai di pintu kamar. Namun, ada yang membuat langkah keduanya terhenti. Diluar kamar, Iklil tengah mengobrol dengan laki-laki yang tadi sempat bertemu di koridor. Aini dan Raisya bertanya-tanya, sedang apa mereka di kamar putri? dan siapa laki-laki itu?ekor mata Iklil menemukan keberadaan Aini,"Hai, Kamu lagi." Sapa Iklil, yang membuat Aini berdegup kencang. Namun Aini tak puas, namanya belum disebutkan, Iklil belum tahu namanya."Hai, juga Kak." Jawab Aini singkat. Aini takut jika perkataannya salah, lebih baik dipersingkat."Oh, iya. Sejak Kita bertemu tadi malam, Saya belum tahu nama Kamu." Ucap Iklil, bukan hanya Aini saja yang ingin diketahui namanya, Iklil pun sama, ingin diketahui juga oleh gadis di depannya."Namaku Aini, Aini Halwa."
Seperti biasa, pria berpeci hitam itu menyunggingkan senyumannya. Memberikan keramahan pada setiap orang. Ucapan salam seperti biasa jika bertemu dengan orang sudah menjadi kewajibannya."Eh, ada Nak Iklil. Sudah selesai kah acaranya?" Dari awal, Pak Amar sangat senang terhadap perlakuan Iklil. Cara menyambutnya, saat mengajak ngobrol, memperkenalkan dirinya, Pak Amar sangat suka pada remaja yang seperti itu."Sudah, Pak. Tadi, baru saja ditutup sama rekan Saya."Diseberang sana, ada yang memanggil Iklil, sambil melambaikan tangannya pertanda bahwa orang tersebut memanggil Iklil."Pak, maaf sekali. Saya ada urusan lagi," kata Iklil terburu-buru."Tidak apa-apa, Nak."Iklil segera pergi, menghampiri Zainal, yang memanggilnya tadi. Pak Amar dan Bu Aidah juga pamit ke tempat penginapan sebentar. Aini, sekali lagi, Ia terluka walaupun hanya luka yang kecil. Aini mengira bahwa Iklil akan mengetahui namanya pada saat pertemuan tadi. Hasilnya nihil, s