Setelah mendapatkan perintah dari Kyai Kholil, Iklil mengantar Gus Rayhan ke kamarnya. Hanya ada diam saat mereka menuju kamar Gus Rayhan. Iklil masih larut dalam fikiran-fikiran negatifnya, seolah tak percaya diri karena sekarang saingan perasaannya dengan Gusnya, orang yang harus dita'ati. Dengan menenteng koper milik Gus Rayhan, Iklil mecoba memulai perbincangan,
"Ini Gus, kamarnya. Setiap minggu selalu dibersihkan oleh Mbak santri, jadi Gus ndak perlu khawatir. Semuanya sudah rapi, dan siap dipakai." Ujar Iklil.
"Terima kasih, ya, Kamu boleh melanjutkan aktivitas Kamu. Biar Saya saja yang merapikan kembali barang-barangnya."
"Sama-sama Gus, kalau begitu, Saya izin pamit. Kebetulan, urusan dengan santri baru belum selesai." Pamit Iklil. Rasanya, Iklil ingin segera pergi dari ruangan tersebut.
"Ouh, Aini? santri baru itu kah?" terka Gus Rayhan.
"Bukan Gus, bukan hanya Aini, tapi ratusan santri lainnya," timpal Iklil.
"Saya juga ingin ikut serta dalam tugas-tugas pesantren, ini kan pesantren Abah. Jadi, Saya juga harus ikut andil."
"Baik Gus, nanti Saya siapkan di mana Gus bisa membantu. Tapi, Gus, sebaiknya Gus menjadi pengajar saja. Ada bagian jadwal kelas bahasa di Sekolah Menengah Atas. Nah, Gus bisa mengisi Kegiatan Belajar Mengajarnya. Gimana Gus, Saya tidak mau jika Gus harus capek-capek mengurusi kegiatan outdor, panas Gus," gurau Iklil, yang sebenarnya Dia tak mau jika harus terus berbarengan dengan Gusnya.
"Kamu ini bisa saja, ya, sudah. Saya terima," Gus Rayhan menerima tawaran Iklil, Iklil senang.
"Alhamdulillah, ya, sudah kalau begitu, Saya pamit, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
***Setelah menghabiskan beberapa cemilan, perut Aini dan Raisya sudah terisi penuh. Aini melihat benda yang melingkar di pergelangan tangannya, jam tiga lebih 15 menit, sudah sore. Harusnya sudah adzan, tapi belum ada yang mengumandangkannya. Ruangan kamar putri lengang, Aini dan Raisya tengah duduk mengamati atmosfer kamar. Tidak ada orang di situ, mungkin sudah ke masjid duluan. Tinggal tersisa Aini dan Raisya.
"Sudah jam tiga loh, Ra. Kita nunggu adzan di sini saja ya,"
"Ok, terserah Aini saja. Aku ikut," Raisya melihat-lihat atmosfer kamar sibyan tersebut. Mengamati seluruh isinya.
"Kamar ini dinamakan Sibyan, kenapa ya, Aini, Kamu tahu tidak?" imbuh Raisya
"Aku juga tidak tahu, aneh saja namanya. Kenapa sibyan, gak sekalian tuh sabyan." Seperti biasa, Mbak yang bertemu tadi siang selalu datang tiba-tiba, disela-sela obrolan Aini dan Raisya,
"Hai, kalian, cepat ambil air wudlu. Oh iya, kita belum kenalan, Nama Saya, Suci. Kalian ndak usah tahu kepanjangannya. Orang, biasanya panggil Saya Mbak Uci, kaya nama tahu aja, tapi Saya terima kok. Masalah kamar ini dinamai Sibyan, karena itu berartikan anak-anak, jadi, kamar ini khusus untuk anak-anak bandel kaya kalian. Dan di sini, Saya sendiri adalah Pengurus kamar Sibyan. Kalian harus nurut ke Saya, jika tidak, kuping kalian akan dijadikan sayur sop oleh Mbak Uci yang manis kaya permen. Hahaha," Mbak Uci tertawa dengan sarkatis.
Aini menelan salivanya, galak sekali Mbak ini, semoga saja semua fikiran negatif dari Aini hilang begitu saja. Raisya dengan santai, hanya menyimak berita panjang yang disampaikan oleh Mbak Uci. Mbak Uci menyamakan posisinya dengan Aini dan Raisya, duduk. Mungkin capek jika harus berlama-lamaan berdiri saat bicara panjangnya. Ia mengambil nafasnya, bersiap untuk memberikan pengumuman yang panjang,"Kok malah diam, tenang kok, Mbak Uci yang membahana ini baik. Tidak seperti yang kalian bayangkan, Oh iya, satu lagi, Saya sekarang sedang kuliah di bawah yayasan pesantren ini, jadi kalian bisa menerka sendiri, Saya umur berapa. Dan, Saya juga sudah tau nama kalian dari jauh-jauh hari, Kamu Aini kan? satunya Raisya?" tebakannya salah, terbalik. Dua gadis ini dibuat tertawa oleh Mbak Uci.
"Katanya sudah tau dari jauh-jauh hari, masa terbalik sih ... hahaha," Raisya selalu saja begitu, tidak pandang umur jika meladeni gurauan orang. Untungnya, Mbak Uci tidak galak lagi, sudah jinak.
"Sudah tertawanya? puas? ayo kita ambil air wudlu," Aini, Raisya, Mbak Uci, ketiganya beranjak dari posisi duduknya. Kini, mereka melangkah keluar kamar. Bunyi bel dari pengurus inti menggema, memekakan telinga siapa saja yang mendengarnya. Suara adzan yang begitu indah menghiasi sore itu.
"Allaahu akbar, allaahu akbar ..." Itu suara Iklil, semua santri yang sudah lama tinggal di pesantren, tahu akan suara indah yang dihasilkan oleh Iklil. Tapi, bagi santri baru, ini menjadi sebuah pertanyaan. Saat Aini mendengarkan adzan, hatinya bergetar tak seperti biasanya. Ada rasa yang bergejolak, siapa Pria yang tengah adzan ini? langkah Aini tertinggal jauh, melamun, bertanya-tanya, siapa pria ini.
"....Bukan begitu Aini ..., lah Aini mana?" ucap Mbak Uci, membalikkan badannya.
"Lah kok malah melamun, cepat Aini." Imbuhnya. Aini tersadar, segera menyeimbangkan langkahnya dengan Mbak Uci. Suara adzan itu, suara yang sangat familiar. Tapi siapa? Aini ingin bertanya pada Mbak Uci, tapi terhalang oleh rasa malu. Karena Aini penasaran, Dia menanyakannya pada Mbak Uci.
"Mbak, ini suara siapa, ya?"
"Yang sedang mengumandangkan adzan?"
"Iya,"
"Kenapa Aini tanya hal ini? ini suara Iklil, teman Mbak di kampus. Dia Rois di pesantren. Banyak santri putri yang suka sama Iklil, tapi Mbak biasa aja, hehe. Mbak menganggap dia sebagai adik Mbak sendiri," ujar Mbak Uci. Untung saja tidak menanyakan hal yang aneh-aneh.
"Ouh, Kak Iklil," jawab Aini enteng. Padahal, di dalam hatinya, sekarang tengah berbunga-bunga. Jadi, suara indah ini milik kak Iklil, batin Aini.
"Eh, tau nggak Mbak, Aini itu suka sama kak Iklil." Raisya dengan polosnya mengatakan hal sebenarnya bahwa Aini sedang dilanda asmara. Aini menatap tajam ke arah Raisya, memberikan isyarat kenapa memberi tahu Mbak Uci. Raisya hanya nyengir kuda tak merespon.
"Iyakah? ya sudah, jika nanti Mbak bertemu Iklil, Mbak akan kasih tau." Kata Mbak Uci. Aini tak bisa berbuat apa-apa. Pipinya merah,
"Sudah-sudah, kelihatan kok, pipi Kamu tuh merah. Mbak dukung kok ... Nah, sudah sampai, itu masjidnya. Untuk toilet putri di sebelah kanan, ya, awas jangan salah masuk looh. Mbak mau bertemu pengurus kamar lainnya. Kalian jangan nakal, ya." Ucap Mbak Uci. Tak terasa, perjalanan dari kamar sibyan ke masjid hanya beberapa menit.
"Iya, Mbak cantik. Kita kan sudah 15 tahun, masa nakal. Palingan mau buat masalah, hahaha ..." gurau Raisya.
"Dasar anak yang satu ini, ya sudah, Mbak tinggalkan dulu. Nanti kita bertemu lagi di dalam masjid, kalau ketemu itu juga." Mbak Uci meninggalkan dua gadis yang tak tahu apa-apa, tak tahu harus kemana. Aini mengajak Raisya untuk ke toilet, mengambil air wudlu. Jika mandi, percuma, Mereka tidak membawa alat-alat mandi, tertinggal di kamar sibyan. Mereka memutuskan untuk tidak membasuh seluruh badannya.
***Telephone genggam milik Iklil berdering. Tertera nama Pak Amar di layar gadgetnya. Iklil menggeserkan jari jempolnya ke arah warna hijau, mengangkat panggilan."[Assalamualaikum Nak Iklil,]"
"[Waalaikumsalam Pak, Ada apa ya?]"
"[Bapak minta tolong sama kamu, tolong sampaikan pada Aini, maaf Bapak tidak pamit dulu. Bapak dan Ibu sudah pulang ke Majalengka, ini sedang di perjalanan.]"
"[Dengan senang hati, Pak. Nanti Saya kasih tau ke Aini.]"
"[Terima kasih ya, Nak Iklil. Assalamualaikum.]" Belum sempat Iklil menjawab salam, telephone dari seberang sana dimatikan oleh Pak Amar. Tak sengaja, saat Iklil melihat ke arah tempat wudlu putri, Ada Aini bersama temannya, sedang mengantri wudlu. Iklil memerintahkan salah satu santri putri untuk memanggil Aini ke hadapannya. Santri putri itu langsung memberi tahukan kepada Aini bahwa Ia dipanggil oleh Iklil. Aini melihat keberadaan Iklil, ragu, Aini mengajak Raisya untuk menemaninya. Aini melangkah pelan, takut jika kegugupannya terlihat oleh Iklil. Sekarang, jarak mereka hanya dua meter.
"Hai, Aini," Iklil bingung, harus memulai percakapannya dari mana.
"Iya, Kak,"
"Tadi, Ayah Kamu menelpon Saya. Bilang jika mereka sudah pulang, maaf tidak berpamitan dulu," tutur Iklil. Aini mematung, matanya panas, sungai kecil dipipi Aini mengalir. Sekarang, Aini sendiri, tidak ada lagi sapaan pagi dari Ibu, tidak ada dongeng pengantar dari Ayahnya.
"Kenapa menangis?"
"Aini memang gini Kak, cengeng," ucap Raisya. Entah mengapa, saat itu juga, Iklil ingin memeluk Aini. Ingin menghapus air matanya. Hanya terhalang oleh ketidak halalan, Iklil beristigfar.
"Ya Allah, rasa apa lagi ini. Mengapa saat aku melihat dia tersenyum, aku turut bahagia. Dan sekarang, melihat dia menangis, aku juga ikut bersedih. Semoga rasa ini tidak menghapuskan rasa cintaku pada-Mu ya rabb," batin Iklil.
"Terima kasih sudah memberi tahu Aini, Kak.""Sama-sama." Ingin sekali Iklil mengucapkan, jangan menangis Aini, aku tak suka jika kamu menangis. Serasa dunia ini hancur, bahkan lebih dari itu. Tapi nihil, Iklil malu mengatakannya."Aku duluan pergi, Kak. Ayo Raisya," ucapnya pamit. Aini menarik tangan Raisya, meninggalkan Iklil. Iklil menatapi punggung Aini yang berlalu pergi ke masjid, Iklil sadar akan lamunannya lalu pergi beranjak ke masjid, mungkin kyai Kholil sudah menunggu di sana.Pujian-pujian terdengar di halaman masjid, di kumandangkan oleh santri putra. Sudah menjadi adat bagi mereka saat menunggu kyai Kholil datang. Iklil yang tengah memasuki pintu khusus putra, mendapati Zainal yang sedang membaca ayat suci Al-Quran. Iklil ingat bahwa dirinya belum memberitahukan perihal koperasi pada Zainal. Terlalu banyak urusan sampai-sampai urusan koperasi yang lebih penting dari segalanya terlupakan. Iklil menghampiri Zainal, hendak memberitahukan."Hey,"
Telepon genggam milik Iklil lengang. Tak ada yang menyahut satu pun, hanya diam. Detak jantung Iklil berdetak dua kali lebih cepat, menunggu jawaban dari abahnya."[Abah? tolong jawab. Mengapa Abah hanya diam,]" desak Iklil."[Umi, Nak. Umi sedang sakit, kanker jantungnya kambuh lagi, tadi sore kami bergegas pergi ke rumah sakit terdekat. Umi selalu mengigau, menyebutkan namamu berulang-ulang. Jika Kamu luang, pulang lah, Nak. Temui Umi,]" pinta Abah. Bagaimana ini, besok ia harus pergi berbelanja koperasi dengan Zainal, kyai kholil juga meminta untuk ditemani ke acara haul. Ah, pulang saja, urusan umi lebih penting dari apapun, batin Iklil berucap."[Hallo, Nak. Bagaimana?]""[Iya Abah, nanti Iklil akan pulang. Diusahakan sebisa mungkin Iklil harus pulang. Nanti jam tujuh pagi, Iklil akan meminta izin pada kyai, semoga saja diberi izin.]""[Bagus kalau begitu, Abah matikan ya, assalamualaikum.]""[Waalaikumsalam.]""Huufft, rintangan
"Sekali lagi terima kasih, Ra. Karena sudah memberi tahuku,""Sama-sama, Aini." Aini melamun, kenapa Iklil tidak memberi tahunya? Ahh, dia ingat, Aini bukan siapa-siapanya Iklil. Bagaimana mungkin Iklil akan memberi tahu pada Aini, mencari kabar Aini pun tidak, apalagi harus memberi tahukan apa sebab-sebabnya Iklil pulang."Aini? Hallo? Yeh, malah melamun. Pasti karena Iklil, Aku merasa bersalah karena memberi tahumu.""A--iya? Aduh, ini kenapa ya Allah. Ngga kok, masa memikirkan kak Iklil. Bukannya kalau memikirkan orang yang bukan mahram itu dosa, ya?" Ucap Aini terang-terangan. Padahal, yang sebenarnya terjadi ialah, Aini sedang memikirkan kak Iklil--lelaki yang bukan mahramnya."Aahh, Kamu. Bisa saja mengelaknya, Aku juga tau kok, Kamu sendiri yang dosa tau. Memikirkan kak Iklil kan? mana mungkin sekarang Kamu melamunkan tukang rujak, pastinya melamunkan kak Iklil-mu itu kan?" beberapa pertanyaan Raisya membuat Aini kesal."Astagfirullah
Iklil menghampiri perempuan itu, memastikan. Saat didekati, perempuan itu persis sekali seperti Aini. Iklil menyapanya,"Permisi," kata Iklil. Perempuan itu menoleh, ternyata bukan. Mustahil juga jika Aini sekarang berada di rumah sakit. Bukankah Aini sekarang sedang di pesantren?"Iya, Mas?" Tanya perempuan itu, Iklil menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali itu."Hm, maaf Mbak, Saya salah orang.""Ouh tidak apa-apa, Mas. Mas pasti sedang mencari istri Mas, ya?""A--apa? Istri? Saya masih kuliah, Mbak. Belum punya Istri,""Atau, Mas lagi memikirkan pacar, Mas, ya?""Huuss, Mbak ini. Kan di dalam Islam tidak boleh pacaran." Pipi Iklil memerah, mengapa ia malah memikirkan Aini, yang jelas-jelas bukan mahramnya."Aah, si Mas ini, pipi Mas tuh kemerahan. Saya tinggalkan dulu, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," Iklil langsung memegangi pipi-nya. Apakah merah? Aahh lupakan saja, batin Iklil. Iklil terus menyusuri ko
Suara mesin rumah sakit berbunyi. Menandakan kondisi pasien tengah koma. Umi Hana terdiam, tidak bergerak sama sekali. Iklil panik, begitu juga abahnya. Iklil bergegas keluar, memanggil salah satu suster, memberi tahukan kondisi uminya."Siapa saja, tolong umi ...." teriak Iklil. Satu, dua suster lainnya berlarian, memberikan pertolongan. Wanita berpakaian suster itu sangat sigap, mengecek setiap data yang dikeluarkan oleh mesin itu. Tak henti-henti Iklil merapalkan doa terbaik bagi sang umi."Ya Allah ... bantu kami, berikanlah umi kesembuhan total. Aku tidak mau jika harus terus seperti ini, umi tersiksa, begitupun abah." Iklil begitu memohon pada Sang Pencipta, Sang pemberi keselamatan. Abah Ahmad terkulai, tak sanggup melihat istri tercintanya kesakitan.Suara mesin itu berhenti sejenak, memberikan pertanyaan bagi Iklil. Semua suster berdegup kencang, menentukan hasil kerja mereka, apakah akan selamat? atau berujung pada kematian. Tiba-tiba, gambar pada monitor
Raisya mematung, mengamati tiap kata yang dilontarkan gus Rayhan. Sangat aneh, mengapa banyak sekali pertanyaan yang tertuju pada Aini. Aini juga sama seperti Raisya, merasakan hal yang sama."Kenapa Ustadz? ada yang salah?" Ungkap Raisya dengan beraninya ia mengucapkan itu."Tidak, tidak ada yang salah," sergah gus Rayhan. Sekali lagi, Raisya membatu. Dingin sekali perlakuan lelaki itu pada Raisya, berbanding terbalik dengan perlakuan lelaki itu pada Aini.Aini berbisik pada Raisya, memberikan peringatan, "Sudah, Ra. Dia itu ustadz, Kamu nggak boleh seperti itu, itu namanya tidak ta'dzim. Kamu sendiri kan yang ngajarin Aku harus ta'dzim. Segera Kamu meminta maaf," ucap Aini."Maaf kan Saya, Ustad, karena sudah ceroboh," kata Raisya."Aah, sudahlah lupakan. Maaf semuanya, Saya agak melenceng. Baik, kita lanjutkan kembali materi kita hari ini, materi Bahasa. Karena Iklil akan mengajarkan kalian semua tentang kitab kuning, Saya hanya mengisi kekosongan sa
Aini menyusuri satu persatu lukisan kakaknya. Lukisan yang selalu mengingatkan pada kematian kakaknya yang begitu tragis. Kakaknya tewas saat ia hendak pergi ke pesantren. Mobil bak tanpa aling-aling yang menabrak kakak Aini hingga tewas. Dari kejadian itu, Aini berfikir bahwa kematian kakaknya disebabkan oleh pesantren. Peraturan pesantren yang membuat kakaknya harus pergi--hingga akhirnya tewas. Aini sekarang sudah lulus sekolah menengah pertama, itu saatnya Aini melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Yap, sekolah menengah atas. Sudah terlalu banyak sindiran orang tuanya tentang pesantren. Kedua orang tuanya menginginkan Aini pergi ke pesantren. Tidak salah lagi, orang tua siapa yang tidak menginginkan putra-putrinya sukses? Ingin putra-putrinya terjerumus pergaulan zaman sekarang? Zaman dimana anak-anak, remaja, bahkan dewasa, melakukan perzinahan, mencopet, bahkan saling membunuh. Itu harga yang mahal sekali. Apakah negara ini berontak? Jawabannya adalah, tidak. Negara terlal
"Sudah selesai Pak, apa ada yang bisa Saya bantu lagi?" tutur Pria itu."Selesai, Nak? terima kasih banyak, ya, telah membantu Kami.""Sama-sama Pak. Oh iya, jika ada perlu apa-apa bisa tanya langsung saja sama Saya. Jika Bapak berkehendak, boleh tidak kita saling menyimpan nomor telepon?""Boleh sekali itu," Sambil merogoh benda tipis berukuran segi empat yang disimpan disaku celananya--telephone genggam milik pak Amar. Pria itu menyebutkan angka-angka telephonenya."Nak, nama Kamu siapa? biar nanti Bapak masukan namanya, ternyata dari tadi Kita bertemu belum kenalan toh,""Nama Saya Iklil, Pak." Jawab Pria itu."Saya masukan namanya, ya."Setelah sebelumnya saling menyimpan nomor kontak, Iklil berpamitan untuk ke kantor pesantren karena ada urusan mendadak, Iklil adalah santri yang terbilang sangat sibuk karena Ia sendiri menjabat sebagai Rois 'am atau ketua dari seluruh santri. &nb
Raisya mematung, mengamati tiap kata yang dilontarkan gus Rayhan. Sangat aneh, mengapa banyak sekali pertanyaan yang tertuju pada Aini. Aini juga sama seperti Raisya, merasakan hal yang sama."Kenapa Ustadz? ada yang salah?" Ungkap Raisya dengan beraninya ia mengucapkan itu."Tidak, tidak ada yang salah," sergah gus Rayhan. Sekali lagi, Raisya membatu. Dingin sekali perlakuan lelaki itu pada Raisya, berbanding terbalik dengan perlakuan lelaki itu pada Aini.Aini berbisik pada Raisya, memberikan peringatan, "Sudah, Ra. Dia itu ustadz, Kamu nggak boleh seperti itu, itu namanya tidak ta'dzim. Kamu sendiri kan yang ngajarin Aku harus ta'dzim. Segera Kamu meminta maaf," ucap Aini."Maaf kan Saya, Ustad, karena sudah ceroboh," kata Raisya."Aah, sudahlah lupakan. Maaf semuanya, Saya agak melenceng. Baik, kita lanjutkan kembali materi kita hari ini, materi Bahasa. Karena Iklil akan mengajarkan kalian semua tentang kitab kuning, Saya hanya mengisi kekosongan sa
Suara mesin rumah sakit berbunyi. Menandakan kondisi pasien tengah koma. Umi Hana terdiam, tidak bergerak sama sekali. Iklil panik, begitu juga abahnya. Iklil bergegas keluar, memanggil salah satu suster, memberi tahukan kondisi uminya."Siapa saja, tolong umi ...." teriak Iklil. Satu, dua suster lainnya berlarian, memberikan pertolongan. Wanita berpakaian suster itu sangat sigap, mengecek setiap data yang dikeluarkan oleh mesin itu. Tak henti-henti Iklil merapalkan doa terbaik bagi sang umi."Ya Allah ... bantu kami, berikanlah umi kesembuhan total. Aku tidak mau jika harus terus seperti ini, umi tersiksa, begitupun abah." Iklil begitu memohon pada Sang Pencipta, Sang pemberi keselamatan. Abah Ahmad terkulai, tak sanggup melihat istri tercintanya kesakitan.Suara mesin itu berhenti sejenak, memberikan pertanyaan bagi Iklil. Semua suster berdegup kencang, menentukan hasil kerja mereka, apakah akan selamat? atau berujung pada kematian. Tiba-tiba, gambar pada monitor
Iklil menghampiri perempuan itu, memastikan. Saat didekati, perempuan itu persis sekali seperti Aini. Iklil menyapanya,"Permisi," kata Iklil. Perempuan itu menoleh, ternyata bukan. Mustahil juga jika Aini sekarang berada di rumah sakit. Bukankah Aini sekarang sedang di pesantren?"Iya, Mas?" Tanya perempuan itu, Iklil menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali itu."Hm, maaf Mbak, Saya salah orang.""Ouh tidak apa-apa, Mas. Mas pasti sedang mencari istri Mas, ya?""A--apa? Istri? Saya masih kuliah, Mbak. Belum punya Istri,""Atau, Mas lagi memikirkan pacar, Mas, ya?""Huuss, Mbak ini. Kan di dalam Islam tidak boleh pacaran." Pipi Iklil memerah, mengapa ia malah memikirkan Aini, yang jelas-jelas bukan mahramnya."Aah, si Mas ini, pipi Mas tuh kemerahan. Saya tinggalkan dulu, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," Iklil langsung memegangi pipi-nya. Apakah merah? Aahh lupakan saja, batin Iklil. Iklil terus menyusuri ko
"Sekali lagi terima kasih, Ra. Karena sudah memberi tahuku,""Sama-sama, Aini." Aini melamun, kenapa Iklil tidak memberi tahunya? Ahh, dia ingat, Aini bukan siapa-siapanya Iklil. Bagaimana mungkin Iklil akan memberi tahu pada Aini, mencari kabar Aini pun tidak, apalagi harus memberi tahukan apa sebab-sebabnya Iklil pulang."Aini? Hallo? Yeh, malah melamun. Pasti karena Iklil, Aku merasa bersalah karena memberi tahumu.""A--iya? Aduh, ini kenapa ya Allah. Ngga kok, masa memikirkan kak Iklil. Bukannya kalau memikirkan orang yang bukan mahram itu dosa, ya?" Ucap Aini terang-terangan. Padahal, yang sebenarnya terjadi ialah, Aini sedang memikirkan kak Iklil--lelaki yang bukan mahramnya."Aahh, Kamu. Bisa saja mengelaknya, Aku juga tau kok, Kamu sendiri yang dosa tau. Memikirkan kak Iklil kan? mana mungkin sekarang Kamu melamunkan tukang rujak, pastinya melamunkan kak Iklil-mu itu kan?" beberapa pertanyaan Raisya membuat Aini kesal."Astagfirullah
Telepon genggam milik Iklil lengang. Tak ada yang menyahut satu pun, hanya diam. Detak jantung Iklil berdetak dua kali lebih cepat, menunggu jawaban dari abahnya."[Abah? tolong jawab. Mengapa Abah hanya diam,]" desak Iklil."[Umi, Nak. Umi sedang sakit, kanker jantungnya kambuh lagi, tadi sore kami bergegas pergi ke rumah sakit terdekat. Umi selalu mengigau, menyebutkan namamu berulang-ulang. Jika Kamu luang, pulang lah, Nak. Temui Umi,]" pinta Abah. Bagaimana ini, besok ia harus pergi berbelanja koperasi dengan Zainal, kyai kholil juga meminta untuk ditemani ke acara haul. Ah, pulang saja, urusan umi lebih penting dari apapun, batin Iklil berucap."[Hallo, Nak. Bagaimana?]""[Iya Abah, nanti Iklil akan pulang. Diusahakan sebisa mungkin Iklil harus pulang. Nanti jam tujuh pagi, Iklil akan meminta izin pada kyai, semoga saja diberi izin.]""[Bagus kalau begitu, Abah matikan ya, assalamualaikum.]""[Waalaikumsalam.]""Huufft, rintangan
"Terima kasih sudah memberi tahu Aini, Kak.""Sama-sama." Ingin sekali Iklil mengucapkan, jangan menangis Aini, aku tak suka jika kamu menangis. Serasa dunia ini hancur, bahkan lebih dari itu. Tapi nihil, Iklil malu mengatakannya."Aku duluan pergi, Kak. Ayo Raisya," ucapnya pamit. Aini menarik tangan Raisya, meninggalkan Iklil. Iklil menatapi punggung Aini yang berlalu pergi ke masjid, Iklil sadar akan lamunannya lalu pergi beranjak ke masjid, mungkin kyai Kholil sudah menunggu di sana.Pujian-pujian terdengar di halaman masjid, di kumandangkan oleh santri putra. Sudah menjadi adat bagi mereka saat menunggu kyai Kholil datang. Iklil yang tengah memasuki pintu khusus putra, mendapati Zainal yang sedang membaca ayat suci Al-Quran. Iklil ingat bahwa dirinya belum memberitahukan perihal koperasi pada Zainal. Terlalu banyak urusan sampai-sampai urusan koperasi yang lebih penting dari segalanya terlupakan. Iklil menghampiri Zainal, hendak memberitahukan."Hey,"
Setelah mendapatkan perintah dari Kyai Kholil, Iklil mengantar Gus Rayhan ke kamarnya. Hanya ada diam saat mereka menuju kamar Gus Rayhan. Iklil masih larut dalam fikiran-fikiran negatifnya, seolah tak percaya diri karena sekarang saingan perasaannya dengan Gusnya, orang yang harus dita'ati. Dengan menenteng koper milik Gus Rayhan, Iklil mecoba memulai perbincangan,"Ini Gus, kamarnya. Setiap minggu selalu dibersihkan oleh Mbak santri, jadi Gus ndak perlu khawatir. Semuanya sudah rapi, dan siap dipakai." Ujar Iklil."Terima kasih, ya, Kamu boleh melanjutkan aktivitas Kamu. Biar Saya saja yang merapikan kembali barang-barangnya.""Sama-sama Gus, kalau begitu, Saya izin pamit. Kebetulan, urusan dengan santri baru belum selesai." Pamit Iklil. Rasanya, Iklil ingin segera pergi dari ruangan tersebut."Ouh, Aini? santri baru itu kah?" terka Gus Rayhan."Bukan Gus, bukan hanya Aini, tapi ratusan santri lainnya," timpal Iklil."Saya juga ingin ikut
Koridor putri lantai dua lengang. Kedua gadis ini masih diam dalam lamunannya, memikirkan laki-laki idamannya. Takut akan takdir, takut jika tidak bisa bersama. Tinggal beberapa langkah lagi, Aini dan Raisya sampai di pintu kamar. Namun, ada yang membuat langkah keduanya terhenti. Diluar kamar, Iklil tengah mengobrol dengan laki-laki yang tadi sempat bertemu di koridor. Aini dan Raisya bertanya-tanya, sedang apa mereka di kamar putri? dan siapa laki-laki itu?ekor mata Iklil menemukan keberadaan Aini,"Hai, Kamu lagi." Sapa Iklil, yang membuat Aini berdegup kencang. Namun Aini tak puas, namanya belum disebutkan, Iklil belum tahu namanya."Hai, juga Kak." Jawab Aini singkat. Aini takut jika perkataannya salah, lebih baik dipersingkat."Oh, iya. Sejak Kita bertemu tadi malam, Saya belum tahu nama Kamu." Ucap Iklil, bukan hanya Aini saja yang ingin diketahui namanya, Iklil pun sama, ingin diketahui juga oleh gadis di depannya."Namaku Aini, Aini Halwa."
Seperti biasa, pria berpeci hitam itu menyunggingkan senyumannya. Memberikan keramahan pada setiap orang. Ucapan salam seperti biasa jika bertemu dengan orang sudah menjadi kewajibannya."Eh, ada Nak Iklil. Sudah selesai kah acaranya?" Dari awal, Pak Amar sangat senang terhadap perlakuan Iklil. Cara menyambutnya, saat mengajak ngobrol, memperkenalkan dirinya, Pak Amar sangat suka pada remaja yang seperti itu."Sudah, Pak. Tadi, baru saja ditutup sama rekan Saya."Diseberang sana, ada yang memanggil Iklil, sambil melambaikan tangannya pertanda bahwa orang tersebut memanggil Iklil."Pak, maaf sekali. Saya ada urusan lagi," kata Iklil terburu-buru."Tidak apa-apa, Nak."Iklil segera pergi, menghampiri Zainal, yang memanggilnya tadi. Pak Amar dan Bu Aidah juga pamit ke tempat penginapan sebentar. Aini, sekali lagi, Ia terluka walaupun hanya luka yang kecil. Aini mengira bahwa Iklil akan mengetahui namanya pada saat pertemuan tadi. Hasilnya nihil, s