Home / Romansa / Pria Alfiyah / Aini menjadi ketua

Share

Aini menjadi ketua

Author: Syska Nabila
last update Last Updated: 2021-04-04 00:46:31

Iklil menghampiri perempuan itu, memastikan. Saat didekati, perempuan itu  persis sekali seperti Aini. Iklil menyapanya,

"Permisi," kata Iklil. Perempuan itu menoleh, ternyata bukan. Mustahil juga jika Aini sekarang berada di rumah sakit. Bukankah Aini sekarang sedang di pesantren? 

"Iya, Mas?" Tanya perempuan itu, Iklil menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali itu.

"Hm, maaf Mbak, Saya salah orang."

"Ouh tidak apa-apa, Mas. Mas pasti sedang mencari istri Mas, ya?"

"A--apa? Istri? Saya masih kuliah, Mbak. Belum punya Istri,"

"Atau, Mas lagi memikirkan pacar, Mas, ya?"

"Huuss, Mbak ini. Kan di dalam Islam tidak boleh pacaran." Pipi Iklil memerah, mengapa ia malah memikirkan Aini, yang jelas-jelas bukan mahramnya.

"Aah, si Mas ini, pipi Mas tuh kemerahan. Saya tinggalkan dulu, Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," Iklil langsung memegangi pipi-nya. Apakah merah? Aahh lupakan saja, batin Iklil. Iklil terus menyusuri koridor, mencari tempat solat. Saat menemukan tempat solat itu, Iklil langsung membuka sandalnya, masuk dengan melangkahkan kaki kanan dulu, lalu merapalkan doanya. Di tempat solat itu hanya ada Iklil saja, karena jam sudah menunjukkan pukul dua siang, mungkin semuanya sudah melaksanakan solat diawal waktu. Hiasan marmer di dinding masjid begitu menawan, lantai pualam tanpa cacat berwarna putih. Lampu gemerlap di atas kepala Iklil, menambah suasana siang itu. Iklil hendak berwudlu, mengawali dengan membasuh tangannya, hingga kaki dengan tertib. Setelah sebelumnya berwudlu, Iklil memulai solatnya dengan khusyuk. Tidak ada yang menggangu, semuanya tenang, tidak ada suara apapun selain bisikan surat Al-fatihah yang diucapkan Iklil. Selepas solat, Iklil membaca dzikir khususnya. Merapalkan doa-doa terbaik untuk dirinya, pesantrennya, keluarganya, termasuk kesehatan uminya. Dan tak lupa, Iklil meminta pasangan yang sholehah, mengerti agama tentunya. Saat Iklil merapalkan doa terakhir, fikirannya melayang pada sosok Aini. Aahh, Aini, kenapa dia selalu muncul dalam fikiran Iklil.

       ***

Bel pesantren seperti biasanya, memekakan telinga siapa saja yang mendengarnya. Aini belum terbiasa dengan jadwal di pesantrennya. Siang ini adalah jadwal kumpulan pengurus kamar dengan santri baru. Kamar Aini dipimpin oleh mbak Uci. Semua bersiap-siap, menduduki tempatnya masing-masing--duduk di depan lemarinya. Ruangan yang cukup luas, bisa menampung 50 santri. Yang akan disampaikanoleh pengurus kamar adalah, pengenalan, tata tertib, denda-denda, dan pemilihan ketua santri baru. Mengapa tidak disampaikan oleh pengurus inti? karena pengurus kamar adalah tangan kanannya pengurus inti. Pengurus inti hanya memberi selebaran kertas pada pengurus kamar untuk diberikan atau diarahkan pada santri baru. Tapi, jangan diragukan lagi, tugas dari pengurus inti sangatlah berat, mencakup seluruh pesantren baik eksternal maupun internal. Tugas dari pengurus kamar hanyalah memberi arahan pada santri baru, sangatlah gampang, tapi membutuhkan mental saat memberi arahan.

"Semuanya sudah terkumpul?" Mbak Uci membuka acara dengan tenang. Salah satu pengurus kamar lainnya menjawab pertanyaan mbak Uci, "Sudah," katanya. 

"Ok, Saya buka. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," kata mbak Uci membuka acara. Semua yang hadir membalas salamnya. Pengurus 

kamar sibyan hanya ada tiga orang, mbak Uci dan dua orang lainnya.

"Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kepada Allah subhanahu wata'ala, karena kenikmatannya kita bisa berkumpul pada kumpulan santri baru ini. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada Nabi kita semua, Nabi Muhammad S.A.W." Yap, seperti biasanya, pembukaan yang panjang. Sepertinya, mbak Uci lebih pantas menjadi dewan reporter atau setaranya. 

"Sebelum ke inti, Perkenalkan nama Saya Suci Firda Awaliyah. Di samping kanan Saya, mbak Lida Kurnia, dan di sebelah kiri Saya, mbak Nafisa. Perkenalan singkat saja, ya, selebihnya bisa memulai obrolan hangat masing-masing. Jadi begini, berkumpulnya kalian di sini, akan di berikan arahan singkat tentang tata tertib pesantren, ta'ziran, dan pembagian kelas." kata mbak Uci, semua yang hadir di kamar sibyan hanya terdiam, mencermati setiap kata yang dilontarkan mbak Uci. Mbak Uci membagikan beberapa selebaran kertas berwarna putih yang sudah berisikan tata tertib dan lainnya. Mungkin jika di umumkan langsung, akan memakan waktu sampai tiga jam. Jadi, mbak Uci memutuskan untuk santri baru membaca sendiri-sendiri tata tertibnya. 

"Aini, untung saja kertasnya dibagikan. Jika tidak, kita akan mendengarkan ceramah membosankan dari mbak Uci." Ucap Raisya.

"Iya, benar sekali." Aini membuka setiap lembaran yang diberikan mbak Uci. Ada 15 halaman, panjang sekali. Ini baru tata tertibnya saja, belum ditambah ta'ziran--denda. 

"Perhatikan-perhatikan, kalian bisa baca tata tertibnya nanti saja setelah kumpulan ini selesai. Saya akan lanjut memberikan lembaran-lembaran denda, dan pembagian kelas beserta ketuanya. Kalian bisa lihat nama ketua kamar sibyan pada lembaran yang akan dibagikan." Mbak Uci memberikan selebaran berikutnya, nama Aini Halwa terpampang jelas di lembaran paling atas. Aini menjadi ketua kamar sibyan.

"Wiiih, Kamu ketua. Selamat ya, Aini." Ucap Raisya senang.

"Yaah, Aku tidak mau. Pasti sulit," kata Aini bernada sedih.

"Tenang, kan ada Raisya yang cantik. Semua pekerjaan Kamu akan mudah jika bersama Raisya."

"Terima kasih, tapi Aku tidak mau." Aini tetap tidak ingin menjadi pemimpin, baginya, menjadi pemimpin sangatlah sulit. Memimpin dirinya sendiri juga belum bisa, apalagi memimpin orang lain. Mbak Uci menghampiri Aini, memberikan selembaran khusus ketua.

"Selamat ya, Aini. Kamu sudah sah menjadi ketua kamar sibyan pada periode 2016-2017. Ini ada selembaran khusus untukmu." kata mbak Uci sambil memberikan selembaran.

"Tapi, Mbak, Aku tidak mau jadi ketua. Raisya saja, Aku tidak bisa."

"Loh, kenapa begitu. Begini, jika Kamu sudah diberikan amanah oleh seseorang, Kamu jangan menolak. Harusnya Kamu jalani dengan baik, aturlah sebisa Kamu, jika Kamu sulit? mintalah bantuan pada rekanmu. Mengerti, Aini?" 

"Iya, Mbak, maaf. Aku akan melaksanakan perintah Mbak dengan baik."

"Nah, begitu dong."

           ***

Iklil membuka pintu nomor 348. Uminya masih terbaring lemas, abahnya sedang duduk di pinggir uminya, merapalkan doa, meminta kesehatan bagi istri yang sangat dicintainya.

"Sudah selesai, Nak?" ucap abahnya.

"Sudah, oh iya, dokter sudah memeriksa umi hari ini belum?"

"Belum, kata suster, dokter hari ini tidak masuk. Dan kabar gembiranya, umi bisa pulang ke rumah besok. Tapi harus menunggu dokter dulu untuk pemeriksaan terakhir." 

"Alhamdulillah, akhirnya umi bisa pulang. Ini berkat doa-doa Abah dan doa Iklil," Iklil merasa tenang. Ia juga bisa secepatnya pergi ke pesantren. Benda tipis berukuran segi empat itu bergetar, arah suaranya dari saku celana Iklil. Telepon dari Zainal,

"[Assalamualaikum, Mas Iklil. Anu, kami sudah membeli semua keperluan koperasi. Maaf jika Mas Iklil kurang suka, atau ada barang yang kurang berkualitas, nanti Mas Iklil bisa beli lagi barang yang kurang.]" Ucap Zainal lewat telepon.

"[Ouh, tidak apa-apa Zainal. Semua barang yang kalian beli pasti berkualitas. Saya percaya sepenuhnya pada kalian. Terima kasih banyak Zainal, maaf Saya tidak ikut, besok atau lusa, Saya akan ke pesantren lagi.]"

"[Sama-sama, ucapanmu adalah perintah bagi Saya, Mas Iklil.]" Belum sempat Zainal mengucapkan salam, ada suara panik diseberang sana, bunyi dari mesin rumah sakit menyala, menandakan ada bahaya.

"[Hallo, Mas Iklil?]" Sambungan terputus, membuat Zainal panik. Ada apa ini? kenapa roisnya itu?


Related chapters

  • Pria Alfiyah    Kelas Awal

    Suara mesin rumah sakit berbunyi. Menandakan kondisi pasien tengah koma. Umi Hana terdiam, tidak bergerak sama sekali. Iklil panik, begitu juga abahnya. Iklil bergegas keluar, memanggil salah satu suster, memberi tahukan kondisi uminya."Siapa saja, tolong umi ...." teriak Iklil. Satu, dua suster lainnya berlarian, memberikan pertolongan. Wanita berpakaian suster itu sangat sigap, mengecek setiap data yang dikeluarkan oleh mesin itu. Tak henti-henti Iklil merapalkan doa terbaik bagi sang umi."Ya Allah ... bantu kami, berikanlah umi kesembuhan total. Aku tidak mau jika harus terus seperti ini, umi tersiksa, begitupun abah." Iklil begitu memohon pada Sang Pencipta, Sang pemberi keselamatan. Abah Ahmad terkulai, tak sanggup melihat istri tercintanya kesakitan.Suara mesin itu berhenti sejenak, memberikan pertanyaan bagi Iklil. Semua suster berdegup kencang, menentukan hasil kerja mereka, apakah akan selamat? atau berujung pada kematian. Tiba-tiba, gambar pada monitor

    Last Updated : 2021-04-04
  • Pria Alfiyah    Perasaan

    Raisya mematung, mengamati tiap kata yang dilontarkan gus Rayhan. Sangat aneh, mengapa banyak sekali pertanyaan yang tertuju pada Aini. Aini juga sama seperti Raisya, merasakan hal yang sama."Kenapa Ustadz? ada yang salah?" Ungkap Raisya dengan beraninya ia mengucapkan itu."Tidak, tidak ada yang salah," sergah gus Rayhan. Sekali lagi, Raisya membatu. Dingin sekali perlakuan lelaki itu pada Raisya, berbanding terbalik dengan perlakuan lelaki itu pada Aini.Aini berbisik pada Raisya, memberikan peringatan, "Sudah, Ra. Dia itu ustadz, Kamu nggak boleh seperti itu, itu namanya tidak ta'dzim. Kamu sendiri kan yang ngajarin Aku harus ta'dzim. Segera Kamu meminta maaf," ucap Aini."Maaf kan Saya, Ustad, karena sudah ceroboh," kata Raisya."Aah, sudahlah lupakan. Maaf semuanya, Saya agak melenceng. Baik, kita lanjutkan kembali materi kita hari ini, materi Bahasa. Karena Iklil akan mengajarkan kalian semua tentang kitab kuning, Saya hanya mengisi kekosongan sa

    Last Updated : 2021-04-04
  • Pria Alfiyah    Aini

    Aini menyusuri satu persatu lukisan kakaknya. Lukisan yang selalu mengingatkan pada kematian kakaknya yang begitu tragis. Kakaknya tewas saat ia hendak pergi ke pesantren. Mobil bak tanpa aling-aling yang menabrak kakak Aini hingga tewas. Dari kejadian itu, Aini berfikir bahwa kematian kakaknya disebabkan oleh pesantren. Peraturan pesantren yang membuat kakaknya harus pergi--hingga akhirnya tewas. Aini sekarang sudah lulus sekolah menengah pertama, itu saatnya Aini melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Yap, sekolah menengah atas. Sudah terlalu banyak sindiran orang tuanya tentang pesantren. Kedua orang tuanya menginginkan Aini pergi ke pesantren. Tidak salah lagi, orang tua siapa yang tidak menginginkan putra-putrinya sukses? Ingin putra-putrinya terjerumus pergaulan zaman sekarang? Zaman dimana anak-anak, remaja, bahkan dewasa, melakukan perzinahan, mencopet, bahkan saling membunuh. Itu harga yang mahal sekali. Apakah negara ini berontak? Jawabannya adalah, tidak. Negara terlal

    Last Updated : 2021-03-24
  • Pria Alfiyah    Siapa Pria Itu?

    "Sudah selesai Pak, apa ada yang bisa Saya bantu lagi?" tutur Pria itu."Selesai, Nak? terima kasih banyak, ya, telah membantu Kami.""Sama-sama Pak. Oh iya, jika ada perlu apa-apa bisa tanya langsung saja sama Saya. Jika Bapak berkehendak, boleh tidak kita saling menyimpan nomor telepon?""Boleh sekali itu," Sambil merogoh benda tipis berukuran segi empat yang disimpan disaku celananya--telephone genggam milik pak Amar. Pria itu menyebutkan angka-angka telephonenya."Nak, nama Kamu siapa? biar nanti Bapak masukan namanya, ternyata dari tadi Kita bertemu belum kenalan toh,""Nama Saya Iklil, Pak." Jawab Pria itu."Saya masukan namanya, ya."Setelah sebelumnya saling menyimpan nomor kontak, Iklil berpamitan untuk ke kantor pesantren karena ada urusan mendadak, Iklil adalah santri yang terbilang sangat sibuk karena Ia sendiri menjabat sebagai Rois 'am atau ketua dari seluruh santri. &nb

    Last Updated : 2021-04-04
  • Pria Alfiyah    Harapan Aini

    Pukul 02.30 WIB, Alarm otomatis yang selalu dipasang Iklil berbunyi, pertanda untuk solat tahajud. Iklil terpaksa membukakan matanya dengan malas. Iklil merasa bahwa dirinya tadi hanyalah sedang berbaring, tidak tidur. Segera Ia bangkit dari posisi telentang ke posisi duduk, lalu membenarkan kopiah yang sedikit miring karena tadi Ia tertidur. Dengan langkah gontai, Iklil berjalan menuju tiang yang disitu terdapat stop kontak untuk menyalakan bel seluruh pesantren, teeeeenggg ... bunyi itu selalu memekakan telinga siapa saja yang mendengarnya. Tapi bagi santri yang sudah kebal, suara bom seperti bom hiroshima nagasaki pun tak akan membangunkannya. Terkecuali jika para santri disiram masal oleh setiap pengurus kamar. Alhasil, setiap santri yang akan melaksanakan solat tahajud tak usah mandi. Karena setiap hari akan dimandikan oleh setiap pengurus kamarnya masing-masing. &n

    Last Updated : 2021-04-04
  • Pria Alfiyah    Resmi menjadi Santri

    Saat tatapan Iklil dan Aini bersitubruk, cepat, Iklil memalingkan wajahnya karena Ia tahu bahwa saling memandang itu perbuatan zina mata. Kalimat istighfar lah yang sekarang Ia rapalkan dalam hati."Kenapa Pak?" tanya Aini yang mana Ia juga memalingkan wajah karena malu. Baru kali ini, Aini menatap mata seorang Pria begitu lama sekali. Entah mengapa, ada percikan-percikan rasa yang membara saat melihat Pria itu, yang tak lain ialah Iklil."Hm... itu... tidak kok, tidak apa-apa." Kata Iklil terbata-bata, menunjukan bahwa Iklil sedang gugup."Kalau sudah, Saya mau ambil kertas kamu," lanjut Iklil."Sudah, Pak," sambil memberikan kertas selembar yang berisikan ujian seleksi CSB."Jangan panggil Bapak, Saya masih 20-an." Kata Iklil sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali."Panggil Saya, Kak Iklil," lanjutnya."Oke Kak, apa kita pernah bertemu sebelum nya?""Mungkin, Kamu, bukannya Kamu Anaknya Pak Amar kah

    Last Updated : 2021-04-04
  • Pria Alfiyah    Hari Pertama

    Seperti biasa, pria berpeci hitam itu menyunggingkan senyumannya. Memberikan keramahan pada setiap orang. Ucapan salam seperti biasa jika bertemu dengan orang sudah menjadi kewajibannya."Eh, ada Nak Iklil. Sudah selesai kah acaranya?" Dari awal, Pak Amar sangat senang terhadap perlakuan Iklil. Cara menyambutnya, saat mengajak ngobrol, memperkenalkan dirinya, Pak Amar sangat suka pada remaja yang seperti itu."Sudah, Pak. Tadi, baru saja ditutup sama rekan Saya."Diseberang sana, ada yang memanggil Iklil, sambil melambaikan tangannya pertanda bahwa orang tersebut memanggil Iklil."Pak, maaf sekali. Saya ada urusan lagi," kata Iklil terburu-buru."Tidak apa-apa, Nak."Iklil segera pergi, menghampiri Zainal, yang memanggilnya tadi. Pak Amar dan Bu Aidah juga pamit ke tempat penginapan sebentar. Aini, sekali lagi, Ia terluka walaupun hanya luka yang kecil. Aini mengira bahwa Iklil akan mengetahui namanya pada saat pertemuan tadi. Hasilnya nihil, s

    Last Updated : 2021-04-04
  • Pria Alfiyah    Gus Rayhan

    Koridor putri lantai dua lengang. Kedua gadis ini masih diam dalam lamunannya, memikirkan laki-laki idamannya. Takut akan takdir, takut jika tidak bisa bersama. Tinggal beberapa langkah lagi, Aini dan Raisya sampai di pintu kamar. Namun, ada yang membuat langkah keduanya terhenti. Diluar kamar, Iklil tengah mengobrol dengan laki-laki yang tadi sempat bertemu di koridor. Aini dan Raisya bertanya-tanya, sedang apa mereka di kamar putri? dan siapa laki-laki itu?ekor mata Iklil menemukan keberadaan Aini,"Hai, Kamu lagi." Sapa Iklil, yang membuat Aini berdegup kencang. Namun Aini tak puas, namanya belum disebutkan, Iklil belum tahu namanya."Hai, juga Kak." Jawab Aini singkat. Aini takut jika perkataannya salah, lebih baik dipersingkat."Oh, iya. Sejak Kita bertemu tadi malam, Saya belum tahu nama Kamu." Ucap Iklil, bukan hanya Aini saja yang ingin diketahui namanya, Iklil pun sama, ingin diketahui juga oleh gadis di depannya."Namaku Aini, Aini Halwa."

    Last Updated : 2021-04-04

Latest chapter

  • Pria Alfiyah    Perasaan

    Raisya mematung, mengamati tiap kata yang dilontarkan gus Rayhan. Sangat aneh, mengapa banyak sekali pertanyaan yang tertuju pada Aini. Aini juga sama seperti Raisya, merasakan hal yang sama."Kenapa Ustadz? ada yang salah?" Ungkap Raisya dengan beraninya ia mengucapkan itu."Tidak, tidak ada yang salah," sergah gus Rayhan. Sekali lagi, Raisya membatu. Dingin sekali perlakuan lelaki itu pada Raisya, berbanding terbalik dengan perlakuan lelaki itu pada Aini.Aini berbisik pada Raisya, memberikan peringatan, "Sudah, Ra. Dia itu ustadz, Kamu nggak boleh seperti itu, itu namanya tidak ta'dzim. Kamu sendiri kan yang ngajarin Aku harus ta'dzim. Segera Kamu meminta maaf," ucap Aini."Maaf kan Saya, Ustad, karena sudah ceroboh," kata Raisya."Aah, sudahlah lupakan. Maaf semuanya, Saya agak melenceng. Baik, kita lanjutkan kembali materi kita hari ini, materi Bahasa. Karena Iklil akan mengajarkan kalian semua tentang kitab kuning, Saya hanya mengisi kekosongan sa

  • Pria Alfiyah    Kelas Awal

    Suara mesin rumah sakit berbunyi. Menandakan kondisi pasien tengah koma. Umi Hana terdiam, tidak bergerak sama sekali. Iklil panik, begitu juga abahnya. Iklil bergegas keluar, memanggil salah satu suster, memberi tahukan kondisi uminya."Siapa saja, tolong umi ...." teriak Iklil. Satu, dua suster lainnya berlarian, memberikan pertolongan. Wanita berpakaian suster itu sangat sigap, mengecek setiap data yang dikeluarkan oleh mesin itu. Tak henti-henti Iklil merapalkan doa terbaik bagi sang umi."Ya Allah ... bantu kami, berikanlah umi kesembuhan total. Aku tidak mau jika harus terus seperti ini, umi tersiksa, begitupun abah." Iklil begitu memohon pada Sang Pencipta, Sang pemberi keselamatan. Abah Ahmad terkulai, tak sanggup melihat istri tercintanya kesakitan.Suara mesin itu berhenti sejenak, memberikan pertanyaan bagi Iklil. Semua suster berdegup kencang, menentukan hasil kerja mereka, apakah akan selamat? atau berujung pada kematian. Tiba-tiba, gambar pada monitor

  • Pria Alfiyah    Aini menjadi ketua

    Iklil menghampiri perempuan itu, memastikan. Saat didekati, perempuan itu persis sekali seperti Aini. Iklil menyapanya,"Permisi," kata Iklil. Perempuan itu menoleh, ternyata bukan. Mustahil juga jika Aini sekarang berada di rumah sakit. Bukankah Aini sekarang sedang di pesantren?"Iya, Mas?" Tanya perempuan itu, Iklil menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali itu."Hm, maaf Mbak, Saya salah orang.""Ouh tidak apa-apa, Mas. Mas pasti sedang mencari istri Mas, ya?""A--apa? Istri? Saya masih kuliah, Mbak. Belum punya Istri,""Atau, Mas lagi memikirkan pacar, Mas, ya?""Huuss, Mbak ini. Kan di dalam Islam tidak boleh pacaran." Pipi Iklil memerah, mengapa ia malah memikirkan Aini, yang jelas-jelas bukan mahramnya."Aah, si Mas ini, pipi Mas tuh kemerahan. Saya tinggalkan dulu, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," Iklil langsung memegangi pipi-nya. Apakah merah? Aahh lupakan saja, batin Iklil. Iklil terus menyusuri ko

  • Pria Alfiyah    Pulangnya Iklil 2

    "Sekali lagi terima kasih, Ra. Karena sudah memberi tahuku,""Sama-sama, Aini." Aini melamun, kenapa Iklil tidak memberi tahunya? Ahh, dia ingat, Aini bukan siapa-siapanya Iklil. Bagaimana mungkin Iklil akan memberi tahu pada Aini, mencari kabar Aini pun tidak, apalagi harus memberi tahukan apa sebab-sebabnya Iklil pulang."Aini? Hallo? Yeh, malah melamun. Pasti karena Iklil, Aku merasa bersalah karena memberi tahumu.""A--iya? Aduh, ini kenapa ya Allah. Ngga kok, masa memikirkan kak Iklil. Bukannya kalau memikirkan orang yang bukan mahram itu dosa, ya?" Ucap Aini terang-terangan. Padahal, yang sebenarnya terjadi ialah, Aini sedang memikirkan kak Iklil--lelaki yang bukan mahramnya."Aahh, Kamu. Bisa saja mengelaknya, Aku juga tau kok, Kamu sendiri yang dosa tau. Memikirkan kak Iklil kan? mana mungkin sekarang Kamu melamunkan tukang rujak, pastinya melamunkan kak Iklil-mu itu kan?" beberapa pertanyaan Raisya membuat Aini kesal."Astagfirullah

  • Pria Alfiyah    Pulangnya Iklil

    Telepon genggam milik Iklil lengang. Tak ada yang menyahut satu pun, hanya diam. Detak jantung Iklil berdetak dua kali lebih cepat, menunggu jawaban dari abahnya."[Abah? tolong jawab. Mengapa Abah hanya diam,]" desak Iklil."[Umi, Nak. Umi sedang sakit, kanker jantungnya kambuh lagi, tadi sore kami bergegas pergi ke rumah sakit terdekat. Umi selalu mengigau, menyebutkan namamu berulang-ulang. Jika Kamu luang, pulang lah, Nak. Temui Umi,]" pinta Abah. Bagaimana ini, besok ia harus pergi berbelanja koperasi dengan Zainal, kyai kholil juga meminta untuk ditemani ke acara haul. Ah, pulang saja, urusan umi lebih penting dari apapun, batin Iklil berucap."[Hallo, Nak. Bagaimana?]""[Iya Abah, nanti Iklil akan pulang. Diusahakan sebisa mungkin Iklil harus pulang. Nanti jam tujuh pagi, Iklil akan meminta izin pada kyai, semoga saja diberi izin.]""[Bagus kalau begitu, Abah matikan ya, assalamualaikum.]""[Waalaikumsalam.]""Huufft, rintangan

  • Pria Alfiyah    Dear Diary

    "Terima kasih sudah memberi tahu Aini, Kak.""Sama-sama." Ingin sekali Iklil mengucapkan, jangan menangis Aini, aku tak suka jika kamu menangis. Serasa dunia ini hancur, bahkan lebih dari itu. Tapi nihil, Iklil malu mengatakannya."Aku duluan pergi, Kak. Ayo Raisya," ucapnya pamit. Aini menarik tangan Raisya, meninggalkan Iklil. Iklil menatapi punggung Aini yang berlalu pergi ke masjid, Iklil sadar akan lamunannya lalu pergi beranjak ke masjid, mungkin kyai Kholil sudah menunggu di sana.Pujian-pujian terdengar di halaman masjid, di kumandangkan oleh santri putra. Sudah menjadi adat bagi mereka saat menunggu kyai Kholil datang. Iklil yang tengah memasuki pintu khusus putra, mendapati Zainal yang sedang membaca ayat suci Al-Quran. Iklil ingat bahwa dirinya belum memberitahukan perihal koperasi pada Zainal. Terlalu banyak urusan sampai-sampai urusan koperasi yang lebih penting dari segalanya terlupakan. Iklil menghampiri Zainal, hendak memberitahukan."Hey,"

  • Pria Alfiyah    Kamar Sibyan

    Setelah mendapatkan perintah dari Kyai Kholil, Iklil mengantar Gus Rayhan ke kamarnya. Hanya ada diam saat mereka menuju kamar Gus Rayhan. Iklil masih larut dalam fikiran-fikiran negatifnya, seolah tak percaya diri karena sekarang saingan perasaannya dengan Gusnya, orang yang harus dita'ati. Dengan menenteng koper milik Gus Rayhan, Iklil mecoba memulai perbincangan,"Ini Gus, kamarnya. Setiap minggu selalu dibersihkan oleh Mbak santri, jadi Gus ndak perlu khawatir. Semuanya sudah rapi, dan siap dipakai." Ujar Iklil."Terima kasih, ya, Kamu boleh melanjutkan aktivitas Kamu. Biar Saya saja yang merapikan kembali barang-barangnya.""Sama-sama Gus, kalau begitu, Saya izin pamit. Kebetulan, urusan dengan santri baru belum selesai." Pamit Iklil. Rasanya, Iklil ingin segera pergi dari ruangan tersebut."Ouh, Aini? santri baru itu kah?" terka Gus Rayhan."Bukan Gus, bukan hanya Aini, tapi ratusan santri lainnya," timpal Iklil."Saya juga ingin ikut

  • Pria Alfiyah    Gus Rayhan

    Koridor putri lantai dua lengang. Kedua gadis ini masih diam dalam lamunannya, memikirkan laki-laki idamannya. Takut akan takdir, takut jika tidak bisa bersama. Tinggal beberapa langkah lagi, Aini dan Raisya sampai di pintu kamar. Namun, ada yang membuat langkah keduanya terhenti. Diluar kamar, Iklil tengah mengobrol dengan laki-laki yang tadi sempat bertemu di koridor. Aini dan Raisya bertanya-tanya, sedang apa mereka di kamar putri? dan siapa laki-laki itu?ekor mata Iklil menemukan keberadaan Aini,"Hai, Kamu lagi." Sapa Iklil, yang membuat Aini berdegup kencang. Namun Aini tak puas, namanya belum disebutkan, Iklil belum tahu namanya."Hai, juga Kak." Jawab Aini singkat. Aini takut jika perkataannya salah, lebih baik dipersingkat."Oh, iya. Sejak Kita bertemu tadi malam, Saya belum tahu nama Kamu." Ucap Iklil, bukan hanya Aini saja yang ingin diketahui namanya, Iklil pun sama, ingin diketahui juga oleh gadis di depannya."Namaku Aini, Aini Halwa."

  • Pria Alfiyah    Hari Pertama

    Seperti biasa, pria berpeci hitam itu menyunggingkan senyumannya. Memberikan keramahan pada setiap orang. Ucapan salam seperti biasa jika bertemu dengan orang sudah menjadi kewajibannya."Eh, ada Nak Iklil. Sudah selesai kah acaranya?" Dari awal, Pak Amar sangat senang terhadap perlakuan Iklil. Cara menyambutnya, saat mengajak ngobrol, memperkenalkan dirinya, Pak Amar sangat suka pada remaja yang seperti itu."Sudah, Pak. Tadi, baru saja ditutup sama rekan Saya."Diseberang sana, ada yang memanggil Iklil, sambil melambaikan tangannya pertanda bahwa orang tersebut memanggil Iklil."Pak, maaf sekali. Saya ada urusan lagi," kata Iklil terburu-buru."Tidak apa-apa, Nak."Iklil segera pergi, menghampiri Zainal, yang memanggilnya tadi. Pak Amar dan Bu Aidah juga pamit ke tempat penginapan sebentar. Aini, sekali lagi, Ia terluka walaupun hanya luka yang kecil. Aini mengira bahwa Iklil akan mengetahui namanya pada saat pertemuan tadi. Hasilnya nihil, s

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status