Saat tatapan Iklil dan Aini bersitubruk, cepat, Iklil memalingkan wajahnya karena Ia tahu bahwa saling memandang itu perbuatan zina mata. Kalimat istighfar lah yang sekarang Ia rapalkan dalam hati.
"Kenapa Pak?" tanya Aini yang mana Ia juga memalingkan wajah karena malu. Baru kali ini, Aini menatap mata seorang Pria begitu lama sekali. Entah mengapa, ada percikan-percikan rasa yang membara saat melihat Pria itu, yang tak lain ialah Iklil.
"Hm... itu... tidak kok, tidak apa-apa." Kata Iklil terbata-bata, menunjukan bahwa Iklil sedang gugup.
"Kalau sudah, Saya mau ambil kertas kamu," lanjut Iklil.
"Sudah, Pak," sambil memberikan kertas selembar yang berisikan ujian seleksi CSB.
"Jangan panggil Bapak, Saya masih 20-an." Kata Iklil sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali.
"Panggil Saya, Kak Iklil," lanjutnya.
"Oke Kak, apa kita pernah bertemu sebelum nya?"
"Mungkin, Kamu, bukannya Kamu Anaknya Pak Amar kah? Saya pernah melihat Mu bersama Pak Amar di tempat parkiran." Ucap Iklil sambil menerka-nerka. Saat pertemuan nya dengan Pak Amar, Aini jarang memunculkan batang hidung nya. Paling juga lewat sebentar atau mengintip, yang nantinya ketahuan oleh Iklil.
"Hm.. iya, Aku putri sulung dari Pak Amar, Ayah Ku."
"Saya tinggal kan dulu ya, kamu tinggal menunggu hasil pengumuman saja." kata Iklil sambil lalu pergi meninggalkan Aini.
Saat Iklil meninggalkan perempuan tadi, Ia lupa untuk menanyakan nama dan dari mana perempuan itu berasal. Ya sudah lah, nanti saja, batin Iklil. ***Ruangan luas beratmosfer menegangkan membuat semua CSB memilih untuk diam tak berkutik. Bagi mereka, ini adalah penentuan yang amat menentukan masa depan nya. Rapalan doa terdengar di setiap sudut nya, obrolan singkat satu sama lain, perkenalan antar CSB menjadi penenang bagi mereka. Saat semua pengurus inti sudah menyeleksi ratusan CSB satu jam yang lalu, sistem seleksi nya yakni dengan cara gugur. Jika ada santri yang kurang dalam materi, maka gugur, ataupun ada pertimbangan dulu dari pihak pengurus inti lainnya. Berkas-berkas yang di bungkus dalam map biru cerah di tenteng Iklil, bersiap menaiki podium kembali untuk mengumumkan siapa yang menjadi peserta terbaik pada masa periode 2016. Mengapa hanya mengumumkan peserta terbaik saja? karena jika semua CSB di sebutkan, bisa jadi acara selesai subuh nanti. Iklil dan pengurus inti memilih menempelkan kertas lulus ujian di mading utama pesantren."Hallo selamat siang, dengan cuaca yang amat mendukung ini, Saya akan memberi tahukan kepada seluruh CSB bahwa akan ada peserta terbaik pada masa periode tahun 2016 ini. Sebelumnya, Saya sangat berterima kasih pada semua CSB atas kegigihan nya dalam mengerjakan soal ujian. Pada tahun ini, sembilan puluh tujuh persen lolos tanpa ada pertimbangan. Boleh tepuk tangan untuk kalian masing-masing..." ucap Iklil dengan di balas tepukan gemuruh para CSB karena bahagia.
"Oke, Saya akan memberi tahu peserta CSB yang terbaik, peserta itu adalah... Aini Halwa," kata Iklil lantang.
Aini tak menyangka, nama nya di sebutkan oleh Pria tersebut karena Ia menjadi peserta terbaik. Ia sangat bahagia hari itu, dua kebahagiaan sekaligus. Satu, karena Ia menjadi peserta terbaik, yang kedua, namanya di sebutkan oleh Pria yang memiliki senyuman sempurna itu."Terima kasih pada Aini Halwa karena telah melaksanakan ujian dengan sangat teliti, hampir semua jawaban betul tak ada yang salah sedikit pun. Untuk itu, Saya akan memberikan apresiasi pada saudari Aini, silakan maju kedepan," kata Iklil dengan nada bangga. Saat Aini akan maju ke depan, tiba-tiba ponsel Iklil berbunyi, terpaksa Iklil meninggalkan podium dan memberikan tanggung jawabnya pada Zainal. Aini sudah berada di atas panggung, Zainal yang memberikan medali dan sertifikat, bukan Iklil.
Aini celingukan mencari keberadaan Iklil, kenapa tiba-tiba menghilang."Kenapa Mba," tanya Zainal pada Aini yang sama-sama masih berada di atas panggung.
"Nggak apa-apa kak," jawab Aini malu. Aini turun dari panggung dan mendapatkan tepukan dari para CSB. Mata Aini awas, mencari keberadaan Iklil,
"Percuma Dia tahu wajahku, tapi tidak dengan namaku. Sekali lagi, Aku suka saat bisa mengenali Pria itu, namun Aku tak suka caranya." gerutu Aini, sambil menduduki kembali kursi nya. Tak sengaja, teman sebangku nya mendengarkan kata-kata Aini."Assalamualaikum, siapa nama Mu?" ucap gadis yang sepertinya berumur sebayaan dengan Aini, gadis itu memakai jilbab berwarna merah maroon senada dengan gamisnya. Kelihatan tomboi, namun pakaian nya menandakan bahwa Ia feminim.
"Waalaikumsalam, nama ku Aini, Aini Halwa."
jawab Aini masih menunjukkan wajah kesal."Ouh, aku sudah tau kok. Congrats ya, sebenarnya aku ingin menjadi kamu, merasakan kebahagiaan. Tapi mengapa kamu cemberut begini? ada masalah dengan Pria? siapa Pria itu? Maaf sebelumnya aku sok tahu, memang aku begini orang nya, hehe. Nama ku Raisya Andini, asal kota dari Bogor Jawa Barat, umur ku 16 tahun, dan sekarang kalau lulus ujian, Aku akan masuk SMA." jelas Raisya panjang lebar, memperkenalkan diri nya tanpa diminta Aini.
"Tidak ada masalah kok." Kata Aini singkat.
"Tidak ada masalah tapi muka nya asem banget kaya rujak nya Mang Udin. Coba deh senyum, biar nggak asem. Ngomong-ngomong, mulai detik ini, Kamu mau gak jadi teman Aku?" hibur Raisya. Tipe Raisya adalah periang, tidak gampang sedih.
"Sejak kapan ada rujak Mang Udin?"
"Ya, ada lah di rumah Ku."
"Boleh, Aku mau jadi teman Mu. Terima kasih sudah mau menghibur ku Raisya. Sekarang bagian Aku memperkenalkan diri, Aku Aini Halwa, tinggal di Majalengka satu provinsi dengan Mu, Umur kita juga sama 16 tahun dan akan memasuki SMA." jelas Aini.
"Waah ternyata kita sama, jangan-jangan kita kembar Aini. Tapi beda Ayah sama Ibu. Hahaha.." gurau Raisya yang di jawab oleh gelak tawa Aini.
"Mana ada kembar seperti itu, hahaha.."
Sejak itu, Aini menemukan teman gila yang bisa membuat nya bahagia kembali. Merasa Raisya lah yang akan menjadi penyemangat nya jika nanti Ia terluka.Semua CSB berhamburan keluar untuk melihat papan mading yang masing-masing nya tertera nama peserta yang sudah terpilih, setelah sebelumnya di perintahkan bubar. ***"Waah, Aku terpilih." Raisya dengan girang nya, meloncat-loncat tak karuan. Tadi, Raisya dan Aini sibuk mencari-cari nama Raisya di papan mading, akhirnya, pada pencarian nomor 57 tertera nama Raisya asal Bogor."Congrats ya, Raisya." Wajah Aini masih menunjukkan kekesalan, Ia belum bertemu dengan Iklil. Sesekali, jika ada yang memberikan ucapan selamat pada Aini, Ia hanya membalasnya dengan seulas senyuman.
"Ngasih ucapan selamat nya gitu amat si. Masa cemberut mulu, ayo dong senyum, biar kaga asem."
"Nggak lah, siapa yang cemberut. Sudah ah jangan bahas itu, mendingan Kamu antar ke orang tua Ku," ajak Aini memaksa.
"Ouh masih ada orang tua Mu? Ku kira sudah pulang, orang tua ku sudah pulang tiga hari yang lalu loh. Aku di sini sendiri Aini," menunjukan ekspresi sedih nya, saat itu, Aini ingin muntah melihat Raisya, perempuan yang selalu girang tapi sekarang tiba-tiba menjadi kekanak-kanakkan, sungguh aneh.
"Iiihh... sudah-sudah. Jangan lebay, nggak pantes tau. Ayo, kayanya orang tua Ku masih di tempat penginapan deh," ucap Aini menerka.
"Ya, sudah. Cepat, Aku mau bertemu orang tua Mu, mau ngelamar." Selalu saja begitu, bergurau. Aini sudah capek meladeni sikap Raisya yang bisa membunuh seseorang lewat kegokilan nya.
"Lah? ngelamar? Kamu kan perempuan. Haduh, ada-ada saja ni anak."
Mereka berdua pergi ke ruang penginapan untuk bertemu orang tua Aini, dan akan memberi tahu bahwa Aini resmi menjadi santri sekaligus menjadi peserta terbaik. ***"Hai Ibu, Ayah. Aku diterima jadi santri di sini loh. Aku juga jadi peserta terbaik pada masa periode tahun ini." Kata Aini dengan pengucapan yang cepat seperti perlombaan calistung yang harus membaca cepat 100 kata dalam 30 detik."Ya ampun, bukan nya salam juga, main serobot-serobot aja," gumam Pak Amar.
"Eh, Ayah. Maaf," Aini salah tingkah.
"Assalamualaikum Ayah, Ibu, yang Aku cintai." Sapaan salam telat, tapi tak apa, Ayahnya masih memaafkan Aini dan menjawab salam nya.
"Aku di terima jadi santri di sini sekaligus menjadi peserta terbaik pada masa periode tahun ini loh," Aini mengulangi perkataan nya tadi dengan girang. Ia melupakan luka nya, saat bertemu dengan Ayah dan Ibu nya.
"Waah.. hebat sekali Anak Ibu. Itu medali nya bagus sekali Nak, Ibu bangga pada Aini." ucap Ibu Aidah terharu, tidak sia-sia mereka memasukkan Aini ke pesantren ini.
Saat Aini melihat kembali medali nya, Ia teringat kembali kejadian tadi,
"Ouh, iya Bu. Sangat bagus medali nya, Aini sangat suka." mendengar pernyataan itu sangat senang, namun cara mengucapkan nya berbeda, ada luka di dalam nya. Sangat sederhana, namun membuat Aini tak bersemangat."Loh kenapa nada nya begitu?" Tanya Ibu Aidah khawatir.
"Ngga apa-apa Bu. Ouh iya, kenalkan, ini teman baru Aini Bu, Ayah. Namanya Raisya, perkenalan lebih jelas nya, sama Raisya sendiri deh," Aini mempersilahkan Raisya.
"Hai, Nama Ku Raisya Adiba. Panggil Aku tiga kali, sambil gosok-gosok teko, Aku bakalan muncul kok." keluarga Aini harus terbiasa dengan sikap Raisya, memusingkan namun bisa menjadi obat sedih.
"Aku tinggal di Bogor, dan sekarang sudah lulus, mau melanjutkan ke SMA, sama kaya Aini. Maaf ya, Tante, Om, Aku ini orang nya suka bercanda mulu. Tapi kalau di ajak serius ke jenjang pelaminan Aku mau kok."
Aini, Pak Amar, Bu Aidah, semuanya tertawa, mungkin baru kali ini mereka bertemu manusia seperti Raisya.
"Tidak apa-apa loh, semoga Aini tidak merepotkan Mu ya. Bapak titip Aini ke Kamu, Raisya." Kata Pak Amar."Iya Pak, dari semenjak Aku bertemu Aini, dia selalu merepotkan Ku. Masa tiba-tiba ngasih aku asem."
"Loh kok asem? Aini, Ibu kan gak bawa asem kesini. Kamu dapat dari mana?" kali ini, Bu Aidah yang menanggapi Raisya.
"Itu loh Tante, Aini cemberut mulu. Jadi asem deh, kaya rujak Mang Udin. Katanya gara-gara Pria, tapi Aku gak tau Pria nya siapa, jadi Aku repot deh."
"Apaan si, nggak kok Bu. Itu tadi Aini... hm.."
Saat Aini akan melanjutkan obrolan nya, ekor mata nya menemukan seorang yang di cari-cari. Ia mendekat, entah akan apa. Hati Aini berdetak begitu cepat, apakah ini takdir? takdir yang seharusnya Pria itu akan mengenali Aini? apakah Pria itu membawa kabar yang baik? atau akan memberikan luka kembali?Seperti biasa, pria berpeci hitam itu menyunggingkan senyumannya. Memberikan keramahan pada setiap orang. Ucapan salam seperti biasa jika bertemu dengan orang sudah menjadi kewajibannya."Eh, ada Nak Iklil. Sudah selesai kah acaranya?" Dari awal, Pak Amar sangat senang terhadap perlakuan Iklil. Cara menyambutnya, saat mengajak ngobrol, memperkenalkan dirinya, Pak Amar sangat suka pada remaja yang seperti itu."Sudah, Pak. Tadi, baru saja ditutup sama rekan Saya."Diseberang sana, ada yang memanggil Iklil, sambil melambaikan tangannya pertanda bahwa orang tersebut memanggil Iklil."Pak, maaf sekali. Saya ada urusan lagi," kata Iklil terburu-buru."Tidak apa-apa, Nak."Iklil segera pergi, menghampiri Zainal, yang memanggilnya tadi. Pak Amar dan Bu Aidah juga pamit ke tempat penginapan sebentar. Aini, sekali lagi, Ia terluka walaupun hanya luka yang kecil. Aini mengira bahwa Iklil akan mengetahui namanya pada saat pertemuan tadi. Hasilnya nihil, s
Koridor putri lantai dua lengang. Kedua gadis ini masih diam dalam lamunannya, memikirkan laki-laki idamannya. Takut akan takdir, takut jika tidak bisa bersama. Tinggal beberapa langkah lagi, Aini dan Raisya sampai di pintu kamar. Namun, ada yang membuat langkah keduanya terhenti. Diluar kamar, Iklil tengah mengobrol dengan laki-laki yang tadi sempat bertemu di koridor. Aini dan Raisya bertanya-tanya, sedang apa mereka di kamar putri? dan siapa laki-laki itu?ekor mata Iklil menemukan keberadaan Aini,"Hai, Kamu lagi." Sapa Iklil, yang membuat Aini berdegup kencang. Namun Aini tak puas, namanya belum disebutkan, Iklil belum tahu namanya."Hai, juga Kak." Jawab Aini singkat. Aini takut jika perkataannya salah, lebih baik dipersingkat."Oh, iya. Sejak Kita bertemu tadi malam, Saya belum tahu nama Kamu." Ucap Iklil, bukan hanya Aini saja yang ingin diketahui namanya, Iklil pun sama, ingin diketahui juga oleh gadis di depannya."Namaku Aini, Aini Halwa."
Setelah mendapatkan perintah dari Kyai Kholil, Iklil mengantar Gus Rayhan ke kamarnya. Hanya ada diam saat mereka menuju kamar Gus Rayhan. Iklil masih larut dalam fikiran-fikiran negatifnya, seolah tak percaya diri karena sekarang saingan perasaannya dengan Gusnya, orang yang harus dita'ati. Dengan menenteng koper milik Gus Rayhan, Iklil mecoba memulai perbincangan,"Ini Gus, kamarnya. Setiap minggu selalu dibersihkan oleh Mbak santri, jadi Gus ndak perlu khawatir. Semuanya sudah rapi, dan siap dipakai." Ujar Iklil."Terima kasih, ya, Kamu boleh melanjutkan aktivitas Kamu. Biar Saya saja yang merapikan kembali barang-barangnya.""Sama-sama Gus, kalau begitu, Saya izin pamit. Kebetulan, urusan dengan santri baru belum selesai." Pamit Iklil. Rasanya, Iklil ingin segera pergi dari ruangan tersebut."Ouh, Aini? santri baru itu kah?" terka Gus Rayhan."Bukan Gus, bukan hanya Aini, tapi ratusan santri lainnya," timpal Iklil."Saya juga ingin ikut
"Terima kasih sudah memberi tahu Aini, Kak.""Sama-sama." Ingin sekali Iklil mengucapkan, jangan menangis Aini, aku tak suka jika kamu menangis. Serasa dunia ini hancur, bahkan lebih dari itu. Tapi nihil, Iklil malu mengatakannya."Aku duluan pergi, Kak. Ayo Raisya," ucapnya pamit. Aini menarik tangan Raisya, meninggalkan Iklil. Iklil menatapi punggung Aini yang berlalu pergi ke masjid, Iklil sadar akan lamunannya lalu pergi beranjak ke masjid, mungkin kyai Kholil sudah menunggu di sana.Pujian-pujian terdengar di halaman masjid, di kumandangkan oleh santri putra. Sudah menjadi adat bagi mereka saat menunggu kyai Kholil datang. Iklil yang tengah memasuki pintu khusus putra, mendapati Zainal yang sedang membaca ayat suci Al-Quran. Iklil ingat bahwa dirinya belum memberitahukan perihal koperasi pada Zainal. Terlalu banyak urusan sampai-sampai urusan koperasi yang lebih penting dari segalanya terlupakan. Iklil menghampiri Zainal, hendak memberitahukan."Hey,"
Telepon genggam milik Iklil lengang. Tak ada yang menyahut satu pun, hanya diam. Detak jantung Iklil berdetak dua kali lebih cepat, menunggu jawaban dari abahnya."[Abah? tolong jawab. Mengapa Abah hanya diam,]" desak Iklil."[Umi, Nak. Umi sedang sakit, kanker jantungnya kambuh lagi, tadi sore kami bergegas pergi ke rumah sakit terdekat. Umi selalu mengigau, menyebutkan namamu berulang-ulang. Jika Kamu luang, pulang lah, Nak. Temui Umi,]" pinta Abah. Bagaimana ini, besok ia harus pergi berbelanja koperasi dengan Zainal, kyai kholil juga meminta untuk ditemani ke acara haul. Ah, pulang saja, urusan umi lebih penting dari apapun, batin Iklil berucap."[Hallo, Nak. Bagaimana?]""[Iya Abah, nanti Iklil akan pulang. Diusahakan sebisa mungkin Iklil harus pulang. Nanti jam tujuh pagi, Iklil akan meminta izin pada kyai, semoga saja diberi izin.]""[Bagus kalau begitu, Abah matikan ya, assalamualaikum.]""[Waalaikumsalam.]""Huufft, rintangan
"Sekali lagi terima kasih, Ra. Karena sudah memberi tahuku,""Sama-sama, Aini." Aini melamun, kenapa Iklil tidak memberi tahunya? Ahh, dia ingat, Aini bukan siapa-siapanya Iklil. Bagaimana mungkin Iklil akan memberi tahu pada Aini, mencari kabar Aini pun tidak, apalagi harus memberi tahukan apa sebab-sebabnya Iklil pulang."Aini? Hallo? Yeh, malah melamun. Pasti karena Iklil, Aku merasa bersalah karena memberi tahumu.""A--iya? Aduh, ini kenapa ya Allah. Ngga kok, masa memikirkan kak Iklil. Bukannya kalau memikirkan orang yang bukan mahram itu dosa, ya?" Ucap Aini terang-terangan. Padahal, yang sebenarnya terjadi ialah, Aini sedang memikirkan kak Iklil--lelaki yang bukan mahramnya."Aahh, Kamu. Bisa saja mengelaknya, Aku juga tau kok, Kamu sendiri yang dosa tau. Memikirkan kak Iklil kan? mana mungkin sekarang Kamu melamunkan tukang rujak, pastinya melamunkan kak Iklil-mu itu kan?" beberapa pertanyaan Raisya membuat Aini kesal."Astagfirullah
Iklil menghampiri perempuan itu, memastikan. Saat didekati, perempuan itu persis sekali seperti Aini. Iklil menyapanya,"Permisi," kata Iklil. Perempuan itu menoleh, ternyata bukan. Mustahil juga jika Aini sekarang berada di rumah sakit. Bukankah Aini sekarang sedang di pesantren?"Iya, Mas?" Tanya perempuan itu, Iklil menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali itu."Hm, maaf Mbak, Saya salah orang.""Ouh tidak apa-apa, Mas. Mas pasti sedang mencari istri Mas, ya?""A--apa? Istri? Saya masih kuliah, Mbak. Belum punya Istri,""Atau, Mas lagi memikirkan pacar, Mas, ya?""Huuss, Mbak ini. Kan di dalam Islam tidak boleh pacaran." Pipi Iklil memerah, mengapa ia malah memikirkan Aini, yang jelas-jelas bukan mahramnya."Aah, si Mas ini, pipi Mas tuh kemerahan. Saya tinggalkan dulu, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," Iklil langsung memegangi pipi-nya. Apakah merah? Aahh lupakan saja, batin Iklil. Iklil terus menyusuri ko
Suara mesin rumah sakit berbunyi. Menandakan kondisi pasien tengah koma. Umi Hana terdiam, tidak bergerak sama sekali. Iklil panik, begitu juga abahnya. Iklil bergegas keluar, memanggil salah satu suster, memberi tahukan kondisi uminya."Siapa saja, tolong umi ...." teriak Iklil. Satu, dua suster lainnya berlarian, memberikan pertolongan. Wanita berpakaian suster itu sangat sigap, mengecek setiap data yang dikeluarkan oleh mesin itu. Tak henti-henti Iklil merapalkan doa terbaik bagi sang umi."Ya Allah ... bantu kami, berikanlah umi kesembuhan total. Aku tidak mau jika harus terus seperti ini, umi tersiksa, begitupun abah." Iklil begitu memohon pada Sang Pencipta, Sang pemberi keselamatan. Abah Ahmad terkulai, tak sanggup melihat istri tercintanya kesakitan.Suara mesin itu berhenti sejenak, memberikan pertanyaan bagi Iklil. Semua suster berdegup kencang, menentukan hasil kerja mereka, apakah akan selamat? atau berujung pada kematian. Tiba-tiba, gambar pada monitor
Raisya mematung, mengamati tiap kata yang dilontarkan gus Rayhan. Sangat aneh, mengapa banyak sekali pertanyaan yang tertuju pada Aini. Aini juga sama seperti Raisya, merasakan hal yang sama."Kenapa Ustadz? ada yang salah?" Ungkap Raisya dengan beraninya ia mengucapkan itu."Tidak, tidak ada yang salah," sergah gus Rayhan. Sekali lagi, Raisya membatu. Dingin sekali perlakuan lelaki itu pada Raisya, berbanding terbalik dengan perlakuan lelaki itu pada Aini.Aini berbisik pada Raisya, memberikan peringatan, "Sudah, Ra. Dia itu ustadz, Kamu nggak boleh seperti itu, itu namanya tidak ta'dzim. Kamu sendiri kan yang ngajarin Aku harus ta'dzim. Segera Kamu meminta maaf," ucap Aini."Maaf kan Saya, Ustad, karena sudah ceroboh," kata Raisya."Aah, sudahlah lupakan. Maaf semuanya, Saya agak melenceng. Baik, kita lanjutkan kembali materi kita hari ini, materi Bahasa. Karena Iklil akan mengajarkan kalian semua tentang kitab kuning, Saya hanya mengisi kekosongan sa
Suara mesin rumah sakit berbunyi. Menandakan kondisi pasien tengah koma. Umi Hana terdiam, tidak bergerak sama sekali. Iklil panik, begitu juga abahnya. Iklil bergegas keluar, memanggil salah satu suster, memberi tahukan kondisi uminya."Siapa saja, tolong umi ...." teriak Iklil. Satu, dua suster lainnya berlarian, memberikan pertolongan. Wanita berpakaian suster itu sangat sigap, mengecek setiap data yang dikeluarkan oleh mesin itu. Tak henti-henti Iklil merapalkan doa terbaik bagi sang umi."Ya Allah ... bantu kami, berikanlah umi kesembuhan total. Aku tidak mau jika harus terus seperti ini, umi tersiksa, begitupun abah." Iklil begitu memohon pada Sang Pencipta, Sang pemberi keselamatan. Abah Ahmad terkulai, tak sanggup melihat istri tercintanya kesakitan.Suara mesin itu berhenti sejenak, memberikan pertanyaan bagi Iklil. Semua suster berdegup kencang, menentukan hasil kerja mereka, apakah akan selamat? atau berujung pada kematian. Tiba-tiba, gambar pada monitor
Iklil menghampiri perempuan itu, memastikan. Saat didekati, perempuan itu persis sekali seperti Aini. Iklil menyapanya,"Permisi," kata Iklil. Perempuan itu menoleh, ternyata bukan. Mustahil juga jika Aini sekarang berada di rumah sakit. Bukankah Aini sekarang sedang di pesantren?"Iya, Mas?" Tanya perempuan itu, Iklil menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali itu."Hm, maaf Mbak, Saya salah orang.""Ouh tidak apa-apa, Mas. Mas pasti sedang mencari istri Mas, ya?""A--apa? Istri? Saya masih kuliah, Mbak. Belum punya Istri,""Atau, Mas lagi memikirkan pacar, Mas, ya?""Huuss, Mbak ini. Kan di dalam Islam tidak boleh pacaran." Pipi Iklil memerah, mengapa ia malah memikirkan Aini, yang jelas-jelas bukan mahramnya."Aah, si Mas ini, pipi Mas tuh kemerahan. Saya tinggalkan dulu, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," Iklil langsung memegangi pipi-nya. Apakah merah? Aahh lupakan saja, batin Iklil. Iklil terus menyusuri ko
"Sekali lagi terima kasih, Ra. Karena sudah memberi tahuku,""Sama-sama, Aini." Aini melamun, kenapa Iklil tidak memberi tahunya? Ahh, dia ingat, Aini bukan siapa-siapanya Iklil. Bagaimana mungkin Iklil akan memberi tahu pada Aini, mencari kabar Aini pun tidak, apalagi harus memberi tahukan apa sebab-sebabnya Iklil pulang."Aini? Hallo? Yeh, malah melamun. Pasti karena Iklil, Aku merasa bersalah karena memberi tahumu.""A--iya? Aduh, ini kenapa ya Allah. Ngga kok, masa memikirkan kak Iklil. Bukannya kalau memikirkan orang yang bukan mahram itu dosa, ya?" Ucap Aini terang-terangan. Padahal, yang sebenarnya terjadi ialah, Aini sedang memikirkan kak Iklil--lelaki yang bukan mahramnya."Aahh, Kamu. Bisa saja mengelaknya, Aku juga tau kok, Kamu sendiri yang dosa tau. Memikirkan kak Iklil kan? mana mungkin sekarang Kamu melamunkan tukang rujak, pastinya melamunkan kak Iklil-mu itu kan?" beberapa pertanyaan Raisya membuat Aini kesal."Astagfirullah
Telepon genggam milik Iklil lengang. Tak ada yang menyahut satu pun, hanya diam. Detak jantung Iklil berdetak dua kali lebih cepat, menunggu jawaban dari abahnya."[Abah? tolong jawab. Mengapa Abah hanya diam,]" desak Iklil."[Umi, Nak. Umi sedang sakit, kanker jantungnya kambuh lagi, tadi sore kami bergegas pergi ke rumah sakit terdekat. Umi selalu mengigau, menyebutkan namamu berulang-ulang. Jika Kamu luang, pulang lah, Nak. Temui Umi,]" pinta Abah. Bagaimana ini, besok ia harus pergi berbelanja koperasi dengan Zainal, kyai kholil juga meminta untuk ditemani ke acara haul. Ah, pulang saja, urusan umi lebih penting dari apapun, batin Iklil berucap."[Hallo, Nak. Bagaimana?]""[Iya Abah, nanti Iklil akan pulang. Diusahakan sebisa mungkin Iklil harus pulang. Nanti jam tujuh pagi, Iklil akan meminta izin pada kyai, semoga saja diberi izin.]""[Bagus kalau begitu, Abah matikan ya, assalamualaikum.]""[Waalaikumsalam.]""Huufft, rintangan
"Terima kasih sudah memberi tahu Aini, Kak.""Sama-sama." Ingin sekali Iklil mengucapkan, jangan menangis Aini, aku tak suka jika kamu menangis. Serasa dunia ini hancur, bahkan lebih dari itu. Tapi nihil, Iklil malu mengatakannya."Aku duluan pergi, Kak. Ayo Raisya," ucapnya pamit. Aini menarik tangan Raisya, meninggalkan Iklil. Iklil menatapi punggung Aini yang berlalu pergi ke masjid, Iklil sadar akan lamunannya lalu pergi beranjak ke masjid, mungkin kyai Kholil sudah menunggu di sana.Pujian-pujian terdengar di halaman masjid, di kumandangkan oleh santri putra. Sudah menjadi adat bagi mereka saat menunggu kyai Kholil datang. Iklil yang tengah memasuki pintu khusus putra, mendapati Zainal yang sedang membaca ayat suci Al-Quran. Iklil ingat bahwa dirinya belum memberitahukan perihal koperasi pada Zainal. Terlalu banyak urusan sampai-sampai urusan koperasi yang lebih penting dari segalanya terlupakan. Iklil menghampiri Zainal, hendak memberitahukan."Hey,"
Setelah mendapatkan perintah dari Kyai Kholil, Iklil mengantar Gus Rayhan ke kamarnya. Hanya ada diam saat mereka menuju kamar Gus Rayhan. Iklil masih larut dalam fikiran-fikiran negatifnya, seolah tak percaya diri karena sekarang saingan perasaannya dengan Gusnya, orang yang harus dita'ati. Dengan menenteng koper milik Gus Rayhan, Iklil mecoba memulai perbincangan,"Ini Gus, kamarnya. Setiap minggu selalu dibersihkan oleh Mbak santri, jadi Gus ndak perlu khawatir. Semuanya sudah rapi, dan siap dipakai." Ujar Iklil."Terima kasih, ya, Kamu boleh melanjutkan aktivitas Kamu. Biar Saya saja yang merapikan kembali barang-barangnya.""Sama-sama Gus, kalau begitu, Saya izin pamit. Kebetulan, urusan dengan santri baru belum selesai." Pamit Iklil. Rasanya, Iklil ingin segera pergi dari ruangan tersebut."Ouh, Aini? santri baru itu kah?" terka Gus Rayhan."Bukan Gus, bukan hanya Aini, tapi ratusan santri lainnya," timpal Iklil."Saya juga ingin ikut
Koridor putri lantai dua lengang. Kedua gadis ini masih diam dalam lamunannya, memikirkan laki-laki idamannya. Takut akan takdir, takut jika tidak bisa bersama. Tinggal beberapa langkah lagi, Aini dan Raisya sampai di pintu kamar. Namun, ada yang membuat langkah keduanya terhenti. Diluar kamar, Iklil tengah mengobrol dengan laki-laki yang tadi sempat bertemu di koridor. Aini dan Raisya bertanya-tanya, sedang apa mereka di kamar putri? dan siapa laki-laki itu?ekor mata Iklil menemukan keberadaan Aini,"Hai, Kamu lagi." Sapa Iklil, yang membuat Aini berdegup kencang. Namun Aini tak puas, namanya belum disebutkan, Iklil belum tahu namanya."Hai, juga Kak." Jawab Aini singkat. Aini takut jika perkataannya salah, lebih baik dipersingkat."Oh, iya. Sejak Kita bertemu tadi malam, Saya belum tahu nama Kamu." Ucap Iklil, bukan hanya Aini saja yang ingin diketahui namanya, Iklil pun sama, ingin diketahui juga oleh gadis di depannya."Namaku Aini, Aini Halwa."
Seperti biasa, pria berpeci hitam itu menyunggingkan senyumannya. Memberikan keramahan pada setiap orang. Ucapan salam seperti biasa jika bertemu dengan orang sudah menjadi kewajibannya."Eh, ada Nak Iklil. Sudah selesai kah acaranya?" Dari awal, Pak Amar sangat senang terhadap perlakuan Iklil. Cara menyambutnya, saat mengajak ngobrol, memperkenalkan dirinya, Pak Amar sangat suka pada remaja yang seperti itu."Sudah, Pak. Tadi, baru saja ditutup sama rekan Saya."Diseberang sana, ada yang memanggil Iklil, sambil melambaikan tangannya pertanda bahwa orang tersebut memanggil Iklil."Pak, maaf sekali. Saya ada urusan lagi," kata Iklil terburu-buru."Tidak apa-apa, Nak."Iklil segera pergi, menghampiri Zainal, yang memanggilnya tadi. Pak Amar dan Bu Aidah juga pamit ke tempat penginapan sebentar. Aini, sekali lagi, Ia terluka walaupun hanya luka yang kecil. Aini mengira bahwa Iklil akan mengetahui namanya pada saat pertemuan tadi. Hasilnya nihil, s