Beranda / Romansa / Pria Alfiyah / Pulangnya Iklil 2

Share

Pulangnya Iklil 2

Penulis: Syska Nabila
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Sekali lagi terima kasih, Ra. Karena sudah memberi tahuku," 

"Sama-sama, Aini." Aini melamun, kenapa Iklil tidak memberi tahunya? Ahh, dia ingat, Aini bukan siapa-siapanya Iklil. Bagaimana mungkin Iklil akan memberi tahu pada Aini, mencari kabar Aini pun tidak, apalagi harus memberi tahukan apa sebab-sebabnya Iklil pulang. 

"Aini? Hallo? Yeh, malah melamun. Pasti karena Iklil, Aku merasa bersalah karena memberi tahumu."

"A--iya? Aduh, ini kenapa ya Allah. Ngga kok, masa memikirkan kak Iklil. Bukannya kalau memikirkan orang yang bukan mahram itu dosa, ya?" Ucap Aini terang-terangan. Padahal, yang sebenarnya terjadi ialah, Aini sedang memikirkan kak Iklil--lelaki yang bukan mahramnya.

"Aahh, Kamu. Bisa saja mengelaknya, Aku juga tau kok, Kamu sendiri yang dosa tau. Memikirkan kak Iklil kan? mana mungkin sekarang Kamu melamunkan tukang rujak, pastinya melamunkan kak Iklil-mu itu kan?" beberapa pertanyaan Raisya membuat Aini kesal.

"Astagfirullah, Ra, jangan begitu. Lantas, Kamu sendiri? menginginkan laki-laki yang sempat bertemu di koridor bawah bukan? Bagaimana itu?" Lagi-lagi, Aini tidak mau kalah argumen dengan Raisya. Untungnya, Raisya menyikapi Aini denagn biasa saja, mungkin jika orang lain yang sekarang sedang menghadapi Aini akan marah besar. Raisya adalah orang dengan kriteria ceria dan penyabar. Raisya juga tau, pasti Aini sekarang tengah dilanda emosi karena kepergian Iklil tanpa sepengetahuan Aini.

"Loh, kenapa Aini malah memojok-mojokkanku? memang benar kok, Aku menyukai laki-laki itu. Tapi Aku selalu meminta pada Allah untuk memberikan pasangan yang soleh untukku, bukan berarti itu dia. Sudahlah Aini, padamkan egomu, berdoalah, kirimkan rindu-rindumu, kasihmu, cintamu, lewat doa. Aku yakin Allah akan memberikan yang terbaik untukmu, dan untukku."

"Entahlah, Aku terlalu egois. Aku menginginkan kak Iklil, namun dia tidak menginginkanku. Itu sungguh lucu, sampai kapan Aku menunggu kepastian. Apakah dia mencintaiku? ataukah hanya memandangku sebagai santri baru saja?"

"Ingat Aini, di dalam ajaran agama islam, kita tidak boleh berpacaran. Hukumnya haram. Kamu harus tau itu,"

"Ya, Aku sangat tau. Aku tidak mau berpacaran, yang Aku inginkan hanyalah kak Iklil, bukan bayangannya."

"Sekarang Kamu sedang tidak mood ya?"

"Sepertinya, iya." Memang, Aini kalau sudah tidak mood ya begitu. Akan memarahi siapa saja orang yang ditemuinya.

"Nah, kalau yang ini, Aku tidak tahu. Bagaimana cara menghilangkan perasaan burukmu itu?"

"Biasanya, kalau Aku tidak mood, Aku makan cokelat."

"Sebentar," Raisya langsung keluar dari kamarnya, berlarian kecil. Tugas utama Raisya sekarang adalah membeli beberapa cokelat.

"Ahh, dasar teman aneh. Pergi begitu saja, meninggalkanku yang sedang tidak mood." Setelah beberapa menit kemudian, Raisya datang dengan membawa satu kresek cokelat. Memang dia sahabat Aini yang paling mengertikan keadaannya.

"Nih, khusus buat tuan putri yang sedang tidak mood." Raisya melemparkan kresek hitam yang berisikan cokelat itu kepada Aini, sekarang, Aini tersenyum, bahkan mengeluarkan air mata.

"Kamu, Raisya kan? kok romantis banget," Aini menangis, entahlah. Tidak ada kata-kata lagi yang harus diungkapkan pada sahabatnya itu. Raisya memeluk Aini, memberikan kenyamanan bagi sahabatnya.

"Makanya jangan gitu, Aku ngga suka. Udah dibilangin juga ngga suka kalau Kamu cemberut."

"Terima kasih, Ra. Aku harus balas apa atas kebaikan Kamu?" Aini mengusap air matanya, memberikan senyuman terbaik pada sahabatnya.

"Yang Kamu harus lakukan sekarang adalah tersenyum, jangan fikirkan lagi kak Iklil--jika itu menyakitkanmu. Toh, jika kalian jodoh, tidak akan bisa dipisahkan oleh siapapun. Percayalah pada takdir, berdoalah pada Sang Pencipta."

"Iya, Aku akan melaksanakan apa yang Kamu bilang tadi," Aini tersenyum, melaksanakan perintah Raisya.

        ***

Suara rem kereta berdecit, pertanda perjalanan akan berakhir. Iklil bersiap-siap, mengecek barangnya satu persatu agar tidak ada yang tertinggal. Sekali lagi, Iklil memberikan senyumannya pada Raina, gadis mungil itu. Ternyata, tujuan mereka sama, ke Jakarta. Prama dan Prami mengumumkan bahwa para penumpang kereta harus cepat bergegas keluar. Dan memerintahkan untuk mengecek barangnya kembali. Saat pintu utama dibuka, ratusan penumpang keluar dengan tertib, dibantu oleh Penjaga Jalan Lintasan atau PJL. 

"Senang bertemu dengan Kamu, Raina. Sampai jumpa," Iklil memberikan salam perpisahan pada Raina.

"Ayo Sayang, cium tangan Kakak ini, berikan salam." Kata ayahnya. Raina langsung menggaet tangan Iklil lalu menciumnya. Iklil tersenyum, mengingat Aini. Karena warna jilbab yang dipakai Raina persis sekali seperti jilbab Aini.

"Terima kasih, Pak, sudah membolehkan Saya mengobrol dengan Raina."

"Sama-sama, Nak. Bapak pergi duluan, ya. Kamu hati-hati dijalan." Iklil menatapi punggung Raina yang menjauh dipapah ayahnya. Tujuan Iklil sekarang bukan ke rumahnya. Melainkan langsung mendatangi rumah sakit Indra Medika yang letaknya tiga kilometer dari stasiun kereta api. Iklil menghentikan salah satu taxi,

"Rumah sakit Indra Medika, Pak. Secepatnya."

"Baik, jangan lupa pakai sabuk pengaman, Mas." Kata supir taxi itu.

Taxi itu melaju cepat, sesuai perintah Iklil. Baru saja hati Iklil sudah membaik karena kehadiran Raina, sekarang hati Iklil berubah menjadi tidak karuan. Bagaimana kondisi uminya? apakah sudah membaik? semoga saja sudah. 20 menit kemudian, taxi itu sudah terparkir rapi di depan rumah sakit. Iklil membayar transaksi, lalu turun dari taxi itu dengan terburu-buru.

"Terima kasih, Pak."

"Sama-sama, Mas. Ini kembaliannya ...." Iklil tidak menghiraukan supir itu. Berlari, ingin cepat bertemu uminya. Iklil mengahampiri resepsionis, menanyakan kamar uminya. Lantai empat pintu 348. Dengan cekatan, Iklil masuk lift, memencet tombol lantai empat. Dentingan berbunyi, hanya 30 detik, Iklil sudah berada di lantai empat. Sekarang mencari pintu nomor 348, bola mata Iklil mengamati, mencari satu persatu. Nomor itu terpampang pada pintu paling pojok sebelah kanan, yap, pintu 348. Iklil segera membuka pintu itu, terdapat Laki-laki paruh baya tengah mengerjakan solat dzuhur, dan wanita yang disayanginya tengah berbaring lemas--uminya. Umi Hana melihat kedatangan Iklil, ia menangis. 

"Nak, Kamu sudah sampai?" kata umi Hana--uminya Iklil. Iklil mematung, ikut menangis diambang pintu. Iklil berlari kecil, menghampiri uminya, mencium punggung tangannya, lalu memeluk dalam-dalam. Abahnya yang baru saja uluk salam, kini mendekati keluarga kecilnya, ikut memeluk.

"Kenapa Umi bisa sakit?" Iklil melepaskan pelukannya, menatapi wajah uminya yang terlihat sedikit keriput. Uminya hanya terkekeh sambil dihiasi batuk ringan.

"Tidak apa-apa, Nak. Ini sudah takdir,"

"Umi tidak melanggar perintah dokter kan?"

"Tidak sama sekali, Nak." Kali ini, abahnya yang berbicara.

"Umi hanya kecapekan sedikit, tadinya tidak akan dibawa kesini. Cuma Umi butuh infus-nya saja, biar segar." Imbuh abahnya.

"Kalian membuat Iklil khawatir, yasudah kalau begitu jika Umi baik-baik saja. Iklil senang mendengarnya."

"Kamu sudah solat dzuhur belum, Nak?" kata uminya.

"Astagfirullah, belum, Umi. Iklil baru saja sampai ke Jakarta 30 menit yang lalu, belum sempat solat."

"Kamu solat dulu gih, minta kesembuhan total untuk Umi Kamu," ucap abah Ahmad--abahnya Iklil.

"Iya, Abah, Iklil pergi dulu." Iklil berpamitan, menuju lantai dua, lantai itu di khususkan untuk beribadah, ada tempat solat disitu dengan dilengkapi toilet wanita dan toilet pria. Saat menyusuri lantai empat, Iklil melihat perempuan berjilbab ungu lavender, yap, seperti Aini. Entah mengapa, fikiran Iklil selalu berujung pada sosok Aini. ​

Bab terkait

  • Pria Alfiyah    Aini menjadi ketua

    Iklil menghampiri perempuan itu, memastikan. Saat didekati, perempuan itu persis sekali seperti Aini. Iklil menyapanya,"Permisi," kata Iklil. Perempuan itu menoleh, ternyata bukan. Mustahil juga jika Aini sekarang berada di rumah sakit. Bukankah Aini sekarang sedang di pesantren?"Iya, Mas?" Tanya perempuan itu, Iklil menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali itu."Hm, maaf Mbak, Saya salah orang.""Ouh tidak apa-apa, Mas. Mas pasti sedang mencari istri Mas, ya?""A--apa? Istri? Saya masih kuliah, Mbak. Belum punya Istri,""Atau, Mas lagi memikirkan pacar, Mas, ya?""Huuss, Mbak ini. Kan di dalam Islam tidak boleh pacaran." Pipi Iklil memerah, mengapa ia malah memikirkan Aini, yang jelas-jelas bukan mahramnya."Aah, si Mas ini, pipi Mas tuh kemerahan. Saya tinggalkan dulu, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," Iklil langsung memegangi pipi-nya. Apakah merah? Aahh lupakan saja, batin Iklil. Iklil terus menyusuri ko

  • Pria Alfiyah    Kelas Awal

    Suara mesin rumah sakit berbunyi. Menandakan kondisi pasien tengah koma. Umi Hana terdiam, tidak bergerak sama sekali. Iklil panik, begitu juga abahnya. Iklil bergegas keluar, memanggil salah satu suster, memberi tahukan kondisi uminya."Siapa saja, tolong umi ...." teriak Iklil. Satu, dua suster lainnya berlarian, memberikan pertolongan. Wanita berpakaian suster itu sangat sigap, mengecek setiap data yang dikeluarkan oleh mesin itu. Tak henti-henti Iklil merapalkan doa terbaik bagi sang umi."Ya Allah ... bantu kami, berikanlah umi kesembuhan total. Aku tidak mau jika harus terus seperti ini, umi tersiksa, begitupun abah." Iklil begitu memohon pada Sang Pencipta, Sang pemberi keselamatan. Abah Ahmad terkulai, tak sanggup melihat istri tercintanya kesakitan.Suara mesin itu berhenti sejenak, memberikan pertanyaan bagi Iklil. Semua suster berdegup kencang, menentukan hasil kerja mereka, apakah akan selamat? atau berujung pada kematian. Tiba-tiba, gambar pada monitor

  • Pria Alfiyah    Perasaan

    Raisya mematung, mengamati tiap kata yang dilontarkan gus Rayhan. Sangat aneh, mengapa banyak sekali pertanyaan yang tertuju pada Aini. Aini juga sama seperti Raisya, merasakan hal yang sama."Kenapa Ustadz? ada yang salah?" Ungkap Raisya dengan beraninya ia mengucapkan itu."Tidak, tidak ada yang salah," sergah gus Rayhan. Sekali lagi, Raisya membatu. Dingin sekali perlakuan lelaki itu pada Raisya, berbanding terbalik dengan perlakuan lelaki itu pada Aini.Aini berbisik pada Raisya, memberikan peringatan, "Sudah, Ra. Dia itu ustadz, Kamu nggak boleh seperti itu, itu namanya tidak ta'dzim. Kamu sendiri kan yang ngajarin Aku harus ta'dzim. Segera Kamu meminta maaf," ucap Aini."Maaf kan Saya, Ustad, karena sudah ceroboh," kata Raisya."Aah, sudahlah lupakan. Maaf semuanya, Saya agak melenceng. Baik, kita lanjutkan kembali materi kita hari ini, materi Bahasa. Karena Iklil akan mengajarkan kalian semua tentang kitab kuning, Saya hanya mengisi kekosongan sa

  • Pria Alfiyah    Aini

    Aini menyusuri satu persatu lukisan kakaknya. Lukisan yang selalu mengingatkan pada kematian kakaknya yang begitu tragis. Kakaknya tewas saat ia hendak pergi ke pesantren. Mobil bak tanpa aling-aling yang menabrak kakak Aini hingga tewas. Dari kejadian itu, Aini berfikir bahwa kematian kakaknya disebabkan oleh pesantren. Peraturan pesantren yang membuat kakaknya harus pergi--hingga akhirnya tewas. Aini sekarang sudah lulus sekolah menengah pertama, itu saatnya Aini melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Yap, sekolah menengah atas. Sudah terlalu banyak sindiran orang tuanya tentang pesantren. Kedua orang tuanya menginginkan Aini pergi ke pesantren. Tidak salah lagi, orang tua siapa yang tidak menginginkan putra-putrinya sukses? Ingin putra-putrinya terjerumus pergaulan zaman sekarang? Zaman dimana anak-anak, remaja, bahkan dewasa, melakukan perzinahan, mencopet, bahkan saling membunuh. Itu harga yang mahal sekali. Apakah negara ini berontak? Jawabannya adalah, tidak. Negara terlal

  • Pria Alfiyah    Siapa Pria Itu?

    "Sudah selesai Pak, apa ada yang bisa Saya bantu lagi?" tutur Pria itu."Selesai, Nak? terima kasih banyak, ya, telah membantu Kami.""Sama-sama Pak. Oh iya, jika ada perlu apa-apa bisa tanya langsung saja sama Saya. Jika Bapak berkehendak, boleh tidak kita saling menyimpan nomor telepon?""Boleh sekali itu," Sambil merogoh benda tipis berukuran segi empat yang disimpan disaku celananya--telephone genggam milik pak Amar. Pria itu menyebutkan angka-angka telephonenya."Nak, nama Kamu siapa? biar nanti Bapak masukan namanya, ternyata dari tadi Kita bertemu belum kenalan toh,""Nama Saya Iklil, Pak." Jawab Pria itu."Saya masukan namanya, ya."Setelah sebelumnya saling menyimpan nomor kontak, Iklil berpamitan untuk ke kantor pesantren karena ada urusan mendadak, Iklil adalah santri yang terbilang sangat sibuk karena Ia sendiri menjabat sebagai Rois 'am atau ketua dari seluruh santri. &nb

  • Pria Alfiyah    Harapan Aini

    Pukul 02.30 WIB, Alarm otomatis yang selalu dipasang Iklil berbunyi, pertanda untuk solat tahajud. Iklil terpaksa membukakan matanya dengan malas. Iklil merasa bahwa dirinya tadi hanyalah sedang berbaring, tidak tidur. Segera Ia bangkit dari posisi telentang ke posisi duduk, lalu membenarkan kopiah yang sedikit miring karena tadi Ia tertidur. Dengan langkah gontai, Iklil berjalan menuju tiang yang disitu terdapat stop kontak untuk menyalakan bel seluruh pesantren, teeeeenggg ... bunyi itu selalu memekakan telinga siapa saja yang mendengarnya. Tapi bagi santri yang sudah kebal, suara bom seperti bom hiroshima nagasaki pun tak akan membangunkannya. Terkecuali jika para santri disiram masal oleh setiap pengurus kamar. Alhasil, setiap santri yang akan melaksanakan solat tahajud tak usah mandi. Karena setiap hari akan dimandikan oleh setiap pengurus kamarnya masing-masing. &n

  • Pria Alfiyah    Resmi menjadi Santri

    Saat tatapan Iklil dan Aini bersitubruk, cepat, Iklil memalingkan wajahnya karena Ia tahu bahwa saling memandang itu perbuatan zina mata. Kalimat istighfar lah yang sekarang Ia rapalkan dalam hati."Kenapa Pak?" tanya Aini yang mana Ia juga memalingkan wajah karena malu. Baru kali ini, Aini menatap mata seorang Pria begitu lama sekali. Entah mengapa, ada percikan-percikan rasa yang membara saat melihat Pria itu, yang tak lain ialah Iklil."Hm... itu... tidak kok, tidak apa-apa." Kata Iklil terbata-bata, menunjukan bahwa Iklil sedang gugup."Kalau sudah, Saya mau ambil kertas kamu," lanjut Iklil."Sudah, Pak," sambil memberikan kertas selembar yang berisikan ujian seleksi CSB."Jangan panggil Bapak, Saya masih 20-an." Kata Iklil sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali."Panggil Saya, Kak Iklil," lanjutnya."Oke Kak, apa kita pernah bertemu sebelum nya?""Mungkin, Kamu, bukannya Kamu Anaknya Pak Amar kah

  • Pria Alfiyah    Hari Pertama

    Seperti biasa, pria berpeci hitam itu menyunggingkan senyumannya. Memberikan keramahan pada setiap orang. Ucapan salam seperti biasa jika bertemu dengan orang sudah menjadi kewajibannya."Eh, ada Nak Iklil. Sudah selesai kah acaranya?" Dari awal, Pak Amar sangat senang terhadap perlakuan Iklil. Cara menyambutnya, saat mengajak ngobrol, memperkenalkan dirinya, Pak Amar sangat suka pada remaja yang seperti itu."Sudah, Pak. Tadi, baru saja ditutup sama rekan Saya."Diseberang sana, ada yang memanggil Iklil, sambil melambaikan tangannya pertanda bahwa orang tersebut memanggil Iklil."Pak, maaf sekali. Saya ada urusan lagi," kata Iklil terburu-buru."Tidak apa-apa, Nak."Iklil segera pergi, menghampiri Zainal, yang memanggilnya tadi. Pak Amar dan Bu Aidah juga pamit ke tempat penginapan sebentar. Aini, sekali lagi, Ia terluka walaupun hanya luka yang kecil. Aini mengira bahwa Iklil akan mengetahui namanya pada saat pertemuan tadi. Hasilnya nihil, s

Bab terbaru

  • Pria Alfiyah    Perasaan

    Raisya mematung, mengamati tiap kata yang dilontarkan gus Rayhan. Sangat aneh, mengapa banyak sekali pertanyaan yang tertuju pada Aini. Aini juga sama seperti Raisya, merasakan hal yang sama."Kenapa Ustadz? ada yang salah?" Ungkap Raisya dengan beraninya ia mengucapkan itu."Tidak, tidak ada yang salah," sergah gus Rayhan. Sekali lagi, Raisya membatu. Dingin sekali perlakuan lelaki itu pada Raisya, berbanding terbalik dengan perlakuan lelaki itu pada Aini.Aini berbisik pada Raisya, memberikan peringatan, "Sudah, Ra. Dia itu ustadz, Kamu nggak boleh seperti itu, itu namanya tidak ta'dzim. Kamu sendiri kan yang ngajarin Aku harus ta'dzim. Segera Kamu meminta maaf," ucap Aini."Maaf kan Saya, Ustad, karena sudah ceroboh," kata Raisya."Aah, sudahlah lupakan. Maaf semuanya, Saya agak melenceng. Baik, kita lanjutkan kembali materi kita hari ini, materi Bahasa. Karena Iklil akan mengajarkan kalian semua tentang kitab kuning, Saya hanya mengisi kekosongan sa

  • Pria Alfiyah    Kelas Awal

    Suara mesin rumah sakit berbunyi. Menandakan kondisi pasien tengah koma. Umi Hana terdiam, tidak bergerak sama sekali. Iklil panik, begitu juga abahnya. Iklil bergegas keluar, memanggil salah satu suster, memberi tahukan kondisi uminya."Siapa saja, tolong umi ...." teriak Iklil. Satu, dua suster lainnya berlarian, memberikan pertolongan. Wanita berpakaian suster itu sangat sigap, mengecek setiap data yang dikeluarkan oleh mesin itu. Tak henti-henti Iklil merapalkan doa terbaik bagi sang umi."Ya Allah ... bantu kami, berikanlah umi kesembuhan total. Aku tidak mau jika harus terus seperti ini, umi tersiksa, begitupun abah." Iklil begitu memohon pada Sang Pencipta, Sang pemberi keselamatan. Abah Ahmad terkulai, tak sanggup melihat istri tercintanya kesakitan.Suara mesin itu berhenti sejenak, memberikan pertanyaan bagi Iklil. Semua suster berdegup kencang, menentukan hasil kerja mereka, apakah akan selamat? atau berujung pada kematian. Tiba-tiba, gambar pada monitor

  • Pria Alfiyah    Aini menjadi ketua

    Iklil menghampiri perempuan itu, memastikan. Saat didekati, perempuan itu persis sekali seperti Aini. Iklil menyapanya,"Permisi," kata Iklil. Perempuan itu menoleh, ternyata bukan. Mustahil juga jika Aini sekarang berada di rumah sakit. Bukankah Aini sekarang sedang di pesantren?"Iya, Mas?" Tanya perempuan itu, Iklil menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali itu."Hm, maaf Mbak, Saya salah orang.""Ouh tidak apa-apa, Mas. Mas pasti sedang mencari istri Mas, ya?""A--apa? Istri? Saya masih kuliah, Mbak. Belum punya Istri,""Atau, Mas lagi memikirkan pacar, Mas, ya?""Huuss, Mbak ini. Kan di dalam Islam tidak boleh pacaran." Pipi Iklil memerah, mengapa ia malah memikirkan Aini, yang jelas-jelas bukan mahramnya."Aah, si Mas ini, pipi Mas tuh kemerahan. Saya tinggalkan dulu, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," Iklil langsung memegangi pipi-nya. Apakah merah? Aahh lupakan saja, batin Iklil. Iklil terus menyusuri ko

  • Pria Alfiyah    Pulangnya Iklil 2

    "Sekali lagi terima kasih, Ra. Karena sudah memberi tahuku,""Sama-sama, Aini." Aini melamun, kenapa Iklil tidak memberi tahunya? Ahh, dia ingat, Aini bukan siapa-siapanya Iklil. Bagaimana mungkin Iklil akan memberi tahu pada Aini, mencari kabar Aini pun tidak, apalagi harus memberi tahukan apa sebab-sebabnya Iklil pulang."Aini? Hallo? Yeh, malah melamun. Pasti karena Iklil, Aku merasa bersalah karena memberi tahumu.""A--iya? Aduh, ini kenapa ya Allah. Ngga kok, masa memikirkan kak Iklil. Bukannya kalau memikirkan orang yang bukan mahram itu dosa, ya?" Ucap Aini terang-terangan. Padahal, yang sebenarnya terjadi ialah, Aini sedang memikirkan kak Iklil--lelaki yang bukan mahramnya."Aahh, Kamu. Bisa saja mengelaknya, Aku juga tau kok, Kamu sendiri yang dosa tau. Memikirkan kak Iklil kan? mana mungkin sekarang Kamu melamunkan tukang rujak, pastinya melamunkan kak Iklil-mu itu kan?" beberapa pertanyaan Raisya membuat Aini kesal."Astagfirullah

  • Pria Alfiyah    Pulangnya Iklil

    Telepon genggam milik Iklil lengang. Tak ada yang menyahut satu pun, hanya diam. Detak jantung Iklil berdetak dua kali lebih cepat, menunggu jawaban dari abahnya."[Abah? tolong jawab. Mengapa Abah hanya diam,]" desak Iklil."[Umi, Nak. Umi sedang sakit, kanker jantungnya kambuh lagi, tadi sore kami bergegas pergi ke rumah sakit terdekat. Umi selalu mengigau, menyebutkan namamu berulang-ulang. Jika Kamu luang, pulang lah, Nak. Temui Umi,]" pinta Abah. Bagaimana ini, besok ia harus pergi berbelanja koperasi dengan Zainal, kyai kholil juga meminta untuk ditemani ke acara haul. Ah, pulang saja, urusan umi lebih penting dari apapun, batin Iklil berucap."[Hallo, Nak. Bagaimana?]""[Iya Abah, nanti Iklil akan pulang. Diusahakan sebisa mungkin Iklil harus pulang. Nanti jam tujuh pagi, Iklil akan meminta izin pada kyai, semoga saja diberi izin.]""[Bagus kalau begitu, Abah matikan ya, assalamualaikum.]""[Waalaikumsalam.]""Huufft, rintangan

  • Pria Alfiyah    Dear Diary

    "Terima kasih sudah memberi tahu Aini, Kak.""Sama-sama." Ingin sekali Iklil mengucapkan, jangan menangis Aini, aku tak suka jika kamu menangis. Serasa dunia ini hancur, bahkan lebih dari itu. Tapi nihil, Iklil malu mengatakannya."Aku duluan pergi, Kak. Ayo Raisya," ucapnya pamit. Aini menarik tangan Raisya, meninggalkan Iklil. Iklil menatapi punggung Aini yang berlalu pergi ke masjid, Iklil sadar akan lamunannya lalu pergi beranjak ke masjid, mungkin kyai Kholil sudah menunggu di sana.Pujian-pujian terdengar di halaman masjid, di kumandangkan oleh santri putra. Sudah menjadi adat bagi mereka saat menunggu kyai Kholil datang. Iklil yang tengah memasuki pintu khusus putra, mendapati Zainal yang sedang membaca ayat suci Al-Quran. Iklil ingat bahwa dirinya belum memberitahukan perihal koperasi pada Zainal. Terlalu banyak urusan sampai-sampai urusan koperasi yang lebih penting dari segalanya terlupakan. Iklil menghampiri Zainal, hendak memberitahukan."Hey,"

  • Pria Alfiyah    Kamar Sibyan

    Setelah mendapatkan perintah dari Kyai Kholil, Iklil mengantar Gus Rayhan ke kamarnya. Hanya ada diam saat mereka menuju kamar Gus Rayhan. Iklil masih larut dalam fikiran-fikiran negatifnya, seolah tak percaya diri karena sekarang saingan perasaannya dengan Gusnya, orang yang harus dita'ati. Dengan menenteng koper milik Gus Rayhan, Iklil mecoba memulai perbincangan,"Ini Gus, kamarnya. Setiap minggu selalu dibersihkan oleh Mbak santri, jadi Gus ndak perlu khawatir. Semuanya sudah rapi, dan siap dipakai." Ujar Iklil."Terima kasih, ya, Kamu boleh melanjutkan aktivitas Kamu. Biar Saya saja yang merapikan kembali barang-barangnya.""Sama-sama Gus, kalau begitu, Saya izin pamit. Kebetulan, urusan dengan santri baru belum selesai." Pamit Iklil. Rasanya, Iklil ingin segera pergi dari ruangan tersebut."Ouh, Aini? santri baru itu kah?" terka Gus Rayhan."Bukan Gus, bukan hanya Aini, tapi ratusan santri lainnya," timpal Iklil."Saya juga ingin ikut

  • Pria Alfiyah    Gus Rayhan

    Koridor putri lantai dua lengang. Kedua gadis ini masih diam dalam lamunannya, memikirkan laki-laki idamannya. Takut akan takdir, takut jika tidak bisa bersama. Tinggal beberapa langkah lagi, Aini dan Raisya sampai di pintu kamar. Namun, ada yang membuat langkah keduanya terhenti. Diluar kamar, Iklil tengah mengobrol dengan laki-laki yang tadi sempat bertemu di koridor. Aini dan Raisya bertanya-tanya, sedang apa mereka di kamar putri? dan siapa laki-laki itu?ekor mata Iklil menemukan keberadaan Aini,"Hai, Kamu lagi." Sapa Iklil, yang membuat Aini berdegup kencang. Namun Aini tak puas, namanya belum disebutkan, Iklil belum tahu namanya."Hai, juga Kak." Jawab Aini singkat. Aini takut jika perkataannya salah, lebih baik dipersingkat."Oh, iya. Sejak Kita bertemu tadi malam, Saya belum tahu nama Kamu." Ucap Iklil, bukan hanya Aini saja yang ingin diketahui namanya, Iklil pun sama, ingin diketahui juga oleh gadis di depannya."Namaku Aini, Aini Halwa."

  • Pria Alfiyah    Hari Pertama

    Seperti biasa, pria berpeci hitam itu menyunggingkan senyumannya. Memberikan keramahan pada setiap orang. Ucapan salam seperti biasa jika bertemu dengan orang sudah menjadi kewajibannya."Eh, ada Nak Iklil. Sudah selesai kah acaranya?" Dari awal, Pak Amar sangat senang terhadap perlakuan Iklil. Cara menyambutnya, saat mengajak ngobrol, memperkenalkan dirinya, Pak Amar sangat suka pada remaja yang seperti itu."Sudah, Pak. Tadi, baru saja ditutup sama rekan Saya."Diseberang sana, ada yang memanggil Iklil, sambil melambaikan tangannya pertanda bahwa orang tersebut memanggil Iklil."Pak, maaf sekali. Saya ada urusan lagi," kata Iklil terburu-buru."Tidak apa-apa, Nak."Iklil segera pergi, menghampiri Zainal, yang memanggilnya tadi. Pak Amar dan Bu Aidah juga pamit ke tempat penginapan sebentar. Aini, sekali lagi, Ia terluka walaupun hanya luka yang kecil. Aini mengira bahwa Iklil akan mengetahui namanya pada saat pertemuan tadi. Hasilnya nihil, s

DMCA.com Protection Status