Home / Romansa / Pria Alfiyah / Gus Rayhan

Share

Gus Rayhan

Author: Syska Nabila
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Koridor putri lantai dua lengang. Kedua gadis ini masih diam dalam lamunannya, memikirkan laki-laki idamannya. Takut akan takdir, takut jika tidak bisa bersama. Tinggal beberapa langkah lagi, Aini dan Raisya sampai di pintu kamar. Namun, ada yang membuat langkah keduanya terhenti. Diluar kamar, Iklil tengah mengobrol dengan laki-laki yang tadi sempat bertemu di koridor. Aini dan Raisya bertanya-tanya, sedang apa mereka di kamar putri? dan siapa laki-laki itu?

ekor mata Iklil menemukan keberadaan Aini,

"Hai, Kamu lagi." Sapa Iklil, yang membuat Aini berdegup kencang. Namun Aini tak puas, namanya belum disebutkan, Iklil belum tahu namanya. 

"Hai, juga Kak." Jawab Aini singkat. Aini takut jika perkataannya salah, lebih baik dipersingkat.

"Oh, iya. Sejak Kita bertemu tadi malam, Saya belum tahu nama Kamu." Ucap Iklil, bukan hanya Aini saja yang ingin diketahui namanya, Iklil pun sama, ingin diketahui juga oleh gadis di depannya.

"Namaku Aini, Aini Halwa." Imbuh Aini, Aini percaya bahwa semuanya akan indah. Meskipun tak seberapa. Hari ini juga, resmi sudah perkenalannya dengan Iklil.

"Mata yang indah, bagus sekali nama Kamu." Ucap Iklil sambil melihat mata Aini yang memang benar indah. Mata keduanya saling menatap, merasakan degupan jantung. Buru-buru, Iklil mengalihkan pandangan, mengucap istigfar, Aini bukan mahramnya, haram dilihat.

"Maaf, Aini." Keduanya gugup, salah tingkah, entah harus memulai dari mana perbincangan berikutnya. Ini kali pertama Iklil menyebutkan nama Aini. Raisya, merasa dirinya tidak dipedulikan langsung berbicara,

"Maaf Kak, kami harus buru-buru masuk ke kamar. Takut disanksi sama Mbak galak yang tadi," pungkas Raisya. Tangan Aini ditarik paksa oleh Raisya, untuk segera masuk ke kamar.

Dengan suara lantang, Iklil memproklamirkan namanya, "Nama saya, Iklil." Suara itu pastinya terdengar oleh telinga Aini, Iklil, namamu juga bagus, batin Aini. Ada tatapan aneh dari laki-laki yang berada di samping Iklil, sejak tadi Iklil mengobrol dengan Aini, laki-laki itu terus mengamati setiap gerak-gerik yang dilakukan Aini. Laki-laki itu menyukai Aini saat pertama kali melihatnya.

"Aini, apakah Dia santri baru?" tanya laki-laki itu.

"Iya, tadi malam, Saya bertemu dengannya di tempat parkir," jawab Iklil.

"Baguslah, Kamu suka Dia?" pertanyaan ini membuat Iklil terpaku. Jika Iklil menjawab tidak, tapi, Iklil merasakan ada getaran aneh dalam hatinya. Itu berarti, Iklil menyukai Aini. Jika menjawab iya, sekarang Iklil sedang mempunyai komitmen dengan Arumi, Roisah pesantren. 

"Suka? tidak, Saya mau fokus dulu mengaji." ucap Iklil membohongi perasaannya sendiri.

"Jika Kamu tidak menyukainya, Saya akan taaruf dengan Aini," ujar Laki-laki itu  percaya diri.

Iklil mengalihkan pembicaraan, mengajak laki-laki itu untuk segera menemui Kyai

"Sebaiknya Kita segera bertemu Kyai, takut keburu ashar." Ajakan Iklil ditanggapi oleh laki-laki itu.

                          ***

"Kamu ah, gara-gara Kamu, Aku jadi lalat lewat nggak guna. Untung aja ada Kakak yang ganteng," gerutu Raisya.

"Justru sebab Kamu, pertemuan Aku sama Kak Iklil singkat banget," dengus Aini dengan bibir menggerutu.

"Sudah, ah. Aku lapar." Raisya membukakan pintu kulkas berisikan minuman dan makanan ringan, mengambil beberapa cemilan. Raisya memilih sereal yang sudah siap dimakan dengan susu sebagai minumannya. 

"Kamu mau apa? Aku pilihkan ya ...," Raisya mengambil minuman varian jeruk, lalu menyodorkan minuman itu pada Aini. Sontak, Aini mengibaskan tangan Raisya yang sedang memegang minuman tersebut lalu, bruaaak ..., minuman itu jatuh, gelas plastiknya pecah, membuat kubangan kecil. Raisya dibuat kaget oleh Aini.

"Kamu kenapa Aini? ada yang salah dengan minumannya?" Raisya masih heran, kenapa Aini berbuat seperti itu. Jika ketahuan Mbak galak tadi, pasti akan mendapatkan sanksi.

"Ya Allah, maafkan Aku, Raisya. Aku kaget, Aku kira bukan jeruk. Aku fobia buah itu," ucap Aini merasa bersalah.

"Astagfirullah, Kamu fobia jeruk? gimana ceritanya? kok aku pengen ketawa, ya." Raisya terbahak, Aini hanya bisa diam, malu. Aini mempunyai keturunan dari Ayahnya, sama-sama fobia jeruk. Entah genetik dari mana, Aini juga tidak tahu.

"Sudahlah, jangan ketawa Raisya. Memang Aku aneh kok," kata Aini kesal.

"Maaf-maaf, Aini. Nih, Susu mangga, suka kan? Aku jadi tau apa saja fobia Kamu, kan kita sahabat." Ucap Raisya nyengir kuda.

"Suka kok, makasih, Ra." Keduanya bertatapan, saling melemparkan senyuman. Karena sahabat sejati harus tau apa yang disuka dan tidak disukai, harus tau bagaimana caranya membuat bahagia jika sedih. Itulah arti sahabat.

                      ***

Ceklek, pintu depan rumah Kyai dibuka perlahan oleh Iklil setelah sebelumnya mendapat izin untuk masuk ke rumah Kyai.

"Assalamualaikum," salam Iklil dijawab oleh semua orang yang berada didalam rumah Kyai, hanya ada nyai Fatimah, dan santri-santri yang mengabdi pada Kyai.

"Waalaikumsalam, ada apa Iklil? siapa yang ada diluar, wali santri?" tanya kyai Kholil.

"Bukan Kyai, itu tamu. Katanya dari Jerman, ingin bertemu dengan Kyai dan Bu Nyai." jawab Iklil sopan.

"Hah? dari Jerman? siapa? suruh masuk saja," Kyai Kholil sangat penasaran.

Iklil keluar, memanggil laki-laki itu. Saat laki-laki itu masuk, kyai Kholil dan nyai Fatimah terpaku. Meneteskan air mata kebahagiaan, melihat anaknya sudah tumbuh dewasa. Gus Rayhan, laki-laki itu adalah Gus, anaknya kyai Kholil. Gus Rayhan tinggal di Jerman bersama Pamannya sejak kecil, sejak berumur enam tahun. Kyai Kholil dan nyai Fatimah belum bertemu lagi dengan Rayhan secara langsung. Sesekali, mereka berbincang lewat telephone. Adiknya kyai Kholil--Pamannya Rayhan, selalu mengirimkan foto-foto Rayhan saat di Jerman, sebagai pengobat rindu sang Abah dan Umi.

"Masya allah, Nak. Kenapa datang ke Indonesia tidak memberi tahu Abah? Biar Iklil yang jemput Kamu di bandara." Kyai Kholil mengusap aliran sungai kecil di pipinya. Gus Rayhan menghampiri kyai Kholil dan nyai Fatimah, memeluk keduanya dengan erat. Seakan tidak boleh ada yang menggangunya.

Iklil mematung, menyaksikan keluarga Kyai yang sangat dihormatinya. Laki-laki tadi? Gus? Iklil malu, merasa bersalah. Sejak pertemuannya dengan Gus Rayhan, Iklil merasa kurang sopan terhadap perlakuannya. Jika Iklil tahu, pasti akan mencium tangan Gus Rayhan sejak pertama bertemu. 

"Iklil, kenalkan, ini Rayhan, anakku satu-satunya yang pernah diceritakan padamu waktu itu," jelas kyai Kholil.

"Enggeh, Kyai. Mohon maaf Gus, jika tadi Saya kurang sopan pada Gus Rayhan," ujar Iklil hati-hati.

"Tidak apa-apa, Iklil. Terima kasih sudah mengantar Saya ke rumah. Oh iya Abah, Umi, maafkan Rayhan tidak memberi tahu jika Rayhan akan pulang ke Indonesia, takutnya merepotkan. Lagian, Rayhan sudah besar, tau arah pulang kok." 

"Bukan begitu, Nak, Jerman dan Indonesia itu beda. Jika Kamu kesasar gimana, ndak tahu alamat rumah," ucap nyai Fatimah khawatir, beruntung anaknya baik-baik saja.

"Ya, sudah, Kamu istirahat yang cukup, ya. Iklil, tolong antar Rayhan ke kamarnya." perintah kyai Kholil.

Iklil menunjukan kamar yang akan ditempati oleh Rayhan. Fikiran Iklil berkecamuk, entah mengapa semenjak Gus Rayhan menanyakan perasaannya pada Aini, hati Iklil tidak tenang. Iklil bingung harus bagaimana. Takut jika perkataan Gus nya benar, akan melakukan taaruf dengan Aini. Jika dibandingkan, Aini akan memilih Gus Rayhan, tinimbang Iklil. Gus Rayhan adalah anak kyai Kholil, mempunyai pendidikan yang tinggi. Sedangkan Iklil, hanya rois pesantren yang mengabdi pada Kyai nya, dan sedang menyelesaikan kuliah di bawah yayasan pesantren, apakah skenario allah akan memihak pada Iklil? atau kah pada Gus Rayhan? Iklil hanya mengharapkan skenario yang indah.

Related chapters

  • Pria Alfiyah    Kamar Sibyan

    Setelah mendapatkan perintah dari Kyai Kholil, Iklil mengantar Gus Rayhan ke kamarnya. Hanya ada diam saat mereka menuju kamar Gus Rayhan. Iklil masih larut dalam fikiran-fikiran negatifnya, seolah tak percaya diri karena sekarang saingan perasaannya dengan Gusnya, orang yang harus dita'ati. Dengan menenteng koper milik Gus Rayhan, Iklil mecoba memulai perbincangan,"Ini Gus, kamarnya. Setiap minggu selalu dibersihkan oleh Mbak santri, jadi Gus ndak perlu khawatir. Semuanya sudah rapi, dan siap dipakai." Ujar Iklil."Terima kasih, ya, Kamu boleh melanjutkan aktivitas Kamu. Biar Saya saja yang merapikan kembali barang-barangnya.""Sama-sama Gus, kalau begitu, Saya izin pamit. Kebetulan, urusan dengan santri baru belum selesai." Pamit Iklil. Rasanya, Iklil ingin segera pergi dari ruangan tersebut."Ouh, Aini? santri baru itu kah?" terka Gus Rayhan."Bukan Gus, bukan hanya Aini, tapi ratusan santri lainnya," timpal Iklil."Saya juga ingin ikut

  • Pria Alfiyah    Dear Diary

    "Terima kasih sudah memberi tahu Aini, Kak.""Sama-sama." Ingin sekali Iklil mengucapkan, jangan menangis Aini, aku tak suka jika kamu menangis. Serasa dunia ini hancur, bahkan lebih dari itu. Tapi nihil, Iklil malu mengatakannya."Aku duluan pergi, Kak. Ayo Raisya," ucapnya pamit. Aini menarik tangan Raisya, meninggalkan Iklil. Iklil menatapi punggung Aini yang berlalu pergi ke masjid, Iklil sadar akan lamunannya lalu pergi beranjak ke masjid, mungkin kyai Kholil sudah menunggu di sana.Pujian-pujian terdengar di halaman masjid, di kumandangkan oleh santri putra. Sudah menjadi adat bagi mereka saat menunggu kyai Kholil datang. Iklil yang tengah memasuki pintu khusus putra, mendapati Zainal yang sedang membaca ayat suci Al-Quran. Iklil ingat bahwa dirinya belum memberitahukan perihal koperasi pada Zainal. Terlalu banyak urusan sampai-sampai urusan koperasi yang lebih penting dari segalanya terlupakan. Iklil menghampiri Zainal, hendak memberitahukan."Hey,"

  • Pria Alfiyah    Pulangnya Iklil

    Telepon genggam milik Iklil lengang. Tak ada yang menyahut satu pun, hanya diam. Detak jantung Iklil berdetak dua kali lebih cepat, menunggu jawaban dari abahnya."[Abah? tolong jawab. Mengapa Abah hanya diam,]" desak Iklil."[Umi, Nak. Umi sedang sakit, kanker jantungnya kambuh lagi, tadi sore kami bergegas pergi ke rumah sakit terdekat. Umi selalu mengigau, menyebutkan namamu berulang-ulang. Jika Kamu luang, pulang lah, Nak. Temui Umi,]" pinta Abah. Bagaimana ini, besok ia harus pergi berbelanja koperasi dengan Zainal, kyai kholil juga meminta untuk ditemani ke acara haul. Ah, pulang saja, urusan umi lebih penting dari apapun, batin Iklil berucap."[Hallo, Nak. Bagaimana?]""[Iya Abah, nanti Iklil akan pulang. Diusahakan sebisa mungkin Iklil harus pulang. Nanti jam tujuh pagi, Iklil akan meminta izin pada kyai, semoga saja diberi izin.]""[Bagus kalau begitu, Abah matikan ya, assalamualaikum.]""[Waalaikumsalam.]""Huufft, rintangan

  • Pria Alfiyah    Pulangnya Iklil 2

    "Sekali lagi terima kasih, Ra. Karena sudah memberi tahuku,""Sama-sama, Aini." Aini melamun, kenapa Iklil tidak memberi tahunya? Ahh, dia ingat, Aini bukan siapa-siapanya Iklil. Bagaimana mungkin Iklil akan memberi tahu pada Aini, mencari kabar Aini pun tidak, apalagi harus memberi tahukan apa sebab-sebabnya Iklil pulang."Aini? Hallo? Yeh, malah melamun. Pasti karena Iklil, Aku merasa bersalah karena memberi tahumu.""A--iya? Aduh, ini kenapa ya Allah. Ngga kok, masa memikirkan kak Iklil. Bukannya kalau memikirkan orang yang bukan mahram itu dosa, ya?" Ucap Aini terang-terangan. Padahal, yang sebenarnya terjadi ialah, Aini sedang memikirkan kak Iklil--lelaki yang bukan mahramnya."Aahh, Kamu. Bisa saja mengelaknya, Aku juga tau kok, Kamu sendiri yang dosa tau. Memikirkan kak Iklil kan? mana mungkin sekarang Kamu melamunkan tukang rujak, pastinya melamunkan kak Iklil-mu itu kan?" beberapa pertanyaan Raisya membuat Aini kesal."Astagfirullah

  • Pria Alfiyah    Aini menjadi ketua

    Iklil menghampiri perempuan itu, memastikan. Saat didekati, perempuan itu persis sekali seperti Aini. Iklil menyapanya,"Permisi," kata Iklil. Perempuan itu menoleh, ternyata bukan. Mustahil juga jika Aini sekarang berada di rumah sakit. Bukankah Aini sekarang sedang di pesantren?"Iya, Mas?" Tanya perempuan itu, Iklil menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali itu."Hm, maaf Mbak, Saya salah orang.""Ouh tidak apa-apa, Mas. Mas pasti sedang mencari istri Mas, ya?""A--apa? Istri? Saya masih kuliah, Mbak. Belum punya Istri,""Atau, Mas lagi memikirkan pacar, Mas, ya?""Huuss, Mbak ini. Kan di dalam Islam tidak boleh pacaran." Pipi Iklil memerah, mengapa ia malah memikirkan Aini, yang jelas-jelas bukan mahramnya."Aah, si Mas ini, pipi Mas tuh kemerahan. Saya tinggalkan dulu, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," Iklil langsung memegangi pipi-nya. Apakah merah? Aahh lupakan saja, batin Iklil. Iklil terus menyusuri ko

  • Pria Alfiyah    Kelas Awal

    Suara mesin rumah sakit berbunyi. Menandakan kondisi pasien tengah koma. Umi Hana terdiam, tidak bergerak sama sekali. Iklil panik, begitu juga abahnya. Iklil bergegas keluar, memanggil salah satu suster, memberi tahukan kondisi uminya."Siapa saja, tolong umi ...." teriak Iklil. Satu, dua suster lainnya berlarian, memberikan pertolongan. Wanita berpakaian suster itu sangat sigap, mengecek setiap data yang dikeluarkan oleh mesin itu. Tak henti-henti Iklil merapalkan doa terbaik bagi sang umi."Ya Allah ... bantu kami, berikanlah umi kesembuhan total. Aku tidak mau jika harus terus seperti ini, umi tersiksa, begitupun abah." Iklil begitu memohon pada Sang Pencipta, Sang pemberi keselamatan. Abah Ahmad terkulai, tak sanggup melihat istri tercintanya kesakitan.Suara mesin itu berhenti sejenak, memberikan pertanyaan bagi Iklil. Semua suster berdegup kencang, menentukan hasil kerja mereka, apakah akan selamat? atau berujung pada kematian. Tiba-tiba, gambar pada monitor

  • Pria Alfiyah    Perasaan

    Raisya mematung, mengamati tiap kata yang dilontarkan gus Rayhan. Sangat aneh, mengapa banyak sekali pertanyaan yang tertuju pada Aini. Aini juga sama seperti Raisya, merasakan hal yang sama."Kenapa Ustadz? ada yang salah?" Ungkap Raisya dengan beraninya ia mengucapkan itu."Tidak, tidak ada yang salah," sergah gus Rayhan. Sekali lagi, Raisya membatu. Dingin sekali perlakuan lelaki itu pada Raisya, berbanding terbalik dengan perlakuan lelaki itu pada Aini.Aini berbisik pada Raisya, memberikan peringatan, "Sudah, Ra. Dia itu ustadz, Kamu nggak boleh seperti itu, itu namanya tidak ta'dzim. Kamu sendiri kan yang ngajarin Aku harus ta'dzim. Segera Kamu meminta maaf," ucap Aini."Maaf kan Saya, Ustad, karena sudah ceroboh," kata Raisya."Aah, sudahlah lupakan. Maaf semuanya, Saya agak melenceng. Baik, kita lanjutkan kembali materi kita hari ini, materi Bahasa. Karena Iklil akan mengajarkan kalian semua tentang kitab kuning, Saya hanya mengisi kekosongan sa

  • Pria Alfiyah    Aini

    Aini menyusuri satu persatu lukisan kakaknya. Lukisan yang selalu mengingatkan pada kematian kakaknya yang begitu tragis. Kakaknya tewas saat ia hendak pergi ke pesantren. Mobil bak tanpa aling-aling yang menabrak kakak Aini hingga tewas. Dari kejadian itu, Aini berfikir bahwa kematian kakaknya disebabkan oleh pesantren. Peraturan pesantren yang membuat kakaknya harus pergi--hingga akhirnya tewas. Aini sekarang sudah lulus sekolah menengah pertama, itu saatnya Aini melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Yap, sekolah menengah atas. Sudah terlalu banyak sindiran orang tuanya tentang pesantren. Kedua orang tuanya menginginkan Aini pergi ke pesantren. Tidak salah lagi, orang tua siapa yang tidak menginginkan putra-putrinya sukses? Ingin putra-putrinya terjerumus pergaulan zaman sekarang? Zaman dimana anak-anak, remaja, bahkan dewasa, melakukan perzinahan, mencopet, bahkan saling membunuh. Itu harga yang mahal sekali. Apakah negara ini berontak? Jawabannya adalah, tidak. Negara terlal

Latest chapter

  • Pria Alfiyah    Perasaan

    Raisya mematung, mengamati tiap kata yang dilontarkan gus Rayhan. Sangat aneh, mengapa banyak sekali pertanyaan yang tertuju pada Aini. Aini juga sama seperti Raisya, merasakan hal yang sama."Kenapa Ustadz? ada yang salah?" Ungkap Raisya dengan beraninya ia mengucapkan itu."Tidak, tidak ada yang salah," sergah gus Rayhan. Sekali lagi, Raisya membatu. Dingin sekali perlakuan lelaki itu pada Raisya, berbanding terbalik dengan perlakuan lelaki itu pada Aini.Aini berbisik pada Raisya, memberikan peringatan, "Sudah, Ra. Dia itu ustadz, Kamu nggak boleh seperti itu, itu namanya tidak ta'dzim. Kamu sendiri kan yang ngajarin Aku harus ta'dzim. Segera Kamu meminta maaf," ucap Aini."Maaf kan Saya, Ustad, karena sudah ceroboh," kata Raisya."Aah, sudahlah lupakan. Maaf semuanya, Saya agak melenceng. Baik, kita lanjutkan kembali materi kita hari ini, materi Bahasa. Karena Iklil akan mengajarkan kalian semua tentang kitab kuning, Saya hanya mengisi kekosongan sa

  • Pria Alfiyah    Kelas Awal

    Suara mesin rumah sakit berbunyi. Menandakan kondisi pasien tengah koma. Umi Hana terdiam, tidak bergerak sama sekali. Iklil panik, begitu juga abahnya. Iklil bergegas keluar, memanggil salah satu suster, memberi tahukan kondisi uminya."Siapa saja, tolong umi ...." teriak Iklil. Satu, dua suster lainnya berlarian, memberikan pertolongan. Wanita berpakaian suster itu sangat sigap, mengecek setiap data yang dikeluarkan oleh mesin itu. Tak henti-henti Iklil merapalkan doa terbaik bagi sang umi."Ya Allah ... bantu kami, berikanlah umi kesembuhan total. Aku tidak mau jika harus terus seperti ini, umi tersiksa, begitupun abah." Iklil begitu memohon pada Sang Pencipta, Sang pemberi keselamatan. Abah Ahmad terkulai, tak sanggup melihat istri tercintanya kesakitan.Suara mesin itu berhenti sejenak, memberikan pertanyaan bagi Iklil. Semua suster berdegup kencang, menentukan hasil kerja mereka, apakah akan selamat? atau berujung pada kematian. Tiba-tiba, gambar pada monitor

  • Pria Alfiyah    Aini menjadi ketua

    Iklil menghampiri perempuan itu, memastikan. Saat didekati, perempuan itu persis sekali seperti Aini. Iklil menyapanya,"Permisi," kata Iklil. Perempuan itu menoleh, ternyata bukan. Mustahil juga jika Aini sekarang berada di rumah sakit. Bukankah Aini sekarang sedang di pesantren?"Iya, Mas?" Tanya perempuan itu, Iklil menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali itu."Hm, maaf Mbak, Saya salah orang.""Ouh tidak apa-apa, Mas. Mas pasti sedang mencari istri Mas, ya?""A--apa? Istri? Saya masih kuliah, Mbak. Belum punya Istri,""Atau, Mas lagi memikirkan pacar, Mas, ya?""Huuss, Mbak ini. Kan di dalam Islam tidak boleh pacaran." Pipi Iklil memerah, mengapa ia malah memikirkan Aini, yang jelas-jelas bukan mahramnya."Aah, si Mas ini, pipi Mas tuh kemerahan. Saya tinggalkan dulu, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," Iklil langsung memegangi pipi-nya. Apakah merah? Aahh lupakan saja, batin Iklil. Iklil terus menyusuri ko

  • Pria Alfiyah    Pulangnya Iklil 2

    "Sekali lagi terima kasih, Ra. Karena sudah memberi tahuku,""Sama-sama, Aini." Aini melamun, kenapa Iklil tidak memberi tahunya? Ahh, dia ingat, Aini bukan siapa-siapanya Iklil. Bagaimana mungkin Iklil akan memberi tahu pada Aini, mencari kabar Aini pun tidak, apalagi harus memberi tahukan apa sebab-sebabnya Iklil pulang."Aini? Hallo? Yeh, malah melamun. Pasti karena Iklil, Aku merasa bersalah karena memberi tahumu.""A--iya? Aduh, ini kenapa ya Allah. Ngga kok, masa memikirkan kak Iklil. Bukannya kalau memikirkan orang yang bukan mahram itu dosa, ya?" Ucap Aini terang-terangan. Padahal, yang sebenarnya terjadi ialah, Aini sedang memikirkan kak Iklil--lelaki yang bukan mahramnya."Aahh, Kamu. Bisa saja mengelaknya, Aku juga tau kok, Kamu sendiri yang dosa tau. Memikirkan kak Iklil kan? mana mungkin sekarang Kamu melamunkan tukang rujak, pastinya melamunkan kak Iklil-mu itu kan?" beberapa pertanyaan Raisya membuat Aini kesal."Astagfirullah

  • Pria Alfiyah    Pulangnya Iklil

    Telepon genggam milik Iklil lengang. Tak ada yang menyahut satu pun, hanya diam. Detak jantung Iklil berdetak dua kali lebih cepat, menunggu jawaban dari abahnya."[Abah? tolong jawab. Mengapa Abah hanya diam,]" desak Iklil."[Umi, Nak. Umi sedang sakit, kanker jantungnya kambuh lagi, tadi sore kami bergegas pergi ke rumah sakit terdekat. Umi selalu mengigau, menyebutkan namamu berulang-ulang. Jika Kamu luang, pulang lah, Nak. Temui Umi,]" pinta Abah. Bagaimana ini, besok ia harus pergi berbelanja koperasi dengan Zainal, kyai kholil juga meminta untuk ditemani ke acara haul. Ah, pulang saja, urusan umi lebih penting dari apapun, batin Iklil berucap."[Hallo, Nak. Bagaimana?]""[Iya Abah, nanti Iklil akan pulang. Diusahakan sebisa mungkin Iklil harus pulang. Nanti jam tujuh pagi, Iklil akan meminta izin pada kyai, semoga saja diberi izin.]""[Bagus kalau begitu, Abah matikan ya, assalamualaikum.]""[Waalaikumsalam.]""Huufft, rintangan

  • Pria Alfiyah    Dear Diary

    "Terima kasih sudah memberi tahu Aini, Kak.""Sama-sama." Ingin sekali Iklil mengucapkan, jangan menangis Aini, aku tak suka jika kamu menangis. Serasa dunia ini hancur, bahkan lebih dari itu. Tapi nihil, Iklil malu mengatakannya."Aku duluan pergi, Kak. Ayo Raisya," ucapnya pamit. Aini menarik tangan Raisya, meninggalkan Iklil. Iklil menatapi punggung Aini yang berlalu pergi ke masjid, Iklil sadar akan lamunannya lalu pergi beranjak ke masjid, mungkin kyai Kholil sudah menunggu di sana.Pujian-pujian terdengar di halaman masjid, di kumandangkan oleh santri putra. Sudah menjadi adat bagi mereka saat menunggu kyai Kholil datang. Iklil yang tengah memasuki pintu khusus putra, mendapati Zainal yang sedang membaca ayat suci Al-Quran. Iklil ingat bahwa dirinya belum memberitahukan perihal koperasi pada Zainal. Terlalu banyak urusan sampai-sampai urusan koperasi yang lebih penting dari segalanya terlupakan. Iklil menghampiri Zainal, hendak memberitahukan."Hey,"

  • Pria Alfiyah    Kamar Sibyan

    Setelah mendapatkan perintah dari Kyai Kholil, Iklil mengantar Gus Rayhan ke kamarnya. Hanya ada diam saat mereka menuju kamar Gus Rayhan. Iklil masih larut dalam fikiran-fikiran negatifnya, seolah tak percaya diri karena sekarang saingan perasaannya dengan Gusnya, orang yang harus dita'ati. Dengan menenteng koper milik Gus Rayhan, Iklil mecoba memulai perbincangan,"Ini Gus, kamarnya. Setiap minggu selalu dibersihkan oleh Mbak santri, jadi Gus ndak perlu khawatir. Semuanya sudah rapi, dan siap dipakai." Ujar Iklil."Terima kasih, ya, Kamu boleh melanjutkan aktivitas Kamu. Biar Saya saja yang merapikan kembali barang-barangnya.""Sama-sama Gus, kalau begitu, Saya izin pamit. Kebetulan, urusan dengan santri baru belum selesai." Pamit Iklil. Rasanya, Iklil ingin segera pergi dari ruangan tersebut."Ouh, Aini? santri baru itu kah?" terka Gus Rayhan."Bukan Gus, bukan hanya Aini, tapi ratusan santri lainnya," timpal Iklil."Saya juga ingin ikut

  • Pria Alfiyah    Gus Rayhan

    Koridor putri lantai dua lengang. Kedua gadis ini masih diam dalam lamunannya, memikirkan laki-laki idamannya. Takut akan takdir, takut jika tidak bisa bersama. Tinggal beberapa langkah lagi, Aini dan Raisya sampai di pintu kamar. Namun, ada yang membuat langkah keduanya terhenti. Diluar kamar, Iklil tengah mengobrol dengan laki-laki yang tadi sempat bertemu di koridor. Aini dan Raisya bertanya-tanya, sedang apa mereka di kamar putri? dan siapa laki-laki itu?ekor mata Iklil menemukan keberadaan Aini,"Hai, Kamu lagi." Sapa Iklil, yang membuat Aini berdegup kencang. Namun Aini tak puas, namanya belum disebutkan, Iklil belum tahu namanya."Hai, juga Kak." Jawab Aini singkat. Aini takut jika perkataannya salah, lebih baik dipersingkat."Oh, iya. Sejak Kita bertemu tadi malam, Saya belum tahu nama Kamu." Ucap Iklil, bukan hanya Aini saja yang ingin diketahui namanya, Iklil pun sama, ingin diketahui juga oleh gadis di depannya."Namaku Aini, Aini Halwa."

  • Pria Alfiyah    Hari Pertama

    Seperti biasa, pria berpeci hitam itu menyunggingkan senyumannya. Memberikan keramahan pada setiap orang. Ucapan salam seperti biasa jika bertemu dengan orang sudah menjadi kewajibannya."Eh, ada Nak Iklil. Sudah selesai kah acaranya?" Dari awal, Pak Amar sangat senang terhadap perlakuan Iklil. Cara menyambutnya, saat mengajak ngobrol, memperkenalkan dirinya, Pak Amar sangat suka pada remaja yang seperti itu."Sudah, Pak. Tadi, baru saja ditutup sama rekan Saya."Diseberang sana, ada yang memanggil Iklil, sambil melambaikan tangannya pertanda bahwa orang tersebut memanggil Iklil."Pak, maaf sekali. Saya ada urusan lagi," kata Iklil terburu-buru."Tidak apa-apa, Nak."Iklil segera pergi, menghampiri Zainal, yang memanggilnya tadi. Pak Amar dan Bu Aidah juga pamit ke tempat penginapan sebentar. Aini, sekali lagi, Ia terluka walaupun hanya luka yang kecil. Aini mengira bahwa Iklil akan mengetahui namanya pada saat pertemuan tadi. Hasilnya nihil, s

DMCA.com Protection Status