Sebelum gadis itu makin jauh, Raden Prana Kusuma segera membawanya minggir. Gadis itu cemberut karena masih ingin memarahi Paksi Jingga, tetapi usahanya dihentikan.
"Sudahlah, tahan amarahmu. Ini bukan istana," bisik Raden Prana Kusuma."Dia sudah menghinamu, Kangmas," tukas gadis itu kesal. Raden Prana Kusuma hanya menggeleng pelan.Sekar Pandan kembali menggoreskan aksara di telapak tangan Raden Prana Kusuma. Pemuda itu membacanya lalu berkata kepada semua orang. "Jika benar pedang itu kau dapatkan dari Pendekar Pedang Sulur Naga, di mana kau mendapatkannya?"Ditantang seperti itu, Paksi Jingga menggertakkan rahangnya. Sorot matanya seperti ingin melumat pemuda berkain merah bata itu. Dia merasa pemuda yang bersama Sekar Pandan terlalu banyak tahu dan ikut campur. Bertujuan ingin melucuti dirinya di depan para tamu."Apa yang kau inginkan?""Justru aku bertanya, apa yang kau inginkan dengan mencuri pedang dan menggunakan namaPaksi Jingga diam. Inilah yang paling dia takutkan. Sampai saat ini dia belum bisa menaklukkan Pedang Sulur Naga. Setiap pedang itu dicabut dari warangkanya, kekuatan pedang itu liar ingin menguasai dan menyerap kekuatannya, bagai tumbuhan kemladeh atau benalu yang menghisap sari pati tumbuhan yang ditempeli."Ketua, tunggu apa lagi?" Suara orang-orang dari perkumpulan Sapu Tangan Merah terus mendesaknya untuk mencabut pedang yang ada di punggungnya. Mereka tidak ingin ketua perguruan Tangan Seribu dipermalukan oleh seorang gadis berusia belasan warsa. Apalagi saat ini banyak pendekar yang diundang telah berkumpul di tempat itu. Ini kesempatan bagi Paksi Jingga untuk menunjukkan kesaktiannya."Gadis yang bersama Prana Kusuma itu lagi, Guru," ujar Ranggapala berjalan di samping Resi Chamala yang baru saja datang ke tempat itu."Hm, gadis itu sepertinya tengah menaruh dendam pada ketua perguruan Tangan Seribu. Ini sangat menarik." Keduanya memilih
Tangan Paksi Jingga memegang gagang pedang di punggung. Sorot matanya tajam menghujam pada pemuda tinggi itu. Dia harus secepatnya membungkam mulut Raden Prana Kusuma yang telah membuatnya kehilangan muka di depan semua orang. Sekar Pandan masih berdiri di tempatnya dengan selendang jingga di tangan. Tuan muda Zhang, Selasih, Mayang , dan dua murid perkumpulan Kencana Emas berdiri di belakang Sekar Pandan.Senayudha yang tahu kehadiran adiknya bersama gadis berbaju hijau sebenarnya ingin keluar dari tempat persembunyiannya. Manggala dan Ni Sapta melarangnya. Kalau Mayang tahu bahwa ayahnya telah meninggal pasti sangat sedih. Yang paling dikhawatirkan Senayudha penyakit adiknya itu akan kambuh kembali menerima kenyataan pahit ini.Mata Senayudha melirik Manggala. Hatinya demikian kuat untuk mengatakan bahwa pembunuh ayahnya adalah suami Mayang, Manggala. Mata Senayudha kembali mengarah ke arah pertarungan. Dia berharap pemuda berkain merah itu bisa menghe
Laki-laki yang berusia tiga puluhan warsa itu menatap semua orang. Para pendekar juga tengah menatap dirinya dengan raut tak percaya. Wajah yang tertutup topeng kayu separuh itu bertemu pandang dengan Sekar Pandan yang saat itu telah memegang pedangnya kembali. Bibirnya tersenyum dingin. Elang Gunung tidak menyangka kalau gadis itu masih hidup."Elang Gunung, dia Elang Gunung." Sebagian para pendekar berbisik-bisik. Mereka tidak menyangka ketua komplotan Elang Gunung yang terkenal dalam mengambil barang-barang pusaka itu ikut hadir di tempat ini."Rupanya Sang Hyang Widhi membantu kita, Sekar," ucap Raden Prana Kusuma.Sejak pertama bertemu laki-laki itu, Sekar Pandan sudah merasakan aura kejahatannya. Ternyata firasatnya benar. Orang inilah penyebab semua nasib buruk yang dia alami. Gadis itu mencoba mengingat kejadian di malam itu. Memang ada bayangan berkelebat di rumah warga desa yang dia tumpangi untuk bermalam saat itu. Akan tetapi, dia tidak bisa me
"Apa yang kau lakukan, Tuan Paksi Jingga?" Elang Gunung tidak mengerti dengan tindakan Paksi Jingga yang malah menyerangnya. Pemuda yang kini bertangan satu itu dengan susah payah mengayunkan pukulan tangan kosong ke tubuh Elang Gunung. Kedatangan Paksi Jingga tidak membantu Sekar Pandan, justru merepotkan gerakannya. Dia tidak bisa leluasa menyerang Elang Gunung dengan pedangnya. Setiap menemukan celah untuk menyerang, Paksi Jingga datang dengan serangan tangan kosong. Gerakannya kaku dan penuh emosi. Mau tidak mau gadis itu mengurungkan serangannya.Sekar Pandan geram. Kini dia tidak hanya menyerang Elang Gunung, tetapi juga Paksi Jingga. Demikian pula dengan Elang Gunung. Ketua komplotan pencuri bayaran itu menghadapi dua lawan sekaligus, Sekar Pandan dan Paksi Jingga. Tiga orang itu saling serang dan hantam satu sama lain membuat para pendekar yang hadir berdecak kagum. Mereka menilai kemampuan Elang Gunung di atas rata-rata, sepadan dengan kemampuan
"Mungkin itu benar, tapi yang dilihat Tuan muda Zhang mungkin juga tidak salah," ucap Raden Prana Kusuma berusaha meyakinkan Mayang. Disisi lain, pemuda itu menaruh iba pada Mayang. Namun, gadis itu harus tahu kejadian yang sebenarnya. Tidak semua jalan hidup itu indah dan mulus. Tidak indah seperti yang diberitahukan ayahnya."Kakang Manggala," lirih Mayang, matanya mulai berkaca-kaca. Mahisa Dahana melepaskan pundak Mayang dan membiarkan perempuan itu berjalan mendekati suaminya. "Mayang, " sapa Senayudha.Mayang berhenti tepat di depan Senayudha. Mata merah dan basah itu menatap tajam penuh kemarahan. "Kau tahu pembunuh ayah kita, tapi diam saja? Anak tidak tahu balas budi!"Plak!Tangan Mayang menampar pipi Senayudha dengan keras. Laki-laki bertangan buntung itu meraba pipinya yang terasa panas. Kalau bukan adiknya yang menampar, sudah ditampar balik orang itu."Mayang, dengarkan aku," ujar Senayudha dengan suara l
Dengan tangan satu, Senayudha ingin membalaskan rasa sakit hatinya pada Manggala. Dia sudah tidak peduli dengan apapun. Tujuannya hanya satu, membalaskan kematian ayahnya. Sekar Pandan menilai, Senayudha tidak akan bisa bertahan lama menghadapi Manggala yang ilmu kanuragannya jauh di atasnya. Gadis itu mengedarkan pandangan pada semua pendekar yang masih tetap ada di tempat ini. Dari semua tamu undangan, satupun tidak ada yang membela kematian Dewa Jari Maut.Itu membuat gadis berselendang sutera jingga ini mengerutkan alisnya. Jiwa kependekarannya meronta. Dia tidak bisa tinggal diam melihat Manggala menjadikan Senayudha bulan-bulanan.Senayudha memang jahat, tetapi dia dalam keadaan butuh bantuan. Tanpa pikir panjang, gadis itu melemparkan selendang jingga ke Manggala yang ingin menendang Senayudha. Raden Prana Kusuma ingin menghalangi, tetapi terlambat. Sekar Pandan telah bergerak karena tidak tahan dengan keadaan Senayudha yang butuh bantua
"Mayang ... Mayang, kenapa kau begini?" Senayudha menangis bagai anak kecil yang mainannya rusak. Diciuminya wajah adik kesayangannya itu dengan perasaan yang bercampur aduk antara sedih, marah, dan kecewa.Mayang menggerakkan bibir, tetapi suaranya tidak terdengar. Mata sembah itu menatap suaminya yang kini telah berada di depannya. Pemuda itu memang pembunuh ayahnya, dia juga membencinya, tetapi laki-laki itu suami yang sangat dicintai. Dia tidak sanggup melihat orang yang dicintai terbunuh di depan matanya.Manggala menggenggam tangan istrinya dengan hati hancur. Laki-laki itu tidak sanggup melihat keadaan Mayang. Sepanjang hidupnya, ratusan nyawa telah melayang di tangannya. Dia sangat kejam dalam menghabisi nyawa musuhnya. Sedikitpun tidak ada rasa welas saat musuh-musuhnya merintih dan memohon ampun padanya.Berbeda saat melihat keadaan perempuan yang dia cinta ini menderita dan kesakitan. Berkali-kali dia berteriak memanggil nama istrinya saat perem
Senayudha duduk di antara gundukan tanah kuburan adik dan ayahnya. Dia menyeka air matanya dengan punggung lengan. Hati laki-laki itu hancur berkeping-keping. Seluruh keluarganya telah pergi meninggalkan dunia ini. Meninggalkan dia sendiri dalam balutan kenestapaan.Hari itu semua orang yang masih bertahan di tempat itu ikut mengubur semua orang yang telah tewas. Setelah selesai, satu persatu mereka pulang ke perguruan masing-masing karena tidak ada yang perlu dibahas lagi. Paksi Jingga yang telah mengundang semua pendekar hanya berdiri terpaku di tempatnya. Caping yang selalu setia menemani kini jatuh ke tanah.Mahisa Dahana mendekati saudara kandungnya. Pemuda dengan wajah tidak bergairah itu berhenti tepat satu tombak di depan kakangnya. Mereka saling pandang."Kenapa kau tidak menghentikan mereka, Kakang? Bukankah keinginanmu tinggal di depan mata? Tapi kau biarkan para pendekar itu pergi tanpa kau cegah."Paksi Jingga menatap adiknya dengan t