"Mayang ... Mayang, kenapa kau begini?" Senayudha menangis bagai anak kecil yang mainannya rusak. Diciuminya wajah adik kesayangannya itu dengan perasaan yang bercampur aduk antara sedih, marah, dan kecewa.
Mayang menggerakkan bibir, tetapi suaranya tidak terdengar. Mata sembah itu menatap suaminya yang kini telah berada di depannya. Pemuda itu memang pembunuh ayahnya, dia juga membencinya, tetapi laki-laki itu suami yang sangat dicintai. Dia tidak sanggup melihat orang yang dicintai terbunuh di depan matanya.Manggala menggenggam tangan istrinya dengan hati hancur. Laki-laki itu tidak sanggup melihat keadaan Mayang. Sepanjang hidupnya, ratusan nyawa telah melayang di tangannya. Dia sangat kejam dalam menghabisi nyawa musuhnya. Sedikitpun tidak ada rasa welas saat musuh-musuhnya merintih dan memohon ampun padanya.Berbeda saat melihat keadaan perempuan yang dia cinta ini menderita dan kesakitan. Berkali-kali dia berteriak memanggil nama istrinya saat peremSenayudha duduk di antara gundukan tanah kuburan adik dan ayahnya. Dia menyeka air matanya dengan punggung lengan. Hati laki-laki itu hancur berkeping-keping. Seluruh keluarganya telah pergi meninggalkan dunia ini. Meninggalkan dia sendiri dalam balutan kenestapaan.Hari itu semua orang yang masih bertahan di tempat itu ikut mengubur semua orang yang telah tewas. Setelah selesai, satu persatu mereka pulang ke perguruan masing-masing karena tidak ada yang perlu dibahas lagi. Paksi Jingga yang telah mengundang semua pendekar hanya berdiri terpaku di tempatnya. Caping yang selalu setia menemani kini jatuh ke tanah.Mahisa Dahana mendekati saudara kandungnya. Pemuda dengan wajah tidak bergairah itu berhenti tepat satu tombak di depan kakangnya. Mereka saling pandang."Kenapa kau tidak menghentikan mereka, Kakang? Bukankah keinginanmu tinggal di depan mata? Tapi kau biarkan para pendekar itu pergi tanpa kau cegah."Paksi Jingga menatap adiknya dengan t
"Tanda lahir itu," gumam Tuan muda Zhang tidak membiarkan sang resi lepas dari pandangan matanya. Semua hal yang berkenaan dengan kematian keluarganya terlintas kembali di hadapan. Salah satu dari ciri orang yang telah merampas nyawa orang tuanya adalah tanda lahir di perut. Resi Chamala memiliki tanda itu.Napas pemuda berpakaian putih bersih itu tersengal menahan amarah. Jari-jarinya mencengkeram kipas di tangannya dengan gemetar. Sebelum Resi Chamala jauh melewatinya, Tuan muda Zhang berteriak nyaring sambil melompat ke arah sang resi.Kipas itu dengan cepat terkembang menuju leher Resi Chamala. Merasakan desiran angin serangan dari arah belakang, laki-laki berpakaian resi itu merunduk rendah dan lewatlah kipas Tuan muda Zhang di atas kepalanya. Tangan kanan sang resi bergerak cepat balas menyerang lawan. Dengan sigap pemuda dari negeri tirai bambu itu berkelit. Kipas yang terkembang secepat kilat menutup dan memukul tangan Resi Chamala.Pertarungan s
Resi Chamala menatap pemuda yang berusia lebih tua dari Ranggapala itu demikian gencar menyerang muridnya. Jurus-jurus kipas yang dimainkan sungguh luar biasa. Gerakannya cepat dan berbahaya. Kipas itu memang hanya terbuat dari kayu pohon willow dan kain sutra, tetapi angin serangan yang dihasilkan bagai sabetan pisau tajamnya.Itu terbukti. Ranggapala yang tidak sempat menangkis kebutan kipas Tuan muda Zhang terpaksa harus merelakan ikat pinggangnya putus akibat terkena angin kebutan kipas. Pemuda tampan itu memekik keras seraya melompat mundur. Dia segera menyelamatkan kain penutup pinggang dan celananya yang akan melorot.Umang Sari dan Palasari sama-sama mengulum senyum dengan pipi bersemu merah. Kedua gadis itu memalingkan wajah ke arah lain saat Ranggapala menatapnya dengan wajah merah karena malu.Ranggapala mendengkus marah pada Tuan muda Zhang yang telah mempermalukan dirinya. Pemuda itu segera menyobek sebagian kain bawah-- yang menutupi pinggan
Benturan itu menciptakan gelombang kekuatan yang luar biasa. Tiga pemuda digdaya itu sama-sama terlempar keras ke tanah. Tuan muda Zhang menyemburkan cairan merah ke tanah. Dada pemuda berpakaian putih bersih itu seperti luluh lantak. Tidak lama kemudian dia memuntahkan cairan yang sama lagi. Kedua matanya terasa kabur."Oh, aku tidak boleh tewas sebelum berhasil membalas dendam," bisiknya.Jauh dari tempat Tuan muda Zhang, keadaan Paksi Jingga juga tidak jauh beda dengan pemuda dari Tiongkok ini. Dia berusaha bangkit, tetapi tubuh gagahnya ambruk kembali. Sekujur tubuhnya sakit luar biasa, seperti dihantam gada raksasa. Paksi Jingga melirik ke sana kemari mencari adiknya.Tidak jauh darinya, Mahisa Dahana diam terkapar di dekat pohon lontar."Mahisa," lirihnya.Hati pemuda itu tiba-tiba terasa tidak enak saat melihat keadaan adiknya. Dia tidak ingin terjadi sesuatu dengan saudaranya itu. Perlahan dia bangkit untuk menghampiri Mahisa Dah
Resi tua itu mencecar Raden Prana Kusuma dengan jurus tangan kosong. Raden Prana Kusuma segera meliukkan tubuhnya saat pukulan-pukulan maut ingin bersarang ke tubuhnya. Keris Naga Kemala disarungkan kembali ke warangka. Pemuda itu ingin bertarung secara adil. Lawan tidak menggunakan senjata maka dia juga tidak menggunakan senjata."Setan apa yang telah merasuki dirimu, Resi?" Raden Prana Kusuma melompat jauh ke samping. Sorot mata teduh pemuda itu menatap tidak mengerti pada Resi Chamala. Perbuatan yang baru saja lakukan sama sekali tidak mencerminkan sikap pendekar besar.Resi Chamala mendengkus."Pemuda itu dalam keadaan bersemadi, tapi Resi membokong dengan curang. Aku memang tidak tahu permasalahan yang terjadi di antara kalian, yang aku tahu hanya satu, yaitu ingin menghalangi tindakan tidak terpuji yang telah kau lakukan padanya." Telunjuknya mengarah kepada Tuan muda Zhang.Tuan muda Zhang yang masih duduk bersila menghembuskan napas lega k
Mahisa Dahana tetap diam dengan mata terpejam. Sekar Pandan terus menyalurkan tenaga dalamnya ke tubuh kawannya itu. Ki Sempana tidak mau kalah, laki-laki yang selama ini menjadi penyelamat dan pelindung keluarga perguruan Tangan Seribu ini juga menempelkan telapak tangan kanannya di punggung Mahisa Dahana. Melihat semua orang ingin menyelamatkan adiknya, Paksi Jingga segera duduk di belakang Ki Sempana.Pemuda itu menyalurkan seluruh tenaga dalamnya ke tubuh Ki Sempana. Selanjutnya tenaga dalam itu dialirkan ke tubuh Mahisa Dahana lewat tangan Ki Sempana.Tubuh Mahisa Dahana duduk dengan tegang karena dari depan dan belakang mengalir tenaga dalam untuk menopang tubuhnya. Dari ubun-ubun pemuda itu mengepul asap tipis. Peluh membasahi tubuhnya yang berotot.Umang Sari dan Palasari hanya duduk diam tidak jauh dari mereka dengan wajah tegang. Kedua gadis itu kembali saling melempar pandang. Hati mereka gelisah. Mereka takut Sekar Pandan akan menuntut balas p
"Kakang."Paksi Jingga tersenyum tipis pada adiknya. Ingatannya kembali mundur belasan tahun silam. Pertama kali Mahisa Dahana bisa bicara, kata pertama yang dia ucapkan adalah "Kakang". Itu panggilan untuk dirinya. Pemuda itu melihat diri adiknya berubah kecil dan tertatih menghampirinya."Kakang." Suaranya cadel dan belum jelas."Mahisa." Paksi Jingga menghampiri adiknya yang masih kecil.Paksi Jingga menatap adiknya dengan bibir tersenyum. Telinganya mendengar suara seorang perempuan dari arah samping. Pemuda yang suka memakai caping itu menoleh. Seorang wanita muda dengan rambut digelung dan berkemban memanggilnya."Ibu," lirihnya."Mahisa, ayo, kemari. Jangan ganggu kakangmu berlatih." Wanita yang tidak lain adalah Nyai Anjarsewu itu melambaikan tangan pada Mahisa Dahana kecil.Mahisa Dahana kecil menggeleng."Ke sini, Mahisa!" panggil sang ibu."Kakang."Paksi Jingga yang tidak ingin kehi
Di depan Tuan muda Zhang, agak jauh, sekitar tiga tombak, Resi Chamala tengah menghimpun kekuatan. Lelaki yang memakai selempang kain kuning itu berdiri tegak dengan kaki kanan ditekuk ke depan. Tatapan matanya tajam mengarah kepada musuhnya. Kekuatan itu perlahan berkumpul ke lengan. Urat-urat lengan tua Resi Chamala saling menyembul dan mengembung dua kali lipat. Begitu kekuatan itu berkumpul di kedua telapak tangan, perubahan aneh terjadi. Kedua telapak tangan Resi Chamala berubah besar berkali lipat dengan kuku-kuku hitam yang memanjang dan tajam. Tangan menyerupai cakar itu menyebarkan hawa kematian yang mengerikan.Ranggapala terkesiap melihat ilmu aneh yang dikeluarkan oleh sang guru. Selama ini dia belum pernah melihat Resi Chamala mengeluarkan ilmu seperti itu, meskipun lawan memiliki kesaktian seimbang. Pemuda itu menatap gurunya dengan mata tak berkedip.Ranggapala jadi penasaran dan ingin tahu kehebatan ilmu gurunya. Diam-diam Ranggapala mulai