Resi Chamala menatap pemuda yang berusia lebih tua dari Ranggapala itu demikian gencar menyerang muridnya. Jurus-jurus kipas yang dimainkan sungguh luar biasa. Gerakannya cepat dan berbahaya. Kipas itu memang hanya terbuat dari kayu pohon willow dan kain sutra, tetapi angin serangan yang dihasilkan bagai sabetan pisau tajamnya.
Itu terbukti. Ranggapala yang tidak sempat menangkis kebutan kipas Tuan muda Zhang terpaksa harus merelakan ikat pinggangnya putus akibat terkena angin kebutan kipas. Pemuda tampan itu memekik keras seraya melompat mundur. Dia segera menyelamatkan kain penutup pinggang dan celananya yang akan melorot.Umang Sari dan Palasari sama-sama mengulum senyum dengan pipi bersemu merah. Kedua gadis itu memalingkan wajah ke arah lain saat Ranggapala menatapnya dengan wajah merah karena malu.Ranggapala mendengkus marah pada Tuan muda Zhang yang telah mempermalukan dirinya. Pemuda itu segera menyobek sebagian kain bawah-- yang menutupi pingganBenturan itu menciptakan gelombang kekuatan yang luar biasa. Tiga pemuda digdaya itu sama-sama terlempar keras ke tanah. Tuan muda Zhang menyemburkan cairan merah ke tanah. Dada pemuda berpakaian putih bersih itu seperti luluh lantak. Tidak lama kemudian dia memuntahkan cairan yang sama lagi. Kedua matanya terasa kabur."Oh, aku tidak boleh tewas sebelum berhasil membalas dendam," bisiknya.Jauh dari tempat Tuan muda Zhang, keadaan Paksi Jingga juga tidak jauh beda dengan pemuda dari Tiongkok ini. Dia berusaha bangkit, tetapi tubuh gagahnya ambruk kembali. Sekujur tubuhnya sakit luar biasa, seperti dihantam gada raksasa. Paksi Jingga melirik ke sana kemari mencari adiknya.Tidak jauh darinya, Mahisa Dahana diam terkapar di dekat pohon lontar."Mahisa," lirihnya.Hati pemuda itu tiba-tiba terasa tidak enak saat melihat keadaan adiknya. Dia tidak ingin terjadi sesuatu dengan saudaranya itu. Perlahan dia bangkit untuk menghampiri Mahisa Dah
Resi tua itu mencecar Raden Prana Kusuma dengan jurus tangan kosong. Raden Prana Kusuma segera meliukkan tubuhnya saat pukulan-pukulan maut ingin bersarang ke tubuhnya. Keris Naga Kemala disarungkan kembali ke warangka. Pemuda itu ingin bertarung secara adil. Lawan tidak menggunakan senjata maka dia juga tidak menggunakan senjata."Setan apa yang telah merasuki dirimu, Resi?" Raden Prana Kusuma melompat jauh ke samping. Sorot mata teduh pemuda itu menatap tidak mengerti pada Resi Chamala. Perbuatan yang baru saja lakukan sama sekali tidak mencerminkan sikap pendekar besar.Resi Chamala mendengkus."Pemuda itu dalam keadaan bersemadi, tapi Resi membokong dengan curang. Aku memang tidak tahu permasalahan yang terjadi di antara kalian, yang aku tahu hanya satu, yaitu ingin menghalangi tindakan tidak terpuji yang telah kau lakukan padanya." Telunjuknya mengarah kepada Tuan muda Zhang.Tuan muda Zhang yang masih duduk bersila menghembuskan napas lega k
Mahisa Dahana tetap diam dengan mata terpejam. Sekar Pandan terus menyalurkan tenaga dalamnya ke tubuh kawannya itu. Ki Sempana tidak mau kalah, laki-laki yang selama ini menjadi penyelamat dan pelindung keluarga perguruan Tangan Seribu ini juga menempelkan telapak tangan kanannya di punggung Mahisa Dahana. Melihat semua orang ingin menyelamatkan adiknya, Paksi Jingga segera duduk di belakang Ki Sempana.Pemuda itu menyalurkan seluruh tenaga dalamnya ke tubuh Ki Sempana. Selanjutnya tenaga dalam itu dialirkan ke tubuh Mahisa Dahana lewat tangan Ki Sempana.Tubuh Mahisa Dahana duduk dengan tegang karena dari depan dan belakang mengalir tenaga dalam untuk menopang tubuhnya. Dari ubun-ubun pemuda itu mengepul asap tipis. Peluh membasahi tubuhnya yang berotot.Umang Sari dan Palasari hanya duduk diam tidak jauh dari mereka dengan wajah tegang. Kedua gadis itu kembali saling melempar pandang. Hati mereka gelisah. Mereka takut Sekar Pandan akan menuntut balas p
"Kakang."Paksi Jingga tersenyum tipis pada adiknya. Ingatannya kembali mundur belasan tahun silam. Pertama kali Mahisa Dahana bisa bicara, kata pertama yang dia ucapkan adalah "Kakang". Itu panggilan untuk dirinya. Pemuda itu melihat diri adiknya berubah kecil dan tertatih menghampirinya."Kakang." Suaranya cadel dan belum jelas."Mahisa." Paksi Jingga menghampiri adiknya yang masih kecil.Paksi Jingga menatap adiknya dengan bibir tersenyum. Telinganya mendengar suara seorang perempuan dari arah samping. Pemuda yang suka memakai caping itu menoleh. Seorang wanita muda dengan rambut digelung dan berkemban memanggilnya."Ibu," lirihnya."Mahisa, ayo, kemari. Jangan ganggu kakangmu berlatih." Wanita yang tidak lain adalah Nyai Anjarsewu itu melambaikan tangan pada Mahisa Dahana kecil.Mahisa Dahana kecil menggeleng."Ke sini, Mahisa!" panggil sang ibu."Kakang."Paksi Jingga yang tidak ingin kehi
Di depan Tuan muda Zhang, agak jauh, sekitar tiga tombak, Resi Chamala tengah menghimpun kekuatan. Lelaki yang memakai selempang kain kuning itu berdiri tegak dengan kaki kanan ditekuk ke depan. Tatapan matanya tajam mengarah kepada musuhnya. Kekuatan itu perlahan berkumpul ke lengan. Urat-urat lengan tua Resi Chamala saling menyembul dan mengembung dua kali lipat. Begitu kekuatan itu berkumpul di kedua telapak tangan, perubahan aneh terjadi. Kedua telapak tangan Resi Chamala berubah besar berkali lipat dengan kuku-kuku hitam yang memanjang dan tajam. Tangan menyerupai cakar itu menyebarkan hawa kematian yang mengerikan.Ranggapala terkesiap melihat ilmu aneh yang dikeluarkan oleh sang guru. Selama ini dia belum pernah melihat Resi Chamala mengeluarkan ilmu seperti itu, meskipun lawan memiliki kesaktian seimbang. Pemuda itu menatap gurunya dengan mata tak berkedip.Ranggapala jadi penasaran dan ingin tahu kehebatan ilmu gurunya. Diam-diam Ranggapala mulai
Paksi Jingga yang juga merasakan hal yang hampir sama dengan dua gadis penari itu melirik keduanya. Dia lah yang telah memerintah mereka untuk mengambil pedang Sekar Pandan. Takut mereka gagal, kemudian dia memerintah Elang Gunung untuk mengambil Pedang Sulur Naga. Siapa sangka, Elang Gunung malah meracuni Sekar Pandan hingga hampir tewas. Paksi Jingga mengepal geram teringat tindakan yang dilakukan Elang Gunung terhadap Sekar Pandan tanpa meminta izin kepadanya.Pandangan pemuda itu tidak berkedip mengikuti tubuh ramping Sekar Pandan yang tengah melesat melewati kepala Resi Chamala yang tengah membuat gerakan mencakar lurus ke depan. Resi Chamala kebingungan mencari lawan yang tiba-tiba menghilang dari serangan cakarnya. Begitu sadar, lelaki tua itu segera mengarahkan kuku-kuku tajamnya ke atas. Pinggang ramping si gadis yang masih melayang di atas kepalanya kini menjadi sasaran berikutnya.Kejadian itu terjadi dengan cepat. Saking cepatnya seperti terj
Ranggapala memanggil-manggil nama Resi Chamala yang telah pergi dengan panik. Pemuda itu tidak siap kehilangan sang guru yang telah dianggap sebagai orang tuanya. Sejak kecil hanya gurunya itu teman hidupnya. Diperiksanya nadi di tubuh gurunya. Dia berharap guru sakti itu masih bisa ditolong."Bangun, Guru! Kau belum waktunya pergi. Bangunlah." Ranggapala terus melakukan pertolongan dengan cara menyalurkan hawa murni dan menotok titik-titik syaraf yang ada di tubuh Resi Chamala. Hasilnya tetap sia-sia. Laki-laki berselempang kain kuning itu tetap tidak bangun."Tidak, Guru. Tidak ...!"Menyadari gurunya telah tiada, Ranggapala memeluk tubuh kurus itu dengan hati hancur dan berurai air mata. Raden Prana Kusuma menunduk dalam sebagai penghormatan terakhir kepada Resi Chamala. Selama ini, orang-orang dunia persilatan menganggap Resi Chamala dan dirinya memiliki kesaktian yang imbang. Sebenarnya dia ingin mengadu kekuatan dengan orang itu,
Semua mata menelusuri setiap sudut dasar jurang dari bibir jurang. Satu bangkai hewan pun tidak mereka lihat, apalagi manusia. Ini sungguh aneh. Tidak mungkin tubuh Ranggapala menghilang begitu saja."Sudahlah, lebih baik kita urus tubuh Resi Chamala dengan benar," ucap Paksi Jingga. Satu persatu, mereka meninggalkan tepi jurang untuk mengambil tubuh Resi Chamala yang tergeletak di dekat akar pohon.Ki Sempana dan Mahisa Dahana menggotong tubuh Resi Chamala menuju tempat semula. Sekar Pandan dan lainnya menoleh secara bersamaan saat mereka kembali.Tuan muda Zhang yang masih belum sadarkan diri telah mendapatkan pertolongan pertama dari Sekar Pandan. Keadaan pemuda dari negeri seberang itu makin mengkhawatirkan. Melihat wajah Sekar Pandan yang cemas, Raden Prana Kusuma berlari menghampiri."Bagaimana?" tanya Raden Prana Kusuma khawatir.Gadis berambut panjang bergelombang sepinggang itu menunduk sedih."Bantu aku, Sekar."