Ranggapala memanggil-manggil nama Resi Chamala yang telah pergi dengan panik. Pemuda itu tidak siap kehilangan sang guru yang telah dianggap sebagai orang tuanya. Sejak kecil hanya gurunya itu teman hidupnya.
Diperiksanya nadi di tubuh gurunya. Dia berharap guru sakti itu masih bisa ditolong."Bangun, Guru! Kau belum waktunya pergi. Bangunlah." Ranggapala terus melakukan pertolongan dengan cara menyalurkan hawa murni dan menotok titik-titik syaraf yang ada di tubuh Resi Chamala. Hasilnya tetap sia-sia. Laki-laki berselempang kain kuning itu tetap tidak bangun."Tidak, Guru. Tidak ...!"Menyadari gurunya telah tiada, Ranggapala memeluk tubuh kurus itu dengan hati hancur dan berurai air mata.Raden Prana Kusuma menunduk dalam sebagai penghormatan terakhir kepada Resi Chamala. Selama ini, orang-orang dunia persilatan menganggap Resi Chamala dan dirinya memiliki kesaktian yang imbang. Sebenarnya dia ingin mengadu kekuatan dengan orang itu,Semua mata menelusuri setiap sudut dasar jurang dari bibir jurang. Satu bangkai hewan pun tidak mereka lihat, apalagi manusia. Ini sungguh aneh. Tidak mungkin tubuh Ranggapala menghilang begitu saja."Sudahlah, lebih baik kita urus tubuh Resi Chamala dengan benar," ucap Paksi Jingga. Satu persatu, mereka meninggalkan tepi jurang untuk mengambil tubuh Resi Chamala yang tergeletak di dekat akar pohon.Ki Sempana dan Mahisa Dahana menggotong tubuh Resi Chamala menuju tempat semula. Sekar Pandan dan lainnya menoleh secara bersamaan saat mereka kembali.Tuan muda Zhang yang masih belum sadarkan diri telah mendapatkan pertolongan pertama dari Sekar Pandan. Keadaan pemuda dari negeri seberang itu makin mengkhawatirkan. Melihat wajah Sekar Pandan yang cemas, Raden Prana Kusuma berlari menghampiri."Bagaimana?" tanya Raden Prana Kusuma khawatir.Gadis berambut panjang bergelombang sepinggang itu menunduk sedih."Bantu aku, Sekar."
"Luka anak muda dari negeri seberang itu kurasa cukup parah. Ketua, jika kau berkenan, biarkan dia beristirahat di perguruan," usul Ki Sempana menoleh pada Paksi Jingga. Pemuda berwajah penuh luka sayat itu mengangguk kecil setelah menatap Tuan muda Zhang.Mahisa Dahana tersenyum tipis melihat kakangnya telah berubah. Dia yakin, saudaranya itu akan tetap menjadi orang baik. Jika Paksi Jingga pernah berbuat salah, dia rasa itu karena keadaan.Ki Sempana menghampiri Sekar Pandan dan Tuan muda Zhang yang duduk dengan wajah pucat. Laki-laki yang menjadi pemimpin rombongan penari itu duduk jongkok di depan Dewi Bunga Malam."Nini Sekar Pandan, tolong kau maafkan semua perlakuan buruk kami kepadamu. Saat itu mungkin yang ada di benak kami hanya ingin merebut kembali perguruan sehingga harus berlaku kasar." Sekar Pandan melihat sekilas wajah Ki Sempana yang penuh penyesalan kemudian beralih pada Tuan muda Zhang. Ki Sempana menelan ludah getir. Dia tahu
"Kalian pasti telah melenyapkan suamiku! Aku harus membalaskan kematiannya." Selasih menyerang Sekar Pandan dengan mulut tidak berhenti memaki dan mengancam. Lama kelamaan kesabaran gadis itu menipis. Kaki tanpa alas itu berkelebat cepat menghantam ulu hati Selasih. Perempuan itu menggerakkan pedang buntungnya untuk menangkis tendangan Sekar Pandan. Tidak mau kakinya cidera, gadis berselendang sutera jingga itu menarik kembali tendangannya. Pedang Sulur Naga dimasukkan ke warangka. Selendang jingga segera diloloskan dari pinggang. Bergulung-gulung mempersempit gerakan Selasih. Walaupun di tangannya ada benda tajam, tetapi mata pedang itu tidak sanggup merobek selendang yang bahannya lebih rentan dari pedang. Selasih mulai geram dengan saudara seperguruannya ini. Keringat telah membasahi sekujur tubuhnya. Napasnya pun ngos-ngosan. Namun, lawan masih belum ada tanda terdesak.Hatinya yang diselimuti iri dengki makin tak tertahankan. Kebencian dan nafsu mem
Dua anak muda berbeda jenis kelamin tu menuruni kaki bukit perguruan Tangan Seribu dengan kuda. Warna jingga di sebelah barat menghiasi langit yang cerah. Sesekali pemuda bertelanjang dada dan bergelung rapi itu menoleh kepada gadis berselendang jingga yang menunggang kuda di sampingnya."Seharusnya kau menceritakan semuanya pada Selasih. Kau hampir celaka di tangan wanita itu, Sekar." Sekar Pandan tidak peduli. Gadis itu tetap menatap ke depan sambil terguncang-guncang di atas kudanya."Wanita itu masih mencintai bekas suaminya. Dia rela menyingkirkan adik seperguruannya demi membalaskan dendam corah berbahaya itu. Untung aku cepat menyelesaikan semadiku, kalau tidak ...."Kuda Sekar Pandan meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya. Gadis itu menghentikan lari kudanya secara tiba-tiba. Terpaksa Raden Prana Kusuma juga melakukan hal yang sama. Dia menarik tali kekang kuda hingga kuda itu terkejut dan menghentikan larinya."Hari sebenta
Sekar Pandan menoleh ke belakang kemudian mengangguk. Kakinya menyepak perut kudanya agar berlari lebih cepat. Dua ekor kuda itu saling berkejaran di hari yang mulai meremang.Yang dikatakan Senopati Prana Kusuma benar. Jauh di depan mereka terlihat kerlip obor rumah penduduk. Ke sana lah kuda-kuda itu berlari. Kehadiran Bimala dan Elakshi sudah tidak terasa lagi. Pemuda berlengan kekar itu menghela napas lega.Dia berharap, mereka tidak mengikuti hingga ke dusun. Besok pagi-pagi sekali pemuda itu akan mengajak Sekar Pandan menyusul Ludro Gempol ke markas prajurit terdekat agar mendapat pengawalan selama membawa Elang Gunung ke kota raja.Mereka berhenti di depan sebuah pondok pertama di sebuah dusun dengan halaman luas. Di halaman sebelah kanan terdapat tempat pemujaan yang masih tercium aroma bunga dan dupa. Mendengar derap kuda memasuki halaman pondok, pemilik pondok keluar. Seorang lelaki bertelanjang dada dan memakai ikat kepala datang mengh
Kelihatannya memang pulas, tetapi Raden Prana Kusuma tidak lengah. Batin pemuda itu sangat peka dengan keadaan sekitarnya, apalagi dia telah tahu adanya bahaya dari Bimala dan Elakshi.Dua wanita raksasa yang selalu mengejar Sekar Pandan itu sewaktu-waktu bisa membuat keributan. Dia tidak ingin mencelakakan pemilik pondok. Di luar pondok, berkelebat dua bayangan wanita besar yang tidak lain adalah Bimala dan Elakshi. Keduanya berjalan ke tengah halaman dengan gagah. Sorot mata mereka tajam menatap rumah itu. Mereka tahu, Sekar Pandan dan Pedang Sulur Naga ada di dalam sana.Merasakan kehadiran wanita itu, Raden Prana Kusuma membangunkan Sekar Pandan. "Lawan telah menunggu di halaman pondok ini," bisiknya.Sekar Pandan terkejut mendengar kabar itu. Sigap, gadis perkasa itu menyambar pedang dan tas anyaman pandan yang berisi bubuk hijau beracunnya. Dia menyusul Raden Prana Kusuma yang telah mengintip ke luar lewat lubang jendela.Di halama
Raden Prana Kusuma terhuyung ke samping. Kalau tidak berpegangan pada dinding bangunan pemujaan, pasti tubuhnya telah ambruk. Wajahnya terasa remuk karena pukulan Elakshi. Dengan tangan kirinya, pemuda itu meraba wajahnya yang membiru. Rasanya sakit bukan main.Senopati Prana Kusuma meringis menahan sakit. Wajah tampan bak pualam itu kini membiru. Dari lubang hidung, merembes darah merah kehitaman. Masih untung hidung mancungnya tidak patah."Kau!" Dia mendengkus marah pada Elakshi. Wanita itu menatapnya dengan sinis dan bersiap menyerang kembali, tetapi urung.Tanpa disangka, Bimala menjerit-jerit sambil berusaha melepas pedang di tangannya. Sontak, keduanya mengalihkan pandangan ke Bimala. Dengan memegangi wajahnya, Raden Prana Kusuma duduk di undakan pondok. Ki Kriwil dan beberapa warga dusun berlari menghampirinya. Tampaknya Ki Kriwil mengkhawatirkan tamunya itu. "Raden terluka parah," gumam Ki Kriwil menatap wajah di depannya.
Sekar Pandan menghentikan goresan di telapak tangan itu. Dia memerhatikan wajah lebam di depannya dengan iba. Tangannya terangkat ingin menyentuh. Dalam hati gadis itu kasihan dengan wajah Raden Prana Kusuma. Namun, saat ini dia tidak mungkin membuat obat boreh untuknya."Elakshi, kerahkan semua kekuatanmu! Sebentar lagi kekuatan pedang iblis ini akan mengendur!" Bimala berteriak. Elakshi mengangguk. Keduanya mengeluarkan seluruh kekuatan yang dimiliki untuk menaklukkan Pedang Sulur Naga.Pamor pedang itu makin terang bahkan warna hijaunya makin pekat. Pertarungan itu memang tidak terlihat oleh semua warga, tetapi membuat Bimala dan Elakshi bekerja keras mempertahankan nyawa. Otot-otot mereka terlihat menyembul dari leher dan lengan. Keringat sebesar jagung saling menetes dari tubuh besar mereka."Aku sudah tidak kuat, Bimala." Kekuatan Elakshi mulai mengendur, bahkan Bimala bisa merasakan. Tidak hanya kekuatan kawannya, kekuatannya sendiri pun sama, sedan