Mahisa Dahana tetap diam dengan mata terpejam. Sekar Pandan terus menyalurkan tenaga dalamnya ke tubuh kawannya itu. Ki Sempana tidak mau kalah, laki-laki yang selama ini menjadi penyelamat dan pelindung keluarga perguruan Tangan Seribu ini juga menempelkan telapak tangan kanannya di punggung Mahisa Dahana. Melihat semua orang ingin menyelamatkan adiknya, Paksi Jingga segera duduk di belakang Ki Sempana.
Pemuda itu menyalurkan seluruh tenaga dalamnya ke tubuh Ki Sempana. Selanjutnya tenaga dalam itu dialirkan ke tubuh Mahisa Dahana lewat tangan Ki Sempana.Tubuh Mahisa Dahana duduk dengan tegang karena dari depan dan belakang mengalir tenaga dalam untuk menopang tubuhnya. Dari ubun-ubun pemuda itu mengepul asap tipis. Peluh membasahi tubuhnya yang berotot.Umang Sari dan Palasari hanya duduk diam tidak jauh dari mereka dengan wajah tegang. Kedua gadis itu kembali saling melempar pandang. Hati mereka gelisah. Mereka takut Sekar Pandan akan menuntut balas p"Kakang."Paksi Jingga tersenyum tipis pada adiknya. Ingatannya kembali mundur belasan tahun silam. Pertama kali Mahisa Dahana bisa bicara, kata pertama yang dia ucapkan adalah "Kakang". Itu panggilan untuk dirinya. Pemuda itu melihat diri adiknya berubah kecil dan tertatih menghampirinya."Kakang." Suaranya cadel dan belum jelas."Mahisa." Paksi Jingga menghampiri adiknya yang masih kecil.Paksi Jingga menatap adiknya dengan bibir tersenyum. Telinganya mendengar suara seorang perempuan dari arah samping. Pemuda yang suka memakai caping itu menoleh. Seorang wanita muda dengan rambut digelung dan berkemban memanggilnya."Ibu," lirihnya."Mahisa, ayo, kemari. Jangan ganggu kakangmu berlatih." Wanita yang tidak lain adalah Nyai Anjarsewu itu melambaikan tangan pada Mahisa Dahana kecil.Mahisa Dahana kecil menggeleng."Ke sini, Mahisa!" panggil sang ibu."Kakang."Paksi Jingga yang tidak ingin kehi
Di depan Tuan muda Zhang, agak jauh, sekitar tiga tombak, Resi Chamala tengah menghimpun kekuatan. Lelaki yang memakai selempang kain kuning itu berdiri tegak dengan kaki kanan ditekuk ke depan. Tatapan matanya tajam mengarah kepada musuhnya. Kekuatan itu perlahan berkumpul ke lengan. Urat-urat lengan tua Resi Chamala saling menyembul dan mengembung dua kali lipat. Begitu kekuatan itu berkumpul di kedua telapak tangan, perubahan aneh terjadi. Kedua telapak tangan Resi Chamala berubah besar berkali lipat dengan kuku-kuku hitam yang memanjang dan tajam. Tangan menyerupai cakar itu menyebarkan hawa kematian yang mengerikan.Ranggapala terkesiap melihat ilmu aneh yang dikeluarkan oleh sang guru. Selama ini dia belum pernah melihat Resi Chamala mengeluarkan ilmu seperti itu, meskipun lawan memiliki kesaktian seimbang. Pemuda itu menatap gurunya dengan mata tak berkedip.Ranggapala jadi penasaran dan ingin tahu kehebatan ilmu gurunya. Diam-diam Ranggapala mulai
Paksi Jingga yang juga merasakan hal yang hampir sama dengan dua gadis penari itu melirik keduanya. Dia lah yang telah memerintah mereka untuk mengambil pedang Sekar Pandan. Takut mereka gagal, kemudian dia memerintah Elang Gunung untuk mengambil Pedang Sulur Naga. Siapa sangka, Elang Gunung malah meracuni Sekar Pandan hingga hampir tewas. Paksi Jingga mengepal geram teringat tindakan yang dilakukan Elang Gunung terhadap Sekar Pandan tanpa meminta izin kepadanya.Pandangan pemuda itu tidak berkedip mengikuti tubuh ramping Sekar Pandan yang tengah melesat melewati kepala Resi Chamala yang tengah membuat gerakan mencakar lurus ke depan. Resi Chamala kebingungan mencari lawan yang tiba-tiba menghilang dari serangan cakarnya. Begitu sadar, lelaki tua itu segera mengarahkan kuku-kuku tajamnya ke atas. Pinggang ramping si gadis yang masih melayang di atas kepalanya kini menjadi sasaran berikutnya.Kejadian itu terjadi dengan cepat. Saking cepatnya seperti terj
Ranggapala memanggil-manggil nama Resi Chamala yang telah pergi dengan panik. Pemuda itu tidak siap kehilangan sang guru yang telah dianggap sebagai orang tuanya. Sejak kecil hanya gurunya itu teman hidupnya. Diperiksanya nadi di tubuh gurunya. Dia berharap guru sakti itu masih bisa ditolong."Bangun, Guru! Kau belum waktunya pergi. Bangunlah." Ranggapala terus melakukan pertolongan dengan cara menyalurkan hawa murni dan menotok titik-titik syaraf yang ada di tubuh Resi Chamala. Hasilnya tetap sia-sia. Laki-laki berselempang kain kuning itu tetap tidak bangun."Tidak, Guru. Tidak ...!"Menyadari gurunya telah tiada, Ranggapala memeluk tubuh kurus itu dengan hati hancur dan berurai air mata. Raden Prana Kusuma menunduk dalam sebagai penghormatan terakhir kepada Resi Chamala. Selama ini, orang-orang dunia persilatan menganggap Resi Chamala dan dirinya memiliki kesaktian yang imbang. Sebenarnya dia ingin mengadu kekuatan dengan orang itu,
Semua mata menelusuri setiap sudut dasar jurang dari bibir jurang. Satu bangkai hewan pun tidak mereka lihat, apalagi manusia. Ini sungguh aneh. Tidak mungkin tubuh Ranggapala menghilang begitu saja."Sudahlah, lebih baik kita urus tubuh Resi Chamala dengan benar," ucap Paksi Jingga. Satu persatu, mereka meninggalkan tepi jurang untuk mengambil tubuh Resi Chamala yang tergeletak di dekat akar pohon.Ki Sempana dan Mahisa Dahana menggotong tubuh Resi Chamala menuju tempat semula. Sekar Pandan dan lainnya menoleh secara bersamaan saat mereka kembali.Tuan muda Zhang yang masih belum sadarkan diri telah mendapatkan pertolongan pertama dari Sekar Pandan. Keadaan pemuda dari negeri seberang itu makin mengkhawatirkan. Melihat wajah Sekar Pandan yang cemas, Raden Prana Kusuma berlari menghampiri."Bagaimana?" tanya Raden Prana Kusuma khawatir.Gadis berambut panjang bergelombang sepinggang itu menunduk sedih."Bantu aku, Sekar."
"Luka anak muda dari negeri seberang itu kurasa cukup parah. Ketua, jika kau berkenan, biarkan dia beristirahat di perguruan," usul Ki Sempana menoleh pada Paksi Jingga. Pemuda berwajah penuh luka sayat itu mengangguk kecil setelah menatap Tuan muda Zhang.Mahisa Dahana tersenyum tipis melihat kakangnya telah berubah. Dia yakin, saudaranya itu akan tetap menjadi orang baik. Jika Paksi Jingga pernah berbuat salah, dia rasa itu karena keadaan.Ki Sempana menghampiri Sekar Pandan dan Tuan muda Zhang yang duduk dengan wajah pucat. Laki-laki yang menjadi pemimpin rombongan penari itu duduk jongkok di depan Dewi Bunga Malam."Nini Sekar Pandan, tolong kau maafkan semua perlakuan buruk kami kepadamu. Saat itu mungkin yang ada di benak kami hanya ingin merebut kembali perguruan sehingga harus berlaku kasar." Sekar Pandan melihat sekilas wajah Ki Sempana yang penuh penyesalan kemudian beralih pada Tuan muda Zhang. Ki Sempana menelan ludah getir. Dia tahu
"Kalian pasti telah melenyapkan suamiku! Aku harus membalaskan kematiannya." Selasih menyerang Sekar Pandan dengan mulut tidak berhenti memaki dan mengancam. Lama kelamaan kesabaran gadis itu menipis. Kaki tanpa alas itu berkelebat cepat menghantam ulu hati Selasih. Perempuan itu menggerakkan pedang buntungnya untuk menangkis tendangan Sekar Pandan. Tidak mau kakinya cidera, gadis berselendang sutera jingga itu menarik kembali tendangannya. Pedang Sulur Naga dimasukkan ke warangka. Selendang jingga segera diloloskan dari pinggang. Bergulung-gulung mempersempit gerakan Selasih. Walaupun di tangannya ada benda tajam, tetapi mata pedang itu tidak sanggup merobek selendang yang bahannya lebih rentan dari pedang. Selasih mulai geram dengan saudara seperguruannya ini. Keringat telah membasahi sekujur tubuhnya. Napasnya pun ngos-ngosan. Namun, lawan masih belum ada tanda terdesak.Hatinya yang diselimuti iri dengki makin tak tertahankan. Kebencian dan nafsu mem
Dua anak muda berbeda jenis kelamin tu menuruni kaki bukit perguruan Tangan Seribu dengan kuda. Warna jingga di sebelah barat menghiasi langit yang cerah. Sesekali pemuda bertelanjang dada dan bergelung rapi itu menoleh kepada gadis berselendang jingga yang menunggang kuda di sampingnya."Seharusnya kau menceritakan semuanya pada Selasih. Kau hampir celaka di tangan wanita itu, Sekar." Sekar Pandan tidak peduli. Gadis itu tetap menatap ke depan sambil terguncang-guncang di atas kudanya."Wanita itu masih mencintai bekas suaminya. Dia rela menyingkirkan adik seperguruannya demi membalaskan dendam corah berbahaya itu. Untung aku cepat menyelesaikan semadiku, kalau tidak ...."Kuda Sekar Pandan meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya. Gadis itu menghentikan lari kudanya secara tiba-tiba. Terpaksa Raden Prana Kusuma juga melakukan hal yang sama. Dia menarik tali kekang kuda hingga kuda itu terkejut dan menghentikan larinya."Hari sebenta
Istri kepala dusun dan Nyai Kriwil merawat Sekar Pandan dengan baik sehingga kesehatan gadis itu pulih dengan cepat. Pagi-pagi sekali, keduanya berpamitan kepada orang-orang baik itu untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja Majapahit. Sebelum meninggalkan rumah kepala dusun, Raden Prana Kusuma memberikan seikat gobog kepada Ki Kriwil.Lelaki tua itu hanya menatap gobog di tangan pemuda gagah itu dengan tatapan heran. " Untuk apa uang itu, Raden?""Pondok Ki Kriwil telah rusak karena kami. Ini ada sedikit ....""Tidak perlu. Pondok yang rusak bisa diperbaiki secara gotong royong. Di dusun ini banyak ditumbuhi bambu, dengan kerjasama beberapa warga pondok itu akan cepat selesai. Raden lebih membutuhkan gobog itu daripada kami karena harus menempuh perjalanan jauh." Dengan tersenyum penuh pengertian Ki Kriwil mendorong tangan Raden Prana Kusuma yang menyodorkan gobog."Kami terbiasa mengembara, Ki. Seorang pengembara tidak akan kelaparan di tengah
Jantung Raden Prana Kusuma berdesir. Tatapannya nanar pada lelaki yang memiliki tinggi yang sama dengannya itu.Dengan wajah kebingungan pemuda itu bertanya, "Kau tahu namaku?""Bagaimana aku tidak tahu diriku sendiri." Jawaban lelaki berambut putih panjang itu makin membuat Raden Prana Kusuma diliputi pertanyaan. Selama ini mereka tidak pernah bertemu. Orang itu tadi mengatakan apa? Dia adalah dirinya? Alis pemuda Majapahit itu berkerut. Pikirannya masih sulit mencerna.Dalam kebingungannya, dia hanya diam saat lelaki tampan berambut putih itu menggeser tempatnya. Tanpa menunggu persetujuan Raden Prana Kusuma, lelaki itu menyingkirkan kain penutup tubuh Sekar Pandan pelan. Tubuh itu seperti tidak terluka apapun karena istri kepala dusun telah membelitkan selembar ken atau jarit ke tubuh Sekar Pandan."Hm, bagaimana mungkin kau akan meninggalkan dunia ini, jika anak kita belum lahir." Raden Prana Kusuma kurang jelas dengan gumaman lelaki
Kepala dusun segera menyahut dan mempersilakan mereka beristirahat di rumahnya. Pagi itu, Raden Prana Kusuma membawa Sekar Pandan ke rumah kepala dusun untuk mengobati lukanya. Pedang Sulur Naga yang menjadi penyebab semua itu diambil Ki Kriwil dengan rasa takut.Di rumah kepala dusun, Sekar Pandan dirawat Raden Prana Kusuma siang dan malam tanpa henti. Hasilnya belum ada tanda kalau gadis itu akan sadar. Dengan wajah penuh kegelisahan, Raden Prana Kusuma duduk di tepi balai-balai yang beralaskan selembar tikar pandan. Matanya tidak ingin beralih dari wajah pucat di depannya.Keadaannya sendiri cukup berbahaya karena setiap saat harus menyalurkan hawa murni ke tubuh Sekar Pandan. Jika diteruskan, tidak mustahil pemuda itu akan cidera bahkan bisa tewas. Akan tetapi, tidak ada yang sanggup mencegah seandainya ada yang tahu hal itu. Kepala dusun memang pernah sedikit belajar tentang ilmu kanuragan. Mengenai hal detail itu dia belum banyak mengerti. Yang dia ketahui ha
"Prana ... Prana Kusuma, kau ... Pemuda hebat! Aku mengaku ... ka-kalah!" Dari mulut Hang Dineshcarayaksa menyembur cairan merah yang sama. Dia menoleh sekilas. Sosok di atasnya tampak buram dan berubah bayang-bayang. Raden Prana Kusuma menahan tangannya di udara."Tapi aku puas. Setelah aku ... tiada, dia juga pasti tiada, kau tidak akan bisa bersama ... gadis itu," ujarnya terbata. Senyum licik tersungging di bibir. Kemarahan pemuda Majapahit itu sudah sampai ubun-ubun. Ditatapnya lawan lemah tidak berdaya di bawah kakinya. Lawan itu ingin segera dihabisi karena telah mencelakai Sekar Pandan."Kau memang telah kalah. Kalah oleh keserakahanmu sendiri, Kisanak. Bersiaplah menjemput maut. Maut yang kau kejar sampai ke tempat ini. Sekar Pandan akan selamat karena aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padanya," lirihnya menahan geram.Wajah tampan Raden Prana Kusuma mengeras dengan gigi geraham menggertak kuat. Sepasang mata yang biasanya teduh menenangka
Terbukti, pundaknya telah mengeluarkan darah. Berkali-kali dia menggeram dan meraung layaknya hewan buas.Dua anak muda itu saling pandang, seolah telah menyepakati sebuah rencana bagus untuk mengalahkan lawan. Ikatan batin yang telah terjalin selama hampir dua tahun membuat mereka mampu mengartikan jalan pikiran masing-masing. Tubuh Sekar Pandan melesat dari satu pohon ke pohon lainnya membentuk lingkaran sambil terus menghujani Hang Dineshcarayaksa dengan pukulan Ajian Ombak Memecah Karang.Sinar kekuningan yang melesat dari tangan Sekar Pandan bagai hujan bintang dari langit. Setiap sinar tidak mengenai sasaran, maka akan menghantam apa saja yang ada di depannya. Suara keras disusul robohnya pohon mengubah malam yang awalnya tenang menjadi neraka.Sementara itu, Keris Naga Kemala juga masih terus menyerang tanpa henti. Kali ini keris itu berhasil melukai pinggang Hang Dineshcarayaksa."Aaaaarrgg!"Raungan sang penguasa dasar jurang Hun
Sekar Pandan membawa pedang di tangannya demikian lincah. Menyelinap di bagian tubuh Hang Dineshcarayaksa yang terbuka tanpa perlindungan. Senyum yang semula lebar pada Hang Dineshcarayaksa kini berubah cemas.Pasalnya, pedang itu seperti bernyawa di tangan pemiliknya. Berkali-kali, mata pedang hampir melukai kulit gelap sang penguasa dasar jurang Hung Leliwungan."Sontoloyo! Gadis ini sekarang lebih hebat dari sebelumnya," gumam laki-laki tinggi besar itu.Hang Dineshcarayaksa melompat ke belakang dan terus melayang menggunakan ilmu meringankan tubuh, sementara Pedang Sulur Naga yang ujungnya mengarah ke dadanya terus mengejar tanpa ampun.Dia memutar tubuhnya kemudian mengayunkan ujung tulang di tangannya ke punggung Sekar Pandan. Gadis itu terkesiap. Cekatan tubuhnya membungkuk lalu melemparkan ujung selendang dari jarak dekat ke lawan.Tangan kiri Hang Dineshcarayaksa menangkap ujung selendang dengan cepat, memutar, dan menarik kuat k
Raden Prana Kusuma memerhatikan tulang itu. Dia tahu, itu bukan tulang biasa. Tokoh sakti seperti Hang Dineshcarayaksa tidak mungkin membawa tulang biasa. Tulang panjang di tangan Hang Dineshcarayaksa adalah tulang yang menjadi senjata pusaka kelompok mereka. Kekuatan dan kekerasan tulang itu tidak jauh beda dengan tembaga yang menjadi bahan senjata pada umumnya. Walaupun tidak seperti senjata sakti. Tulang manusia yang mereka gunakan sebagai senjata adalah tulang manusia pilihan. Manusia yang memiliki tulang kuat layaknya tulang para pendekar, yang mereka korbankan. Mereka melakukan upacara khusus agar tulang-tulang itu dapat digunakan sebagai senjata pusaka. Tidak hanya dengan upacara, tulang-tulang itupun masih menyimpan kekuatan ruh pemiliknya. Ruh yang telah berubah jahat karena dipengaruhi iblis."Tulang di tanganmu itu kurasa adalah senjata yang sangat hebat. Untuk apa kau menginginkan keris ini dan juga pedang milik Sekar Pandan?" Kedu
Sekar Pandan melompat ke arah tubuh Ki Kriwil yang masih pingsan di tengah halaman. Tubuh renta itu tergeletak tak sadarkan diri di dekat tubuh Bimala dan Elakshi. Serangkum angin serangan dari belakang tiba-tiba menerjang tubuh ramping Sekar Pandan. Rupanya Hang Dineshcarayaksa tidak ingin gadis itu menyelematkan orang yang dia lempar ke halaman. Dia juga ingin Sekar Pandan tewas karena telah melumpuhkan Bimala dan Elakshi.Merasakan serangan, gadis itu membuang tubuhnya ke samping. Dia bergulingan sejenak sebelum melompat tinggi sambil mengirimkan pukulan tangan kosong ke Hang Dineshcarayaksa. Ajian Ombak Memecah Karang melabrak tubuh besar penguasa dasar jurang Hung Leliwungan.Hang Dineshcarayaksa yang mendapat pukulan balasan dengan kekuatan besar berteriak nyaring sambil melompat tinggi. Demikian pula dengan Raden Prana Kusuma. Pemuda itu juga menghindar dari serangan Sekar Pandan. Cahaya kuning kemerahan bablas dan menghantam sebatang pohon pisang.
Mendengar suara keras dari atap pondok, anak dan istri Ki Kriwil terbangun. Dengan muka pucat karena ketakutan, mereka menuju asal suara keras tersebut. Wajah tiga wanita itu terkesiap saat melihat ke atas.Atap pondok mereka jebol dan rusak. Kayu-kayu jatuh berserakan di bawahnya.Anak bungsu Ki Kriwil bergegas menuju pintu yang sebagian daunnya telah rusak. Gadis berbadan kurus dengan rambut tergerai sebahu itu menjerit sekuatnya. Di halaman pondok, dia melihat ayahnya tengah tergeletak dan dihampiri sosok tinggi besar berambut kriting gimbal."Ada apa, Nduk?" Ibunya bertanya.Gadis itu langsung memeluk ibunya dengan ketakutan. Air matanya telah jatuh dari tadi. "Ayah," lirihnya.Anak sulung Ki Kriwil segera berlari ke luar menghampiri tubuh ayahnya yang pingsan."Ayah." Dia menghambur dan memeluk tubuh kurus Ki Kriwil.Sosok laki-laki tinggi besar itu mendengkus. Tubuhnya membungkuk. Jari-jarinya yang berukuran b